“Inti Pemerintahan Islam atau Republik Islam
bersandarkan kepada kehendak rakyat, baik pada sisi legislasi, penetapan
undang-undang, maupun pada sisi eksekusi, menjalankan roda pemerintahan. Akan
tetapi tidak dalam arti penuh seperti yang dipahami demokrasi Barat, melainkan
terikat oleh aturan-aturan Islam di semua tingkat kekuasaan legislasi,
eksekusi, dan yudikasi”
Perbincangan mengenai
konsep wilayatul faqih cukup marak akhir-akhir ini. Akan tetapi sebagian
barangkali tidak memahaminya dengan baik. Pada saat yang sama, musuh-musuh
Islam sengaja melakukan penafsiran yang menyimpang dan bertentangan dengan
konsep aslinya. Karena itu adalah sangat perlu bagi kita memahami konsep ini
dengan benar, baik dari segi ilmiah maupun dari segi fiqhiyyah-nya, supaya kita
dapat melihat betapa bermaknanya konsep ini.
Dalam memahami konsep wilayatul
faqih ini kita juga perlu memahami landasan utama konsep ini, yaitu
prinsip al-wilayah al-ilahiyyah al-ammah atau otoritas umum
Tuhan, wilayatun-Nabi SAWW, otoritas Nabi, dan wilayah
al-aimmah, otoritas para imam a.s. Selain itu kita perlu memahami dengan
benar peran konstruktif wilayatul faqih dalam sebuah Negara Islam. Di sini kita
melihat adanya empat tipelogi pemerintahan. Pertama, Pemerintahan Individual
yang bertumpu pada kekuatan, seperti pemerintahan para raja dan
penguasa-penguasa tempo dulu, dimana kekuatan, kekerasan dan kemampuan militer
merupakan landasan utama. Dengan kata lain, siapa yang paling kuat secara
militer dialah yang akan mengendalikan kekuasaan.
Jika kita melihat sejarah
kawasan di sekitar kita, baik pada masa sebelum atau sesudah Islam, dengan
mudah kita dapat melihat bahwa pemerintahan-pemerintahannya termasuk dalam
kategori tipe pertama ini. Penguasa-penguasanya memerintah dengan semena-mena.
Untuk menjadi penguasa tidak ada persyaratan khusus. Tidak penting apakah sang
penguasa, yang biasanya kepala suku atau komandan militer, seorang yang cakap
memerintah atau tidak. Tapi karena ia kuat, mampu menaklukkan daerah-daerah
yang luas, maka dialah yang berkuasa. Tapi jika kemudian kekuasaannya melemah,
maka giliran kepala suku lain atau penguasa lokal dari keluarga lain yang
berhasil melakukan kudeta terhadap penguasa sebelumnya yang akan berkuasa dan
melahirkan dinasti baru.
Demikianlah. Silih
berganti kekuasaan berpindah dari tangan satu keluarga ke keluarga lain. Dari
satu orang ke orang lain. Tanpa sedikit pun harus membawa perbaikan nasib
rakyatnya, kecuali menambah penderitaan-penderitaan mereka. Tidak hanya pada
masa lalu. Bentuk pemerintahan yang serupa juga dapat kita lihat pada banyak
pemerintahan-pemerintahan dewasa ini. Bukankah pemerintahan-pemerintahan yang
lahir melalui kudeta-kudeta militer yang kerap dilakukan oleh sekelompok
perwira militer tertentu pada banyak negara, yang biasanya didukung oleh negara
asing tertentu, dan memerintah dengan tangan besi dan dukungan tank dan bedil
sama saja dengan pemerintahan-pemerintahan otoriter tempo dulu ? Sama sekali
tidak ada bedanya.
Afghanistan (pada masa
komunis) misalnya, sekelompok perwira tertentu, yang didukung penuh oleh negara
asing tertentu (Soviet) memaksakan kekuasaan mereka pada rakyat. Tapi ketika
rakyat marah dan para penguasa tidak mampu mempertahankan kekuasaan mereka,
mereka meminta negara asing itu (Soviet) melakukan intervensi ke negeri mereka guna
mengamankan posisi mereka. Negara yang bersangkutan, dengan dalih
mempertahankan pemerintahan yang sah, menduduki Afganistan, membombardir
rakyat, dan melakukan kejahatan-kejahatan. Tapi sayangnya dunia diam saja.
Kalau toh ada protes paling-paling protes lisan. Bukankah semua ini adalah
penggunaan kekuatan dan kekerasan ?
Tipe kedua, Pemerintahan
Individual oleh seorang shalih. Yang mengatur urusan negara hanya seorang, tapi
seorang yang shalih. Mayoritas rakyat atau paling tidak sebagian besar mendukungnya
dan mempercayainya mengatur urusan mereka. Dialah yang menentukan segalanya,
tapi tidak didasarkan pada kekuatan atau kekerasan seperti tipe pertama,
melainkan dengan cara bijak dan adil. Pemerintahan para Nabi contohnya. Para
Nabi adalah segalanya. Mereka yang mengatur, menetapkan, dan berkuasa penuh.
Tapi karena mereka adalah orang-orang yang shalih, roda pemerintahan dijalankan
dengan cara yang terbaik. Sesekali mungkin mereka juga melakukan musyawarah
dengan banyak pihak, tetapi tetap saja keputusan terakhir di tangan mereka.
Tipe pemerintahan ini hanya terbatas pada pemerintahan para Nabi dan Imam-Imam
yang suci. Sebab tidak ada jaminan bahwa selain Nabi dan para Imam, mereka
tidak akan jatuh pada kekeliruan.
Tipe ketiga, Pemerintahan
Demokrasi Liberal. Kedaulatan berada penuh di tangan rakyat ; dalam arti
siapapun yang dipercaya dan dipilih rakyat untuk menjadi penguasa, tidak
menjadi masalah apakah yang bersangkutan seorang filosof, aktor, beragama atau
malah seorang atheis, tapi selama rakyat telah memilihnya, maka dialah yang
berkuasa. Model kekuasaan semacam ini dianut oleh banyak negara dewasa ini.
Biasanya berlaku formula 50+1. Maksudnya jika seorang dipilih oleh separuh
ditambah satu dari jumlah pemilih, maka sahlah kekuasaannya. Hal ini juga
berlaku dalam penetapan undang-undang. Jika anggota legislasi menetapkan
peraturan, meskipun peraturan itu bertentangan dengan norma-norma agama dan
kemanusiaan, seperti yang terjadi di Inggris yang mengesahkan perilaku seks
menyimpang, tapi karena berdasarkan keputusan dewan legislatif, maka apapun
bentuknya harus tetap dihormati dan dihargai sebagai hukum yang sah. Inilah
demokrasi gaya Barat.
Keempat, Pemerintahan
Demokrasi Primer. Kedaulatan berada di tangan rakyat, tapi tidak penuh
sebagaimana yang dianut tipe ketiga. Melainkan terikat oleh norma-norma
tertentu. Rakyat bebas menentukan pilihannya, tapi tidak boleh memilih
sembarang orang. Harus orang-orang yang sesuai dengan aturan dan norma-norma
yang berlaku. Demikian pula pada masalah perundang-undangan. Tidak semua
ketetapan yang telah disahkan oleh Parlemen dapat dibenarkan, yaitu jika
undang-undang itu tidak sesuai dengan norma-norma yang berlaku. Dengan
demikian, baik pada pemilihan seorang penguasa maupun pada tingkat penetapan
undang-undang harus sesuai dengan norma-norma yang ada. Orang-orang Komunis
mengklaim bahwa mereka bagian dari tipe ini karena mereka menjalankan demokrasi
yang terikat dengan norma-norma Marxisme. Tapi, terlepas dari kritik-kritik
terhadap konsep dasar komunisme itu sendiri, mereka sebenarnya tidak dapat
dikatagorikan pada tipe ini. Sebab dalam prakteknya, mereka tidak beda dengan
pemerintahan-pemerintahan tipe pertama.
Lalu di mana letak
Pemerintahan Islam? Dengan mudah kita katakan bahwa Islam menganut tipe keempat.
Inti Pemerintahan Islam atau Republik
Islam bersandarkan kepada kehendak rakyat, baik pada sisi legislasi, penetapan
undang-undang, maupun pada sisi eksekusi, menjalankan roda pemerintahan. Akan
tetapi tidak dalam arti penuh seperti yang dipahami demokrasi Barat, melainkan
terikat oleh aturan-aturan Islam di semua tingkat kekuasaan legislasi,
eksekusi, dan yudikasi.
Konsep wilayatul
faqih sama sekali tidak bertentangan dengan penghargaan Islam yang
besar atas kehendak rakyat. Bahkan justru dibangun atas dasar itu. Akan tetapi
tentu saja tidak sama dengan apa yang dianut oleh Barat. Sebab Barat menganut
demokrasi tak terbatas, sementara wilayatul faqih tunduk pada
aturan-aturan yang telah ditetapkan Islam. Lebih jauh, mari kita ikuti
pembahasan berikut ini.
Pada dasarnya setiap
negara memiliki tiga jenis kekuasaan, yaitu legislatif, eksekutif, dan
yudikatif. Pada negara yang menganut sistem demokrasi terikat seperti negara
Republik Islam, maka dalam menetapkan undang-undang pemilihan anggota atau badan
eksekutif dan yudikatif sudah barang tertentu terikat oleh aturan-aturan yang
ditetapkan oleh Islam. Sama sekali tidak boleh keluar dari Islam. Undang-undang
yang disahkan oleh parlemen sama sekali tidak boleh bertentangan dengan Islam.
Kepala Pemerintahan yang dipilih rakyat harus memiliki kualifikasi yang sesuai
dengan kehendak Islam. Demikian pula anggota eksekutif lainnya serta anggota
badan yudikatif. Seorang hakim tidak boleh sembarang orang. Ia harus memenuhi
syarat-syarat yang telah ditetapkan Islam dalam kehakiman dan sebagainya.
Karena itu tidak ada jalan bagi badan legislatif misalnya, mengesahkan praktek
riba, sebab bertentangan dengan aturan Islam yang mengharamkan riba.
Untuk menjamin berlakunya
kedua prinsip ini sekaligus dengan baik, di satu pihak menjunjung tinggi
kehendak rakyat dan pada waktu yang bersamaan tidak menyalahi aturan agama
Islam, maka perlu dibentuk badan yang mengawasi ketiga insitusi tersebut. Dalam
Majelis, parlemen, telah dibentuk apa yang disebut dengan Badan Pengawas Undang-Undang.
Tugas utamanya adalah mengawasi jangan sampai lahir undang-undang yang
bertentangan dengan Islam. Jika ada undang-undang yang bertentangan dengan
Islam, mereka berhak menolak dan membatalkannya. Tapi sebetulnya, jika semua
angota parlemen atau paling tidak mayoritas anggotanya adalah orang-orang yang
ahli tentang Islam, maka Badan Pengawas semacam ini tidak begitu diperlukan
karena para anggota parlemen dengan sendirinya sudah dapat melakukan
pengawasan. Tapi karena pada prakteknya sulit diwujudkan maka badan Pengawas
Undang-Undang ini mutlak diperlukan, hal ini supaya tidak terjadi penyimpangan
dari norma-norma Islam.
Demikian pula terhadap
pemilihan kepala negara atau presiden. Supaya tidak jatuh ke tangan orang-orang
yang tidak bertanggung jawab maka keabsahan pemilihannya sebagai presiden
tergantung pada persetujuan wali faqih atau ahli agama tertinggi yang dipercaya
sebagai penguasa tertinggi. Hal yang sama juga berlaku pada pengangkatan
anggota Badan Yudikatif. Meskipun pengangkatan Menteri Kehakiman dilakukan oleh
parlemen dan pengangkatan anggota Dewan Kehakiman Tertinggi oleh para hakim
atau qadi itu sendiri, tetapi tetap saja keputusan terakhir ada di tangan wali
faqih. Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa dalam negara Republik Islam
atau negara Demokrasi Agama, kedaulatan rakyat dan kedaulatan agama
bergandengan dan menjadi satu. Inilah yang kita sebut dengan wilayatul faqih.
Di sini mungkin timbul
beberapa pertanyaan. Pertama, jika demikian yang dikehendaki oleh Islam, mengapa
pemerintahan Nabi dan para Imam tidak demikian? Nabi dan Imam Ali a.s.
misalnya, mereka menunjuk langsung para penguasa di daerah-daerah tanpa
melibatkan orang banyak. Bahkan ketiga kekuasaan : legislasi, eksekusi, dan
yudikasi berada di tangan mereka sekaligus. Selain itu tidak ada sama sekali
kotak suara dan sebagainya. Menjawab pertanyaan ini perlu ditegaskan, terdapat
perbedaan antara Nabi dan Imam dengan yang lainnya. Nabi SAWW dan para imam
a.s. adalah orang-orang yang ma'shum, disucikan Tuhan dan dijamin kebenarannya,
sementara yang lain tidak. Cara pandang
kita terhadap seorang wali faqih tidak sama dengan Nabi atau Imam. Nabi atau
Imam punya perhitungannya sendiri yang berbeda dengan wali faqih. Nabi dan
para Imam melakukan musyawarah misalnya, tapi musyawarah yang mereka lakukan
tidak berarti untuk melepas sikapnya jika berbeda dengan pendapat orang lain.
Tetap saja kata terakhir ada pada Nabi SAWW atau imam a.s. Selain itu, situasi
dan kondisi pada masa Nabi SAWW dan imam a.s. berbeda sekali dengan apa yang
kita hadapi dewasa ini. Ketika kita mengatakan ini tidak berarti bahwa terdapat
perselisihan antara aturan-aturan agama. Tapi yang dimaksud adalah perbedaan
cara penerapannya.
Pertanyaan lain yang
mungkin diajukan ialah : Jika memperhatikan kaidah-kaidah fiqhiyyah, maka apa
salahnya ketiga kekuasaan : legislasi, eksekusi, dan yudikasi dipegang
sekaligus oleh seorang faqih yang memenuhi syarat? Dengan demikian maka bentuk
pemerintahan yang dijalankan adalah bentuk kedua, yaitu pemerintahan seorang
shalih? Menjawab pertanyaan kedua ini perlu ditegaskan bahwa adalah kewajiban
seorang faqih yang memenuhi syarat memilih cara terbaik pelaksanaan suatu hukum
sesuai masanya, atau yang dalam istilah fiqihnya dikenal dengan ungkapan
"murâ’âtu ghibtah al-muslimin", memilih yang terbaik bagi kepentingan
kaum Muslimin. Maka jika ia memilih yang lain, yang tidak sesuai dengan
kepentingan kaum Muslimin, berarti ia melakukan kekeliruan, dan dengan
sendirinya telah kehilangan hak memimpin.
Barangkali dari prinsip
ini muncul pertanyaan, mana yang lebih baik bagi wali faqih, mengangkat
seseorang sebagai kepala pemerintahan tanpa meminta persetujuan rakyat banyak
atau melalui persetujuan rakyat, yaitu melalui pemilihan umum, kemudian
mengukuhkannya jika yang bersangkutan memenuhi syarat untuk itu? Mana di antara
dua cara ini yang lebih selamat dari kemungkinan keliru? Mana yang lebih
mendekati kebenaran? Bukankah seseorang harus mengikuti mana yang lebih baik?
Rakyat merupakan unsur yang paling penting dalam negara. Maka jika faqih
berjalan seiringan dengan rakyat, bukankah itu lebih baik dan juga lebih
diterima rakyat?
Dengan demikian, dapat
kita tarik kesimpulan bahwa antara konsep wilayatul faqih dengan konsep
kedaulatan rakyat tidak harus berseberangan. Malah bersatu dan berjalan
seiringan. yang dengan sendirinya akan menepis segala bentuk kediktatoran dan
kesemena-menaan. Wilayatul faqih bukan kehendak faqih. Pemahaman ini keliru
besar dan melahirkan kesan seakan-akan Islam bertentangan dengan demokrasi. Sama
sekali tidak demikian. Faqih memang memiliki otoritas besar, tetapi bukan
otoritas absolut. Otoritas faqih terikat pada norma-norma Islam dan dibangun
atas dasar kepentingan umat. Dari mana faqih mendapatkan otorifas ini? Sudah
barang tentu setiap kekuasaan atau pemerintahan harus mendapat mandat atau
wewenang dari Allah SWT.
Bahkan pemerintahan Rasul
sekalipun, jika tidak berdasarkan pada wewenang dari Allah, maka
pemerintahannya ilegal. Karena itu Allah telah memerintahkan Nabi Muhammad SAWW
untuk membentuk pemerintahan. Namun Nabi SAWW baru dapat melakukannya setelah
hijrah ke Madinah, yaitu sesudah semua syarat untuk itu terpenuhi. Setelah Nabi
SAWW wafat, maka mandat pembentukan pemerintahan ini jatuh pada Imam-Imam
pengganti beliau. Oleh karena itu Syi'ah meyakini bahwa wewenang membentuk pemerintahan dewasa ini berada di tangan Imam Mahdi
a.s. Akan tetapi karena Imam Mahdi as. ghaib, sementara tidak mungkin umat
Islam tanpa pemerintahan yang mengatur urusan mereka sendiri, maka wewenang itu
kemudian dilimpahkan kepada para fuqaha (kata jamak : faqih), yang telah
memenuhi syarat. Imam Mahdi a.s. sendiri yang melimpahkan mandat itu kepada
para fuqaha.
Seseorang yang bernama
Ya'kub Ibn lshaq bertanya kepada Imam Mahdi a.s. tentang kepada siapa mereka
merujuk pada masa ghaibah, masa sesudah Imam Mahdi a.s. ghaib. Imam Mahdi a.s.
menjawab: "Adapun peristiwa-peristiwa yang terjadi, maka
kembalikanlah kepada perawi hadis kami (fuqaha) karena mereka adalah hujjah
bagiku dan aku adalah hujjah bagi Allah SWT." Dalam salah satu
kesempatan Imam Ja'far Shadiq a.s. berkata: "Maka mereka berdua
(orang yang sedang bertikai -- pen.) hendaknya mencari siapa di antara kamu
yang telah meriwayatkan hadits kami, meneliti yang halal dan haram serta
memahami hukum-hukum kami, kemudian hendaknya mereka menjadikannya sebagai
hakim, pemutus perkara, karena aku telah mengangkat mereka sebagai hakim."
Selain kedua riwayat di
atas, terdapat beberapa riwayat lain yang secara langsung atau tidak langsung
telah menunjuk faqih sebagai pemegang mandat pembentukan pemerintahan pada masa
ghaibah. Terlepas dari semua itu, keharusan adanya kekuasaan yang mengatur umat
adalah sesuatu yang tidak dapat diingkari. Tapi siapa yang paling berhak
menduduki posisi tertinggi itu? Melihat persyaratan yang dituntut untuk jabatan
kekuasaan tertinggi dalam Islam, maka yang paling pasti di antara yang ada
adalah kaum fuqaha, dalam arti, orang yang ahli dalam urusan-urusan yang
menyangkut Islam, mampu mengatur negara, dan tahu akan perkembangan zaman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar