Kamis, 14 November 2019

Citra Kota dalam Dua Puisi


MALAM AKASIA
(puisi Vitezlav Nezval)

Hidup cuma punya dua tiga hari ciuman
lalu pohon gigih ini digelantungi beratus lebah dan bunga
waktu malam bulan Juni. Jika akasia merekah
dan lagu sungai berlecut tasbih lampu-lampu
dan mewangi karena perempuan-perempaun mandi,

jalan-jalan raya tiba-tiba melebar
dan berkilau bagai salon-salon kecantikan.
Titian bergantungan dan manik-manik cahaya melingkup air
di mana aku melangkah: taman gaib
berantuk dengan peziarah.

Orang-orang pergi ke tempat memadu hati
dengan kebun-kebun dan jalan-jalan,
lapangan-lapangan luas dan bulevard.
Karena mabuk aku lupa
pada lorong-lorong tua Nove Mesto
yang dinding-dindingnya kelabu dan kini perkasa
memiliki kedaulatan sebuah mahligai.

Oh malam akasia, malam agung dan kelembutan
yang menggoda, jangan pergi! biarkan aku selamanya
dahaga cinta dan kota Praha; jika berakhir bulan Juni,
singkat seperti cinta dan ranum tubuh.

Oh malam akasia, jangan berlalu, sebelum kutiti
seluruh jembatan Praha; bukan mencari siapa-siapa,
bukan juga kawan, bukan perempuan, bukan diriku sendiri.
Oh malam pemilik jejak peziarahan musim panas
tak juga kunjung pada kerinduanku bernafas dalam rambutmu;
kilau permatamu telah merasuki-ku,

kuselami air bagai si pemukat terkutuk:
mampukah kukatakan: sampai lain kali duhai malam bulan Juni
jika tak sempat lagi kita berjumpa,
hiruplah aku dalam pelukanmu,
kekasihku yang malang. 

DI KOTA TUA JAKARTA
(puisi Sulaiman Djaya)

Kota ini sebuah riwayat
Para saudagar dan syahbandar
Di hiruk-pikuk dan lalu-lalang bandar
Dari sejak Taruma
Hingga masa Hindia Belanda.

Tugu dan gedung-gedung tua
Adalah kisah penaklukan
Juga pemberontakan
Atas nama agama
Dan komoditas dagang.

Aku dan perempuan Eropa-ku
Singgah di Café Batavia
Dan aku hanya bisa tertawa
Saat ia melantunkan selagu jazz lama
Tentang kesepian dan cinta.

“Fly me to the moon……
Let me play among the stars…..”
Tapi yang kubayangkan
Adalah kepak para unggas
Di atas gugusan ranca

Sebelum noni-noni Belanda
Menyebutnya Batavia.
Di Sunda Kelapa,
Orang-orang dari ragam suku dan bangsa
Sibuk dengan pekerjaan mereka

Dan tentu saja tak ada lagi Fatahillah
Atau Pengeran Jayakarta
Meski nama mereka masih terbaca
Sekedar artefak di museum tua
Sebagaimana halnya benda-benda


Dan bangunan-bangunan lama
Yang kusam dan berkarat
Oleh waktu. Kota ini adalah riwayat
Banyak bangsa. Seperti perempuan Eropa-ku
Yang datang karena kisahnya.  




Rabu, 13 November 2019

Kenapa Evo Morales Dikudeta?



oleh CJ Atkins (diterjemahkan oleh Dina Y. Sulaeman)

Lithium adalah bahan utama untuk baterai yang memicu revolusi mobil dan smartphone dunia. Analis pasar berspekulasi bahwa pada pertengahan 2020-an, lithium akan jadi barang mahal karena tingginya permintaan "emas abad ke-21" ini. Diperkirakan, 25 -45% cadangan lithium yang ada bumi ini berada di padang garam “Salar de Uyuni” yang terletak di Andes, Bolivia. Pemerintah Evo Morales telah berupaya menciptakan industri lithium yang dimiliki publik demi melepaskan warganya dari jeratan kemiskinan.

Upaya perusahaan tambang multinasional dari AS, Kanada, Korea Selatan, dan lainnya untuk menguasai lithium itu sejauh ini gagal. Sebuah usaha patungan dengan perusahaan Jerman dibatalkan oleh pemerintah Bolivia pekan lalu karena Morales merasa keuntungan yang akan diberikan kepada penduduk asli yang tinggal di dekat Uyuni tidak cukup. Perusahaan China dan Rusia termasuk di antara sedikit perusahaan yang telah menandatangani kesepakatan.

Sebagaimana nasib berbagai pemerintah progresif di dunia sepanjang abad terakhir ini, bagian selanjutnya dari kisah perjuangan Morales sudah dapat diprediksi. Akhir pekan ini, Morales pun digulingkan dalam kudeta militer.

Masih terlalu sedikit detail yang terlihat untuk menarik garis hubungan antara kepentingan perusahaan tambang lithium dengan perkembangan terakhir di Bolivia, tetapi kudeta militer, sorak-sorai dari pemerintahan Trump, pemerintah Trudeaudi Kanada, dan OAS [organisasi “pro demokrasi” yang menyerang Morales] menunjukkan bahwa negara kecil yang kaya sumber daya alam punya resiko besar jika berani melawan tuntutan negara-negara kaya, korporasi, dan imperialis.

Setelah berhari-hari terjadi aksi demonstrasi pasca terpilihnya kembali Morales dalam pemilu Oktober, pada hari Minggu malam (9 Okt), Jenderal Williams Kaliman mengumumkan bahwa angkatan darat dan udara mulai bergerak. Dia menuntut presiden mundur "untuk menjaga stabilitas." Setelah polisi berpihak pada kudeta dan meninggalkan pos-pos mereka, demi mencegah terjadinya kekerasan lebih lanjut terhadap rakyat, Morales mengundurkan diri.

Morales memenangkan pemilihan bulan Oktober dengan suara 47%. Penantangnya adalah tokoh sayap kanan, mantan Presiden Carlos Mesa, meraih suara 36%. Calon pihak ketiga mengambil sisa suara. Mesa menjabat presiden dari 2003-2005, setelah sebelumnya menjabat sebagai wakil dari Presiden de Lozada. Mesa dijatuhkan setelah aksi demonstrasi besar-besaran rakyat yang memprotes rencana penjualan cadangan gas alam Bolivia kepada perusahaan-perusahaan asing. Kesepakatan penjualan gas itu hanya memberi sedikit keuntungan bagi rakyat Bolivia.

Di antara mereka yang memimpin protes selama "perang gas" adalah Morales, yang kemudian terpilih sebagai presiden pribumi (dari suku asli Indian) pertama di Bolivia pada tahun 2005. Dia berasal dari partai Gerakan Menuju Sosialisme (Movement Toward Socialism- MAS). Salah satu tindakan pertamanya saat berkuasa adalah menasionalisasi penuh perusahaan migas negara itu. Aksi Morales ini adalah “kejahatan” besar di hadapan kapitalisme, yang tidak pernah diampuni oleh para pengusaha tambang multinasional.

Dengan memanfaatkan uang yang dihasilkan dari industri sumber daya alam yang sekarang dimiliki publik, pemerintah Morales memulai program penghapusan kemiskinan yang masif dan berhasil. Menurut data yang dikumpulkan oleh Center for Economic and Policy Research, pertumbuhan ekonomi di Bolivia telah dua kali lipat dari wilayah Amerika Latin dan Karibia selama tahun-tahun pemerintahan Morales.

Sebelum MAS berkuasa, pemerintah Bolivia mengumpulkan 731 juta USD pendapatan tahunan dari migas. Setelah nasionalisasi, jumlah itu melonjak lebih dari tujuh kali lipat, yaitu mencapai 4,95 miliar USD. Dengan surplus neraca dan peningkatan perdagangan dengan pemerintah berhaluan kiri lainnya di kawasan itu, Bolivia mampu mencapai ukuran kemandirian ekonomi yang belum pernah dinikmati sebelumnya.

Persentase populasi yang hidup dalam kemiskinan anjlok dari 60% menjadi 35% pada tahun 2018, dengan mereka yang berada dalam kemiskinan ekstrim menurun dari hampir 38% menjadi 15% pada periode yang sama. Ini dicapai tidak hanya dengan nasionalisasi sumber daya, tetapi melalui kombinasi upah redistributif dan kebijakan investasi publik dan pengabaian tuntutan pemerasan dari IMF.

Namun terlepas dari keberhasilan peningkatkan standar hidup dan pendapatan bagi kelas pekerja Bolivia, dan masyarakat suku-suku asli, Bolivia tetap merupakan negara miskin. Morales masih berupaya menyelesaikannya, antara lain dengan mendiversifikasi ekonomi agar tidak terlalu tergantung pada gas, meningkatkan hasil pertanian untuk mencapai kedaulatan pangan, dan berusaha bermain di pasar baterai lithium internasional.

Program semacam inilah yang dikampanyekan Morales dan MAS dalam pemilihan Oktober 2019. Tetapi bahkan sebelum hasil pemungutan suara dihitung, Amerika Serikat dan pemerintah sayap kanan di Kolombia dan Brasil sudah mengatakan mereka tidak akan mengakui hasil pemilihan yang tidak mencerminkan "kehendak rakyat Bolivia." Lembaga-lembaga keuangan internasional telah melakukan hal yang sama selama bertahun-tahun.

Amerika Serikat dan IMF secara konsisten berpihak pada Mesa ketika dia menjadi presiden16 tahun lalu. Mesa adalah pelaksana kepentingan perusahaan multinasional pertambangan dan penegak ortodoksi neoliberal di IMF dan di Washington. Morales adalah kebalikannya. Ia mengatakan pada 2006, “Musuh terburuk umat manusia adalah kapitalisme Amerika Serikat.”

Selama menjabat sebagai presiden, Morales menjadi musuh korporasi asing, serta pemerintahan negara-negara yang mendukung korporasi itu. Penggulingannya telah menghapus generasi terakhir dari pemimpin “Pink Tide” asli di Amerika Latin yang didorong oleh gerakan massa yang menuntut masa depan yang berbeda dari yang dipaksakan kepada mereka oleh kekuatan neokolonialis dan imperialis.

Kudeta ini, untuk saat ini, mematikan harapan akan adanya industri lithium milik publik yang akan membawa Bolivia ke abad ke-21 dan menghasilkan lebih banyak dana untuk menciptakan lapangan kerja dan mengurangi kemiskinan. Perusahaan tambang pasti kini bersuka cita.