Jumat, 05 September 2014

Memahami Arthasastra Kautilya dalam Konteks Hubungan Internasional



Oleh Asrudin

Dapat dikatakan bahwa hanya sedikit penstudi Hubungan Internasional (HI) di Indonesia yang mengenal buku Arthasastra Kautilya dengan baik. Bahkan nyaris tidak ada buku teks HI berbahasa Indonesia yang menyinggung Arthasastra Kautilya dalam fokus bahasannya. Kebanyakan buku teks HI di Indonesia hanya berfokus pada kajian-kajian HI berperspektif Barat.[1] Andaikan terdapat bahasan menyoal Arthasastra Kautilya, hal itu hanya ada dalam studi Agama Hindu.  Karena buku Arthasastra yang ditulis oleh Kautilya merupakan salah satu referensi kitab Upaweda.[2]

I Wayan Suarjaya, Direktur Jenderal Departemen Agama untuk Bimbingan masyarakat Hindu dan Budha, dalam kata sambutan ketika diterbitkannya buku Arthasastra di Indonesia pada 2003 pernah menyatakan bahwa diterbitkannya buku ini ditujukan hanya bagi para mahasiswa agama Hindu,[3] dan tentunya bukan mahasiswa HI. Padahal kalau kita kaji secara mendalam, buku Arthasastra juga fokus pada kajian-kajian politik dan hubungan internasional. Pada buku ketujuh dan kesepuluh Arthasastra misalnya, Kautilya membahas tentang enam kebijakan politik luar negeri dan diskursus perang yang telah menjadi fokus analisis studi hubungan internasional.

Kautilya atau Canakya, dikenal juga dengan nama Vishnugupta,  adalah seorang menteri negara, ahli politik, tokoh agamawan (Brahmana), yang menulis karya agung Arthasastra. Arthasastra ditulis pada tahun 300 SM atau sekitar 2000 tahun silam dan telah disebut dalam banyak kitab-kitab klasik dan sastra Hindu (seperti Vishnu Purana, Kamandaka – Nitisara, Panchatantra, dll), namun baru ditemukan oleh Dr. Shamasastry, Director of Archeological Research in Mysore, India, dan kemudian dipublikasikan pada tahun 1905.  Sejak saat itu berbagai macam tulisan dan komentar muncul tentang karya tersebut. Arthasastra telah dipelajari dan diterjemahkan dalam berbagai bahasa seperti Jerman, Rusia, Malaya, Indonesia, dan sebagainya.[4]

Arthasastra ditulis Kautilya sebagai upaya untuk menghimbau para pemimpin bagaimana caranya mengelola negara. Dibagi menjadi 15 buku yg terangkum dalam 1 buku, Kautilya menjelaskan setidaknya 9 bidang keilmuan yang mesti diperhatikan oleh para pemimpin seperti politik-tata negara dan hubungan internasional, intelijen, kepemimpinan, ekonomi, hukum, filsafat, pengobatan (kesehatan), ilmu magis, dan metode ilmu.

Pada masa hidupnya, Kautilya diangkat dan dipercaya sebagai penasihat bagi Raja India Chandragupta. Kautilya menawarkan Arthasastra sebagai bahan diskusi studi strategis tentang perang dan diplomasi.  Arthasastra ditulis Kautilya untuk rajanya agar dapat menaklukkan dunia, melalui pembelajaran tentang “bagaimana mengalahkan musuh-musuh raja dan memerintah atas nama kepentingan umum”.  Dalam Arthasastra, strategi-strategi yang ditawarkan oleh Kautilya untuk dapat menaklukan dunia nampak dalam buku ketujuh dan kesepuluh tentang  strategi enam kebijakan politik dan strategi perang.

Tulisan ini akan mengkaji buku Arthasastra Kautilya. Sistematika penulisan akan diawali dengan mengupas secara ringkas buku Arthasastra Kautilya sebagai pengenalan awal, kemudian akan dikaji secara rinci bahasan-bahasan buku Arthasastra yang terkait langsung dengan kajian-kajian hubungan internasional seperti: enam kebijakan politik, perang dan penaklukan dunia.

Mengenal Arthasastra Kautilya

Arthasastra adalah kitab yang ditulis oleh Kautilya sekitar 2000 tahun silam (300 SM). Sewaktu menutup karyanya, Kautilya menyatakan “sumber kehidupan umat manusia adalah Artha (kesejahteraan), dengan kata lain adalah Bumi dengan (segala isinya) yang didiami manusia. Ilmu yang mencakup cara untuk mencapai dan melindungi Bumi adalah Arthasastra, ilmu politik” (Buku Lima Belas, Bab Satu, Bagian 180, ayat 1).

Arthasastra Kautilya dapat dikatakan sebagai suatu kompedium tentang bagaimana mengelola negara secara lengkap dan detail. Isinya bukan saja mencakup tentang politik – tata negara, intelijen, kepemimpinan, ekonomi, hukum, filsafat, dan pengobatan serta ilmu magi, tetapi juga tentang ilmu HI.

Menurut Hoslti, Kautilya menulis karya-karya yang masih tetap dipelajari orang sampai sekarang; karena kesadarannya terhadap bentuk-bentuk permasalahan yang masih menghantui para negarawan. Tulisan utama Kautilya dalam Arthasastra bukanlah untuk memberikan analisa umum tentang hubungan antar negara, tetapi lebih merupakan tawaran saran tentang bentuk ketatanegaraan yang paling efektif.[5]

Kautilya menulis Arthasastra tentu beralasan, yakni sebagai buku pegangan bagi para raja India dalam menjalankan kekuasaannya. Karena bukunya tersebut, Kautilya diangkat oleh raja India Chandragupta Maurya (317-293 SM) sebagai ahli strategi, kanselir atau semacam perdana menteri. Sejak saat itu Chandragupta dan Kautilya bekerja bersama dalam menaklukan wilayah-wilayah India yang dikuasai oleh Yunani melalui metode Arthasastra.

Dengan Arthasastra, Kautilya bersama Chandragupta berhasil menghancurkan kekuasaan para penerus Alexander Agung, dan untuk pertama kalinya berhasil menyatukan sebagian besar anak benua India ke  dalam kerajaannya. Tak lama setelah kematian Alexander Agung pada tahun 323 SM, Chandragupta dan Kautilya memulai penaklukkannya di India dengan merebut wilayah-wilayah yang dikuasai oleh Yunani. Setelah merebut banyak wilayah India Barat (Punjab dan Sindh) dari tangan Yunani dan disepakatinya sebuah perjanjian dengan Seleucus (penerus Alexander Agung di India Barat), Chandragupta dan Kautilya berhasil menyatukan hampir seluruh anak benua India. Sebagai akibatnya, Chandragupta sejak saat itu, dan hingga kini, dianggap sebagai pemersatu pertama India dan kaisar atau raja yang pertama bagi India.[6]

Setelah berhasil mengalahkan Yunani di India, Chandragupta berhasil membagun Kerajaan Maurya dengan pesat dan gemilang. Kebesaran  kerajaan ini terus berlanjut hingga era puteranya Bindusara (293-268 SM) dan cucunya Ashoka (268-232 B.C.E.). Dengan populasi berjumlah sekitar limapuluh juta orang, Kerajaan Maurya merupakan yang terbesar dibandingkan dengan Kerajaan Mughal yang berdiri dua ribu tahun setelahnya dan bahkan lebih besar dibandingkan kekuasaan Kerajaan Inggris di India.[7] Demikian pula dalam hal besarnya jumlah pasukan yang dimiliki oleh Chandragupta, seluruhnya berjumlah sekitar enam ratus ribu infantri, tigapuluh ribu kavaleri, delapan ribu kereta tempur berkuda, dan sembilan ribu gajah.[8] Ibu kota Chandragupta adalah Pataliputra (dekat kota modern Patna di timur laut India, tepat di bawah Nepal). Pataliputra mungkin adalah kota terbesar di dunia saat itu, sebuah kota dengan panjang delapan mil dan lebar satu setengah mil, dengan 570 menara dan enam puluh empat pintu gerbang, semuanya dikelilingi oleh sebuah parit dengan lebar 600 kaki dan kedalaman empat puluh lima kaki. Selain itu kota juga dilindungi oleh dinding-dinding batu dengan dilengkapi oleh para pemanah yang dipersenjatai mata pisau.[9] Menurut para ahli, “Pataliputra” wilayahnya dua kali lebih besar dari Roma di masa kerajaan Marcus Aurelius.”[10]  Disinilah era imperium Chandragupta dimulai.

Beberapa pengamat berpendapat bahwa keberhasilan Chandragupta mengalahkan Yunani dan menguasai India adalah buah keberhasilan yang disarankan oleh Kautilya melalui bukunya Arthasastra.[11] Dan banyak pula sejarawan India yang bangga mempertahankan Arthasastra Kautilya sebagai buku praktis tentang realisme politik yang mampu menciptakan sejarah yang gemilang di masa India kuno. Bahkan D. D. Kosambi berani mengatakan bahwa “Arthasastra Kautilya mampu bekerja dengan lebih baik dalam hal praktik dibandingkan dengan metode berpikirnya Plato tentang idealisme politik sebagaimana yang dipegang teguh oleh orang-orang Yunani.”[12]

Dari sinilah awal mula munculnya pengaruh buku Arthasastra yang ditulis oleh Kautilya. Di bawah ini penulis akan mengkaji aspek-aspek teoretis buku Arthasastra yang terkait dengan studi hubungan internasional, diantaranya adalah tentang enam kebijakan politik luar negeri, perang, dan politik penaklukan dunia. Ketiga kajian ini penting untuk dipahami agar  kita dapat memahami peta pemikiran Kautilya tentang hubungan internasional.

Enam Kebijakan Politik Luar Negeri

Dalam Arthasastra, Enam kebijakan politik luar negeri dibahas dalam buku ketujuh.[13] Dalam buku ini Kautilya menawarkan teori bahwa “an immediate neighbouring state is an enemy and a neighbour’s neighbour, separated from oneself by the intervening enemy, is a friend”.[14]  Dengan demikian negara penakluk dapat mempengaruhi garis batas antara sekutu dan musuh, seperti halnya raja penakluk mempengaruhi pembedaan jenis sekutu dan musuh. Kautilya menggambarkan Mandala atau Lingkaran Negara-negara (Circle of States) seperti sebuah roda dengan penakluk sebagai sentralnya.  Sekutu-sekutunya ditarik menuju posisinya di sepanjang jari-jari roda meskipun mereka dipisahkan oleh wilayah musuh.[15] Ketika dianggap tepat, raja penakluk menerapkan enam metode kebijakan luar negeri, yang umumnya dikenal sebagai enam kebijakan politik (the six-fold policy), terhadap berbagai komponen dalam Mandala Negara-negaranya.  Metode tersebut bekerja saling terkait dan mengikat satu sama lain kepada penakluknya sehingga ia (raja penakluk) dapat melakukan apapun yang diinginkan selama itu perlu menurutnya.

Enam kebijakan politik luar negeri Kautilya merupakan penentuan (kebijakan) mundur, stabil/ berdiam diri dan maju. Seperti kata Kautilya:

Lingkaran unsur-unsur pembentuk negara (Prakirti Mandala) adalah dasar enam kebijakan.[16]

Para guru pada masa Kautilya hidup cenderung memiliki cara pandang yang berbeda, karena itu guru yang berbeda, percaya pada kebijakan-kebijakan yang berbeda pula. Sebagai contoh, Vatavyadhi mengajari bahwa hanya ada dua pendekatan kebijakan luar negeri: mengadakan perdamaian atau melakukan peperangan.[17]  Namun Kautilya memiliki cara pandang yang berbeda, dia percaya bahwa terdapat hal-hal lain selain kedua hal tersebut, oleh karena itu ia memberikan enam metode kebijakan politik luar negeri. Keenam kebijakan politik tersebut adalah membuat perdamaian (sandhi), melakukan peperangan (vigraha), tinggal diam/netral (asana), mempersiapkan diri untuk perang/siaga (yana), mencari dukungan/aliansi (samsraya), dan kebijakan ganda yaitu membuat perdamaian dengan negara satu sementara itu juga mengadakan peperangan dengan negara lainnya.[18] Kondisi yang sedang berlangsung akan menentukan kebijakan apa yang sebaiknya akan digunakan.

Untuk mengadakan perdamaian, kita harus terlibat dulu dalam suatu kesepakatan, seperti misalnya perjanjian, dengan syarat-syarat tertentu.  Namun dalam perjanjian ada yang mengharuskan syarat tertentu, atau bisa juga tidak memiliki kewajiban apapun. Perjanjian tanpa syarat umumnya digunakan untuk memperoleh informasi tentang musuh, sehingga raja bisa melakukan serangan setelah mempelajari titik lemah ‘lawan-lawannya’.  Perjanjian dengan kewajiban tertentu memungkinkan seorang “raja bijaksana membuat raja negara tetangga memerangi negara tetangga lainnya untuk mencegah mereka bersatu dan menyerangnya”. Satu-satunya cara raja agar benar-benar mengadakan perdamaian adalah ketika ia menemukan dirinya dalam suatu kemunduran relatif jika dibandingkan dengan musuhnya.

Ketika seorang raja berada dalam posisi superior atau lebih kuat dibandingkan musuhnya, ia akan menyerang dan mengadakan perang.  Ada tiga jenis perang sebagai bagian dari metode kedua kebijakan luar negeri ini yaitu :  Perang Terbuka (open war) yang memiliki waktu dan tempat tertentu; Perang Rahasia (secret war) yang dilakukan tanpa  diduga, menciptakan terror dan ancaman dari satu sisi dan menyerang dari sisi lainnya; dan Perang Tersembunyi (undeclared war) yang menggunakan agen-agen rahasia, agama atau tahyul, dan para perempuan sebagai senjata melawan musuh.[19]

Kautilya setuju dengan penggunaan senjata-senjata perang yang dapat mengelabui raja yang tidak menaruh curiga dan berperang dalam cara-cara yang non-konvensional. Ia mendukung penugasan agen-agen rahasia yang menyamar menjadi teman dan kemudian membunuh para pemimpin musuh pada waktu yang dianggap tepat, penggunaan “agama dan tahyul untuk mendukung pasukannya dan mendemoralisasi pasukan musuh”, dan para perempuan yang digunakan untuk menggoda dan merayu musuh. Inilah alat-alat perang yang dipercaya Kautilya dapat digunakan dalam melancarkan Perang Tersembunyi.

Jika seorang raja merasa bahwa ia dan musuhnya memiliki kekuatan yang sama dan tidak dapat melukai atau menghancurkan musuhnya, maka ia sebaiknya memilih untuk berdiam diri/netral.[20]

Ketika seorang raja meningkatkan kekuatan dan memiliki keunggulan khusus di atas musuhnya, ia akan mengambil bagian dalam pendekatan keempat kebijakan luar negeri Kautilya yaitu bersiaga dengan melakukan persiapan perang.[21]  Ketika mempersiapkan perang, raja harus menjamin bahwa upaya-upaya para musuhnya akan dapat dihancurkan sementara pasukannya sendiri tidak akan terluka.[22]

Sebagai kebalikan dari metode siaga, seorang raja membutuhkan bantuan dari negara lain untuk melindungi upaya-upayanya.  Gagasan membangun aliansi ini merupakan metode kelima kebijakan luar negeri Kautilya.  Seorang raja yang mengupayakan aliansi harus yakin bahwa ia menemukan seorang raja yang lebih kuat dibandingkan dengan musuhnya.  Namun ketika tidak adanya peluang menemukan raja lain yang lebih kuat dibandingkan musuh ; kita harus mengadakan perdamaian dengan musuh.[23]

Metode terakhir dalam enam kebijakan luar negeri adalah menerapkan kebijakan ganda dengan menjalin persahabatan melalui perdamaian dan melakukan peperangan pada saat bersamaan.[24] Di bawah metode ini penakluk bisa memperoleh perbekalan/perlengkapan serta bala bantuan, mencegah sebuah serangan dari belakang dimana sekutu dalam Mandala negara-negara akan mengingatkan adanya musuh.  Setelah melakukan perang dengan sekutu dan kemudian menyetujui syarat-syarat suatu perjanjian, jika sekutu ingkar dalam melaksanakan kewajiban yang disepakati, maka mereka dapat diperlakukan sebagai musuh.[25] Keenam kebijakan politik Kautilya kemudian memberikan pengaruh bagi upaya ilmuwan-ilmuwan HI untuk memahami perang dan bagaimana cara menyiasatinya.

Perang

Dalam buku ketujuh tentang “Enam Kebijakan Politik”, perang masuk dalam kategori kebijakan politik yang kedua. Dalam bahasan tentang kebijakan politik luar negeri, Kautilya membedakan perang menjadi 3 jenis: ” 1. Perang Terbuka, 2. Perang Tertutup dan 3. Perang Tersembunyi.”[26] Perang Terbuka adalah jelas (waktu dan tempatnya), dan Perang Tertutup adalah apa yang kita sebut dengan perang gerilya, Perang tersembunyi adalah jenis perang di mana raja dan para menterinya—dan dengan tidak disadari, rakyatnya—semua bertindak secara terbuka seolah-olah mereka sedang berdamai dengan kerajaan lawannya, tetapi di saat bersamaan para agen rahasia dan mata-matanya bekerja membunuhi para elit pemimpin di kerajaan lawan tersebut.

Menurut Kautilya, “Perang Terbuka adalah pertempuran pada tempat dan waktu yang ditentukan; Jenis perang Tertutup adalah menciptakan ketakutan, serangan tiba-tiba, menyerang ketika terdapat kesalahan atau bencana, membuka jalan dan menyerang dalam satu tempat; dan Perang Tersembunyi adalah segala tindakan yang memusatkan perhatian pada praktik-praktik rahasia melalui agen-agen rahasia. Dalam Perang Tersembunyi, kerahasiaan adalah yang utama, raja dapat menang hanya melalui “cara-cara yang bersifat rahasia di saat ia menyerang”.

Perang Terbuka, menurut Kautilya, adalah “yang paling baik,”tetapi ia ingin menggunakan setiap langkah-langkah perang untuk mencapai konsolidasi dan ekspansi kerajaan. Tidak ada pertanyaan tentang moralitas disini—selain kebaikan masyarakat kerajaan tersebut—yang ada hanyalah strategi. Kautilya menyarankan rajanya agar ketika unggul dalam hal pasukan, ketika penghasutan secara rahasia dilancarkan di kamp musuh, dan ketika ia menemukan medan (tempur) yang cocok, sebaiknya ia terlibat dalam perang terbuka. Pada kasus sebaliknya, dimana ia tidak bisa mencapai hal-hal tersebut di atas, ia sebaiknya memilih Perang Tertutup.

Dalam Buku 12, Kautilya menghadapi situasi di mana “raja di kerajaan lemah akan diserang oleh raja yang lebih kuat”.[27] Ia menyebutkan bahwa “ada tiga jenis raja penakluk : “penakluk bijak, penakluk serakah, dan penakluk jahat.”[28] Penakluk bijak sudah cukup puas hanya dengan melihat musuh menyerah dan tunduk pada kekuasaannya saja, penakluk serakah selain mendapat penyerahan diri musuh juga harus mendapatkan “tanah dan kekayaannya” termasuk uang dan segala harta benda. Namun, penakluk yang jahat, mungkin akan puas ketika ia telah mengusai seluruh “tanah, kekayaan, anak, isteri dan kehidupan” raja yang lemah.[29]

Seorang raja yang lemah harus menyerahkan apapun jika hal itu tidak dapat dielakkan, tetapi ia harus menemukan sebuah cara jitu untuk bertahan dalam peperangan di masa mendatang”.[30] Bagaimanapun, Kautilya tidak menyarankan menyerah pada seorang penakluk tanpa tindakan balasan dan ia merekomendasikan raja menggunakan “perang tertutup dan diplomatik”; berupaya berdamai dengan musuh dengan menyerahkan hadiah-hadiah, di saat bersamaan mengarahkan agen-agen rahasia untuk menggunakan “senjata, racun atau api” untuk menghancurkan benteng atau kamp musuh; memerintahkan agen rahasia untuk mendorong kudeta dengan menggunakan seorang “putera raja penakluk yang tidak puas”; mengirimkan kepada raja musuh gajah-gajah lemah yang telah diracuni; memberi raja musuh pasukan yang tidak setia; meminta agen rahasia menyulut pemberontakan diantara rakyat raja musuh; “menggunakan pembunuh dan pemberi racun”; memerintahkan agen rahasia untuk mengumumkan bahwa bupati/wakil raja akan mengambil alih kekuasaan, sementara agen-agen rahasia membunuh para pemimpin di malam hari dan menyalahkan pembunuhan tersebut pada bupati/wakil raja musuh; menggunakan agen rahasia di dalam wilayah kerajaan untuk memprotes tirani birokrasi raja musuh dan membunuh agen-agen raja dengan berharap akan memicu pemberontakan; atau pada akhirnya, membakar istana-istana dan toko-toko  gandum dan menyalahkannya kepada bupati/wakil raja musuh.[31]

Kautilya seringkali menyarankan menggunakan perempuan sebagai senjata perang. Kautilya beranggapan bahwa perempuan dapat menjadi sebuah sumber kepuasan bagi pasukan di saat perang. Ia menulis bahwa ketika membangung kamp bagi pasukan, “para pelacur (sebaiknya ditempatkan) di sepanjang jalan-jalan raya.”[32] Dan Kautilya tentunya melihat perempuan sebagai sumber kesenangan yang adiktif, lebih parah dibandingkan anggur atau judi, sehingga seorang raja yang baik harus menikmatinya hanya dengan pengendalian diri: Penyembuhan adalah mungkin dalam perjudian, tetapi tidak ada penyembuhan dari kecanduan terhadap perempuan yang dapat mengakibatkan kegagalan menunjukkan jati diri, kemalasan kerja, ketiadaan materi dan kehilangan kondisi spiritual. Hal ini terjadi karena perempuan merupakan candu yang sangat kuat sehingga seorang raja dapat menggunakan mereka untuk melawan musuh; seperti misalnya, jika seorang raja mencoba melemahkan oligarki, ia “sebaiknya membuat para pemimpin yang menguasai dewan terobsesi oleh perempuan yang sangat cantik dan muda. Ketika hasrat menguasai mereka, para perempuan ini sebaiknya memulai perselisihan di antara mereka dengan meyakinkan cinta pada satu orang dan kemudian berpindah lagi ke orang lainnya.  Seorang perempuan yang menyatakan cinta pada satu pemimpin sebaiknya mendekati pemimpin lainnya, mengakui kecintaan padanya juga dan memintanya membunuh pemimpin yang didekati pertama kali, dan kemudian ia mengumumkan, ‘Kekasihku dibunuh oleh dia dan dia’.[33]Taktik semacam ini dapat menciptakan ketidakpercayaan/ kecurigaan di antara para pemimpin oligarki dan juga mendorong pembunuhan terhadap musuh-musuh penting.[34]

Kautilya dapat membenarkan taktik apa saja untuk memenangkan perang. Apakah itu menggunakan perang terbuka, perang tertutup, ataupun perang tersembunyi. Apakah perang tersebut bersifat moral ataupun tidak, yang terpenting adalah, bagi Kautilya, sasaran atau tujuan yang sebenarnya dari perang dapat membuahkan hasil yaitu kemenangan. Dan yang lebih penting lagi adalah strategi perang tersebut dapat memberikan keberhasilan dalam menaklukan dunia.

Penaklukan Dunia

Dalam dunia politik internasional, merupakan “kealamiahan” bahwa bangsa-bangsa berinteraksi satu sama lain melalui “pertikaian dan kekuatan.” Seorang realis politik umumnya berpendapat bahwa selalu ada konflik dalam hubungan internasional dan, sebagai akibatnya, akan diatur oleh yang terkuat. Kautilya menulis “Arthasastra” sekitar tahun 300 SM, satu abad setelah Thucydides menyusun “Sejarah Perang Pelloponesian” dan beberapa dekade setelah kaum sofis[35] Callicles dan Thrasymachus mengatakan pada Plato bahwa aturan oleh yang terkuat merupakan sesuatu yang “alamiah.” Kautilya, dalam sumpahnya, menyatakan bahwa seseorang yang “memiliki kualitas personal dan menguasai ilmu politik Arthasastra, maka ia akan dapat menaklukkan seluruh dunia.”

Banyak yang menginterpretasikan Arthasastra sebagai ilmu yang interdisipliner. Ada yang menerjemahkan Arthasastra sebagai ilmu politik, sebuah ilmu yang diperuntukkan bagi raja dalam “mengakuisisi dan melindungi bumi.”Ada juga yang menerjemahkan Arthasastra sebagai ilmu ekonomi, dan ada juga yang menerjemahkan Arthasastra sebagai ilmu agama, tapi saya pribadi lebih suka menyebut Arthasastra sebagai studi strategis. Tetapi Kautilya lebih suka menyebut Arthasastra sebagai ilmu “hukum abadi mengenai politik, ekonomi, diplomasi, dan perang.[36]

Kautilya menawarkan kepada para pembacanya suatu ilmu yang dengannya mereka dapat menguasai dunia, untuk itu ia percaya bahwa bersikap pasif terhadap dunia, seperti mempercayakan diri pada takdir atau bergantung pada takhyul—adalah bodoh. “Jika seseorang percaya pada takdir,” kata Kautilya,  “dan meniadakan usaha manusia, ia akan binasa.” Pandangan filosofinya digunakan untuk bertindak, bukan hanya menerima: “Tujuan tidak akan tercapai akibat kebodohan seseorang, yang selalu percaya dan bertanya pada bintang-bintang; . . . apa yang akan bintang-bintang katakan dan lakukan?” Dalam mendesak raja untuk berpegang pada ilmu pengetahuan dan bukan pada persepsi-persepsi agama, Kautilya memisahkan pemikiran politik dari spekulasi agama.[37]

Seperti halnya kaum realisme politik, Kautilya percaya bahwa tujuan ilmu pengetahuan adalah kekuasaan. Menilik pernyataan Kautilya bahwa “kekuasaan adalah (kepemilikan atas) kekuatan” dan “kekuatan dapat mengubah pemikiran” memperlihatkan bahwa Kautilya melihat kekuatan untuk mengendalikan bukan hanya perilaku yang nyata, tetapi juga pemikiran orang-orang atau musuh-musuh yang menjadi sasaran. Mungkin ilmu pengetahuannya tidak dapat menjanjikan semua hal-hal tersebut, tetapi kekuatan yang ditawarkan melalui ilmunya menyebar luas: “sebuah panah, yang dilepaskan oleh seorang pemanah, dapat membunuh satu orang atau bisa juga tidak membunuh satu orang pun; akan tetapi kepandaian yang dijalankan oleh seorang bijak dapat membunuh bahkan anak-anak dalam kandungan sekalipun.

Tujuan paling utama Kautilya dalam menulis Arthasastra adalah untuk “menghancurkan musuh-musuh dan melindungi rakyatnya sendiri.”[38] Seorang raja dapat mewujudkan hal ini dengan menggunakan ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh Kautilya. Pada kenyataannya, “Kautilya, adalah orang yang sangat mahir dalam ilmu politik,. . . memainkannya, sebagaimana ia kehendaki, dengan para raja yang terikat oleh kepandaian intelektualnya.” Selain melindungi kerajaan, raja yang menggunakan ilmu Kautilya dapat membawa diri dan masyarakatnya pada kesejahteraan yang tertuang dalam tiga kebaikan dalam hidup (keunggulan material, pencapaian spiritual dan kesenangan). Kautilya menegaskan pentingnya pencapaian kesejahteraan dan juga kaitannya sebagai illmu politik yang sangat penting dengan menyatakan, “Sumber kehidupan umat manusia adalah kesejahteraan (artha), dengan kata lain adalah bumi (dan segala isinya) yang dihuni oleh manusia. Ilmu yang bertujuan memperoleh (keuntungan) dan melindungi bumi tersebut adalah Ilmu Politik.”[39] Dengan kata lain, “siapa yang memperoleh kesejahteraan akan menguasai dunia”. Oleh karena itu buku Kautilya merupakan senjata terbesar yang dimiliki seorang raja yang ingin menaklukkan dunia.

Kautilya menginterpretasikan frase “menakluklan dunia” atas segala sesuatu yang India anggap sebagai batas-batas alamiah India : mulai dari Himalaya terus menuju selatan Samudera Hindia, dan dari Laut Arabia menuju Teluk Bengal. Meskipun Kautilya mengatakan, “wilayah penguasa yang berdaulat di perluas ke arah utara antara Himavat dan laut, seribu yojanas [sekitar sembilan ribu mil] dalam luas melintang.”[40] Penting untuk dicatat, bahwa dalam tradisi India, politik penaklukkan dunia, atau cakravar-tin, bukanlah upaya penaklukan pada “wilayah-wilayah di luar batas-batas India.”Singkatnya, India tidak memasukkan wilayah “kaum barbarian” atau mlecchas: suatu wilayah yang berada di luar batas dan budaya India.[41]

Meskipun politik penaklukan dunia India hanya terbatas pada batas-batas wilayah India dan bukan pada dunia secara keseluruhan, akan tetapi metode penaklukan yang diajarkan oleh kautilya dalam Arthasastra dapat membantu kita memahami fenomena ‘imperialisme” yang terus berlangsung hingga saat ini dan diyakini oleh V. R. Ramachandra Dikshitar sebagai “salah satu penyebab perang yang terus berkelanjutan dalam hubungan antar negara.”[42]

Penutup

Arthasastra adalah buku yang ditulis oleh Kautilya untuk membantu raja Chandragupta dalam mengelola negara. Arthasastra telah membawa Raja Chandragupta ke era kejayaan. Melalui strategi enam kebijakan politik luar negeri dan strategi perang yang terkonsep dengan rapi, Chandragupta berhasil menaklukan dunia (dalam batas-batas wilayah tradisional India), mulai dari wilayah India Barat (Punjab dan Sindh), Himalaya, selatan samudera Hindia (Indian Ocean), dan dari Laut Arabia menuju Teluk Bengal.

Meskipun buku Arthasastra ditulis 2000 tahun lalu, gagasan-gagasan yang dituangkan Kautilya dapat membantu kita memahami fenomena-fenomena hubungan internasional saat ini. Dalam enam kebijakan politik, misalnya, konsep-konsep seperti perdamaian, perang, kenetralan negara, siaga dalam  perang, aliansi antar negara dan kebijakan ganda telah menjadi pilihan paling strategis negara-bangsa modern ketika menghadapi konflik dan perang.

Sumber: Jurnal Ilmiah Hubungan Internasional (Parahyangan Center for International Studies), Vol.5, No.2, September 2009, hlm.13-25

Daftar Kepustakaan

Bhargava, Purushottam Lal, 1996, Chandragupta Maurya: A Gem of Indian History, New Delhi: D. K. Printworld.
Basham, A. L, 1963, The Won-der That Was India, New York: Hawthorn Books
Hoffmann, Stanley, 1987, “An American social science: international relations” re-printed in his (ed.), Janus and Minerva: Essays in the Theory and Practice of International Politics, Boulder , CO: Westview Press.
Holsti, Kalevi J, 1987,  Politik Internasional, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya.
Indra, 1957, Ideologies of War and Peace in Ancient India, (Hoshiarpur, India: Vishveshvaranand Institute Publications.
Kautilya, 2003, Arthasastra,  Surabaya: Paramita.
Kosambi, D. D. The Culture and Civilisation of Ancient India, 1994, Delhi: Vikas Publishing House.
Kulke, Hermann, and Dietmar Rothermund, 1991, A History of India, New Delhi: Rupa and Co.
Lippman, Walter, 1994, Opini Umum: Antara Rekayasa dan Realitas, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1994.
Nala, Ngurah. “Panaturan Kitab Suci Hindu Kaharingan.” http://www.parisada.org/index.php?option=com_content&task=view&id=924&temid=9
Ramachandra Dikshitar, V. R, 1987, War in Ancient India, (Delhi: Motilal Banarsidass.
Rangarajan, L.N, 1992, The Arthashastra: Edited, Rearranged, Translated and Introduced, (New Delhi, India: Penguin Books India Ltd.
Singh, G. P, 1993, Political Thought in Ancient India, New Delhi: D. K. Printworld.
Thapar,  Romila, 1966, A History of India, (Bal-timore, Md.: Penguin Books.
Wolpert, Stanley, 1982, A New History of India, New York: Oxford University Press

Catatan

[1]Di Barat pun perspektif-perspektif HI yang dikaji condong pada kajian HI yang berkembang di Amerika (Barat), lihat Stanley Hoffmann, “An American social science: international relations” re-printed in his (ed.), Janus and Minerva: Essays in the Theory and Practice of International Politics, (Boulder , CO: Westview Press, 1987), hlm. 3–24.
[2] Agama Hindu memiliki kitab suci yang bernama Weda. Kitab suci Weda ini terbagi atas dua kelompok besar, yakni kitab Weda Sruti dan Weda Smerti. Kitab Weda Sruti terbagi lagi atas 3 kelompok, yakni kelompok Kitab Suci Mantra, Brahmana, dan Upanishad. Yang termasuk di dalam kelompok kitab Mantra adalah Kitab Rig Weda, Sama Weda, Yajur Weda dan Atharwa Weda. Keempatnya sering disebut sebagai kitab suci Catur Weda. Kitab Brabmana terbagi lagi atas kelompok kitab Aitareya, Satapatha, Tandya, dan Gopatha. Sedangkan kitab Upanishad terdiri atas 92 buah kitab. Dan kitab Weda Smerti berkembang menjadi kitab suci Wedangga (Siksa, Wyakarana, Chanda, nirukta, Jyotisa, Kalpa), kitab Upaweda (Itihasa, Purana, Ayurweda, Arthasastra, dll) dan kitab Agama (Brahmanisme, Siwaisme, Waisnawaisme, Saktiisme, dll). Lihat Ngurah Nala, “Panaturan Kitab Suci Hindu Kaharingan.” http://www.parisada.org/index.php?option=com_content&task=view&id=924  &Itemid=29
[3] Sambutan I Wayan Suarjaya dalam buku Kautilya (Canakya), Arthasastra, terj (Surabaya: Paramita, 2003), hlm. v
[4] Ibid, hlm. vi
[5] Kalevi J. Holsti, Politik Internasional, terj (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1987), hlm. 7-8
[6] Purushottam Lal Bhargava, Chandragupta Maurya: A Gem of Indian History, (New Delhi: D. K. Printworld, 1996), hlm. 114
[7] Stanley Wolpert, A New History of India, (New York: Oxford University Press, 1982), hlm. 59
[8] Romila Thapar, A History of India, (Bal-timore, Md.: Penguin Books, 1966),  hlm. 79
[9] A. L. Basham, The Won-der That Was India, (New York: Hawthorn Books, 1963), hlm. 350
[10] Hermann Kulke and Dietmar Rothermund, A History of India, (New Delhi: Rupa and Co., 1991),  hlm. 60
[11] Purushottam Lal Bhargava, Op.Cit, hlm. 102
[12] D. D. Kosambi, The Culture and Civilisation of Ancient India, (Delhi: Vikas Publishing House, 1994), hlm. 141
[13] Kautilya, Op.Cit, hlm. 389-476
[14] L.N. Rangarajan, The Arthashastra: Edited, Rearranged, Translated and Introduced, (New Delhi, India: Penguin Books India Ltd,  1992), hlm. 542. Mengapa Kautilya menganggap wilayah Negara yang berdekatan secara langsung adalah musuh, sementara yang berjauhan adalah kawan. Untuk menjelaskannya Kautilya membuat cara pandang yang disebut teori kebijakan luar negeri Mandala, di mana negara tetangga yang berdekatan langsung dianggap sebagai musuh, tetapi negara manapun yang wilayahnya dihalangi oleh negara musuh dianggap sebagai sekutu, atau, musuh dari musuh saya adalah teman bagi saya. Untuk lebih mudahnya, simaklah ilustrasi berikut : Bayangkan satu rangkaian negara-negara di sebelah Barat negara kita, dan kemudian beri nomor masing-masing negara dengan dimulai dari negara kita sebagai angka 1. Maka negara-negara bernomor 1, 3, 5, 7, dan seterusnya adalah teman, sementara negara 2, 4, 6, 8, dan seterusnya adalah musuh. (Hal yang sama dapat dilakukan dengan membuat lingkaran-lingkaran konsentris, yang akan terlihat lebih seperti sebuah lingkaran/mandala, tetapi sulit untuk menggambarkan lingkaran-lingkaran tersebut sebagai negara-negara). Kautilya meletakan prinsip dasar dalam sejumlah cara yang berbeda, tetapi yang paling sederhana adalah, “Sebuah negara yang wilayahnya berdekatan langsung adalah musuh alamiah.” Lalu ia menyatakan teori kebijakan luar negeri Mandala dengan lebih detil: “Sehubungan dengan keberadaan raja tengah [yaitu dirinya sendiri), maka elemen/raja ketiga dan kelima adalah adalah elemen yang bersahabat. Sementara, elemen keempat, dan keenam adalah elemen yang tidak bersahabat."
[15] Ibid, hlm. 561
[16] Kautilya, Op.Cit, hlm. 391
[17] Ibid, hlm. 391
[18] Ibid
[19] Ibid, hlm. 418
[20] L.N. Rangarajan, Op.Cit, hlm. 563-565
[21] Ibid, hlm. 563
[22] Ibid, hlm. 565
[23] Ibid, hlm. 573
[24] Ibid, hlm. 563-565
[25] Ibid, hlm. 575
[26] Kautilya, Op.Cit, hlm. 418
[27] Kautilya, Op.Cit, hlm. 599
[28] Ibid
[29] Ibid, hlm. 600
[30] Ibid
[31] Ibid, hlm. 601
[32] Ibid, hlm. 562
[33] Ibid, hlm. 592
[34] Ibid
[35] Kaum sofis adalah guru-guru Yunani yang cakap dalam retorika (berpidato) namun mereka tidak bijaksana karena menganggap dirinya pandai dan tahu segala sesuatu. Aliran ini disebut sofisme. Dikutip dari catatan kaki Walter Lippman, Opini Umum: Antara Rekayasa dan Realitas, terj (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1994), hlm. xxviii
[36]G. P. Singh, Political Thought in Ancient India, (New Delhi: D. K. Printworld, 1993), hlm. 7
[37] Ibid
[38] Kautilya, Op.Cit, hlm 651
[39] Ibid, hlm. 677
[40] Ibid, hlm. 518
[41] Indra, Ideologies of War and Peace in Ancient India, (Hoshiarpur, India: Vishveshvaranand Institute Publications, 1957), hlm. 54–55
[42] V. R. Ramachandra Dikshitar, War in Ancient India, (Delhi: Motilal Banarsidass, 1987), hlm. 38

Tidak ada komentar:

Posting Komentar