Adalah fakta yang nyata
bahwa filsafat Islam merupakan hasil kreasi atau ijtihad kaum Muslimin.
Bermacam tradisi dan kebudayaan bangsa memiliki kontribusi atas pengembangan
dan pengkayaan filsafat Islam. Peradaban Islam pada masa puncaknya bukan hanya
tidak memblokir arus ilmu pengetahuan, tapi juga mengamini dan mendukungnya. Dan
jauh dari menentang filsafat, ia disambut dan dipeluk dengan rentangan tangan
terbuka. Islam menyambut berbagai macam opini dan pandangan dari setiap sudut
dan warna. Islam mengajak manusia untuk mengobservasi dan merenungi misteri,
menantang diskusi dan penelitian serta membuka kebebasan berpikir.
Salah satu issu besar dalam
tradisi filsafat Islam yang hangat diperdebatkan filosof Muslim adalah seputar
kausalitas. Kausalitas merupakan salah satu persoalan fundamental dalam
filsafat. Pada abad pertengahan, para filosof Muslim disibukkan perdebatan yang
produktif tentang kausalitas yang dipandang semata-mata dari perspektif
filsafat dan teologi Islam. Puncak perdebatan yang produktif tersebut ditandai
saling silang pendapat dan tuduh menuduh antar filosof, seperti Al-Ghazali
dengan kitabnya al tahāfut al falāsifah
yang segera dibantah oleh Ibnu Rusyd dengan kitabnya tahāfut al tahāfut. Al-Ghazali mendebat (menyanggah) pandangan para
filosof (Al-Farabi dan Ibnu Sina) yang berpendapat bahwa ada hukum kepastian (dharūry) antara sebab dan akibat dalam
peristiwa-peristiwa alami. Al-Ghazali berargumen bahwa hubungan sebab dan
akibat tidak bersifat kepastian karena Allah Swt. adalah Pencipta segala yang
ada termasuk peristiwa yang berada diluar kebiasaan. Sebab itu, Allah Swt.
adalah sebab lain dibalik peristiwa-peristiwa alami yang merupakan rahasia
tersembunyi, yang justru merupakan sebab hakiki. [1]
Al-Ghazali kemudian
mengaitkan persoalan kausalitas yang dipegangi filosof dengan mu’jizat para
nabi. Menurutnya padangan filosof itu dapat mempengaruhi keimanan seseorang
terhadap mu’jizat para nabi, mu’jizat yang diartikannya sebagai hal yang
menyimpang dari kebiasaan alam akan dilemahkan oleh pandangan kausalitas yang
menyatakan bahwa setiap peristiwa alami mesti mempunyai sebab yang pasti dalam
alam itu sendiri. Karena itu, Al-Ghazali menolak pandangan bahwa
hubungan-hubungan kausalitas sebagai hubungan-hubungan di antara objek-objek
alamiah itu sendiri, dan objek-objek itu berada di luar dan tidak tergantung
dari kehendak Allah Swt. Allah Swt. adalah Pencipta segala yang wujud termasuk
peristiwa yang berada di luar kebiasaan. Dengan gagasannya ini, Al-Ghazali
menegaskan keyakinan teologis Islam dengan mengatasi perdebatan tentang
kausalitas yang alamiah dengan mengedepankan kemahakuasaan Allah Swt.
Menurut Ibnu Rusyd bahwa
sanggahan Al-Ghazali yang menyatakan tidak adanya hubungan kemestian antara
sebab dan akibat merupakan suatu pernyataan yang berlawanan dengan hati nurani
mereka. [2] Namun begitu, Ibnu Rusyd
mengakui bahwa persoalan ini sangat pelik dan untuk memecahkannya membutuhkan
renungan mendalam. Menjawab kekhawatiran Al-Ghazali di atas, Ibnu Rusyd secara
sederhana menjalaskan bahwa pendirian para filosof tentang kausalitas tidak
akan merusak keimanan seseorang terhadap mu’jizat para nabi. Ia kemudian
merumuskan dua macam mu’jizat, yakni mu’jizat al barrāniy dan mu’jizat al
jawwāniy.[3] Pada zaman modern sampai
saat ini, pandangan, pemikiran dan pengetahuan manusia tentang kausalitas
menjadi salah satu faktor dasar penentu perkembangan kemajuan sains dan
teknologi. Ditangan sains dan teknologi, perdebatan tentang kausalitas menjadi
bersifat materialistik dan dialektik. Kausalitas menjadi sebatas objektivitas
persepsi inderawi yang bersifat mekanik dan statis. Karena itu, kausalitas
kehilangan aspek spiritual atau ke-Tuhan-annya. Faktor perkembangan ini
menyebabkan pendangkalan dan penyelewengan dalam kesadaran bahwa kausalitas
adalah bagian dari hukum-hukum kekuasaan Tuhan menjadi lingkaran sempit
sekularitas dunia inderawi manusia modern. Penyelewengan ini pulalah yang
menyebabkan terperangkapnya manusia modern dalam berbagai penderitaan psikis
dan spiritual yang berujung pada kerusakan lingkungan dan alam.
Segera muncul
pemikir-pemikir, khususnya di kalangan Islam, yang mengkritik secara tajam
pandangan materialistik dan dialektik dalam sains modern tersebut terhadap
prinsip kausalitas. Dalam bahasan inilah dijumpai urgensi pemikiran seorang
Muhammad Baqir Ash – Shadr, tokoh yang menjadi fokus penelitian makalah ini.
Secara khusus dalam pemikiran dan karya-karyanya, ia mengarahkan kiritk
terhadap kepicikan pandangan sains modern tersebut, tetapi secara strategis
memberi warna dan pembaharuan tertentu paham keagamaan Islam kontemporer dengan
penekanan pada pentingnya logika, perlunya kausalitas dan peran pemikiran
filosofis dan teologis dalam menundukkan kekacauan sekularisme dan agnotisisme.
Muhammad Baqir Ash-Shadr
adalah sedikit dari tokoh-tokoh Islam yang mampu berbicara dengan fasihnya
pemikiran-pemikiran Barat. Kesan apalogi yang selama ini melekat pada pemikir
Islam, ia tepis dengan kejernihan dan kecerdasan pemikirannya. Ia begitu akrab
dengan karya-karya pemikir Islam klasik maupun modern, tapi ia juga paham
pemikiran-pemikiran Barat yang berkembang. Dalam karyanya yang terkenal yaitu
Falsatuna dan Iqtishaduna ia dengan fasihnya mengutarakan kritik-kritik
terhadap pemikiran Barat seperti Karl Marx, Descartes, John Locke dan
lain-lain.[4]
Falsafatuna dan Iqtishaduna
telah mencuatkan Mehammad Baqir Shadr sebagai teoritisi kebangkitan Islam
terkemuka. Sistem filsafat dan ekonomi alternatif ini disempurnakan melalui
masyarakat dan lembaga. Dalam Falsafatuna dan Iqtishaduna, Baqir Shadr ingin
menyajikan kritik yang serius terhadap aliran marxisme dan kapitalisme. Buku
ini baik dari segi sturuktur maupun metodologi, tak diragukan lagi inilah
sumbangsih paling serius dan paling banyak disaluti di bidang ini.[5]
Muhammad Baqir As-Sayyid
Haidar Ibn Ismail Ash-Shadr, seorang sarjana, ulama, guru dan tokoh politik,
lahir di Kazimain, Baghdad, Irak pada 25 DzulQaâdah 1350H/1 Maret 1931 M dari
keluarga religius. Pada usia empat tahun, Muhammad Baqir Ash-Shadr kehilangan
ayahnya, dan kemudian diasuh oleh ibunya yang religius dan kakak laki-lakinya,
Isma’il, yang juga seorang mujtahid kenamaan di Irak. Muhammad Baqir Ash-Shadr
menunjukkan tanda-tanda kejeniusan sejak usia kanak-kanak. Pada usia sepuluh
tahun, dia berceramah tentang sejarah Islam, dan juga tentang beberapa aspek
lain tentang kultur Islam. Dia mampu menangkap isu-isu teologis yang sulit dan
bahkan tanpa bantuan seorang guru pun. Ketika usia sebelas tahun, dia mengambil
studi logika, dan menulis sebuah buku yang mengkritik para filosof.[6]
Pada usia tiga belas tahun,
kakaknya mengajarkan kepadanya Ushul ilm al-fiqh ( asas-asas ilmu tentang
prinsip-prinsip hukum Islam yang terdiri atas Al-Qurâ’an, Hadis, Ijmaâ dan
Qiyas ). Pada usia sekitar enam belas tahun, dia pergi ke Najaf untuk menuntut
pendidikan yang lebih baik dalam berbagai cabang ilmu-ilmu Islami. Sekitar
empat tahun kemudian, dia menulis sebuah ensiklopedi tentang Ushul, Ghayat Al-Fikr fi Al-Ushūl (pemikiran
puncak dalam Ushul). Muhammad Baqir Ash-Shadr menjadi seorang mujtahid pada
usia tiga puluh tahun.
Sebagai salah seorang
pemikir yang paling terkemuka, Muhammad Baqir Ash-Shadr melambangkan
kebangkitan intelektual yang berlangsung di Najaf antara 1950-1980. Ciri lain
yang mencolok dari kebangkitan itu adalah dimensi politiknya, dan saling
pengaruh antara apa yang terjadi di lorong gelap dan sekolah tinggi berdebu
Najaf, dan Timur-Tengah pada umumnya. Peristiwa pengeksekusian Shadr bersama
saudara perempuannya yang bernama Bint Al-Huda pada 8 April 1980, barangkali
ini merupakan titik puncak tantangan terhadap Islam di Irak. Dengan meninggalnya
Shadr, Irak kehilangan aktivis Islamnya yang paling penting.[7]
Tapi ketenaran Shadr justru setelah ia dihukum gantung oleh pemerintahan
Irak. Reputasi Shadr semenjak itu diakui di berbagai kalangan masyarakat.
Namanya telah melintasi Mediterania, ke Eropa dan Amerika Serikat. Pada 1981,
Hanna Batatu, dalam sebuah artikel di Middle East Journal
di Washington, menunjukkan pada orang-orang pentingnya Shadr bagi gerakan bawah
tanah Syi’ah di Irak. Pada 1984, Istishaduna diterjemahkan sebagian ke dalam
bahasa Jerman, disertai mukadimah panjang mengenal alim Syi’ah ini oleh seorang
orientalis muda Jerman. Jadi tidak mungkin lagi mengabaikan nilai penting
Muhammad Baqir Ash-Shadr dalam kebangkitan berbagai gerakan politk Islam, di
Irak, di dunia Syiâah dan di dunia Muslim pada umumnya.
Secara etimologi kata
kausalitas dalam bahasa inggris: causality,
berarti “hubungan sebab dan akibat”.[8]
Dalam bahasa Arab disebut “as-sabab” yang
mengandung makna sebagai segala
sesuatu yang dapat mengantarkan pada sesuatu yang lain.[9] Orang-orang
Arab Aqhah (yang masih murni
bahasanya) menggunakan istilah as-sabab dengan pengertian
tersebut. Dalam bait syairnya, Juhair bertutur demikian: “Siapa yang takut
pada sebab kematian, ia akan menemuinya juga. Meski dia menemukan jalan ke
langit melalui tangga”.
Pengertian di atas sama
dengan apa yang tercantum di dalam al-Quran, yakni segala sesuatu yang dapat
mengantarkan pada sesuatu yang lain. Allah SWT berfirman artinya: “Atau
apakah bagi mereka kerajaan langit dan bumi dan yang ada di antara keduanya?
(Jika ada), hendaklah mereka menaiki tangga-tangga (ke langit”). (QS. Shad
[38]: 10)
Allah SWT juga berfirman
di dalam al-Quran artinya: “Fir’aun berkata, “Hammân, buatkanlah
bagiku sebuah bangunan yang tinggi supaya aku sampai ke pintu-pintu, (yaitu)
pintu-pintu langit, sehingga aku dapat melihat Tuhan Mûsâ. Sesungguhnya aku
menganggap dia sebagai seorang pendusta.” Demikian, di hadapan Fir’aun, keburukan
perbuatannya dipandang baik, dan dia dihalangi dari jalan (yang benar).
Tipudaya Fir’aun itu tidak lain hanyalah membawa kerugian”. (QS al-Mu’min
[40]: 36-37)
Dengan demikian, hal-hal
yang menjadi perantara untuk sampai pada sesuatu disebut sebab, seperti
zina, misalnya, (menjadi sebab murka Allah, karena zina bisa mengantarkan
terhadap murka Allah), dan contoh lainnya. Begtu juga dalam istilah ahli ushul
fikih, kata sabab (sebab) mempunyai arti yang sama. Mereka telah
mendefinisikan sebab sebagai sifat nyata yang ditunjukkan oleh dalil
sam’î (naqlî) bahwa sifat tersebut merupakan pemberitahuan adanya hukum, bukan
pemberitahuan disyariatkannya hukum.[10]
Juga dikatakan bahwa sebab
adalah sesuatu yang pasti mendatangkan akibat. Tidak adanya sebab,
pasti tidak akan mendatangkan akibat. Keberadaan akad syar’î,
misalnya, menjadi sebab kebolehan untuk mengambil manfaat atau sebab adanya
peralihan kepemilikan; nishâb menjadi sebab bagi kewajiban membayar
zakat; dan sebagainya. Jadi, sebab adalah segala sesuatu yang mengantarkan pada
sesuatu yang lain. Makna tersebut telah digunakan oleh orang-orang Arab,
al-Quran, para ulama, dan para fuqahâ.
Dengan demikian, perantara
yang dapat mengantarkan sesuatu pada sesuatu yang lain disebut sebab,
sedangkan sesuatu yang lain tersebut disebut akibat. Kaidah Kausalitas
adalah upaya untuk mengaitkan sebab dengan akibatnya. Kausalitas merupakan landasan dalam menjalankan berbagai
aktivitas (qâ’idah ‘amaliyyah) dan meraih berbagai tujuan. Dengan
memenuhi tuntutan kaidah ini, suatu aktivitas dapat terlaksana, bagaimanapun
keadaannya; baik mudah ataupun sulit. Dengan memenuhi tuntutan kaidah ini pula,
tujuan suatu aktivitas akan dapat diraih, bagaimanapun keadannya; baik dekat
ataupun jauh.
Seiring dengan itu, dalam
Kamus Filsafat karangan Lorens Bagus dijelaskan hukum kausalitas ialah sesuatu
yang menunjukkan kaitan genetik niscaya antara gejala-gejala. Satu gejala
tersebut disebut sebab yang
menentukan yang lainnya yang disebut akibat
atau konsekwensi [11]. Dalam bahasa
sederhana hukum kausalitas dapat kita artikan sebagai sebuah hukum
sebab-akibat.
Dalam periode perkembangan
sejarah pemikiran Islam, pembicaraan hukum kausalitas ini sangat terkait erat
dengan teori yang membicarakan masalah proses penciptaan alam, fenomena-fenomena
yang berhubungan manusia dan alam serta berlanjut dengan lahirnya teori sains
dan ilmu pengetahuan dalam islam.
Seperti disinggung di
pendahuluan, diantara tokoh yang sangat populer dalam membicarakan masalah
kausalitas ini dalam sejarah pemikiran Islam pada zaman kalsik adalah
Al-Ghazali melalui karyanya Tahafut
Al-Falasifah. Al-Ghazali mempermasalahkan apakah hukum kausalitas ini
adalah sebuah hal yang pasti dan sebuah keniscayaan? Hal ini dilandasinya pada
konsep bahwa Allah adalah pencipta segala yang ada, termasuk peristiwa yang
berada diluar kebiasaan yang disebut mu’jizat. Menurut al-Ghazali hubungan
antara sebab dan akibat tidaklah bersifat dharury atau kemestian.
Dalam pengertian keduanya
tidak merupakan hubungan yang mesti berlaku, tetapi keduanya masing-masing
mempuanyai individualitasnya sendiri. Sebagai contoh kertas tidak mesti
terbakar oleh api dan basah oleh air, semua ini hanya adat kebiasaan alam bukan
suatu kemestian. Karena terjadinya sesuatu dialam ini karena kekuasaan dan
kehendak Allah semata.[12] Dapat
diperkirakan pemikiran al-Ghazali tidak bisa kita lepaskan dari paham teologi
Asy’ari yang tekenal dengan kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Dan dapat juga
kita pahami bahwa al-Ghazali ingin mempertahankan akidah umat islam agar tidak
terjebak pada paham kausalitas yang menurut filosof tedahulu terkesan menafikan
adanya penyebab utama dari hukum sebab akibat ini yaitu Allah.
Terkait dengan teori
al-Ghazali ini pada sejarah pemikiran Islam
terdapat bantahan oleh Ibn Rusyd dalam karyanya Tahafut al Tahafut yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang
pasti antara sebab dan akibat. Pendapat Al-Ghazali yang menyatakan tidak adanya
sebuah kemestian atau pengingkaran akan adanya sebab yang melahirkan akan
adanya musabab atau akibat merupakan pernyataan yang tida logis.[13] Selanjutnya
Ibn Rusyd menyatakan bahwa pada suatu benda yang terdapat dalam alam ini
mempunyai sifat dan zat tertentu yang di sebut dengan sifat zatiah. Bahwa untuk
terwujudnya segala sesuatu kemestian mesti ada daya atau kekuatan yang ada
sebelumnya. Seperti api mempunyai sifat zatiah membakar sedangkn air mempunyai
zatiah membasahi. Sifat zatiyah inilah yang membedakan antara api dan air.[14]
Dilihat dari substansinya,
perdebatan prinsip kausalitas dalam pemikiran filsafat Islam bertujuan untuk
membuktikan adanya Allah swt. sebagai penyebab utama yang tidak bersebab. Tujuan-tujuan
inilah yang menyebabkan diskursus kausalitas dalam filsafat Islam menjadi
teori-teori yang spekulatif. Sifat spekulatif demikian menjadi sumber utama
kritik kaum materialisme. Tidak dapat disangkal bahwa kausalitas materialisme
telah memberikan sumbangsih pada perkembangan ilmu pengetahuan modern yang
bersumber pada eksplorasi alam materi. Meskipun demikian, seperti akan dilihat
dalam uraian berikut, menurut Shadr pendekatan logika dan filsafat spekulatif
sangat diperlukan dalam memahami prinsip kausalitas agar manusia tidak
terjerumus pada paham materialisme yang membawa kepada paham ateisme, karena
menafikan adanya penyebab utama yaitu Allah swt yang menyebabkan terjadinya
sebab akibat.
Dalam karayanya
falsafatuna Muhammad Baqir Ash Shadar mengkritisi apa yang telah diungkapkan
oleh kaum empiris dan materialis tentang konsep kausalitas, yang menyatakakan
bahwa prinsip-prinsip kausalitas dalam kehidupan manusia di dunia ini, telah
terbentuk dalam sebuah proposisi primer yaitu dalam bentuk mempertanyakan
segala sesuatu yang terkait dengan fenomena alam di sekitarnya. Sebagai contoh
manusia selalu mempertanyakan mengapa sebuah peristiwa itu terjadi? Serta
sebab-sebab terjadinya peristiwa tersebut? terutama terhadap hal-hal yang bisa
ditangkap oleh panca indra manusia. Dan menafikan adanya sebab yang lain di
luar sebab itu apabila ia tidak menemukan apa yang menjadi sebab terhadap wujud
tersebut, dan tidak yakin akan adanya
sebab yang tidak diketahui yang melahirkan peristiwa tersebut.
Terkait dengan prinsip-prinsip
kausalitas yang diungkapkan oleh kaum empiris dan matrealis Ash Sadr mengawali
kritikannya dengan memakai beberapa argumen yang dipakai mereka yaitu: pertama,
mengenai pembuktian realitas objektif
persepsi indrawi, kedua, semua teori dan hukum ilmiah yang berdasarkan pada
eksperimen, ketiga, kemungkinan penyimpulan-penyimpulannya dalam bidang
filsafat maupun ilmu.
[1] Kausalitas dan objektivitas pembuktian persepsi
indrawi
Menurut Ash Shadr pertama, persepsi indrawi tidak
mengungkapkan adanya realitas objektif. Karena ia adalah konsepsi dan bukan
tugas konsepsi untuk memberikan jawaban yang benar, kedua, mengetahui adanya realita alam secara global adalah suatu
ketetapan yang niscaya lagi primer yang tidak membutuhkan bukti yakni tidak
perlu tahu terlebih dahulu. Dan inilah yang memisahkan antara idealisme dan
realisme. Mengetahui suatu realitas objektif persepsi indrawi ini dan itu dapat
terjadi dengan berdasarkan prinsip kausalitas.
Sebagai contoh: ketika
manusia dalam keadaan sakit, ia dapat mengindrai hal-hal tertentu, atau
membayangkan hal-hal tertentu, atau membayangkan bahwa ia melihat hal itu tanpa
mengetahui realitas objektif yang melahirkan persepsi indrawi itu.
[2] Kausalitas dan teori-teori ilmiah
Teori-teori ilmiah, dalam
berbagai lapangan eksperimen dan observasinal, menurut Ash Shadr secara umum
pada dasarnya bergantung pada prinsip-prinsip dasar hukum kausalitas. Ada
beberapa bentuk hukum kausalitas diantaranya:
[1] Prinsip
kausalitas yang menyatakan bahwa setiap peristiwa mempunyai sebab.
[2] Hukum
keniscayaan yang menyatakan bahwa setiap sebab niscaya melahirkan akibat
alamiahnya dan bahwa tidak mungkin akibat terpisah dari sebabnya.
[3] Hukum keselarasan
antara sebab dan akibat yang menyatakan bahwa setiap himpunan alam yang secara
esensial mesti selaras, mesti pula selaras dengan sebab dan akibatnya.
Dalam ketiga komponen
teori ilmiah dan kausalitas ini menurut Sadr tidak bisa dipisahkan karena
sangat erat kaitannya satu sama lain. dalam mengungkapkan teori ilmiah yang
berhubungan dengan eksperimen ilmu pengetahuan alam, karena para ilmuan
menafikan adanya sebuah kebetulan dan hanya mempercayai hukum sebab akibat yang
sangat mendukung argumentasi mereka secara general. Oleh karena itu ilmu
pengetahuan secara umum menganggap prinsip kausalitas dan kedua hukumnya
berkaitan erat yaitu berupa hukum keniscayaan dan hukum keselarasan. Dan dapat
diterima sebagai kebenaran-kebenaran yang secara mendasar dan menerimanya
sebelum teori dan hukum eksperimental terhadap ilmu-ilmu pengetahuan.[15]
sebagai contoh sadr
mengambil teori eksperimen seorang ilmuan terhadap roda-roda mobil kayu dimana
di antara roda-roda itu kerangka-kerangka besi yang lebih kecil dibandingkan
bila dalam keadaan panas. Dan bila didinginkan kerangka-kerangka besi itu akan
mengerut dan akan mengetup diroda-roda kayu. sadr menganggap bahwa para ilmuan ini telah berkali-kali menguji
eksperimenya yang pada akhir eksperimennya tidak akan bisa lepas dari
pertanyaan selama anda tidak mencakup segala benda tertentu, maka bagaimana
bisa anda mempercayai bahwa kerangka-kerangka besi lain yang tidak anda uji itu
juga bisa memuai karena panas? Jawaban satu-satunya atas pertanyaan tersebut
adalah prinsip dan hukum-hukum kausalitas, akal yang tidak mau menerima
keserampangan dan kebetulan.
Tetapi menerangkan alam
semesta berdasarkan kausalitas dan hukum-hukumnya. Termasuk hukum keselarasan
dan keniscayaan, mendapati dan eksperimen-eksperimen yang terbatas, dari contoh
ini telah jelas alasan untuk menerima teori umum yang menyataka: benda-benda di
alam bisa memuai karena panas, artinya ilmuan hanya mengambil kesimpulan secara
umum dari beberapa benda yang bisa memuai karena panas seperti besi dan benda
jenis logam lainnya, karena ada zat yang menyelaraskan antara zat panas dan
besi. Dengan catatan tidak semua benda bisa memuai karena panas seperti kayu.
[3] Kausalitas dan inferensia
Ketika kita ingin
memberikan sebuah pembuktian terhadap suatu eksperimen, menurut Shadr baik
dengan cara filsafat maupun melalui teori empiris pada dasarnya kita hanya
berusaha agar bukti tersebut menjadi sebab diketahuinya suatu kebenaran itu.
kalau tidak dengan prinsip kausalitas itu, tentulah kita tidak mendapatkan hal
ini. jadi setiap pemaparan sangat bergantung pada diterimanya prinsip
kausalitas. Bahkan penolakan terhadap prinsip kausalitas yang telah di utarakan
oleh para filosof dan ilmuan juga berdasarkan prinsip kausalitas.
Dari uraian diatas sadr
menyimpulkan:
[1] Menurutnya
prinsip kausalitas tidak mungkin dibuktikan dan dipaparkan secara empirik.
Karena indra tidak mendapatkan sifat objektif.
[2] Prinsip
kausalitas bukanlah teori ilmiah eksperimental, tetapi ia adalah hukum filsafat
rasional di atas eksperimen. Karena semua teori ilmiah tergantung pada prinsip
kausalitas.
[3] Prinsip kausalitas
tidak mungkin ditolak dengan hujah apapun karena setiap usaha seperti ini
justru menyebabkan pengakuan tehadap prinsip kausalitas ini.
Selanjutnya hal yang
sangat penting dalam karyanya falsafatuna
Shadr memaparkan empat teori penting yang berhubungan dengan prinsip kausalitas
untuk menepis pemahaman kaum empiris dan matrealis yang menafikan adanya sebab
utama dari sebab-sebab yang ada didunia ini yaitu Allah. Teori ini diawali
shadr dengan mempertanyakan: Mengapa segala sesuatu butuh sebab-sebab?[16]
Teori pertama: Teori
Wujud (eksistensi)
Teori ini menyatakan bahwa
agar wujud itu maujud ia membutuhkan sebab. Kebutuhan itu adalah esensial bagi
wujud. Karena itu tidaklah mungkin kita mengkonsepsikan wujud yang bebas dari
kebutuhan tersebut, karena kebutuhan tersebut adalah misteri yang tersembunyi
didalam kemaujudan terdalam wujud. Akibatnya adalah bahwa setiap wujud adalah
bersebab.
Teori kedua:
Teori penciptaan
Yaitu teori yang
menganggap bahwa butuhnya segala sesuatu akan sebabnya itu bersandarkan pada
penciptaan hal-hal itu. ledakan, gerakan dan panas misalnya menuntut adanya
sebab semua itu adalah hal-hal yang terjadi (ada) sesudah tidak ada. Jadi
pemaujudannya yang membutuhkan sebab dan yang merupakan pendorong utama yang
membuat kita melontarkan pertanyaan: “mengapa ia ada”? berkenaan dengan setiap
realitas yang ada bersama kita di dalam alam semesta ini. berdasarkan teori
tersebut prinsip kausalitas menjadi terbatas pada peristiwa-peristiwa tertentu,
jika sesuatu itu maujud secara terus menerus dan permanen dan tidak mengada
sesudah tidak ada, maka padanya tidak akan terdapat kebutuhan akan sebab dan
tidak akan masuk kedalam alam khas kausalitas.
Teori ini berlebihan dalam
membatasi kaualitas dan ia tidak memiliki pembenaran dari segala filsafat.
Karena pengadaan hangat itu membutuhkan sebab, maka memperpanjang hangat itu
(terus-menerus) tidak cukup untuk membebaskannya dari kebutuhan ini. karena
pemanjangannya akan menjadikan kita mempertanyakan lagi sebabnya, sejauh
manapun proses perpanjangan itu.
Teori ketiga:
Teori Kemungkinan Esensial dan Kemungkinan Eksistensial
Dua teori ini menyatakan
bahwa yang membuat sesuatu membutuhkan sebab adalah kemungkinan. Namun masing-masing
teori itu memiliki pahamnya sendiri-sendiri tentang kemungkinan yang berbeda
satu dengan yang lainnya. Perbedaan antara keduanya itu adalah manifestasi
perbedaan filisofis yang sangat dalam sekitar esensi dan wujud. Dalam teori
ketiga ini Sadr mengutip pendapat filosof Islam Sadruddin Asy-Syirazi yang
menyatakan, tidak ada keraguan bahwa kausalitas adalah hubungan antara dua
wujud yaitu sebab dan akibat. Dia adalah semacam hubungan antara dua hal.
Hubungan itu memiliki beberapa macam dan corak. Hal ini dicontohkan: pelukis
berhubungan dengan kanvas yang ia melukis diatasnya. Penulis berhubungan dengan
pena yang ia menulis dengannya. Pembaca berhubungan dengan buku yang dibacanya.
Teori keempat:
Fluktuasi Antara Prinsip Kontradiksi dan Kausalitas
Dengan teori ini Shadr
bermaksud menjelasnya bahwa setiap fenomena di alam semesta bisa dijelaskan
tanpa melibatkan sebab-sebab yang lebih tinggi, misalnya intervensi Tuhan.[17] Kehidupan
dan sejarah, seperti dikatakan Shadr tidak bisa dilepaskan sepenuhnya dari
ketidak pastian antara kontradiksi-kontradiksi dialektika. Sebagai dialektika
ia menekankan bahwa pertumbuhan dan perkembangan timbul dari
kontradiksi-kontradiksi dalam (internal). Sebagai contoh, adanya
kontradiksi-kontradiksi internal di dalam maujud terdalam fenomena sosial
adalah cukup untuk perkembangan fenomena itu dalam gerak yang dinamik.
Beberapa aspek dari
pemikiran Shadr tentang kausalitas yang menarik disimak antara lain
kontribusinya dalam memberi warna pada pembaharuan pemikiran Islam kontemporer.
Tidak mengikuti para filosof Islam klasik, penjelasan Shadr tentang kausalitas
tidak hanyut dalam ranah teologik dan metafisik, tetapi lebih dekat pada
realitas sosial dan perkembangan ilmu pengetahuan modern. Ia mengkritik
pendirian empirisme dan materialisme dalam prinsip kausalitas dengan mengatakan
bahwa inderawi saja tidak cukup untuk mengungkapkan adanya realitas objektif.
Dalam hal pembaharuan
pemikiran Islam, Shadr mengemukakan kritiknya dengan mangatakan, yang salah
satunya, bahwa dalam fenomena-fenomena di alam semesta intervensi Tuhan tidak
berlaku secara mutlak. Hal itu karena secara kausalitas dapat dijelaskan
perkembangan dan pertumbuhan timbul dari adanya kontradiksi-kontradiksi
dialektis dalam proses alamiah. Semua itu, dimaksudkan bukan hanya dalam rangka
merespon perkembangan pemikiran manusia dalam sains tetapi berperan memberikan
kiritik-kritik terhadap jalannya sains yang cenderung lari dari kenyataan
metafisik.
[1]
Al-Ghazali, Tahafut Al Falasifah
Kerancuan Para Filosuf, diterjemahkan dari judul asli Tahafut al-Falasifah oleh Ahmadie Thaha, (Jakarta: Panjimas, 1986),
h. 199; lihat juga Sirajuddin Zar, Filsafat
Islam: Filosof dan filsafatnya, (Jakarta: PT: Raja Grafindo Persada, 2007),
h. 174
[2] Sirajuddin Zar, Filsafat
Islam, Ibid, h. 232
[3] Mu’jizat al barraniy
adalah mu’jizat yang diberikan kepada seorang nabi, tetapi tidak sesuai dengan
risalah kenabiannya. Mu’jizat jenis ini boleh jadi pada suatu waktu akan dapat
diungkapkan oleh ilmu pengetahuan. Ketika ilmu pengetahuan dapat mengungkapnya,
ia tidak lagi dipandang sebagai mu’jizat. Mu’jizat al jawwaniy adalah mu’jizat yang diberikan kepada seorang nabi yang
sesuai dengan risalah kenabiannya. Mu’jizat jenis inilah mu’jizat yang
sesungguhnya, karena tidak akan dapat diungkapkan oleh ilmu pengetahuan manapun
dan kapanpun. Ibid, h. 237
[4] Chibli Mallat, Menyegarkan
Islam: Kajian Konprehensif Pertama Atas Hidup Dan Karya Muhammad Baqir Ash
Shadr, terj, dari judul asli: The
Renewal Of Islamic law, (Bandung: Mizan, 2001),h.26
[5] Ibid, 27
[6] Muhammad Baqir Ash Shadr,
Falsafatuna: Pandangan Muhammad Baqir Ash Shadr Terhadap Berbagai Aliran
Filsafat Dunia, terj, (Bandung: Mizan, 1993), h. 11
[7] Ibid, h.12
[8] John M. Echols & Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 2003), h. 103
[9] Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta:
Hidakarya Agung, 1989), h. 161
[10] Samir ‘Azzam, Kaidah Kausalitas dan Peranannya dalam
Kehidupan Muslim, artikel internet
[11] Lorens Bagus, Kamus
Filsafat, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Agama:1996), h. 399
[12] Sirajuddin Zar,op.cit.,
h. 175
[13] Ibid,h. 232
[14] Ibid, h. 233
[15] Muhammad Baqir Ash Sadr, Falsafatuna, op.cit.,h.211
[16] Ibid, h. 216
[17] Ibid, h. 221
Menarik, sangat..
BalasHapus