Jumat, 26 Juni 2015

Ulasan Buku




Judul                : Mengapa Kita Diciptakan?
Judul Asli         : Good of Life
Pengarang       : Ayatullah Sayid Murtadha Muthahhari
Penerjemah    : Mustamin Al-Mandiri
Penerbit          : RausyanFikr Institute
Tahun Terbit   : 2012
Tebal Buku      : 109 hal

Menjelajah Pemikiran Sayid Muthahhari Mengenai Tujuan Hidup Manusia
Oleh Elian CA
                                            
Ayatullah Sayid Murtadha Muthahhari (selanjutnya, Prof. Muthahhari), adalah salah satu pribadi yang unggul, dengan kemampuan inteleknya yang tinggi membuatnya mampu menyerap apa yang disampaikan sang guru, seperti yang disebutkan Thabâthabâ’i, “kecerdasan Muthahhari luar biasa dan semua kata-kataku kepadanya tidaklah sia-sia. Dia menyerap segala yang kuajarkan padanya. Dia sangat saleh, penuh perikemanusiaan, dan sangat bermoral”. Selanjutnya, “aku sungguh tidak tahu bagaimana mengatakannya; kehadirannya dalam kuliah-kuliahku sedemikian mencekamku sehingga ingin rasanya aku menari-nari kegirangan.[1]

Murid terdekat Thabâthabâ’i dan Imam Khomeini ini Lahir pada 2 Februari 1920 di Fariman, sebuah dusun – kini sebuah kotapraja – terletak enam puluh kilo meter dari Masyhad, pusat belajar dan ziarah kaum Syi’ah yang besar di Iran Timur.[2] Tak terpisah sebagai kekhasan Prof. Muthahhati pada karya-karya yang telah kami temukan, ia sering memulainya dengan beberapa pertanyaan sebagai bentuk penegasan agar pembaca sedikit banyak mendapatkan maksud dan tujuan dari pembahasan yang merupakan persoalan yang ingin dijawabnya. Karya beliau pun terus berlanjut bagaikan air kehidupan yang mampu memekarkan bunga-bunga intelektual, sehingga bagi yang membacanya tak merasa jenuh melainkan menginnginkan karya selanjutnya.

Setiap saat, kita beraktivitas demi kebutuhan hidup dan masa depan keluarga serta bangsa dan Negara. Lalu apakah pernah terbesit pada benak kita, apa yang menjadi tujuan hidup ini? Apakah kebutuhan akan suautu jabatan dan atau harta yang banyak adalah tujuan, ataukah semua itu hanya sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi? Apakah hidup ini adalah tujuan atau sarana menuju kepada yang abadi, dan bagaimana dengan gerak kehidupan ini, apakah ia bergerak menuju kesempurnaannya, aktualitasnya, atau ia statis dan berakhir dengan berakhirnya gerak tubuh? Lalu mengapa harus berbuat baik dan tidak sebaliknya? Apakah setiap pandangan bisa dikatakan “pandangan dunia” dan dapat mengantarkan kita pada kesempurnaan dan tujuan yang hakiki atau tidak? Dan masih banyak lagi pertanyaan mengenai tujuan hidup ini. Pertanyaan-pertanyaan ini akan dijawab Prof. Muthahhari pada karya ini dengan bahasa sederhana namun sangat mendalam dan mencerahkan.

Tujuan Penciptaan
Pada pembahasan tujuan penciptaan ini, Prof. Muthahhari menjelaskan bahwa dalam pandangan Islam, seseorang mesti pula menanyakan apa filosofi dan tujuan diutusnya seorang Nabi. Tujuan diutusnya para nabi tak lepas dari tujuan penciptaan manusia itu sendiri, mengajak dan membimbing manusia untuk mengenal dan menemukan tujuan hidupnya yang hakiki. Dengan perantara seorang Nabi, manusia memahami potensi (fitrah) yang ada pada dirinya dan mengaktualkan sesuai dengan jalan yang benar.

Tujuan penciptaan itu sendiri, seperti yang di utarakan Prof. Muthahhari, bukanlah demi kesempurnaan atau keperluan Sang Pencipta, melaikan untuk kesempurnaan makhluk. Penyempurnaan itu sendiri memiliki tahap-tahapan sebagai suatu proses, dan terdapat perbedaan diantara setiap makhluk dalam tingkat penyempurnaannya.

Dapat dipahami bahwa salah satu tujuan diutusnya para Nabi adalah “untuk membimbing manusia mencapai kesempurnaannya, dan membantunya untuk mengatasi masalah yang dihadapinya baik secara individu maupun sosial” dan itu hanya dapat dilakukan dengan bantuan wahyu ilahi sehingga dalam perjalannya, manusia memperoleh kemudahan.

Selanjutnya, penyempurnaan tersebut dan tujuan penciptaannya hanyalah menuju dan kembali kepada Rabb-nya. Olehnya itu, manusia dituntut untuk mengenal fitrah yang ada padanya agar dapat mengembangkan sesuai tujuan hidupnya. Pada pembahasan ini, Prof. Muthahhari mengajukan beberapa konsep mengenai tujuan hidup dan kenabian, serta membandingkannya dan menganalisisnya dengan kritis dan sempurna.

Landasan Etika Personal dan Sosial
Setelah menjelaskan tujuan penciptaan manusia, Prof. Muthahhari menjelaskan beberapa pandangan mengenai individu (personal) dan hubungannya dengan masyarakat (social) yang mengalami pergolakan. Sudah tentu, masyarakat akan mencari suatu sistem yang akan digunakannya untuk mengatur lingkungannya demi kesejahteraan bersama.

Etika atau keadilan menjadi berperan penting untuk mengatur suatu masyarakat. Di sini, terdapat beberapa pandangan mengenai landasan etika yang dicetuskan oleh beberapa pemikir yang oleh segelintir orang menjadikannya sebagai landasan dalam bertindak, kemudian dipertanyakan dan dianalisis satu persatu sehingga terlihatlah kebohongan serta nihil dari nilai luhur yang tersembunyi dibalik topeng yang menutupi kekosongan itu.

Prof. Muthahhari menemukan kelemahan-kelemahan di dalamnya, kemudian mengajukan suatu pandangan etika yang berlandaskan Tauhid sebagai suatu sistem yang dapat mengatur kehidupan individu dan masyarakat yang bertanggung jawab.

Agama Mazhab Pemikiran dan Pandangan Dunia (World Vision)
Dalam BAB ini, Prof. Muthahhari berbicara mengenai Agama sebagai Mazhab pemikiran dalam hubungannya dengan pandangan dunia (world vision) dan membuktikan kebutuhan manusia terhadap Agama dalam berideologi. Ideologi haruslah lahir dari pandangan dunia yang menyeluruh terhadap manusia, masyarakat, alam dan sejarah dan pandangan dunia yang memiliki landasan kerangka pikir (teori pengetahuan; epistemologi) yang kokoh pula.[3]

Seperti halnya pandangan dunia empiris yang dilontarkan oleh orang-orang yang tidak mengakui adanya sisi non-material manusia, memandang alam ini hanya pada bagian tertentu dan berubah sesuai zaman yang ada sehingga tidak dapat dijadikan sebuah ideologi dalam mengarungi kehidupan yang harmonis, untuk mencapai tujuan yang hakiki. Suatu ideologi semestinya mampu menumbuhkan kasih sayang dan keharmonisan pada kehidupan serta memiliki rasa tanggung jawab pada setiap individu, memiliki landasan yang logis dan berlaku universal.

Mereka (kaum materialis), menganggap kekacauan dan penindasan diakibatkan oleh faktor material semata, dalam hal ini adalah ekonomi. Sehingga, mereka ingin menghapuskan kepemilikan pribadi agar tercipta masyarakat tanpa kelas –karena inilah yang menurut kaum materialis adalah masyarakat yang ideal. Namun, pemikir ulung Prof. Muthahhari membuktikan kelemahan dan kegagalan mereka dalam merumuskan suatu sistem sosial, baik itu ekonomi, politik, moral dan semacamnya kecuali hanya menyentuh kulit-kulitnya saja.

Selain itu, ada pula yang memandang kebebasan manusia sebagai sentral ideologi, seakan-akan dengan memberikan dukungan kepada setiap individu untuk bertindak dengan hasrat hewaninya sebagai suatu makhluk yang memiliki kebebasan adalah kesempurnaannya. Akan tetapi, semua itu hanyalah celoteh yang tak berdasar semata, mereka tidak mampu memahami arti kebebasan dan tanggung jawab. Hal ini terlihat dari argumen-argumen yang dipaparkan oleh Prof. Muthahhari.

Muthahhari pun menjelaskan hal-hal yang terkait dengan tauhid dan membagi tingkatan-tingkatan tauhid menjadi tauhid zat, tauhid sifat, tauhid perbuatan dan yang terakhir adalah tauhid penghambaan. Yang belakangan adalah aspek praktis sedangkan tiga sebelumnya adalah teoritisnya. Penjelasan terhadapnya memperlihatkan Ke-Esa-an Sang Khaliq dan kebutuhan kita terhadapnya agar tercapai masyarakat yang ideal, bersatu pada jiwa dan raga menuju cita-cita yang satu. Sebagai lawannya adalah kemusyrikan yang juga memiliki tingkatan sebagaimana tauhid, dan menjadi penyakit dalam lingkungan kehidupan, melemahkan sisi spiritualitas masyarakat.[4]

Pada akhirnya, kebutuhan akan Tauhid ( dalam hal ini agama Islam yang benar) merupakan hal yang tak terelakan lagi, karena ia merupakan jalan mencapai tujuan yang hakiki.

Islam dan Penyempurnaan Manusia
Awal pembahasan (BAB Awal) mengenai tujuan penciptaan, penjelasan yang diberikan adalah mengenai tujuan hidup serta penciptaan. Penciptaan tersebut bukanlah untuk Pencipta melainkan untuk makhluk itu sendiri dan demi kesempurnaannya.

Berbeda dengan sebelumnya, pada bagian ini Muthahhari akan berbicara mengenai kesempurnaan dalam beberapa pandangan, menyikapinya dan menjelaskan seperti apa kesempurnaan itu dan apa ukuran atau kriteria dari kesempurnaan, apakah setiap makhluk memiliki kesamaan atau terdapat perbedaan pada tingkat kesempurnaan (seperti yang telah kami singgung)? Lalu bagaimana cara mengetahui kesempurnaan manusia, apakah kita harus mengenali fisiknya atau sesuautu yang lain.

Untuk mengawalinya, Prof. Muthahhari mempertanyakan tentang iman, apa yang dimaksud dengan iman. Beliau mengatakan bahwa iman, pertama, adalah keyakinan kepada Allah. Kedua, iman tersebut mencakup kepercayaan kepada (keberadaan) malaikat, kitab-kitab Allah, para nabi, hari kebangkitan, dan lain-lain. Dari sini muncul pertanyaan baru, apakah iman adalah karunia bagi manusia, atau sesuatu yang bermanfaat? Kemudian Prof. Muthahhari menjelaskan maksud dari karunia dan manfaat yang dimaksud, bawa “karunia adalah sesuatu yang masih memerlukan penyempurnaan dalam dirinya sendiri, sementara sesuatu yang bermanfaat, sudah pasti baik karena manfaat yang diberikannya.

Setelah mempertanyakan iman, dilanjutkan dengan persoalan, hal-hal yang dipersyaratkan bagi penyempurnaan manusia untuk selanjutnya mengetahui kedudukan iman dalam hubungannya dengan kesempurnaan.

Seperti biasa, Prof. Muthahhari selau mendeskripsikan dan mengkomparasi pandangan yang terkait pokok bahasannya kemudian setelah memberi sanggahan terhadapnya, mulailah beliau menyuguhkan suatu pandangan yang telah disiapkan. Penjelasan terkait, terdapat lima pandangan mengenai kesempurnaan manusia. Di sini terlihat dengan jelas bahwasannya pandangan yang mereka ajukan tak lebih seperti perkembangan yang tidak sempurna pada organ tertentu makhluk hidup dan mengalami kecacatan disana sini. Mereka hanya mengambil bagian-bagianya dan melihat dari sudut pandang yang berbeda. Hal ini diakibatkan pandangan yang terbatas dan tidak menyeluruh, sehingga mengira di situlah letak kesempurnaan manusia. Tentu, penafsirannya pun berbeda, misalnya, konsep kekuatan atau kekuasaan yang dipahami Nietzsche berbeda dengan pandangan Islam dan perbedaan tersebut yang pertama tidak diakuinya, sisi spiritual manusia.

Tauhid Islam
Akhirnya, sampai pada penghujung bahasan, di sini Prof. Muthahhari menampilkan kembali pandangan-pandangan terkait kesempurnan manusia secara sistematis, perbincangkan kembali keimanan dan Tauhid serta kebutuhan manusia akan keadilan di alam dan berakhir pada yang satu, yaitu Tauhid, iman kepada Allah yang menjadi tujuan tertinggi manusia. Prof Muthahhari memperlihatkan keterhubungan kesemua pembahasan ini yang bermuara pada satu titik yang abadi, seperti yang disebutkannya (hal. 105-106):

Iman kepada Allah adalah tujuan itu sendiri. Adanya iman dan semua pengaruhnya dalam hidup manusia menjadikan iman sebagai penghubung antara manusia dan Allah. Dan Islam memandang, hubungan seperti inilah yang menjadi jalan dalam proses penyempurnaan kemanusiaan, jalan yang tanpa batas dalam perjalanan manusia kembali ke asalnya.

Seperti itulah pencerahan-pencerahan yang diberikan Prof. Muthahhari, yang tidak bersifat dokriner melainkan dapat diterima oleh orang yang memiliki akal dan tidak fanatik buta. Walaupun dengan jumlah halaman yang dapat dikategorikan tipis dan ukuran buku yang standar, namun buku ini sangat penting untuk dibaca tanpa dikhususkan pada kelas tertentu. Terlepas dari hal tersebut, penyajiannya dilakukan secara terstruktur, sistematis dan komprehensif namun tak sulit untuk dicerna. Pada bagian akhir, dicantumkan indeks yang berisi nama tokoh, mazhab dan semacamnya guna memudahkan pencarian. Untuk itu, kami sarankan kepada siapa saja yang ingin memahami tujuan dan arti hidup yang bermakna untuk mencapai kesempurnaan agar tidak melewatkan karya pemikir besar ini. Selamat membaca!

Catatan:
[1] Filsafat Hikmah: Pengantar Pemikiran Shadra
[2] Lihat  Filsafat Hikmah: Pengantar Pemikiran Shadra Karya Muthahhari pada bagian pendahuluan, dan Juga buku Para Filosof: Sebelum dan Sesudah Shadra karya Muhsin Labib.
[3] lihat Muthahhari, Pengantar Epistemologi Islam
[4] Muthahhari, Pandangan Dunia Tauhid          

Sabtu, 20 Juni 2015

Intel Iran Lebih Hebat Dibanding CIA dan MOSSAD


[08/12/2010] Hojjatul Islam Wal Muslimin Haydar Moslehi, Menteri Intelijen Republik Islam Iran menjelaskan perincian pembebasan Heshmatullah Attarzadeh, diplomat Iran yang diculik di Peshawar, Pakistan. Heshmatullah Attarzadeh, diplomat Repubik Islam Iran yang diculik sekitar bulan November 2008 di Peshawar, Pakistan akhirnya berhasil dibebaskan oleh para intelijen Iran yang biasa disebut sebagai Sarboz-e Gomnom-e Emam Zaman (intelijen dengan sandi pasukan rahasia Imam Mahdi).

Hojjatul Islam Wal Muslimin Heydar Moslehi hari ini di hadapan para wartawan terkait diplomat Iran yang diculik di Pakistan mengatakan, “Lembaga-lembaga di dunia yang menyebut dirinya sebagai pembela hak asasi manusia, sangat disayangkan mereka hadir di kawasan negara-negara Islam yang menciptakan instabilitas di banyak negara.”

Seraya memperingatkan negara-negara kawasan Moslehi menegaskan, “Amerika, Mossad, dan dinas-dinas rahasia negara-negara Eropa dengan alasan kosong hadir di kawasan hanya untuk menciptakan instabilitas.” Ditambahkannya, “Sekaitan dengan hal ini, di bulan Aban 1387 (November 2008) terjadi peristiwa menyakitkan di Pakistan dan Heshmatullah Attarzadeh, diplomat Republik Islam Iran di Peshawar, Pakistan diculik oleh kelompok bersenjata yang didukung oleh Mossad dan CIA.”

Menteri Intelijen Moslehi mengatakan, “Kami telah meminta Pakistan agar mengambil langkah-langkah untuk membebaskan diplomat ini, tapi dinas rahasia negara ini tidak mampu berbuat apa-apa untuk menghadapi dinas rahasia negara-negara arogan dan Mossad yang hadir di kawasan.” Dijelaskannya, “Untuk itu Departemen Intelijen mulai mengambil langkah-langkah untuk membebaskan diplomat Iran dan akhirnya dalam sebuah operasi intelijen sulit, saudara-saudara kami di departemen berhasil membawa kembali Attazadeh ke tanah air.”

CIA dan MOSSAD Bingung Soal Pembebasan Attarzadeh
Hojjatul Islam Wal Muslimin Heydar Moslehi juga menyatakan akan menjelaskan detil terkait operasi pelik ini di waktu yang akan datang dan mengatakan, “Dinas Rahasia Amerika (CIA) dan Israel (Mossad) masih bingung soal bagaimana proses pembebasan diplomat Iran ini.”

Menteri Intelijen Heydar Moslehi menyatakan penyesalannya terhadap negara-negara kawasan yang masih bekerjasama dengan dinas rahasia Amerika dan Mossad. Diingatkannya, “Republik Islam Iran dengan kekuatan yang dimilikinya mampu menghadapi konspirasi spionase asing dan bahkan mempecundanginya.”

Moslehi mengatakan bahwa Iran di kawasan memiliki kemampuan intelijen luar biasa seraya menyatakan, “Kekuatan ini tidak hanya bermanfaat bagi Iran, tapi juga bagi kawasan Timur Tengah.”

Dilanjutan ucapannya, Moslehi menasihati dinas-dinas rahasia negara-negara di kawasan untuk lebih berhati-hati dengan dinas-dinas rahasia Amerika dan Inggris. Karena kehadiran mereka di kawasan semakin meningkatkan terciptanya instabilitas.

Sekaitan dengan kasus penculikan diplomat Iran di Pakistan, Moslehi menjelaskan, “Ada kelompok yang menculik Heshmatullah Attarzadeh di Peshawar. Sebuah kelompok bersenjata yang punya hubungan erat dengan CIA dan Mossad. Kelompok ini punya banyak tuntutan, namun Republik Islam Iran dengan penuh kekuatan dan tanpa memenuhi tuntutan mereka mampu membebaskan diplomatnya.”

Penangkapan Rigi Bukti Ketangguhan Intelijen Iran
Menteri Intelijen Iran juga menyinggung soal penangkapan gembong teroris kelompok Jundullah, Abdolmalek Rigi dan mengatakan, “Penangkapan Rigi sebenarnya tidak terlalu penting, tapi bentuk langkah dan spionase yang dimiliki dalam penangkapannya menunjukkan ketangguhan intelijen Republik Islam Iran di atas Mossad dan CIA.

Penangkapan Rigi mampu merenggut kejayaan intelijen dari tangan kekuatan hegemoni dan menyatakan, “Segala pengakuan Rigi sangat penting terkait intelijen dan kami membutuhkan waktu untuk memanfaatkan pengakuan Rigi di pelbagai bidang.”

Seraya menyinggung pengakuan Abdolmalek Rigi terkait banyak masalah dan langkah-langkah yang dimanfaatkan oleh pelbagai dinas rahasia seperti Mossad, CIA dan M16, Moslehi mengatakan, “Tidak lama lagi kami akan menjelaskan lebih terperinci mengenai masalah ini kepada masyarakat Iran.” (IRNA doc:0303) 



Kamis, 18 Juni 2015

Galeri Ummat (Ulama Syi'ah dan Sunni dalam Kebersamaan)

Maktabah Alawiyyin Syiah Imamiyah 12 Indonesia, tahun 1379 H. 
Dari kiri Ali Baqir al-Musawi, Doktor Muhammad Sa’id Thayyib, Sayyid Hasyim as-Salmân, almarhûm Sayyid Muhammad Alawi al-Maliki, Doktor Sâmi dan Amin al-Aththâs. 
Habib Ali Al Habsyi Kwitang, habib Ali Al Atthas Bungur, dan Syeikh Mudzaffar (Ulama Syi'ah) berdo’a bersama. 
Habib Ali Al Habsyi Kwitang, habib Ali Al Atthas Bungur, Ulama Syiah Syeikh Mudzaffar, Habib Salim Bin Jindan. 
Ulama Syi'ah (Syeikh Mudzaffar) bersama Habib Salim Bin Jindan.
Syi'ah (Tengah: Sayid Hasan Qazwini) dan Sunni (Kanan: Habib Umar bin Hafidz). 

Syekh Badruddin Hassoun (Sunni) dan Sayid Ali Khamenei (Syi'ah). 
Syi'ah (Kiri: Sayid Hasan Qazwini) dan Sunni (Tengah: Habib Umar bin Hafidz)
Sayid Muhammad al Maliki (Sunni) dan Habib Husein al Habsyi (Syi'ah)
Peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw yang Diselenggarakan Muslim Sunni dan Syiah di Bandung 19 Januari 2014.