Rabu, 03 September 2014

Syi’ah al Islam



Oleh Allamah Husain Thabathaba’i

Prolog

Buku yang berjudul Shi’eh dar Islam (Syi‘ah Dalam Islam) ini ingin menjelaskan substansi mazhab Syi‘ah yang sebenarnya sebagai salah satu dari dua mazhab besar Islam (Syi‘ah dan Ahli Sunah). Sejarah kemunculan Syi‘ah, perkembangan Syi‘ah, metode pemikiran Syi‘ah, dan pengetahuan-pengetahuan Islam dalam pandangan Syi‘ah adalah fokus pembahasan buku ini.

a. Agama

Tak syak lagi bahwa setiap orang dalam kehidupannya —secara fitrah— memiliki kecenderungan kepada sesamanya. Di lingkungan sosial dan kehidupan, ia melakukan aktivitas-aktivitas secara kolektif dan seluruh aktivitas yang dilakukannya selalu berhubungan antara satu dengan yang lainnya.

Seluruh aktivitas manusia, seperti makan, minum, tidur, bangun, berucap, mendengarkan, duduk, berjalan, dan berhubungan dengan sesamanya memiliki relasi yang sempurna, meskipun secara lahiriah terpisah antara yang satu dengan yang lainnya. Setiap aktivitas tidak dapat dilakukan di setiap tempat dan setelah melakukan setiap aktivitas yang lain. Bahkan, dalam hal ini terdapat sebuah sistem (yang mendominasi).

Dengan demikian, seluruh aktivitas yang dilakukan oleh manusia dalam dunia kehidupannya mengikuti sebuah sistem tidak dapat ia langgar. Pada hakikatnya, seluruh aktivitas tersebut bersumber dari sebuah muara. Muara itu adalah keinginannya untuk memiliki sebuah kehidupan yang bahagia; kehidupan yang dapat mewujudkan seluruh keberhasilan, cita-cita, dan keinginannya. Dengan kata lain, dari sisi keabadian wujud, ia ingin —semampu mungkin— untuk memenuhi seluruh kebutuhannya secara lebih sempurna (sehingga ia dapat hidup lebih abadi).

Berangkat dari sini, manusia selalu ingin mengakomodasikan seluruh perilakunya dengan undang-undang yang dibuatnya sendiri atau diambil dari orang lain, dan ingin menjalankan metode tertentu dalam hidupnya. Ia bekerja untuk menyediakan seluruh sarana kehidupan, karena ia menganggap penyediaan sarana tersebut sebagai sebuah undang-udang (hidup). Ia makan dan minum untuk mencapai sebuah kelezatan, menghilangkan rasa lapar dan dahaga, karena ia melihat makan dan minum demi kelangsungan dirinya adalah suatu yang urgen. Dan demikian seterusnya.

Undang-undang dan seluruh peraturan yang mendominasi kehidupan manusia berlandaskan pada sebuah keyakinan (aqîdah) yang fundamental. Ia selalu berpegang teguh kepadanya dalam menjalani kehidupan ini. Keyakinan itu adalah gambaran yang ia miliki tentang dunia semesta di mana ia sendiri termasuk salah satu dari partikelnya dan juga sikap yang diambil dalam (menafsirkan) hakikatnya. Dan masalah ini dapat menjadi jelas dengan kita merenungkan seluruh pemikiran dan pendapat berbeda yang dimiliki oleh umat manusia tentang hakikat alam semesta.

Sebagian orang berkeyakinan bahwa alam semesta hanyalah dunia materi yang dapat diindra semata. Manusia adalah sebuah fenomena yang —seratus persen— bersifat materi. Ia akan ada dengan peniupan ruh kepadanya dan akan binasa dengan datangnya ajal. Dengan keyakinan seperti ini, metode mereka dalam menjalani hidup ini hanya berkisar pada pemenuhan seluruh keinginan materi dan kelezatan duniawi yang hanya berusia seumur jagung. Seluruh usaha mereka akan dikerahkan untuk menundukkan seluruh faktor dan kekuatan alam (materi) terhadap diri mereka.

Ada juga sebagian orang seperti para penyembah berhala yang berkeyakinan bahwa alam semesta ini diciptakan oleh tuhan yang lebih tinggi dari (hakikat)nya. Di samping telah menciptakan alam semesta, tuhan itu juga menciptakan manusia secara khusus dan mencurahkan segala nikmat kepadanya sehingga ia dapat menikmati seluruh kebaikan yang telah diberikan oleh tuhan tersebut. Dengan keyakinan seperti ini, mereka akan mengatur program kehidupan sedemikian rupa sehingga mereka dapat membahagiakan tuhan itu dan menghindari segala perilaku yang dapat mendatangkan kemurkaannya. Mereka berkeyakinan bahwa jika mereka dapat membahagiakannya, niscaya ia akan menambah dan mengabadikan nikmat tersebut. Tetapi jika mereka membuatnya murka, niscaya ia akan mencabut seluruh nikmat tersebut dari tangan mereka.

Kelompok ketiga hanya beriman kepada Allah. Di samping itu, mereka juga meyakini bahwa ada sebuah kehidupan yang abadi bagi manusia, dan juga hari hisab dan pemberian pahala. Dalam kehidupan ini, ia harus bertanggung jawab atas segala perbuatannya, baik yang baik maupun yang buruk. Mereka ini seperti para pengikut agama Majusi, Yahudi, Kristen, dan Islam.
Berdasarkan keyakinan tersebut, mereka pasti akan memilih sebuah jalan dalam kehidupan ini yang dapat menjamin perealisasian fondasi keyakinan tersebut dan mewujudkan kebahagiaan di dunia ini dan dunia akhirat kelak.

Kumpulan keyakinan tentang hakikat manusia dan alam semesta, serta seluruh undang-undang yang sesuai dengannya dan dipraktikkan dalam menjalani kehidupan ini disebut “agama”. Jika terdapat cabang dalam agama tersebut, cabang itu disebut “mazhab”, seperti mazhab Syi‘ah dan Ahli Sunah dalam Islam, dan mazhab Malkânî dan Nasthûrî dalam Kristen.

Atas dasar ini, meskipun seseorang tidak meyakini adanya Tuhan, tetapi ia tidak pernah merasa tidak membutuhkan “agama” (program kehidupan yang berdiri tegak di atas sebuah fondasi keyakinan). Oleh karena itu, agama adalah metode menjalani kehidupan, dan ia tidak pernah terpisah dari kehidupan tersebut.

Al-Qur’an meyakini bahwa manusia tidak dapat melarikan diri dari “agama”. Agama adalah jalan yang telah dibuka oleh Allah swt untuk manusia sehingga ia dapat menggapai kebahagiaan dengan mengamalkan seluruh ajarannya. Hanya saja, mereka yang bersedia menerima agama yang benar (Islam), sesungguhnya mereka telah meniti jalan Allah. Akan tetapi, mereka yang tidak menerima agama yang benar tersebut, maka mereka telah menyeleweng dari jalan Allah dan meniti jalan yang salah.[1]

b. Islam

Secara leksikal, Islam berarti menyerahkan diri. Al-Qur’an menamakan setiap agama yang mengajak kepada penyerahan diri dengan “Islam”. Hal itu lantaran seluruh program agama ini berkisar pada penyerahan diri manusia kepada Tuhan semesta alam.[2] Dengan penyerahan diri tersebut, ia tidak akan menyembah selain Allah Yang Maha Esa dan tidak menaati selain perintah-Nya. Al-Qur’an menegaskan bahwa orang pertama yang menamakan agama ini dengan “Islam” dan menamakan para pemeluknya dengan “muslim” adalah Nabi Ibrahim as.[3]

c. Syi‘ah

Secara leksikal, “Syi‘ah” berarti pengikut. Syi‘ah meyakini bahwa kekhalifahan Rasulullah saw adalah hak khusus keluarga risalah. Dalam menyelami pengetahuan Islam, mereka mengikuti ajaran Ahlul Bait as.[4]

Catatan:

[1] “… kutukan Allah ditimpakan kepada orang-orang zalim, [yaitu] orang-orang yang menghalang-halangi [manusia] dari jalan Allah dan menginginkan agar jalan itu bengkok ….” (QS. Al-A‘râf [7]: 44-45)
[2] “Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang ia pun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus ….?” (QS. An-Nisâ’ [4]: 125)
“Katakanlah, ‘Hai ahli kitab! Marilah [berpegang] kepada suatu kalimat [ketetapan] yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun, serta tidak [pula] sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah.’ Jika mereka berpaling, maka katakanlah kepada mereka, ‘Saksikanlah bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri [kepada Allah].’” (QS. Ali ‘Imran [3]: 64)
“Hai orang-orang yang beriman! Masuklah ke dalam Islam [penyerahan diri] secara keseluruhan ….” (QS. Al-Baqarah [2]: 208)
[3] “Ya Tuhan kami! Jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada-Mu dan [jadikanlah] di antara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada-Mu ….” (QS. Al-Baqarah [2]: 128)
“[Ikutilah] agama orang tuamu, Ibrahim. Ia telah menamai kamu semua orang-orang muslim [berserah diri] ….” (QS. Al-Hajj [22]: 78)
[4] Sebagian golongan mazhab Zaidiyah yang masih meyakini kekhalifahan dua orang khalifah sebelum Ali as. dan mengamalkan fiqih Abu Hanifah dalam Furu’uddin juga dinamakan “Syi‘ah”. Hal itu lantaran mereka meyakini bahwa kekhalifahan hanya milik Ali dan keturunan beliau, ketika mereka berhadapan dengan Bani Umaiyah dan Bani Abasiah. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar