Jumat, 14 Desember 2018

Jokowi Masuk Jakarta dengan Kuda Kayu


oleh Andre Vltchek* (Diterjemahkan oleh Crista Priscilla)

Mungkinkah dua orang, tidak peduli bagaimana besar dedikasi dan kejujuran yang mereka curahkan, menyelamatkan kota dengan penduduk dua belas juta orang yang sudah bertahun-tahun terlihat dan berbau seperti bangkai busuk? Dapatkah mereka mereformasi sistem kapitalis biadab yang sudah memakan seluruh area perkotaan tersebut dan bahkan seluruh bagian dari negara ini; mampukah mereka menegur semua tokoh yang selama ini sudah tidak bermain secara jujur? Mungkinkah mereka dengan tiba-tiba menerapkan sistem ‘kapitalisme yang lebih manusiawi’?

Pada titik ini, kebanyakan warga Jakarta, sepertinya, siap untuk percaya pada dongeng apapun; kota mereka sudah berada sampai pada kondisi sangat mengerikan di mana sepertinya tidak ada situasi yang lebih buruk lagi daripada ini.

Polusi, sampah, kebobrokan dan air yang terkontaminasi, begitu pula dengan jam-jam yang habis setiap harinya karena masalah transportasi – semua hal ini menjadi fakta yang berakibat pada kemampuan warga untuk berpikir jernih.

Dan jadilah baru-baru ini mereka ‘memilih’ pasangan hebat, dua orang pria yang datang, entah dari mana.

Sekarang ijinkan saya memperkenalkan mereka – dua orang ‘pahlawan’ yang diharapkan oleh warga yang sudah putus asa ini untuk menghentikan kebusukan dan memulai perjuangan epik demi kelangsungan hidup dan kejayaan Jakarta.

Gubernur Jakarta yang baru ini sebenarnya bukanlah seorang dengan latar belakang perencanaan kota ataupun arsitektur, ia hanyalah seorang pengusaha yang bergerak di bidang properti dan mebel. Namun kemudian ia melayani sebagai walikota Solo, Jawa Tengah. Namanya Joko Widodo, dan seringkali disebut Jokowi. Dalam dongeng Indonesia yang terkini, dia adalah koboi sang tokoh utama, atau seorang samurai ternama, seorang pembebas, atau apapun ia layak disebut..

Wakilnya, yang dikenal dengan ledakan amarah dan pernyataannya yang seringkali mengejutkan, adalah mantan anggota Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat. Namanya Basuki Cahaya Purnama.

Satu-satunya modal Jokowi dalam memimpin salah satu kota terbesar di dunia adalah perjalanan bisnisnya ke Eropa, di mana ia benar-benar ‘mengagumi kota-kota tersebut’ dan ingin mewujudkan konsep tersebut pada sistem perkotaan Indonesia. Dia pun telah berhasil membersihkan beberapa ruas jalan utama di Solo, -‘bersih’ sesuai standar Indonesia tentunya, saat masih menjabat sebagai walikota di sana.

Tentu ada pencapaian lainnya yang dilakukan oleh Jokowi, seperti: di Solo paling tidak dia sudah membangun satu trotoar bagi pejalan kaki di tengah kota. Jangan ditertawakan: hal itu sebenarnya adalah sebuah pencapaian hebat yang bisa dilakukan, karena ini adalah negara di mana trotoar yang ‘layak’ justru dihalang-halangi pembangunannya oleh para penguasa, bahkan di sebagian tempat justru difungsikan sebagai area parkir.

Dia juga mengoperasikan tram khusus turis di Solo yang dijalankan sekali waktu di atas rel tua peninggalan era kolonial Belanda: hal ini merupakan salah satu mimpinya yang menjadi nyata atas sistem transportasi publik.

"Tidak cukup", seperti itulah respon yang akan ia dapatkan di India atas apa yang sudah dia lakukan untuk Solo. India bukan juga sebuah role model sosial, namun paling tidak ia adalah negara di mana kota seperti Chennai dan Kolkata, bukan New Delhi, sudah memiliki sistem transportasi publik yang modern dan berfungsi dengan baik. "Tentu tidak cukup", kalau orang Cina yang mengatakannya. Bagaimana tidak, kalau di negara mereka paling tidak selusin dari seluruh wilayah perkotaaannya sudah bergantung pada sistem kereta bawah tanah yang ramah lingkungan, murah, tersebar di penjuru kota dan tentunya nyaman, di mana terdapat banyak trotoar luas bagi pejalan kaki, tanaman daur ulang, suplai air bersih, institusi budaya di berbagai sektor, dan bahkan taman dan ruang publik yang besar dan indah.

Namun di Indonesia, seperti yang sering dikatakan, bahkan seseorang dengan satu mata adalah raja. Dan harapan pun tiada. Dan seperti itulah negara ini dijalankan..

Beberapa bulan yang lalu, di artikel yang lain, saya menyarankan: “Tinggalkan semua harapan yang ada waktu anda memasuki kota ini.” Saya tentu lupa menambahkan: “Tapi jangan lupa membawa masker gas dalam tasmu, dan pastikan memakai tas yang mudah dibuka sewaktu-waktu!”

Kemacetan total, yang merupakan sebuah monster yang menakutkan yang telah melebarkan tentakelnya ke seluruh pelosok jalanan Jakarta yang rusak, depresif dan sesak selama puluhan tahun, akhirnya menyekik kota ini. Banyak orang terlambat untuk meeting, meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit, dan kehidupan sosial pun kolaps, sebagaimana tidak ada orang yang rela duduk selama 2 jam di dalam kendaraan hanya untuk menikmati secangkir kopi.

Tetapi apa yang bisa kita rasakan sekarang, sesungguhnya hanyalah sebuah pandangan sekilas akan horor yang lebih mengerikan yang menanti. Bagaimanapun juga, lalu lintas masih perlahan melaju, kecuali ketika hujan mulai turun, atau di saat pagi hari, jam makan siang, jam pulang kantor, jam kerja, atau saat liburan.

Rachmad Mekaniawan, seorang insinyur sipil mengatakan pada saya:

“Suatu hari saya terbang dari Balikpapan ke ibukota. Perjalanan udara tersebut menempuh waktu 1 jam 45 menit. Saya tiba di bandara Jakarta pada pukul 5.45 sore. Lalu saya putuskan untuk menaiki bis ke arah blok M. Bisnya penuh sesak, seperti yang sudah saya prediksi. Tapi yang tidak saya duga adalah perjalanan yang biasanya hanya memakan waktu 30 menit, menjadi 5 jam di hari itu!”

Dua tahun lalu, JICA (Japan International Cooperation Agency) mengeluarkan sebuah studi dan memperingatkan bahwa kota ini akan lumpuh oleh kemacetan total pada tahun 2014. Ibukota dari bangsa turbo-kapitalis ini sudah rusak akibat dari ketamakan dan korupsi yang parah ("Tamak itu bagus", seperti bagaimana sering dikatakan oleh Barat. Awalnya Indonesia mampu menolak ideologi dari para elit ini di tahun 1965, dan bahkan tidak memerlukan usaha keras dalam ‘penolakannya’). Semua yang tidak mengasilkan laba harus dikesampingkan. Termasuk mendaur ulang sampah, kontrol polusi, pusat kesenian, transportasi publik, bahkan pohon-pohon rindang dan taman kota.

Akhir dari korupsi yang berkepanjangan, transparansi, dan pemerintahan yang bersih. Itu semua adalah gol utama dari perjuangan Jokowi dan wakilnya. Mereka juga menjanjikan beberapa sistem transportasi umum yang terintegrasi, bahkan dilengkapi dengan tram, monorel dan MRT.

Namun semua ini masih berada dalam tahap slogan yang belum kelihatan wujudnya: maklum saja, ini adalah salah satu tipikal dunia angan-angan ala Indonesia. Kelihatan terlalu indah untuk menjadi kenyataan - seperti dongeng, seperti yang sering kita lihat di program televisi lokal atau kartun-kartun Disney.

Dua hari yang lalu, saya diundang dalam jamuan makan oleh seorang businessman Indonesia yang sukses, yang sekarang tinggal di luar negri. Dia bisa dibilang cukup dekat, atau bahkan mungkin bagian dari para elit politik dan bisnis di negara ini, yang juga di waktu yang sama terus mengkritisi kondisi negaranya. Sebagai seorang yang cukup gemar mengikuti tulisan-tulisan saya tentang Indonesia, dia menyadari bahwa saya sedang berada di Jakarta saat itu dan mengundang saya ke sebuah restoran hidangan laut Cina untuk kami bertemu di sana.

Dengan segera saya mengetahui bahwa tujuannya mengajak saya bertemu sebenarnya untuk memberi saya banyak ‘informasi dalam’, dan bukan sekedar ingin menjamu saya dengan udang dan kerang. Dia bercerita mengenai kefrustrasiannya; dia juga memberi tahu saya beberapa data yang cukup konfidential. Namun sebagai gantinya, saya harus berjanji tidak akan mengumbar nama orang dan perusahaan yang ia sebutkan.

“’Orang dalam’ yang bekerja di salah sebuah perusahaan mobil terbesar di Indonesia baru baru ini berkata pada saya bahwa atasannya membayar beberapa juta dollar dalam biaya tahunan, yang bisa disebut juga ‘gaji tahunan’, dalam rangka mencegah atau setidaknya menunda tanpa batas waktu, semua proyek transportasi umum utama di kota ini. Bahkan dulu di tahun 1992, pembayaran untuk kasus semacam ini yang ditujukan pada pemerintah sudah bernilai sekitar 10 juta dollar.”

Lalu dia melanjutkan: “Pemiliknya sendiri bahkan berkata pada saya: ‘Tidak akan mungkin ada MRT di Jakarta, tidak akan pernah.. kecuali hingga benar-benar seluruh Jakarta ini macet dan mampet total’. Yang dihalang-halangi tidak hanya itu, namun juga pembangunan trotoar, dan apapun yang bersaing dengan mobil. Tujuan utamanya adalah supaya negara ini dibanjiri dengan mobil-mobil baru dan sepeda motor, sehingga bangsa ini sepenuhnya bergantung pada kendaraan pribadi. ‘Satu perusahaan mobil asing’ yang beroperasi di Indonesia ini terlibat dalam korupsi besar-besaran, di mana perusahaan mobil lainnya pun terlibat, hanya saja dalam jumlah yang lebih kecil."

Sambil berpisah ia menambahkan, “Banyak orang sudah tidak sanggup hidup di kota ini lagi. Anda tahu, saya rasa situasi ini sudah sedemikian buruknya bahkan hingga misalnya ada sebuah tim yang beranggotakan politikus dan pengusaha yang benar-benar bersih untuk memerintah Indonesia besok, tetap saja akan membutuhkan waktu 3 generasi untuk mengubah kondisi di sini..”

Hampir semua kaum elit Indonesia tidak tinggal di sini lagi. Kebanyakan dari mereka kalau tidak menjalankan usahanya dari luar negeri, atau bolak-balik dari luar ke dalam negri. Tidak perlu repor-repot menganalisa secara rumit korupsi yang ada dan menghubungkannya dengan subsidi bahan bakar atau lahan parkir. Korupsi di Indonesia tersebar di mana-mana, ia endemis dan melumpuhkan seluruh kota. Kepentingan pribadi selalu menjadi yang harus diutamakan bahkan di atas kepentingan publik. Di mana 1% orang hidup bergelimang harta, menghabiskan jutaan uang yang dicuri dari bangsa sendiri, dan 90% warga Indonesia lainnya tinggal dalam kebobrokan dan sengsara.

Bulan lalu, di bandara Istanbul, saya bertemu dengan seorang wanita – nampaknya yang berasal dari kumpulan istri-istri pengusaha sangat kaya Indonesia – sedang mengeluhkan tidak adanya satu pun daerah laut yang layak di Indonesia. Ia mengatakan pada saya, sambil menunjukkan kulitnya yang kecoklatan hasil berjemur, bahwa ia baru saja menghabiskan 2 bulan mengarungi Laut Mediterania. Ketika saya coba menjelaskan kepadanya mengenai buku yang saya tulis tentang negaranya, dan film apa saja yang sedang saya kerjakan, dia tidak dapat memahaminya. Menurutnya orang asing seharusnya berbicara soal gadis-gadis Indonesia, resort di Bali dan pesta-pesta liar, bukannya ocehan ala Bolshevik seperti ini!

Mari kembali ke korupsi.

Tidak ada satupun yang bergerak di sini. Anda tidak akan bisa terhindar dari becak-motor 2-tak dari India itu –Bajaj-; yang modelnya sudah kuno, yang bahkan tidak lagi dapat dijumpai di India sendiri! Kelompok militer tertentu, polisi atau ‘kepentingan’ lain selalu ada di belakang setiap operasi mereka. Sama halnya dengan para kopaja dan metro mini yang kotor dan membuat polusi itu. Pemerintah hanya bisa melakukan usaha sekadar mengancam, untuk sementara waktu, namun kemudian tidak lama kondisi pun kembali seperti semula: sungguh sebuah skenario yang sudah bisa ditebak.

Iklan-iklan industri tembakau terpapar di seluruh pojok jalan. Setiap pria muda dan dewasa, nampaknya, merokok, di kota yang padahal sudah sangat kotor dan terpolusi ini: di jalanan, di dalam bis-bis bobrok, bahkan di dalam mall. Peraturan ditetapkan, namun hanya untuk dilanggar. Industri tembakau di Indonesia sangat kuat dan besar, dan anehnya mereka pun memiliki lahan hijau yang tersisa di ibukota. Juga bahkan memiliki sejumlah ‘anggota DPR’, yang seharusnya menjadi wakil rakyat.

Di bulan kedua masa pemerintahan Jokowi, iklan-iklan rokok dalam ukuran besar masih menjadi dekorasi di kota ini. Dan tentu mereka akan tetap berada di sana pada saat ia tidak lagi memerintah ibukota. Bahkan di Plaza Indonesia, salah satu mall mewah di Jakarta, asap rokok tersembul tebal hampir di setiap cafe. Hal ini tidak masuk akal bila teraplikasi di kota-kota Asia Tenggara lainnya, mulai dari Singapura yang kaya raya bahkan hingga Manila yang miskin. Tapi di Jakarta, hal ini biasa. Normal.

Bahkan orang-orang asing yang tinggal di Jakarta, mengatakan kota ini adalah kota yang paling tidak layak ditinggali di Asia Pasifik.

Gubernur baru itu menjanjikan upah minimum tenaga kerja yang lebih tinggi. Dikatakannya bahwa sekarang upah minimum adalah 2,2 juta per bulan. Angka ini bahkan lebih tinggi daripada upah minimum di Ukraina dan bahkan Bulgaria (1,5 juta per bulan), negara yang adalah anggota dari Uni Eropa.

Pada 20 November 2012, Jakarta Globe menuliskan:

"Gubernur Jakarta Joko Widodo menyetujui kenaikan upah minimum tenaga kerja sebesar 44 percent pada hari Selasa, dalam apa yang dilihat sebagai langkah besar dalam melobi para pengusaha di Indonesia. Hal ini sudah ditetapkan bahwa angkanya adalah 2,2 juta rupiah,” kata Jokowi pada Detik.com. “Saya sudah memukul palunya.”

Namun berapa banyak orang yang bisa berharap mendapatkan upah minimum tersebut? Mayoritas besar warga Indonesia bekerja pada sektor informal, di mana upah yang didapat bisa serendah 300.000 atau 400.000 rupiah; di mana ‘puluhan juta’ itu tidak akan pernah bisa diraih. Seorang ahli statistik dari Kanada menjelaskan kepada saya, saat pemerintah dengan keras kepala menetapkan angka sensus penduduk pada kisaran 237 hingga 250 juta, jumlah yang akurat adalah sekitar 300 juta atau bahkan lebih. Mereka yang tak terhitung adalah mereka yang sangat miskin. Orang-orang itu adalah mereka yang bahkan seringkali tidak berpenghasilan sama sekali, bekerja dan hidup dalam kondisi paling buruk seperti di masa feodal pre-industrial.

Tepat pada saat kenaikan upah tenaga kerja disetujui, saya turun ke jalanan-jalanan di Jakarta dan menanyakan pertanyaan yang sama: apakah para pekerja itu mendapatkan upah minimum? Benarkah mereka sungguh-sungguh mendapatkannya?

Ya, mereka yang bekerja di restoran-restoran besar, atau di perusahaan swasta, dan juga yang bekerja sebagai pegawai negri sipil. Namun angkanya tidak mencapai seperempat dari seluruh pekerja di ibukota ini.

“Upah minimum?” tanya seorang pekerja di sebuah workshop mebel di daerah Klender, Jakarta Timur. “Saya dibayar berdasarkan jumlah mebel yang saya kerjakan. Kalau saya bekerja sampai mau mati rasanya, saya bisa membawa pulang 2 juta rupiah per bulan, namun biasanya tidak mungkin saya bisa memperoleh sebanyak itu.”

Siti, yang bekerja di sebuah pabrik garmen Korea menjelaskan, “Banyak pekerja di dan sekitar Jakarta menghasilkan sekitar 2.500 rupiah per jamnya. Jika kami bekerja 10 jam per hari, kami dibayar 25.000. Dengan begitu kami bisa mendapatkan kira-kira 700.000 rupiah per bulan, atau mungkin kurang. Ketika pengawas datang, para pekerja biasanya dikunci di dalam sebuah ruang gelap sehingga tidak ada satupun dari kami yang bisa ‘melapor’. Suatu ketika, saya dan seorang teman sedang berada di kamar mandi ketika seorang pengawas datang. Mereka lalu menanyakan pada kami mengenai upah kami. Dengan sendirinya kami tahu kami harus berbohong, pura-pura bahwa kami dibayar layak dan bahkan jauh lebih banyak daripada realita yang kami terima. Kalau ketahuan mengatakan yang sebenarnya bisa-bisa kami justru dipecat.”

Lupakan data statistik resmi yang mengatakan bahwa separuh penduduk kota ini adalah kelas menengah ke atas (di sini indikator kelas menengah ke atas adalah penghasilan 20.000 rupaih per hari). Dan mulailah percayai apa yang anda lihat dengan mata kepala sendiri: kemiskinan yang anda lihat di mana-mana, sampah yang menggunung dan berserakan, sungai-sungai yang mampet, tidak tersedianya ruang publik dan trotoar, Ferarri dan Porsche di atas jalanan yang rusak, mall-mall yang tak terhitung jumlahnya yang seolah tidak memedulikan kampung-kampung kecil yang kumuh dan jauh dari standar kelayakan di sekitarnya, desa-desa yang penduduknya bahkan ngos-ngos’an untuk sekedar menyambung hidup di tengah kota yang bergelimang glamor ini.

Tepat ketika nampaknya tidak ada lagi harapan, hanya kegelapan dan kesuraman menguasai, tiba-tiba terlihat secercah cahaya! Dua pria, gubernur yang baru dan wakilnya, memasuki kota Jakarta dengan kuda-kuda mereka, dengan pistol menggantung dan seperti pada era Barat kuno, mata mereka bersinar memancarkan semangat dan kehormatan.

Tapi benarkah seperti itu?

Para media mainstream ingin orang-orang percaya bahwa mereka dipilih dan terpilih tanpa ada campur tangan kepentingan para kaum elit. Yang di mana hal semacam itu, mustahil. Di Indonesia semua hal tunduk pada kepentingan bisnis-militer-bisnis. Bagaimana bisa rakyat dibodohi seperti ini? Apakah karena semenjak peristiwa 1965 mereka dikondisikan untuk tidak mampu menganalisa dan berpikir secara mandiri?

Dan apakah pencapaian yang sudah dilakukan oleh pasangan ini semenjak masa pemerintahan mereka dimulai?

Wakil Gubernur Jakarta, Basuki T. Purnama (yang lebih dikenal sebagai Ahok), dalam rapat resmi pada 8 November 2012 mengemukakan, dengan lantang dan mengejek semua yang ada dalam ruangan itu:

“Sebelum kita mulai, bisakah seluruh anggaran ini dipotong 25%? Harga per unit yang anda punya di sini terlalu tinggi. Hanya ada dua cara untuk menyelesaikannya: 1.) Potong anggaran sebesar 25% tanpa mendebat saya. Atau 2.) Saya akan menghapus proyek ini dari portfolio anda. Saya akan menggunakan dana pribadi saya, kemudian akan saya cocokkan dengan proyek yang lalu. Saya akan mengungkapkan semua ‘penyakit lama’, saya akan minta bantuan KPK juga. Mari kita sambut ‘Jakarta Baru!’.”

Perhatikan bahasanya.. Anda pasti tahu istilah ‘anjing menggonggong’.. Jika anda benar-benar menginginkan perubahan di kota anda, dan menginvestigasi kasus-kasus korupsi yang begitu parah, apakah anda akan berteriak-teriak di depan semua orang yang anda curigai sebagai koruptor-koruptor? Atau justru anda mencoba menangkap basah mereka ketika perbuatan itu sedang dilakukan?

Namun Ahok bertindak lebih jauh lagi, dan membuat adegan ini benar-benar seperti dalam film koboi sungguhan:

“Bila ada orang yang ingin membunuh saya, akan sangat mudah sekali melakukannya.. Saya tidak tahu siapa yang akan mencoba melakukannya.. Saya memiliki banyak musuk.. Jika seseorang mencoba menembak saya point blank, saya bahkan tidak akan berkedip.”

Seseorang seharusnya segera memeluknya dan berkata, “Ahok, begini, tidak akan ada orang yang menembak anda.. Anda tahu.. Anda tidak akan berada di sini sekarang.. ‘Mereka’, para ‘pemerintah’ negara ini, tidak akan pernah membiarkan anda terpilih bila anda dan atasan anda tidak ‘lolos’ dalam pemeriksaan berlapis-lapis yang menyatakan keberadaan dan kekuasaan anda tidak mengancam rezim tersebut. Atau anda meminta kami untuk percaya bahwa para kandidat benar-benar muncul secara independen, dan rakyat akan memilih mereka begitu saja? Begitu? Di Venezuela, tentu.. Tapi di Indonesia, Ahok sayang? Sunnguhkan itu bisa terjadi?”

Seakan mengkonfirmasi keraguan saya, beberapa minggu setelah diangkat, Jokowi mendadak berakting seolah-olah ia adalah aparat terpercaya dari rezim pemerintahan Indonesia. Yang dikatakan pada saya di restoran Cina itu ternyata terbukti benar, bahkan saya tidak pernah meragukannya.

Ia mengemukakan bahwa ia menunda konstruksi pembangunan MRT. Ia ‘menaruh proyek ini dalam pengawasan yang teliti’ dan jelas jadinya bahwa dalam beberapa waktu ke depan Jakarta akan tetap menjadi kota yang dalam ukurannya menurut skala dunia, tidak memiliki metro. Salah satu alasan yang dikemukakan olehnya, yang mengklaim ia mengerjakan ini semua demi kepentingan rakyat, adalah bahwa ia tidak yakin berapa dana yang sebenarnya dibutuhkan untuk proyek ini bisa terwujud!

Angki Hermawan, seorang insinyur lulusan Institut Teknologi Bandung (ITB), yang tinggal di Jakarta dan Calgary, Kanada, mengomentari dalam laporannya:

“Menurut pendapat saya, tindakan Jokowi aneh sekali! Dia mengatakan bahwa proyek MRT ini akan dilaksanakan atau tidak bergantung pada ROI (Return On Investment), karena kalau tidak Jakarta bisa-bisa bangkrut. Pernyataan ini sungguh absurd karena di belahan dunia manapun, MRT adalah tulang punggung transportasi publik, kecuali sebuah kota memiliki kurang dari 1 juta penduduk. MRT di Jakarta adalah sebuah keharusan! Dan coba lihat apa yang dia katakan? Bahwa ROI dari MRT harus memenuhi syarat? Bagaimana mungkin Jokowi tiba-tiba bertindak seperti seorang pengusaha berpikiran sempit? ROI sebuah project yang akan bermanfaat bagi banyak orang tidak bisa disamakan dengan ROI yang murni untuk bisnis. Cara mengkalkulasi keuntungannya harus berdasarkan manfaat yang dirasakan secara sosial dan bukannya uang.”

Namun pun bila nilai-nilai ekonomi secara ketat dijalankan, Jakarta membutuhkan pemeriksaan secara menyeluruh akan sistem transportasinya, sebagaimana yang ada sekarang justru mengakibatkan kerugian $3 milyar per tahun yang disebabkan oleh kemacetan.

Jadi kembali lagi ke sebagaimana biasanya: tanpa rasionalitas, hanya beberapa pertimbangan ‘rahasia’ dan tidak transparan.

Dan pembangunan MRT pun tertunda lagi. Dan pilar-pilar beton menyedihkan serta batangan-batangan metal yang seharusnya digunakan untuk pembangunan monorel – proyek yang terkorupsi dan dibatalkan bertahun-tahun lalu, di mana dana yang dikucurkan tidak sedikit, wajah jalanan kota yang sudah tergores, dan tidak ada yang dipenjarakan karena kasus korupsinya – masih di sana, berdiri tegak selayaknya para kaum elit lokal ‘menyapa’ warga Jakarta.

Dan bagaimana dengan rencana Ahok untuk menghidupkan kembali kawasan kota tua yang semrawut itu?

“Bila kita ingin mengembangkan kawasan tersebut, kita harus meningkatkan segala aspek di dalamnya,” Kata Ahok. “..Kota Tua harus dibuat mahal dan bergengsi supaya bisa berkembang.” Begitu yang Jakarta Globe laporkan.

Jelas sekali bahwa ia tidak akan meminta bantuan UNESCO untuk mengembangkannya, seperti yang dilakukan oleh Hanoi misalnya. Justru mungkin ia akan meminta bantuan Gucci, LV, atau Lamborghini.

Saya sudah melihat beberapa ‘usaha’ untuk menyelamatkan kota-kota di Indonesia. Banyak dari mereka yang sangat menyedihkan hingga seakan-akan usaha tersebut seperti seorang anak berumur 5 tahun yang berkata kepada orang tuanya: “Saya mau membuat sebuah pesawat yang bisa terbang. Saya sudah punya 2 batang kayu sebagai sayapnya. Dan sebuah plastik untuk menjadi badan pesawatnya..”

Semua kota di Indonesia bisa dikatakan rusak. Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan, Palembang, Semarang bahkan Yogyakarta. Akan membutuhkan puluhan tahun dan usaha yang benar-benar keras untuk membawa mereka paling tidak kepada standar Asia Pasifik.

Dua tahun lalu, saya bertemu dengan walikota Surabaya, Ibu Tri Rismaharini. Dia masih sangan populer kala itu, masih banyak harapan yang bisa dimimpikan. Dia menjanjikan pemerintahan yang bersih dan perubahan infrastruktur yang dramatis.

Saya bertanya pada beliau apakah ia memiliki nyali untuk mengkonfrontasi kasus-kasus korupsi, parkir liar kendaraan dan hal-hal patologi lain di kota tersebesar kedua di Indonesia ini. Seorang wanita yang jujur, seorang Muslim yang berkerudung, ia nampaknya tidak ingin berbohong kepada saya. Dengan halus ia menolak untuk menjawab.

Malahan ia bercerita kepada saya mengenai kecintaannya terhadap flora dan tanaman. Ia menunjukkan kepada saya foto-foto dan menjelaskan bahwa ia sudah berkeliling di seluruh pelosok kota, menanam banyak pohon, mengubah lahan kosong menjadi taman kota. Bahkan terkadang ia melakukannya sendiri.

Ia orang yang sangat baik, itu yang saya ingat. Saya menyukai dia, bahkan sangat menyukai dia. Saya akan senang sekali menjadi tetangganya. Namun kota Ibu Risma ini sedang terluka dan berdarah, tanpa sistem transportasi yang baik kecuali angkot-angkot bau dan privat, hampir tanpa situs-situs budaya dan intelektual, tanpa perencanaan kota yang jelas dan lagi-lagi.. tanpa harapan.

Ketika kami berpisah, beliau mengundang saya untuk datang dan bertemu dengannya lagi kapanpun saya kembali ke kotanya.

Saya kembali September ini, dan jujur saja, saya tidak melihat perubahan yang konkrit. Surabaya memang terlihat lebih bersih, ada beberapa trotoar besar dan lapang bagi pejalan kaki di jalanan utama dan juga beberapa taman kota kecil. Tapi itu saja. Surabaya masih tersedak oleh kemacetan, tidak ada tempat lain untuk dikunjungi di sore hari kecuali mall.

Saya memutuskan untuk tidak menemui Ibu Rismaharini. Apa yang akan saya katakan? Apa yang harus saya tanyakan? Akan sangat memalukan pertemuan kami nantinya!

Pada 20 November 2012, saya mempertontonkan film dokumenter saya tentang Dadaab –“One Flew Over Dadaab”; di Universitas Indonesia, dan lalu membicarakan tentang kehancuran negara ini. Salah satu mahasiswa kemudian bertanya kepada saya: “Lalu apa yang bisa kami lakukan? Bagaimana caranya menyelamatkan Indonesia?”

Saya menjawab bahwa saya tidak bisa memutuskan bagaimana cara; ini adalah negaranya – bukan negara saya. Saya tidak bisa menyembuhkan, saya hanya membantu mendiagnosa.

Namun siang itu saya berkata pada mereka, para mahasiswa dan professor yang ada di sana, mengenai kolaborasi antara kaum elit mereka dan militer dengan campur tangan Amerika dan Eropa. Saya menceritakan pada mereka bagaimana Indonesia sangat dicintai oleh Barat, oleh kaum ekonomi elit Barat dan rezim politik Amerika dan Eropa. “Rakyat Indonesia ini kelaparan, mereka sudah kehilangan semuanya, namun dengan murah hati mereka masih saja memberi makan kaum Barat. Mereka mengorbankan segalanya demi kesejahteraan Amerika, dan juga perusahaan-perusahaan multi-nasional lainnya.”

Saya juga menjelaskan pada mereka bahwa selama mereka menghancurkan hutan-hutan yang ada, menambang habis apa yang tersisa di lapisan bumi di atas negara ini, mengkonsumsi produk asing dan tidak melakukan apapun demi kesejahteraan rakyatnya sendiri, Indonesia akan tetap disebut ‘demokratis’, ‘toleran’ dan bahkan ‘sukses’.

“Negara anda sudah dikolonisasi dan dirusak oleh Eropa; lalu dihancurkan oleh kudeta yang didukung oleh Amerika di tahun 1965 dan oleh sistem kapitalis liar. Kader jihad yang juga melangsungkan pembunuhan pada 1965 dan berperang demi Barat di Afganistan sekarang sedang menghancurkan sisa-sisa semangat sekuler di era Sukarno.”

“Dan lalu kaum ‘oposisi’ kalian, rakyat ‘sipil’ itu: ke mana mereka mencari pertolongan? Kita semua tahu: Mereka kembali lagi kepada Barat! Mereka berpergiaan antara Jakarta dan Amsterdan, antara Jakarta dan Berlin, London, New York! Mereka mendapatkan semua pendanaannya di sana. Apakah anda yakin dan dengan polos berpikir bahwa Barat akan mendanai kaum oposisi demi kepentingan ekonomi dan geo-politik? Yang benar saja!”

Saat itu saya berbicara di universitas yang menempatkan sistem kapitalis paling parah, semenjak 1965; universitas yang berkolaborasi penuh dengan Von Hayek dan konsep ekonomi Friedman tentang sistem kapitalis yang tidak diawasi dan tidak terlarang. Universitas yang pada dasarnya sudah ‘dibeli’ oleh Barat, guna mengimplementasikan apa yang Naomi Klein sebut sebagai “Shock Doctrine”, untuk diujicobakan langsung pada manusia.

Mereka mengijinkan saya untuk berbicara. Namun saya sadar bahwa tidak ada satupun yang benar-benar peduli, tidak ada satupun yang takut mendengar apa yang saya sampaikan. Apa yang saya utarakan saat itu, hanya terserap oleh dinding-dinding universitas. Kehadiran saya tampaknya hanyalah sebuah pertujukan ‘badut’.

Seseorang kemudian bertanya lagi tentang "bagaimana merubah kondisi yang ada sekarang?" Semua tokoh-tokoh besar yang saya kenal, mulai dari Eduardo Galeano hingga Pramoedya Ananta Toer langsung alergi dengan pertanyaan semacam itu, dan juga saya, akhir-akhir ini.

Saya mengingatkan mereka akan kata-kata terakhir dari mendiang Ananta Toer, novelis terhebat di Asia Tenggara, yang dikatakannya kepada saya. Ia adalah seorang tahanan di masa pemerintahan Suharto, seorang penulis yang karya-karyanya dibakar habis, yang disisihkan dan sepanjang hidupnya memiliki kepahitan akan negara ini:

“Bukan reformasi – revolusi!” Diproklamasikannya dengan lantang di depan lensa kamera saya. “Indonesia tidak akan pernah bisa berubah melalui sebuah reformasi, hanya dengan revolusi!”

Menunggangi kuda kayunya, Jokowi dan wakilnya tidak mengusung janji revolusioner apa-apa. Coba lihat lebih dekat pistol plastik produksi massal mereka; dengarkan baik-baik kalimat-kalimat mereka.

Jokowi bukanlah seorang Hugo Chavez versi Indonesia, atau Evo Morales, Lula atau Ho Chi Minh.

Saya sendiri sebenarnya tidak tahu siapa dia. Saya hanya tahu dia bukan siapa.

Artikel ini dimuat di buletin berita Amerika Serikat, Counterpunch, dengan judul ”Governor Jokowi Enters Jakarta On A Wooden Horse”, edisi 23-25 November 2012.



*Andre Vltchek adalah seorang penulis novel, analis politik, pembuat film dan jurnalis investigatif. Dia hidup dan bekerja di Asia Timur dan Afrika. Ia juga menulis sebuah novel politik yang baru saja dirilis kembali, “Point of No Return”, telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Diskusinya dengan Noam Chomsky mengenai teror yang dilakukan oleh kaum Barat di seluruh dunia baru saja diterbitkan, “On Western Terrorism”. Penerbit Pluto di Inggris juga telah menerbitkan buku kritiknya atas Indonesia (”Archipelago of Fear”) di bulan Agustus 2012. Dia dapat dihubungi lewat situs internetnya dihttp://andrevltchek.weebly.com/ atau akun Twitternya, @AndreVltchek.

Bangkai Indonesia yang Mengerikan – 50 Tahun Setelah Kudeta


oleh Andre Vltchek (Diterjemahkan oleh Rossie Indira)

“SAYA MELIHAT KAUM SUNNI yang rasis dan sangat fanatik, yang dibayar dan dikendalikan oleh kaum Wahhabi dari Saudi Arabia yang sudah menghancurkan desa-desa KAUM ISLAM SYIAH di pulau Madura yang terbelakang dan miskin.”
 
Tahun lalu, saya sama sekali tidak berkunjung ke Indonesia. Saya merasa tidak lagi bisa tahan untuk berada di sana. Indonesia membuat saya tidak enak badan. Saya merasa sakit, baik secara psikologis maupun fisik.

Indonesia mungkin sudah matang menjadi negara paling korup di bumi ini, dan mungkin sebuah tempat yang paling terindoktrinasi dan tidak punya belas kasih. Di sini, bahkan korban tidak lagi menyadari kondisi mereka sendiri. Para korban merasa malu, sedangkan para pembunuh massal dengan bangganya membual tentang pembunuhan-pembunuhan dan perkosaan-perkosaan mengerikan yang telah mereka lakukan. Kader-kader pelaku genosida ada di seluruh jajaran pemerintahan.

Jangan salah paham: tidak ada yang salah menjadi matang. Tapi bukannya matang secara elegan menjadi sesuatu yang mulia seperti anggur, Indonesia hanya membusuk menjadi cuka yang rasanya memuakkan, atau susu yang sudah basi, atau menjadi sesuatu yang jauh lebih menakutkan - bangkai busuk yang mengerikan di tengah benua Asia yang dulunya sosialis, progresif dan anti-imperialis.

Setelah kudeta di tahun 1965 yang didukung oleh Amerika Serikat, Australia dan Eropa, sekitar 2-3 juta orang Indonesia tewas, dibantai tanpa ampun dalam pesta teror yang tak terkendali: guru, intelektual, seniman, aktivis serikat buruh, dan kaum Komunis hilang. Kedutaan Besar AS di Jakarta menyediakan daftar rinci mereka yang perlu dihilangkan. Angkatan Darat, yang dibayar mahal oleh Barat dan didukung oleh kader-kader semua agama yang tak terhitung jumlahnya dan yang sudah dicuci otaknya, dengan semangat yang tidak pernah ditunjukkan sebelumnya, membunuh dan memenjarakan hampir semua orang yang mampu berpikir. Buku-buku dibakar dan studio film dan teater ditutup.

Perempuan-perempuan dari organisasi-organisasi sayap kiri, setelah dengan kejamnya diperkosa, payudaranya dipotong. Mereka dicap sebagai penyihir, ateis, maniak seks dan punya perilaku menyimpang.


Kader Kristen militan dan profesional yang berasal dari Belanda dan negara Barat lainnya datang ke Indonesia lama sebelum kudeta. Mereka dipercaya untuk meradikalisasi penganut Muslim, Hindu, Protestan, Katolik dan militer Indonesia. Mereka memberi label penganut Komunis dan kaum kiri lainnya sebagai "penganut ateis yang berbahaya" dan mereka mulai melakukan indoktrinasi dan pelatihan dengan tujuan melikuidasi kaum komunis dan kaum kiri lainnya.

Individu-individu Tionghoa dari sayap kanan, sebagian besar adalah pengkhianat yang baru melepaskan diri dari tanah air mereka yang komunis revolusioner, dengan senang hati bergabung dengan klik/kelompok fasis dan kemudian bergabung dengan rezim Jenderal Suharto yang membunuh, melacur dan berkhianat. Mereka bergabung di dalamnya sebagai informan dan "juru dakwah". Kaum minoritas Tionghoa di Indonesia, yang tidak diragukan mengalami beberapa diskriminasi, telah bergabung dengan kekuatan dari dalam dan luar negeri yang paling menindas, tanpa malu-malu berkolaborasi dengan tentara yang fasis, imperialisme Barat dan sistem kapitalis buas yang mereka bantu ciptakan. Karena kendalinya atas bagian paling penting dari "ekonomi" lokal (baca: penjarahan sumber daya alam) dan kepemilikan atas banyak sekali media yang digunakan untuk cuci otak dan sekolah-sekolah swasta, kaum minoritas Tionghoa di Indonesia telah memainkan peran menentukan dan menghancurkan dalam runtuhnya negara Indonesia secara spektakuler pasca-1965.

Setelah pembantaian di tahun 1965-1966, segala sesuatu yang berkaitan dengan Revolusi dan Republik Rakyat China dilarang dan dilenyapkan di Indonesia, termasuk warna merah, bahasa Cina, dan kata "komunisme" itu sendiri. Beberapa hal tersebut memang "merepotkan", tapi secara keseluruhan, para emigran sayap kanan yang anti-Komunis China di Indonesia akhirnya mendapatkan apa yang mereka inginkan! Sikap fasisme yang dianut Soeharto pasti lebih cocok untuk mereka daripada sikap anti-Barat-imperialisme dan pembagian kekuasaan antara pemimpin Muslim progresif Soekarno dan "anak emas"nya, Partai Komunis Indonesia (PKI).

SETELAH genosida, dimulailah penjualan besar-besaran negara Indonesia. Korupsi dan privatisasi berjalan bersama-sama. Penduduk dijadikan buta secara ideologis maupun intelektual.

Pembunuhan dan pemerkosaan jutaan warga, pencurian segala sesuatu yang dulunya milik bangsa...

Demikianlah pengkhianatan terbesar di abad ke-20 ini.

Kira-kira 50 tahun setelah bencana tersebut terjadi, saya melanggar janji saya sendiri dan kembali mengunjungi Indonesia sekali lagi.

Kali ini, saya datang ke Indonesia bukan untuk kunjungan akademis. Bahkan sebenarnya saya sudah tidak ingin berhubungan dengan para akademisi di sini, dan saya berpendapat bahwa banyak akademisi yang telah melacurkan diri mereka dan mati, seperti juga jurnalisme. Ilmu Filsafat harus terlepas dari akademisi dan lembaga-lembaganya. Ilmu Filsafat berhubungan dengan kehidupan, sementara akademisi masa kini/modern merepresentasikan kematian intelektual.

Buku saya yang penuh kecaman, "Indonesia: Archipelago of Fear", diterbitkan Pluto di London lebih dari 3 tahun yang lalu, kemudian diterjemahkan dan diterbitkan oleh Badak Merah ke dalam bahasa Indonesia dengan judul “Indonesia: Untaian Ketakutan di Nusantara”. Kemudian diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Tapi cukup kita berbicara teori!

Saya datang kembali berkunjung untuk menghirup udara yang tercemar dan untuk melihat keruntuhan masyarakat Indonesia - reruntuhan yang jelas terlihat di seluruh penjuru ibukotanya. Saya datang untuk mengamati ekspresi tidak bersemangat di wajah rakyatnya, dan sekali lagi mengalami hancurnya infrastruktur di sini. Saya datang untuk berhadapan dengan masyarakat yang telah membunuh segala sesuatu yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan, filsafat dan seni, dan dengan sebuah negeri di mana para tukangnya bahkan tidak bisa mengerjakan penggabungan dua ubin dengan baik, jangankan membangun sebuah pesawat ruang angkasa atau pesawat jet.

SAYA datang kembali untuk meneriakkan dan mengutuk, dan menulis esai ini sebagai peringatan bagi orang-orang yang masih berpikir bahwa kapitalisme brutal dapat berfungsi, bahwa sebuah negara yang mengijinkan para "elit"nya untuk mengubah negara tersebut menjadi keset (atau lebih buruk) bagi pihak Barat, bisa bertahan hidup, apalagi berkembang.

Saya datang untuk mengatakan apa yang sudah jelas tetapi "terlarang" untuk dikatakan: “Indonesia sudah mati! Sudah tidak ada lagi. Negara ini dimatikan dalam kurun waktu antara tahun 1965 sampai sekarang. Negara ini tidak akan pernah bisa berdiri sendiri lagi. Rakyat yang tinggal di sana tidak benar-benar hidup di sebuah negara, tapi di dalam bangkai yang membusuk dan mengerikan.”

SATU-SATUNYA CARA UNTUK MAJU ADALAH DENGAN MELAKUKAN REVOLUSI, seperti yang dulu dikatakan oleh Pramoedya Ananta Toer. Sebuah revolusi total, disetel ulang! Kembali ke kondisi yang dihancurkan pada tahun 1965. Kuburkan bangkai tersebut, adili semua orang yang telah melakukan pengkhianatan, dan mulai dari nol lagi, dari awal! Inilah kenyataannya, tidak perlu catatan kaki atau kutipan!

Tapi kembali ke kesepakatan yang telah diambil oleh Empire/Imperium dan para “elit” lokal:

Kesepakatannya jelas: Pihak Barat mengijinkan para pemberontak dan antek-antek agama dan “pendidik” mereka untuk merampok bangsa ini, dan mentolerir korupsi yang paling menjijikkan. Tapi sebagai balasannya, mereka harus memberikan jaminan bahwa rakyat Indonesia akan selalu dicuci otaknya dan dibuat tidak berpendidikan, tidak pernah menuntut kembalinya Partai Komunis, tidak akan pernah berjuang untuk cita-cita patriotik yang besar dan tidak pernah mempertanyakan fundamentalisme pasar dan penjarahan sumber daya alam Indonesia .

Orang-orang Kristen yang diberikan “tanggung jawab” berasal dari sekte evangelis yang paling gila, diperkuat dengan kader-kader intelijen/agama yang diimpor dari Amerika Utara dan Australia. “Ajaran Kemakmuran” dan "Pantekosta" adalah implan yang paling sukses. Para pendakwah yang mendengarkan Voice of America dan membaca jurnal-jurnal ekonomi Barat tiba-tiba memegang kendali.

SEKUTU BARAT, KAUM WAHHABI dengan gaya-Saudi, tanpa malu-malu mengesampingkan hampir semua aliran Islam lokal yang sosialis, dan bentuk-bentuk yang paling militan dan paling tidak toleran dari agama Islam yang pada dasarnya progresif dan sosialis mulai melakukan kegiatan-kegiatan yang menghancurkan, totaliter dan membunuh intelektualitas.

Pihak Barat, media dan akademisinya, tanpa malu-malu mulai memberikan dukungan kepada dogma-dogma budaya fasis: termasuk struktur agama dan keluarga yang regresif/mundur.

Tidak hanya itu - mereka terus menyebarkan kebohongan yang paling tidak masuk akal: tentang “bagaimana Indonesia menjadi negara yang toleran”, dan “betapa moderat-nya”. “Negara demokrasi ketiga terbesar di dunia” adalah julukan dari para demagog Barat yang terus-menerus didengungkan untuk sebuah negeri yang tidak punya satu pun partai politik yang pro rakyat atau yang anti-imperialis. Indonesia disebut sebagai “ekonomi terbesar di Asia Tenggara”, sebuah definisi yang benar-benar menyesatkan, mengingat bahwa Indonesia punya penduduk tiga kali lebih banyak dari bangsa lain di wilayah ini. Dan apakah memang bisa dikatakan sebagai sebuah "ekonomi", bangsa yang hampir tidak menghasilkan apa pun dan hanya hidup dari penjarahan sumber daya alam yang tak terkendali, serta dari penjarahan sumber daya dari jajahannya di Papua, di mana Indonesia telah diam-diam melakukan genosida yang mengerikan?

Media lokal telah terus menerus mengutip semua propaganda dan disinformasi ini, tentu cukup logis mengingat para pebisnis yang korup memiliki hampir semua media tersebut.

SETELAH rezim ini membunuh sekitar 40% guru di pulau Jawa, sistem pendidikan jatuh ke tangan orang-orang yang tidak mengerti soal pendidikan tapi bersemangat untuk mengajar bangsanya: mereka adalah kolaborator pihak Barat. Orang-orang ini tidak lebih dari para pengusaha yang haus uang, tapi jelas-jelas bukanlah pendidik. Misi mereka bukan hanya menyebarkan ketidaktahuan dan kebodohan; cara ini adalah cara alami dalam mengekspresikan diri mereka sendiri dan metode mereka dalam berinteraksi dengan dunia.

Setelah bertahun-tahun menderita karena sumber daya alamnya dijarah dengan buas, karena pembodohan oleh agama, karena sensor atas segala sesuatu yang kreatif dan mendalam, dan karena para pemuda Indonesia dicegah untuk mendapatkan pengetahuan nyata tentang dunia, maka negara Indonesia akhirnya mulai menyerupai sesuatu yang bukan diri mereka: bangsa dengan 300 juta penduduk (pemerintah juga berbohong tentang jumlah penduduknya dan saya mendapatkan informasi ini dari beberapa ahli statistik terkemuka dari PBB ketika saya sedang menulis buku yang telah disebutkan sebelumnya), tanpa satu pun pemikir/filsuf (setelah orang-orang dari jaman PKI dan Soekarno, seperti intelektual publik yang dikenal secara internasional...)

Di mana-mana kotor, kontras sosial yang amoral ada di setiap sudut kotanya...Mobil-mobil merek Range Rover dan butik Gucci ada tepat di sebelah selokan terbuka dan anak-anak yang menunjukkan tanda-tanda kekurangan gizi. Hampir tidak ada taman publik di Indonesia, tidak ada instalasi pengolahan limbah, dan hampir tidak ada trotoar atau taman bermain untuk anak-anak. Tidak ada saluran televisi pendidikan, dan hampir tidak ada perpustakaan umum - kontras sekali dengan yang ada di Malaysia. Tidak mengherankan kalau air pun diprivatisasi.

Bangsa ini berhenti membaca. Satu demi satu toko buku tutup. Di Indonesia hanya diterjemahkan beberapa ratus judul setiap tahunnya, dan kebanyakan bersifat komersial. Kualitas terjemahan yang ada amat buruk.

HAMPIR semua hal tidak beroperasi dengan baik. Ada pemadaman listrik silih berganti, dan jalan-jalan yang ada tidak rata dan sempit. Bahkan Jalan Raya lintas pulau Jawa hanya punya dua-jalur yang sempir dan banyak lubang, kualitasnya lebih buruk dari beberapa jalan-jalan desa di Thailand atau Malaysia. Kemacetan lalu lintas sudah menyeluruh baik di perkotaan maupun di pedesaan, bahkan rakyat miskin harus menggunakan kendaraan pribadinya dengan infrastruktur yang telah hancur beberapa tahun yang lalu.

Sinyal internet dan telepon buruk sekali, karenanya ketika saya selesai mengedit sebuah film dokumenter, saya terpaksa harus terbang ke Singapura untuk meng-upload beberapa file yang lebih besar.

Kapal feri tua banyak yang tenggelam, pesawat terbang berjatuhan dari langit, dan kereta api seringkali tergelincir.

Tidak ada lagi hutan yang masih utuh. Seluruh kekayaan bangsa ini sudah ditebang dan ditambang habis – semua sudah hancur dan kacau!

DAN PIHAK BARAT menari di atas bangkai Indonesia yang mengerikan. Mereka  berpesta! Ya, berpesta! Mereka mencintai, memuja bangsa yang “demokratis” dan “toleran” ini, bangsa yang sekarang sudah hancur. Bukannya berpikir, rakyat Indonesia mendengarkan lagu-lagu pop murahan, menyeringai dengan lagak bodoh, berteriak-teriak dan cekikikan yang kiranya hanya cocok dilakukan di rumah sakit jiwa, mengorbankan dirinya dengan begitu murah hati untuk kesejahteraan perusahaan-perusahaan dan pemerintah Barat!

Akhirnya saya datang berkunjung lagi ke Indonesia, hanya beberapa hari saja, untuk menghadiri pemutaran film dokumenter saya di sebuah klub film baru tapi kecil di TIM Jakarta...satu-satunya klub film dengan kapasitas 45 kursi untuk sebuah bangsa dengan 300 juta penduduk. Saya datang ke pemutaran film saya tentang kudeta di tahun 1965 berjudul “Terlena – Breaking of A Nation”, yang saya produksi sekitar 11 tahun yang lalu. Film ini adalah salah satu film dokumenter pertama yang berdurasi panjang yang pernah dibuat tentang “peristiwa” tahun 1965.

Ketika saya sedang menonton film itu, tiba-tiba saya merasa sedih sekali karena teman-teman lama saya telah “pergi” beberapa tahun yang lalu, dan saya merindukan mereka…


ABDURRAHMAN WAHID, mantan Presiden Indonesia, seorang pemimpin Muslim progresif dan secara sembunyi-sembunyi adalah seorang sosialis, yang “diam-diam” digulingkan oleh para “elit”...PRAMOEDYA ANANTA TOER, pemikir terbesar Indonesia dan penulis Asia Tenggara terpenting...

Saya melihat wajah-wajah mereka di layar, wajah-wajah yang begitu saya sayangi, dan saya berpikir: “Begitu hidupnya kalian! Bahkan ketika kalian sudah tua dan sakit-sakitan, betapa kuatnya tekad kalian. Betapaa hidupnya generasi kalian yang dibesarkan dengan semangat sosialis besar dari Presiden Soekarno, pemimpin gerakan non-blok...betapa hidupnya kalian jika dibandingkan dengan “generasi muda” sekarang yang sinis, serakah, dan sudah dicuci otaknya, yang melacurkan diri di korporasi-korporasi, generasi pandir yang tamak, generasi tanpa moral dan dengan kapasitas intelektual yang menyedihkan, tanpa emosi, egois dan tidak berisi!”

Setelah pemutaran film selesai, pertanyaan dari penonton sudah dapat diperkirakan: “apa yang harus dilakukan?”, lalu: “Apa pendapat Anda tentang generasi muda di Indonesia?”

Saya teringat akan beberapa gadis yang banyak tahu tentang sosial media. Di masa lalu, mereka datang kepada dan memohon untuk “dididik” dan “kembali dicuci otaknya untuk kembali ke kenyataan”...Mereka “ingin bekerja untuk kemanusiaan”, setidaknya itu yang mereka katakan. Saya teringat bagaimana mereka berpura-pura dan berbohong, dan bagaimana mereka berkhianat dan melarikan diri ketika terlihat sedikit tanda bahaya...Bagaimana mereka berlari kencang kembali ke pelukan klan fasisnya ketika klan memanggil, dan bagaimana mereka berlari kencang kembali ke pelukan orang tua dan kakek-nenek mereka yang korup dan penuh kebencian…Saya juga teringat akan mahasiswa-mahasiswa di Universitas Indonesia dengan sikap arogan, tidak tertarik hal lain kecuali mengetik terus menerus ke ponsel mereka dan terus mengunyah makanan dengan kualitas buruk selama dosen tamu bicara, bahkan ketika diberikan informasi-informasi penting sekali pun.

“Generasi muda?” saya berpikir. Di Indonesia, rasanya mereka seperti julukan yang sudah usang, bahkan pada usia 15: mereka seperti boneka Barbie bodoh yang bertumpu pada kaki-kaki yang kurus...Maksud saya, mereka yang berasal dari kaum “elit”... Di luar para “elit” itu, mereka hanyalah budak yang dieksploitasi, dipermalukan dan sepenuhnya dikondisikan untuk tidak bertanya dan tidak tahu. “Para pemuda elit” – tiruan murahan dari yang disebut movers and shakers dari Wall Street. Amat menyedihkan! Tidak ada individualitas, tidak punya mimpi dan bakat, tidak mau kerja keras, serta tidak punya semangat revolusioner dan memberontak! Yang ada hanyalah musik pop manis dan murahan yang sama dan film-film Hollywood murahan yang sama juga, dan kopi-susu dari Starbucks yang juga sama...Sementara di luaran, ada negara yang sedang kebakaran, tersedak asap dan kotoran yang mereka produksi sendiri, negara yang sudah hancur, yang sudah melakukan beberapa genosida paling mengerikan dalam sejarah modern – sebelumnya di Timor Timur, dan sekarang di Papua.

MEMANG keparat tuh para kolaborator dengan fasisme Barat! Mereka adalah para penjilat pantat para penjajah! Dan tidak ada seorang pun yang berpikir untuk mencukur plontos kepala mereka sebagai hukuman karena menjual diri dan negara ke Empire/Imperium! Itulah generasi “muda” (apakah memang muda?) Indonesia yang  konyol!

Saya bicara. Mereka mendengarkan. Lalu mereka pulang. Saya rasa pidato saya yang keras ini merupakan hiburan bagi mereka. Tidak ada tindak lanjut. Saya bukan berpidato di Quito atau Caracas. Saya bicara di Jakarta. Yang jelas, tidak mungkin lagi ada revolusi di sini.

Keesokan harinya, saya ingin melihat badak di “Taman Safari”, di luar kota Bogor, namun polisi memutuskan untuk menyiksa orang yang akan lewat jalan ke sana dan memblokir pintu keluar tol tanpa alasan yang jelas. Mereka menutup jalan keluar ini selama beberapa jam, hanya untuk menunjukkan bahwa mereka bisa... dengan cara ini para preman bisa berjualan di sana dan para “pemandu” bisa menuntun pengemudi lewat jalan tikus. Tentu saja, hasilnya tentu akan dibagi dengan polisi. Semua hal dikorupsi: bahkan jalan tol bisa diblokir agar polisi dan preman bisa mendapat uang ekstra! Entah bagaimana akhirnya saya berhasil keluar dari jalan tol itu, tapi paru-paru saya sudah menderita karena polusi.

Saya mencoba pergi ke Bogor, ke Kebun Raya Bogor yang terkenal, yang sampai saat ini adalah satu dari sedikit tempat publik yang ada di Indonesia. Tapi ketika sampai di sana, saya lihat pemandangan yang mengerikan: kebun raya ini secara sistematis dihancurkan dengan adanya beberapa proyek konstruksi. Pohon-pohon tua telah ditebang untuk melancarkan pembangunan lapangan parkir. Sebuah jembatan bersejarah telah dirobohkan dan sekarang sedang dibangun jembatan baru yang jelas sekali akan mengubah kawasan pejalan kaki menjadi jalan mobil. Bukannya ketenangan yang kita rasakan di sana, sekarang terdengar keras musik pop murahan yang datang dari segala penjuru.

Kemudian saya pergi melewati jalan tol yang macet...dan saya saksikan dan hirup pembakaran sampah dengan area cukup besar di tengah kota Jakarta.

Di tengah jalan tol maupun di persimpangan jalan, kita bisa lihat banyak pengemis yang cacat dan kudisan.

Di Jakarta, sebuah toko buku yang dulu sering saya kunjungi sekarang sudah berubah menjadi sebuah toko buah. Lalu saya makan malam di sebuah restoran yang menurut saya terlalu mahal untuk kualitas makanan yang mereka sediakan, dengan pelayan yang mungkin sudah ingin berada di “tempat lain”, mungkin mereka sudah mengantuk, atau memang tidak bias berkonsentrasi lagi dalam mencatat pesanan makanan.

Dan di antara semua ini, kita bisa lihat adanya beberapa Ferrari yang lalu lalang, juga beberapa toko Prada...ditambah dengan papan iklan yang amat besar-besar yang mempromosikan rokok sebagai sesuatu yang keren dan modern.

Saya tidak lagi lihat ada keindahan di kota ini. Sama sekali tidak ada lagi. Semua sudah hilang.

Sementara berada di kemacetan lalu lintas, saya mencoba untuk bekerja. Tapi bagaimana mungkin? Internet tidak jalan, dan ponsel tidak dapat sinyal. Sudah berkali-kali saya menuliskan tentang hal ini, tapi mengapa saya masih heran?

50 TAHUN sejak kudeta itu. Benar-benar peringatan hari jadi – hari yang membuat banyak orang Indonesia benar-benar bangga! Saatnya mereka menjadi pusat perhatian! Pengkhianatan atas cita-cita besar bangsa dan kepatuhan dan berserah diri ke pihak Barat.

Lagi-lagi saya ingin melarikan diri dari sini. Saya benar-benar merasa sakit di sini: seorang revolusioner, pemberontak, dan seorang filsuf di negeri yang penuh dengan ketaatan dan keruntuhan intelektual.

Jadilah saya melarikan diri dari sini. Dari kanal-kanal yang tersumbat kotoran dan sampah...dari anak-anak dan orang dewasa yang cacat, tetapi semua ini dengan butik Louis Vuitton di latar belakang...dari pengkhianatan yang memuakkan, dan dari kebohongan yang terus menerus, dari keheningan panjang, dari hampir tidak adanya orang yang bisa diandalkan, dari tidak adanya puisi, dan dari tidak adanya kegembiraan, dari kesuraman, dari tidak adanya kasih. Dan di atas semua itu, dari tidak adanya cinta.

Selama 72 jam yang saya habiskan di tempat yang saya anggap sebagai yang paling dekat dengan neraka (dan saya sudah berkunjung ke lebih dari 150 negara di dunia), tiba-tiba saya teringat begitu banyak hal yang saya coba kubur dan lupakan: dari mulai bau mayat perempuan yang diperkosa ramai-ramai dan dimutilasi di Ermera, Timor Timur, sampai ke ratusan binatang malang yang disembelih di kebun binatang Surabaya agar beberapa proyek “internasional” yang korup bisa terus beroperasi.

Saya ingat bagaimana setelah tsunami di Aceh, tentara dan polisi Indonesia, bukannya membantu korban yang trauma, malahan memeras para relawan, minta uang dan mengancam untuk merusak air minum gallon yang amat berharga waktu itu jika tidak diberi suap. Saya teringat mayat-mayat yang membusuk di lubang-lubang besar di sana karena pekerja pemerintah tidak mau mengoperasikan alat-alat berat di sana kalau tidak dibayar.

OH INDONESIA, engkau adalah putri sejati turbo-kapitalisme, dari sekte yang paling rendah, dengan kepatuhan yang tidak masuk akal, kurangnya pendidikan dan pengetahuan, banyaknya kebrutalan yang tak terbayangkan, dan kurangnya kasih sayang!

Saya melihat begitu banyak keburukan dalam kurun waktu 20 tahun ketika mencoba mendokumentasikan kejatuhanmu!

Saya melihat para pendakwah Kristen yang sakit jiwa, dengan mata mereka yang sadis dan fanatik dengan semangat seperti ISIS, sudah selama bertahun-tahun mengurung anak-anak perempuan mereka hanya karena mereka ingin menikah dengan pria bukan Kristen.

Saya menyaksikan misa agama Kristen di pusat-pusat perbelanjaan di Surabaya, ketika seorang pendakwah mengatakan dengan yakinnya: “Tuhan mengasihi orang kaya, dan itulah sebabnya mereka kaya!” Saya mengikuti beberapa misa berbahasa Inggris di gereja dengan pendakwah apparatchiks intelijen Amerika Serikat dan Australia...lengkap dengan lagu-lagu pop gereja yang aneh dan ganjil, disertai dengan goyang pinggul ibu-ibu dan gadis-gadis muda.


SAYA MELIHAT KAUM SUNNI yang rasis dan sangat fanatik, yang dibayar dan dikendalikan oleh kaum Wahhabi dari Saudi Arabia yang sudah menghancurkan desa-desa KAUM ISLAM SYIAH di pulau Madura yang terbelakang dan miskin.

Aku menyaksikan seorang gadis kecil melarikan diri dari sebuah masjid yang terbakar di Ambon, dan seorang anak laki-laki Kristen yang mencoba melarikan diri dari sekelompok pemuda Wahhabi. Pada akhirnya, mereka mencabik-cabiknya dengan parang yang mereka bawa...

Saya melihat begitu banyak pembakaran dan sisa-sisa abunya, dan begitu banyak intoleransi, kebodohan dan kebencian! Saya melihat bangsa yang menggantikan bangsa yang dulunya besar dan bangga yang dipimpin oleh seorang Presiden Muslim yang progresif, yang percaya dan mengandalkan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang besar dan demokratis.

Saya melihat dengan jelas apa yang dapat dilakukan oleh kapitalisme, imperialisme, kebodohan dan indoktrinasi fasis!

DAN jauh di dalam hati saya bersumpah: “Saya akan mengedit kembali Terlena! Saya akan mengedit ulang film dokumenter saya itu!”

Saya bersumpah, dan saya merasa jauh lebih baik. Indonesia adalah sebuah kisah besar yang belum diceritakan - cerita tentang apa yang mampu dilakukan oleh imperialisme!

Seluruh pulaunya sudah ditebang habis, dijarah: Kalimantan dan Sumatera...Gajah-gajah dan simpanse disiksa...Korupsi dan pencurian...Sampah di mana-mana, di permukaan bumi, dan di dalam otak rakyatnya.
 
Perikemanusiaan hilang...kemanusiaan hancur. Kehancuran total dari intelektualisme, kreativitas, kasih sayang dan kelembutan...

Saya melarikan diri, tapi ketika saya berlari, saya merasa ada jutaan tangan yang mencoba untuk menahan saya, mencoba untuk memperlambat saya. “Hanya tinggal kami di sini, kami sudah dilupakan” Saya mendengar suara-suara itu. “Tinggal lah lebih lama lagi...Tuliskanlah beberapa buku lagi, tulislah beberapa esai lagi, dan buatlah film lagi...Jangan tinggalkan kami!"

Saya tahu kalau saya akan melakukan apa yang mereka minta. Saya akan pergi  sekarang tapi akan kembali lagi. 

Semua saya lakukan untuk orang-orang yang sudah dibantai dan tidak berdaya, untuk hutan tanam hujan yang sudah hancur, untuk jutaan nyawa yang terputus...

Saya akan datang lagi karena dendam sama mereka yang menghancurkan Indonesia.

Saya akan datang lagi untuk memberi peringatan pada dunia.

Saya akan datang lagi supaya saya bisa menyebut para pembunuh itu dengan sebutan pembunuh, dan menyebut para kolaborator dengan julukan yang layak mereka terima.

Ketika saya akan meninggalkan negeri ini, saya tahu kalau saya akan segera kembali untuk membongkar seluruh kengerian dari hasil eksperimen yang telah dilakukan pada masyarakat Indonesia oleh rezim Barat (Amerika dkk) yang sadis, oleh agama dan dogma kapitalisnya.

Saya tahu bahwa saya akan membeberkan para kolaborator lokal. Begitulah bagaimana revolusi dimulai!

Saya akan memberikan kembali tahun-tahun dan dekade-dekade yang hilang, atau paling tidak sedikit martabat kepada orang-orang Indonesia yang dulu hidup kemudian bertempur dan tewas. Kepada orang-orang Indonesia yang tahu bagaimana mencintai dengan penuh semangat dan mati-matian, dengan sepenuh hati dan dengan egois, dengan satu sama lain dan dengan bangsa mereka sendiri, dan oleh karenanya mereka hidup kekal!



Saya tahu suatu hari nanti saya akan kembali dan sekali lagi memproduksi film. Untuk “mereka”! Dan dengan sedikit keberuntungan saya akan membuat film yang sangat bagus!

Tapi sekarang ini ketika saya akan meninggalkan negeri ini, yang terlihat dan tercium hanyalah asap, bau busuk dan sampah.

Indonesia sudah tewas. Diam-diam.

Tidak akan ada lagi kebohongan! Saat ini, masyarakat Indonesia tidak punya negara. Negara mereka sudah diambil oleh imperialis Barat, oleh “elit” mereka sendiri yang korup dan berkhianat, dan oleh militer. Hanya kalau mereka menyadari apa yang telah terjadi, mereka akan mampu berjuang dan membangun tanah air mereka yang baru.

Kamis, 07 Juni 2018

Album Forum Seniman Banten

Forum Seniman Banten Membincang Strategi Kebudayaan di Padepokan Kopi Kota Serang, Banten 26 Mei 2018.