Senin, 29 Desember 2014

Arti dan Fungsi Ruang Terbuka Hijau

 (Foto: Isfahan, Iran Tahun 1694) 

Ruang terbuka hijau adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam. 

Penyediaan dan pemanfaatan RTH dalam RTRW Kota/RDTR Kota/RTR Kawasan Strategis Kota/RTR Kawasan Perkotaan, dimaksudkan untuk menjamin tersedianya ruang yang cukup bagi:  

Kawasan konservasi untuk kelestarian hidrologis; Kawasan pengendalian air larian dengan menyediakan kolam retensi; Area pengembangan keanekaragaman hayati; Area penciptaan iklim mikro dan pereduksi polutan di kawasan perkotaan; Tempat rekreasi dan olahraga masyarakat; Tempat pemakaman umum; Pembatas perkembangan kota ke arah yang tidak diharapkan; Pengamanan sumber daya baik alam, buatan maupun historis; Penyediaan RTH yang bersifat privat, melalui pembatasan kepadatan serta kriteria pemanfaatannya; Area mitigasi/evakuasi bencana; dan Ruang penempatan pertandaan (signage) sesuai dengan peraturan perundangan dan tidak mengganggu fungsi utama RTH tersebut.

Istilah dan Definisi

Elemen lansekap, adalah segala sesuatu yang berwujud benda, suara, warna dan suasana yang merupakan pembentuk lansekap, baik yang bersifat alamiah maupun buatan manusia. Elemen lansekap yang berupa benda terdiri dari dua unsur yaitu benda hidup dan benda mati; sedangkan yang dimaksud dengan benda hidup ialah tanaman, dan yang dimaksud dengan benda mati adalah tanah, pasir, batu, dan elemen-elemen lainnya yang berbentuk padat maupun cair. 

Garis sempadan, adalah garis batas luar pengaman untuk mendirikan bangunan dan atau pagar yang ditarik pada jarak tertentu sejajar dengan as jalan, tepi luar kepala jembatan, tepi sungai, tepi saluran, kaki tanggul, tepi situ/rawa, tepi waduk, tepi mata air, as rel kereta api, jaringan tenaga listrik, pipa gas. 

Hutan kota, adalah suatu hamparan lahan yang bertumbuhan pohon-pohon yang kompak dan rapat di dalam wilayah perkotaan baik pada tanah negara maupun tanah hak, yang ditetapkan sebagai hutan kota oleh pejabat yang berwenang. 

Jalur hijau, adalah jalur penempatan tanaman serta elemen lansekap lainnya yang terletak di dalam ruang milik jalan (RUMIJA) maupun di dalam ruang pengawasan jalan (RUWASJA). Sering disebut jalur hijau karena dominasi elemen lansekapnya adalah tanaman yang pada umumnya berwarna hijau.

Kawasan, adalah kesatuan geografis yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek fungsional serta mempunyai fungsi utama tertentu.

Kawasan perkotaan, adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat pemukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi.

Koefisien Dasar Bangunan (KDB), adalah angka persentase perbandingan antara luas seluruh lantai dasar bangunan gedung dan luas lahan/tanah perpetakan/daerah perencanaan yang dikuasai sesuai rencana tata ruang dan rencana tata bangunan dan lingkungan.

Koefisien Daerah Hijau (KDH), adalah angka persentase perbandingan antara luas seluruh ruang terbuka di luar bangunan gedung yang diperuntukkan bagi pertamanan/penghijauan dan luas tanah perpetakan/daerah perencanan yang dikuasai sesuai rencana tata ruang dan rencana tata bangunan dan lingkungan.

Lansekap jalan, adalah wajah dari karakter lahan atau tapak yang terbentuk pada lingkungan jalan, baik yang terbentuk dari elemen lansekap alamiah seperti bentuk topografi lahan yang mempunyai panorama yang indah, maupun yang terbentuk dari elemen lansekap buatan manusia yang disesuaikan dengan kondisi lahannya. Lansekap jalan ini mempunyai ciri-ciri khas karena harus disesuaikan dengan persyaratan geometrik jalan dan diperuntukkan terutama bagi kenyamanan pemakai jalan serta diusahakan untuk menciptakan lingkungan jalan yang indah, nyaman dan memenuhi fungsi keamanan.

Penutup tanah, adalah semua jenis tumbuhan yang difungsikan sebagai penutup tanah.

Peran masyarakat, adalah berbagai kegiatan masyarakat, yang timbul atas kehendak dan keinginan sendiri di tengah masyarakat sesuai dengan hak dan kewajiban dalam penyelenggaraan penataan ruang.

Perdu, adalah tumbuhan berkayu dengan percabangan mulai dari pangkal batang dan memiliki lebih dari satu batang utama.

Pohon, adalah semua tumbuhan berbatang pokok tunggal berkayu keras.

Pohon kecil, adalah pohon yang memiliki ketinggian sampai dengan 7 meter.

Pohon sedang, adalah pohon yang memiliki ketinggian dewasa  7-12 meter.

Pohon besar, adalah pohon yang memiliki ketinggian dewasa lebih dari 12 meter.

Ruang terbuka, adalah ruang-ruang dalam kota atau wilayah yang lebih luas baik dalam bentuk area/kawasan maupun dalam bentuk area memanjang/jalur dimana dalam penggunaannya lebih bersifat terbuka yang pada dasarnya tanpa bangunan. Ruang terbuka terdiri atas ruang terbuka hijau dan ruang terbuka non hijau.

Ruang Terbuka Hijau (RTH), adalah area memanjang/jalur dan atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh tanaman secara alamiah maupun yang sengaja ditanam.

Ruang terbuka non hijau, adalah ruang terbuka di wilayah perkotaan yang tidak termasuk dalam kategori RTH, berupa lahan yang diperkeras maupun yang berupa badan air.

Ruang terbuka hijau privat, adalah RTH milik institusi tertentu atau orang perseorangan yang pemanfaatannya untuk kalangan terbatas antara lain berupa kebun atau halaman rumah/gedung milik masyarakat/swasta yang ditanami tumbuhan.

Ruang terbuka hijau publik, adalah RTH yang dimiliki dan dikelola oleh pemerintah daerah kota/kabupaten yang digunakan untuk kepentingan masyarakat secara umum.

Sabuk hijau (greenbelt), adalah RTH yang memiliki tujuan utama untuk membatasi perkembangan suatu penggunaan lahan atau membatasi aktivitas satu dengan aktivitas lainnya agar tidak saling mengganggu.

Semak, adalah tumbuhan berbatang hijau serta tidak berkayu disebut sebagai herbaseus.

Tajuk, adalah bentuk alami dari struktur percabangan dan diameter tajuk.

Taman kota, adalah lahan terbuka yang berfungsi sosial dan estetik sebagai sarana kegiatan rekreatif, edukasi atau kegiatan lain pada tingkat kota.

Taman lingkungan, adalah lahan terbuka yang berfungsi sosial dan estetik sebagai sarana kegiatan rekreatif, edukasi atau kegiatan lain pada tingkat lingkungan.

Tanaman penutup tanah, adalah jenis tanaman penutup permukaan tanah yang bersifat selain mencegah erosi tanah juga dapat menyuburkan tanah yang kekurangan unsur hara. Biasanya merupakan tanaman antara bagi tanah yang kurang subur sebelum penanaman tanaman yang tetap (permanen).

Tanggul, adalah bangunan pengendali sungai yang dibangun dengan persyaratan teknis tertentu untuk melindungi daerah sekitar sungai terhadap limpasan air sungai.

Vegetasi/tumbuhan, adalah keseluruhan tetumbuhan dari suatu kawasan baik yang berasal dari kawasan itu atau didatangkan dari luar, meliputi pohon, perdu, semak, dan rumput.

Wilayah, adalah kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait padanya, yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan kondisi geografis.

Fungsi RTH
RTH memiliki fungsi sebagai berikut:

Fungsi utama (intrinsik) yaitu fungsi ekologis:  memberi jaminan pengadaan RTH menjadi bagian dari sistem sirkulasi udara (paru-paru kota); pengatur iklim mikro agar sistem sirkulasi udara dan air secara alami dapat berlangsung lancar;  sebagai peneduh; produsen oksigen;  penyerap air hujan; penyedia habitat satwa; penyerap polutan media udara, air dan tanah, serta; penahan angin.   

Fungsi tambahan (ekstrinsik) yaitu: 
Fungsi sosial dan budaya: menggambarkan ekspresi budaya lokal; merupakan media komunikasi warga kota; tempat rekreasi; wadah dan objek pendidikan, penelitian, dan pelatihan dalam mempelajari alam. 

Fungsi ekonomi: sumber produk yang bisa dijual, seperti tanaman bunga, buah, daun, sayur mayur; bisa menjadi bagian dari usaha pertanian, perkebunan, kehutanan dan lain-lain. 

Fungsi estetika:meningkatkan kenyamanan, memperindah lingkungan kota baik dari skala mikro: halaman rumah, lingkungan permukimam, maupun makro: lansekap kota secara keseluruhan; menstimulasi kreativitas dan produktivitas warga kota; pembentuk faktor keindahan arsitektural; menciptakan suasana serasi dan seimbang antara area terbangun dan tidak terbangun. 

Dalam suatu wilayah perkotaan, empat fungsi utama ini dapat dikombinasikan sesuai dengan kebutuhan, kepentingan, dan keberlanjutan kota seperti perlindungan tata air, keseimbangan ekologi dan konservasi hayati.

Manfaat RTH

Manfaat RTH berdasarkan fungsinya dibagi atas:  

Manfaat langsung (dalam pengertian cepat dan bersifat tangible), yaitu membentuk keindahan dan kenyamanan (teduh, segar, sejuk) dan mendapatkan bahan-bahan untuk dijual (kayu, daun, bunga, buah);  

Manfaat tidak langsung (berjangka panjang dan bersifat intangible), yaitu pembersih udara yang sangat efektif, pemeliharaan akan kelangsungan persediaan air tanah, pelestarian fungsi lingkungan beserta segala isi flora dan fauna yang ada (konservasi hayati atau keanekaragaman hayati). 

Tipologi RTH
Tipologi Ruang Terbuka Hijau (RTH) adalah sebagai berikut:

Fisik : RTH dapat dibedakan menjadi RTH alami berupa habitat liar alami, kawasan lindung dan taman-taman nasional serta RTH non alami atau binaan seperti taman, lapangan olahraga, pemakaman atau jalur-jaur hijau jalan. 

Fungsi : RTH dapat berfungsi ekologis, sosial budaya, estetika, dan ekonomi.

Struktur ruang : RTH dapat mengikuti pola ekologis (mengelompok, memanjang, tersebar), maupun pola planologis yang mengikuti hirarki dan struktur ruang perkotaan. 

Kepemilikan : RTH dibedakan ke dalam RTH publik dan RTH privat.

Penyediaan RTH
Penyediaan RTH di Kawasan Perkotaan dapat didasarkan pada: Luas wilayah. Jumlah penduduk. Kebutuhan fungsi tertentu.

Penyediaan RTH Berdasarkan Luas Wilayah


Penyediaan RTH berdasarkan luas wilayah di perkotaan adalah sebagai berikut: ruang terbuka hijau di perkotaan terdiri dari RTH Publik dan RTH privat; proporsi RTH pada wilayah perkotaan adalah sebesar minimal 30% yang terdiri dari 20% ruang terbuka hijau publik dan 10% terdiri dari ruang terbuka hijau privat; apabila luas RTH baik publik maupun privat di kota yang bersangkutan telah memiliki total luas lebih besar dari peraturan atau perundangan yang berlaku, maka proporsi tersebut harus tetap dipertahankan keberadaannya. Proporsi 30% merupakan ukuran minimal untuk menjamin keseimbangan ekosistem kota, baik keseimbangan sistem hidrologi dan keseimbangan mikroklimat, maupun sistem ekologis lain yang dapat meningkatkan ketersediaan udara bersih yang diperlukan masyarakat, serta sekaligus dapat meningkatkan nilai estetika kota. 

Penyediaan RTH Berdasarkan Jumlah Penduduk

Untuk menentukan luas RTH berdasarkan jumlah penduduk, dilakukan dengan mengalikan antara jumlah penduduk yang dilayani dengan standar luas RTH per kapita sesuai peraturan yang berlaku.  250 jiwa : Taman RT, di tengah lingkungan RT. 2500 jiwa : Taman RW, di pusat kegiatan RW. 30.000 jiwa : Taman Kelurahan, dikelompokan dengan sekolah/ pusat kelurahan . 120.000 jiwa : Taman kecamatan, dikelompokan dengan sekolah/ pusat kecamatan . 480.000 jiwa : Taman Kota di Pusat Kota, Hutan Kota (di dalam/kawasan pinggiran), dan Pemakaman (tersebar).

Penyediaan RTH Berdasarkan Kebutuhan Fungsi Tertentu

Fungsi RTH pada kategori ini adalah untuk perlindungan atau pengamanan, sarana dan prasarana misalnya melindungi kelestarian sumber daya alam, pengaman pejalan kaki atau membatasi perkembangan penggunaan lahan agar fungsi utamanya tidak teganggu.

RTH kategori ini meliputi: jalur hijau sempadan rel kereta api, jalur hijau jaringan listrik tegangan tinggi, RTH kawasan perlindungan setempat berupa RTH sempadan sungai, RTH sempadan pantai, dan RTH pengamanan sumber air baku/mata air

Ketentuan prosedur perencanaan RTH adalah sebagai berikut: penyediaan RTH harus disesuaikan dengan peruntukan yang telah ditentukan dalam rencana tata ruang (RTRW Kota/RTR Kawasan Perkotaan/RDTR Kota/RTR Kawasan Strategis Kota/Rencana Induk RTH) yang ditetapkan oleh pemerintah daerah setempat; penyediaan dan pemanfaatan RTH publik yang dilaksanakan oleh pemerintah disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku; tahapan penyediaan dan pemanfaatan RTH publik meliputi: perencanaan;  pengadaan lahan; perancangan teknik;  pelaksanaan pembangunan RTH;  pemanfaatan dan pemeliharaan. Penyediaan dan pemanfaatan RTH privat yang dilaksanakan oleh masyarakattermasuk pengembang disesuaikan dengan ketentuan perijinan pembangunan; 

pemanfaatan RTH untuk penggunaan lain seperti pemasangan reklame (billboard) atau reklame 3 dimensi, harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut: 

mengikuti peraturan dan ketentuan yang berlaku pada masing-masing  daerah; tidak menyebabkan gangguan terhadap pertumbuhan tanaman misalnya menghalangi penyinaran matahari atau pemangkasan tanaman yang dapat merusak keutuhan bentuk tajuknya; tidak mengganggu kualitas visual dari dan ke RTH; memperhatikan aspek keamanan dan kenyamanan pengguna RTH; tidak mengganggu fungsi utama RTH yaitu fungsi sosial, ekologis dan estetis. 


Rabu, 17 Desember 2014

Benarkah Agama Menyebabkan Tindakan Kekerasan?




Oleh KH. DR. Jalaluddin Rakhmat, M.Sc

“Jika aku bisa mengayunkan tongkat sihirku dan harus memilih apakah melenyapkan perkosaan atau agama, aku tidak akan ragu-ragu lagi untuk melenyapkan agama, ”  tulis Sam Harris, tokoh yang dianggap salah satu oknum dalam the Unholy Trinity of Atheism.  Dua orang oknum lainnya adalah Daniel Dennett dan Richard Dawkins.  Mereka sepakat bahwa agama sudah semestinya ditinggalkan manusia bukan karena alasan teologis, tetapi  -masih kata Harris- “agama telah menjadi sumber kekerasan sekarang ini dan pada setiap zaman di masa yang lalu”[i]

Doktrin bahwa agama menyebabkan tindakan kekerasan telah melahirkan ateis lebih banyak dari aliran pemikiran fislafat mana pun “Religion makes enemy instead of friends. That one word, ‘religion’ covers all the horizon of memory with visions of war, of outrage, of persecution, of tyranny, and death,” Ingersoll, ateis Amerika yang terkenal itu menjelaskan. Setelah itu, para ateis internasional mengumpulkan setumpuk data tentang keterlibatan agama dalam berbagai peperangan dalam sejarah.  Richard Dawkins membagi bab-bab dalam bukunya,  god is not great (semuanya dengan huruf kecil) berdasarkan kontribusi setiap agama pada pembunuhan, peperangan, dan kekejaman.

Khusus tentang tindakan kekerasan kaum Muslim, kaum Fundamentalis Kristen memasukkan bensin pada bara yang sudah terbakar,. Dengan melupakan tindakan kekerasan umat Kristiani sendiri dalam sejarah, mereka hanya menunjuk Islam sebagai satu-satunya agama yang mengajarkan terorisme. Misalnya, pada bulan Oktober 2002, dalam acara nasional CBS, pendeta fundamentalist Kristen, Gerry Falwell, menyebut Nabi Muhammad saw sebagai teroris. Ia berteriak, ‘I think Mohammed was a terrorist. He … was a violent man, a man of war. In my opinion … I do believe that – Jesus set the example for love, as did Moses. And I think that Mohammed set an opposite example’ [ii] Dalam logika Falwell, tindakan kekerasan kaum Muslim sekarang ini bersumber dari Nabi Muhammad sendiri. Ia tidak mengutip satu pun hadis Nabi yang menganjurkan kekerasan. Ia tampaknya lupa bahwa umat Kristiani dari Eropa menumpas bangsa-bangsa untuk tiga G: Gold, Glory, dan Gospel. Tetapi kita tidak akan menuduh Yesus teroris walaupun  ia bersabda, “Jangan kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk membawa damai di atas bumi; Aku datang bukan untuk membawa damai, melainkan pedang.  Sebab Aku datang untuk memisahkan orang dari ayahnya, anak perempuan dari ibunya, menantu perempuan dari ibu mertuanya, dan musuh orang ialah orang-orang seisi rumahnya.”  (Matius 10:34-36).

Seperti Gerry Falwell, kaum ateis juga mengutip perilaku tokoh-tokoh agama dan kitab-kitab sucinya untuk menunjukkan bahwa agama mengilhami tindakan kekerasan.   Mereka mengajukan argumunetasi sebagai berikut: Agama menimbulkan perpecahan di antara manusia; “Aku datang untuk memisahkan orang”; Agama memberikan label untuk memisahkan satu kelompok dari kelompok yang lain; “without religion there would be no labels by which to decide whom to oppress, whom to avenge”;  Perang terjadi di antara kelompok dengan label yang berbeda;  kelompok yang mengikuti agama yang diridoi Allah dan kelompok yang dimurkai Dia; Karena itu agama adalah penyebab tersirat dari peperangan.

Penolakan yang paling sederhana dari kaum agamawan ialah kenyataan sejarah bahwa agama bukan hanya memecah-belah, agama juga mempersatukan.  Agama-agama besar seperti  Islam, Kristen, Hindu, Budha telah mempersatukan miliaran umat manusia dalam label yang sama. Penolakan yang lebih  mendalam –seperti yang dikemukakan  Milton-Edwards-  ialah menunjukkan dengan  data-data historis bahwa peperangan lebih banyak disebabkan karena  kepentingan ekonomis, persoalan etnis, isu kebangsaan (nasionalisme), dan terutama sekali masalah politik.  Dengan kata lain, tindakan kekerasan yang menimbulkan kehancuran bangsa dan negara lebih banyak disebabkan oleh sebab-sebab  “sekular”  ketimbang sebab-sebab agama.   Perang  Dunia I dan II tidak disebabkan karena perbedaan agama.  Konflik Israel- Palestina diketahui semua orang bukan perang antar agama.  Perang Amerika-Vietnam  yang berlarut-larut terjadi karena sebab-sebab “sekular” dan sama sekali tidak menyangkut agama.  Perang Iraq yang  mengambil korban jiwa dan harta yang tidak terhitung  ternyata –walaupun Bush mengaku sebagai “reborn Christian” yang dipanggil untuk menyelamatkan dunia- hanyalah War for Oil [iii] . Last  but not least, lebih banyak orang dibunuh dan dilenyapkan oleh rezim-rezim otoriter tanpa agama seperti Marxisme ketimbang oleh rezim-rezim “beragama”.

Tidak mudah memang untuk menentukan apakah agama menyebabkan tindakan kekerasan. Sering terjadi motif-motif keagamaan itu berada di balik atau dimanfaatkan oleh institusi-institusi sekular.  Untuk memastikan bahwa variabel independen dari tindakan kekerasan adalah agama, sebagai peneliti kita harus mendefinisikan secara operasional apa yang dimaksud dengan agama.  Di sinilah, para pemerhati agama dan kekerasan, juga kaum ateis, menabrak batu sandungan yang sangat besar.

Kerancuan Konseptual: Apa yang Disebut Agama?

Charles Kimball menulis When Religion Becomes Evil  dan mulai menulis kalimat pertamanya dengan “Sudah agak umum, tapi malangnya sangat benar, untuk mengatakan bahwa lebih banyak perang dilakukan, lebih banyak orang dibunuh, dan sekarang ini lebih banyak kejahatan dikerjakan atas nama agama ketimbang kekuatan institusional lainnya dalam sejarah umat manusia.” [iv] Tapi ia tidak mendefinisikan institusi agama untuk membedakannya dari institusi-institusi lainnya, seperti negara, kerajaan, suku bangsa.  Ia pernah meminta mahasiswa-mahasiswanya yang cerdas untuk menuliskan definisi agama. Mereka kebingungan. Menurut Kimball, “Jelas sekali mahasiswa-mahasiswa yang cerdas itu tahu apa yang disebut agama”; mereka hanya kesulitan mendefinisikannya.  Tapi alasan itu tidak bisa membenarkan penelitian kita  berlangsung tanpa obyek yang jelas.

Karena didesak keperluan untuk menghubungkan akibat (kekerasan) dengan sebab (agama),  para peneliti agama mengambil jalan pintas. Martin Marty yang menulis tentang agama publik menyebutkan lima karakteristik agama. Lucunya, ia juga menunjukkan bahwa lima tanda itu terdapat juga dalam institusi politik. Agama berkaitan dengan “ultimate concern”, begitu juga politik. Agama membangun komunitas, begitu pula politik.  Agama merujuk pada mitos dan simbol, politik juga memuja bendera, lagu kebangsaan, pahlawan. Agama menggunakan upacara-upacara suci, politik juga mengadakan berbagai upacara dan perayaan. Agama menuntut para pengikutnya untuk berperilaku yang tertentu, politik juga begitu [v] 

Ketika Kimball menyebut lima ciri agama yang sudah berubah menjadi kejahatan, kita menemukan ciri yang sama  “when politics becomes evil”.  Kalau institusi politik sudah memercayai kebenaran mutlak (absolute truth claims),  menuntut kepatuhan membuta (blind obedience), merencanakan masa depan yang gemilang (establishment of ideal times), menghalalkan segala cara (ends justify means), dan menyatakan perang suci (declaring holy war), politik itu sudah menjadi agama.

Mendefinisikan agama dengan karakteristiknya (yang tidak khas) memperluas kategori agama. Dengan begitu, setiap tindakan kekerasan yang dilakukan oleh institusi mana pun –termasuk negara dan partai politik- akan dinisbatkan kepada agama. Simaklah  argumentasi Harris tentang agama dan kekerasan.  Ia tidak menunjuk dengan jelas  bagaimana agama menyulut peperangan.  Dengan jujur, ia berkata, “These conflicts are not always explicitkly religious”. Walaupun begitu, dengan semangat,  ia membuat daftar peperangan yang dalam pandangannya didasarkan pada motif keagamaan. Saya mengambil sebagian saja: Palestina (Yahudi vs Muslim), Balkan (Serbia Orthodoks vs Bosnia Muslim), Irlandia Utara (Protestan vs Katholik), Kashmir (Muslim vs Hindu),  dan perang Iran-Iraq (menurut Harris, Syiah dan Sunni).  Menarik bahwa hampir setiap contoh yang dikemukakannya melibatkan kaum Muslim. Ia menghapus dari catatannya peperangan antara sesama umat Kristiani, sejak abad pertengahan sampai abad modern (misalnya, Perang Malvinas).

Jika kita belajar sejarah (sedikit saja), kita akan segera tahu bahwa konflik Palestina adalah konflik etnis (Yahudi yang terdiri dari 22.9 persen ateis, 21 persen sekular dan sisanya menganut agama Yahudi secara formal dan etnis  Arab yang terdiri dari Islam dan Kristen); bahwa konflik di Irlandia Utara disebabkan karena masalah etnis-politis, setelah Inggris mendirikan Perkebunan Ulster tahun 1609;  bahwa konflik bersenjata antara Pakistan dan India tentang Kashmir ditimbulkan oleh kebijakan  pemerintah kolonial Inggris, dan bukan karena anjuran Kitab Suci;   bahwa perang Iraq dan Iran dimulai dari perebutan wilayah, bukan karena perbedaan mazhab (terbukti setelah perang diketahui bahwa Syiah juga mayoritas di Iraq).

Lalu, mengapa Barat mempertahankan asumsi agama sebagai penyebab tindakan kekerasan.   Seakan-akan mengikuti Wittgenstein, filusuf  urakan itu, para penulis Barat mempertahankan asumsi ini untuk memainkan “language game”. Kita tidak usah terlalu payah memikirkan definisi agama dan kekerasan. Kita harus menyelidiki untuk maksud apa orang mempertahankan asumsi itu.   Mengapa mereka mengulang-ulang cerita tentang “religious violence”?  Cavanaugh menjawabnya:

… karena kita di Barat menganggap konsep ini bisa kita gunakan. Dalam politik dalam negeri, konsep ini berguna untuk membungkam wakil-wakil agama di tengah-tengah public sphere.  Didongengkan berkali-kali bahwa negara liberal telah belajar menjinakkan perpecahan berbahaya karena persaingan agama dengan mereduksi agama hanya menjadi urusan pribadi. Dalam politik luar negeri, kebijakan konvensional ini (yakni, agama menimbulkan tindakan kekerasan –penulis) membantu memperkokoh dan membenarkan sikap dan kebijakan terhadap Dunia non-Barat, terutama kaum muslim, yang perbedaan utamanya dengan Barat ialah penolakannya yang keras untuk menjinakkan perasaan agama di tengah-tengah public sphere.  ‘Kita di Barat telah lama mengambil pelajaran berharga dari peperangan agama dan telah bergerak ke arah sekularisasi. Negara-bangsa (nation-state) yang liberal pada hakikatnya adalah pencipta perdamaian. Sekarang kita hanyalah berusaha berbagi berkat kedamaian ini dengan dunia Islam. Sayang sekali, karena fanatismenya yang membabi-buta, kadang-kadang kita harus menyeret mereka ke dalam demokrasi liberal dengan mengebomnya.’ Dengan kata lain, mitos kekerasan agama memperkuat dikotomi yang tegas antara kekerasan mereka –yang absolutis, memecah-belah, dan irasional- dengan kekerasan kita, yang moderat, mempersatukan, dan rasional.

Jadi pernyataan “agama menyebabkan kekerasan”  bukanlah wacana ilmiah yang dapat diverifikasi. Pernyataan ini adalah wacana ideologis.   Wacana ini memosisikan Barat sebagai lawan dari bukan-Barat, antara “the West and the rest,” seperti kata Samuel Huntington, antara rasionalitas dan  irasionalitas, antara modernitas dan pramodernitas, antara sekular dan religius, antara perdamaian dan kekerasan.    Roxanne Euben, ketika menulis tentang fundamentalisme Islam, menegaskan perbedaan utama antara Barat dengan Islam, “If they were the voices of modernity, freedom, liberation, happiness, reason, nobility, and even natural passion, the irrational was all that came before: tyranny, servility to dogma, self-abnegation, superstition, and false religion. Thus the irrational came to mean the domination of religion in the historical period  that preceded it” [vi]

Ideologi, dalam bentuk apa pun, selalu mendistorsi realitas.  Pertanyaan “Apakah agama menimbulkan kekerasan” adalah pertanyaan ideologis dan …retoris.  Untuk mengubahnya menjadi pertanyaan ilmiah,  kita harus meninggalkan  konsep agama yang elusif.   Seperti disebutkan di atas, konsep “agama” terlalu abstrak sehingga tidak bisa dioperasionalisasikan. Untuk menjawab pertanyaan di atas,  yang menjadi pokok bahasan makalah ini, kita harus membatasi konsep agama pada “aktor-aktor agama”.

Yang dimaksud dengan aktor agama ialah orang yang dibentuk oleh komunitas agama dan yang bertindak dengan maksud untuk menegakkan, menyebarkan, atau mempertahankan nilai-nilai dan ajaran agamanya [vii]   Individu, kelompok, komunitas, atau bahkan  negara yang raison d’etre  dibentuk oleh dan untuk agama kita masukkan dalam kategori aktor agama.  Dengan begitu sekarang, kita dapat memilahkan dengan tegas mana tindakan kekerasan  yang dilakukan oleh aktor agama dan mana yang bukan.  Kita mengubah perumusan masalahnya:  Benarkah aktor-aktor agama menyebabkan tindakan kekerasan?    Pada situasi apa aktor-aktor agama itu terdorong untuk melakukan tindakan kekerasan? Pertanyaan pertama  dengan segera bisa kita jawab dengan afirmasi.  Tanpa harus menengok kepada sejarah masa lalu, setiap hari kita melihat tindakan kekerasan yang dilakukan oleh aktor-aktor agama.   Tugas kita ialah menjawab pertanyaan yang kedua.

Mengapa Aktor Agama Melakukan Tindakan Kekerasan?

Imam Khomeini  adalah manusia yang lahir dari garba Islam, dibentuk dalam sistem sosial Islam, dan berjuang untuk Islam. Mengapa ia menggerakkan bangsa Iran untuk melakukan revolusi?  Desmond Tutu adalah seorang Anglikan yang saleh.  Mengapa ia melakukan perlawanan dengan kekerasan?  Hamas adalah organisasi yang lahir dari kelompok Islam dan berjuang membebaskan Palestina berdasarkan nilai-nilai Islam?  Mengapa Hamas  melakukan perlawanan bersenjata?

Walaupun kita memusatkan perhatian kita pada aktor agama, kita tidak akan melacak sebab-sebab tindakan kekerasannya pada faktor-faktor individual: faktor  biologis, predisposisi personal, pengalaman masa kecil,  struktur kepribadian [viii]. Kita akan jatuh pada apa yang disebut  Lee Ross sebagai fundamental attribution error (FAE) [ix] Analisis individual tentang aktor keagamaan yang melakukan kekerasan membawa kita pada sesat fikir (fallacy)  seperti menyalahkan korban (blaming the victim). Mereka langsung disalahkan melakukan kekerasan karena mereka, misalnya, memang punya “bakat” keras.  Mereka menderita gangguan kejiwaan atau cacat dalam struktur kepribadian mereka.  Dengan begitu, kita mengabaikan institusi-institusi sosial  seperti sistem ipoleksosbud yang membentuknya.   Masyarakat  dan negara dilepaskan dari “kesalahan” apa pun. Pelaku kekerasan harus menanggung seluruh beban.

Karena keterbatasan ruang, dalam makalah ini saya hanya,menyebut dua faktor situasional yang mendorong aktor agama untuk melakukan tindakan kekerasan: (1) orientasi keagamaan yang dianut oleh kelompok mayoritas,  dan (2) perlakuan tidak adil dari pemegang hegemoni.

Orientasi keagamaan. Aktor agama hidup di tengah-tengah sistem sosial dengan tradisi yang sudah berlangsung sejak zaman nenek-moyangnya. Perlahan tapi pasti ia menyerap  nilai-nilai dan doktrin-doktrin keagamaan yang diterima secara umum.  Ia menginternalisasikannya setelah terlibat dengan agen-agen sosialisasi seperti sekolah, madrasah, masjid,  gereja, media, komunitas dan tokoh-tokohnya.

Ada tiga orientasi keagamaan. Ketiganya berkaitan dengan tingkat toleransi akan perbedaan paham, yang pada gilirannya berhubungan dengan  penggunaan kekerasan dalam menyelesaikan konflik.  Berdasarkan tiga orientasi itu, kita mengidentifikasi tiga tipe aktor agama [x]. Ekslusivis  adalah aktor agama yang  membangun tembok dan menciptakan sebuah “enclave”, daerah terlindung, yang steril. Ia hanya percaya pada satu-satunya kebenaran, satu jalan untuk memahami realitas, dan satu cara untuk menafsirkan teks-teks suci.   Secara soteriologis (ilmu tentang keselamatan),  ia percaya hanya kelompok dia saja yang akan selamat. Kelompok yang lain dijamin “masuk neraka”.  Sebaliknya, inklusivis , mengakui adanya keragaman  tradisi, komunitas dan kebenaran.  Semuanya adalah jalan menuju kebenaran. Tetapi agama (baca, paham keagamaan) yang dianutnya tetaplah jalan yang paling lurus, yang paling sempurna,  di atas dan mencakup semua paham keagamaan lainnya. Terakhir, pluralis  menganggap bahwa kebenaran bukan hanya milik satu tradisi atau komunitas keagamaan. Perbedaan komunitas dan tradisi tidak dianggap sebagai  penghalang yang harus dilenyapkan, tetapi sebagai peluang untuk dialog (dalam pengertian Martin Buber).

Kaum eksklusivis memiliki tingkat toleransi paling lemah dan kelompok pluralis mencapai tingkat toleransi paling kuat. Menurut David Little, “bersikap toleran pada tingkat minimalnya berarti  merespon kepercayaan dan pengamalan agama yang dianggap devian tanpa menggunakan intervensi kekuatan” [xi]    Walhasil,  para aktor keagamaan akan melakukan tindakan kekerasan bila  mereka “dibesarkan” dalam orientasi keagamaan yang bersifat eksklusif.

Kita dapat mengoperasionalisasikan tujuh tahapan toleransi.  Kaum eksklusivis menduduki tahap pertama toleransi, membiarkan, yakni,  bersedia hidup bersama dengan agama yang lain dan tidak menyerang mereka. Kaum inklusivis menduduki tahap kedua mengakui¸yakni  setelah bersedia hidup damai dengan agama lain, ia juga mengakui hak hidup agama lain itu; tahap ketiga, meneliti,  berusaha ingin tahu tentang agama lain, walaupun sepintas; dan  tahap keempat, menghormati¸ mengakui kontribusi setiap agama pada kemanusiaan.  Kaum pluralis  meneruskan kaum inklusivis dengan memasuki tahap kelima, belajar, yakni mempelajari agama yang lain dengan mendalam dengan sikap rendah hati dan tujuan memahami; tahap keenam, mengapresiasi, yakni  menghargai persamaan dan perbedaan antara agama; dan tahap terakhir, merayakan,  menikmati keragaman dan mengggunakan kontribusi setiap agama untuk memperbaiki dirinya dan masyarakatnya.

Aktor agama yang ekslusivis, ketika bergabung dengan aktor politik, etnis, dan nasionalis, akan mengembangkan intoleransinya dari menolak, menolak keabsahan kelompok agama lain; ke  membatasi¸  melakukan diskriminasi dan membatasi hak sipil kelmpok agama lain; ke menindas,  merampas hartanya, menjatuhkan kehormatannya,  melanggar hak-hak asasinya; mendehumanisasikan,  menganggap kelompok agama lain tidak lagi sebagai manusia; membunuh, menumpahkan darahnya, memeranginya,  dan akhirnya melenyapkan, holocaust,  melakukan genosid, menghilangkan kelompok agama lain sama sekali.

Perlakuan tidak adil.  Perkembangan intoleransi yang makin memburuk terjadi pada kelompok aktor agama  yang  merupakan kelompok mayoritas atau memiliki kekuatan  politik dan ekonomi.  Aktor agama yang lemah dan hidup dibawah hegemoni kelompok  yang lain sering terdorong untuk melakukan kekerasan karena sempitnya pilihan untuk tidak menggunakan kekerasan.  Para tokoh agama di Iran sering mengutip ucapan  Ali bin Abi Thalib untuk melakukan perlawanan bersenjata terhadap  kekuasaan yang ditopang oleh militer- “Kematian ada dalam kehidupan yang ditaklukkan. Kehidupan ada pada kematian yang menaklukkan.”

Ali bin Abi Thalib juga sering dikutip ketika ia berkata, “Kezaliman hanya akan bertahan apabila ada kerjasama antara yang menzalimi dengan yang dizalimi.”  Bersikap diam ketika penindasan dan penganiyaan terhadap umat Islam sama saja dengan mendukung kezaliman itu.  Atas dasar itulah Imam Khomeini mengubah acara Asyura yang melukai diri sendiri menjadi acara Asyura yang diarahkan kepada para pelaku kezaliman.  Inilah makna syahid.

Di Afrika Selatan,  Desmond Tutu, Uskup Besar Anglikan,  menyaksikan politik apartheid yang dilakukan pemerintah kulit putih.   Menurut uskup besar ini, memperlakukan manusia sekan-akan mereka di bawah makhluk Tuhan, menindas mereka, menginjak-injak hak-hak mereka, bukan hanya kejahatan, tetapi kekafiran, karena sama saja dengan meludahi muka Tuhan. Karena itu, kata Tutu, “kita begitu bersemangat untuk menentang kejahatan apartheid”.  Selanjutnya ia menegaskan, “Setiap orang beriman tidak punya pilihan. Di hadapan  ketakadilan dan penindasan, kita melawan Tuhan jika kita tidak melawan kezaliman dan penindasan itu”

Muhammad Fnaysh, salah seorang pimpinan Hizbullah berkata, “Islam bukanlah agama kekerasan. Islam adalah agama yang  memberikan izin kepada para pengikutnya untuk melawan agresor berdasarkan keadilan dan kebenaran”. Ia kemudian mengutip Surat 22:39-40.  “Tidak ada makna pada kehidupan, tidak ada nilai, tidak ada kebebasan bagi manusia jika kita mengizinkan para penindas melaksanakan agresi sambil tidak ada hak bagi orang tertindas untuk melakukan pembalasan, ”  kata Fnaysh selanjutnya.

Ketika Yasser Arafat mengecam bom bunuh diri sebagai tindakan yang merugikan perjuangan Palestina, Ismail Haniyeh , tokoh Hamas berkata, “ Abu Ammar dipaksa untuk membuat pernyataan tentang  operasi syuhada...Ia sedang berbicara kepada dunia luar, bukan kepada rakyat Palestina. Walaupun ia melakukan seruan-seruan tadi, Israel tidak akan berhenti melakukan pembantaian dan agresi. Kita tidak punya pilihan kecuali mempertahankan diri kita bahkan dengan serangan syahid sekalipun. Tetapi, pada saat yang sama kami tidak bermaksud melukai seorang sipil pun dan bukan pula kami yang memulai..Israel memulainya di Hebron dan masih terus berlangsung...Rakyat mana yang ditindas seperti ini tidak ingin mempertahankan dirinya.” [xii]
                     
Aktor agama tahu bahwa semua agama mengajarkan perdamaian dan menentang kekerasan.  Jika  bagian pertama ajaran agama tidak bisa dilaksanakan,  pilihannya hanyalah bagian kedua. Kamu ubah kemunkaran dengan tanganmu. Jika kamu tidak bisa, ubahlah dengan lidahmu. Jika kamu tidak bisa, ubahlah dengan hatimu. “Tapi itu iman yang paling lemah,” sabda Nabi saw. 

Kesimpulan

Makalah ini hanya memberikan kerangka teoretis untuk memahami tindakan kekerasan yang diduga diilhami oleh atau dilakukan atas nama agama.  Ketika menganalisis kekerasan yang terjadi di negeri kita, kita dituntut untuk tidak terjebak dengan ideologi sekular yang bermaksud memojokkan agama. Pada saat yang sama juga, kita tidak begitu saja menafikan tindakan kekerasan yang dilakukan oleh aktor-aktor agama.  Pada dasarnya, aktor agama tidak cenderung menggunakan kekerasan, seperti yang dikumandangkan oleh kaum ateis.  Faktor-faktor situasional seperti dominasi orientasi dan wacana keagamaan yang eksklusivis dan perlakuan tidak adil “memaksa” aktor agama untuk memilih kekerasan.  Karena alasan ini, kita dapat  merumuskan hipotesis bahwa  aktor-akgtor  agama sebetulnya lebih mudah   menjadi agen-agen perdamaian ketimbang menjadi pelaku kekerasan. Ini tampaknya memerlukan pembahasan tersendiri.

*) Makalah ini disampaikan pada Diskusi Masyarakat Madani, Jumat 25 Februari 2011 di Gedung BaKTI, dengan tema : “Fenomena Kekerasan dalam Konflik Horisontal; Telaah atas Peran Negara, Aktor Agama dan Media”.

Diskusi tersebut dilaksanakan oleh IJABI Sulawesi Selatan bekerjasama dengan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Perhimpunan Jurnalis Indonesia (PJI), dengan pembicara : DR Jalaluddin Rakhmat, M.Sc [Ketua Dewan Syura IJABI], DR Mohd Sabri AD (Pusat Studi HAM UIN Alauddin) dan Andri Mardian (AJI Makassar, Anggota KPID SulSel). Diskusi dihadiri elemen masyarakat madani, antara lain para jurnalis/wartawan berbagai media, aktifis ornop/NGO, tokoh dan aktifis agama, dan mahasiswa.

Catatan:

[i] Sam Harris, The End of Faith: Religion: Terror and the Future of Reason. New York: Norton, 2004, h. 26.
[ii] Beverly  Milton-Edwards, Violence in the Modern Era. New York: Palgrave, 2006, h. 22-23
[iii] "President Bush's Cabinet agreed in April 2001 that 'Iraq remains a destabilising influence to the flow of oil to international markets from the Middle East' and because this is an unacceptable risk to the US 'military intervention' is necessary." Sunday Herald newspaper (UK), "Official: US oil at the heart of Iraq crisis", 6 October 2002.
[iv] Charles Kimball, When Religions Become Evil. San Francisco: Harper, 2002, h. 1.
[v] Saya kutip Martin E Marty dan meringkaskan argumentasi tentang kerancuan konsep agama dari makalah Willian  Cavanaugh, “Does Religion Cause Violence?”, disampaikan di the University of Western Australia, 29 Mei 2006..
[vi] Roxanne L. Euben, Enemy in the Mirror: Islamic Fundamentalism and the Limits of Modern Rationalism.  Princeton: Princeton University Press, 1999, h. 34.
[vii] R. Scott Appleby,  The Ambivalence of the Sacred: Religion, Violence and Reconciliation. Lanham: Rowman & Littlefield, 2000
[viii] Lihat, misalnya, uraian tentang latar belakang agresi pada Klaus Wahl, Aggression und Gewalt: Ein biologischer, psychologischer und sozialwissenschaftlicher Überblick.. Heidelberg: Spektrum Akademischer Vderlag, 2009.  Wahl mengumpulkan berbagai teori tentang sebab-sebabtindakan kekersan  pada diri individu. Walaupun begitu, ia menegaskan perlunya mengintegrasikan seluruh teori itu dalam Ein Modell bio-psycho-sozialer Mechanismen fuer Aggression,  “Ein Haufen Steine sind noch kein Haius”,  tumpukan batu belum dihitung sebagai rumah!
[ix] Lee Ross, The intuitive psychologist and his shortcomings. Dalam  L. Berkowitz (Ed.), Advances in experimental social psychology (Vol. 10, pp. 173–220). New York: Academic Press, 1977
[x] Diana L. Eck, Encountering God: A Spiritual Journey from Bozeman to Banares. Boston: Beacon Press, 1993, h. 169
[xi] David Little, “Religious Militancy”, dalam Cfrocker dan Hampson, eds, Managing Global Chaos: Sources of and Responses to International Conflict. Washington DC: U.S Institute of Peace, 1996, h. 87
[xii] Beverly Milton-Edwards, Islam and Violence in the Modern Era, h. 45