Rabu, 30 Juli 2014

Setelah Ali Sang Asadullah Menaklukkan Pusat Khaibar




Oleh Muhammad Husain Haekal

Kemudian setelah Ali Sang Asadullah berhasil menaklukkan pusat Khaibar itu, dan ketika mendapat ijin dari Nabi Saw, Muhammad b. Maslama tampil kedepan dan mulai   mereka  saling  menyerang  sehingga  hampir-hampir  ia sendiri dapat dibunuh oleh Marhab. Tetapi pedangnya itu  dapat ditahan  dengan  perisai  oleh  Ibn  Maslama  dan  pedang  itu tersangkut dan tertahan. Dengan demikian  orang  itu  dihantam oleh Muhammad Ibn Maslama sampai menemui ajalnya. Demikianlah  perang  antara  Yahudi  dan  Muslimin itu terjadi sangat seru sekali, ditambah  lagi  ketahanan  benteng-benteng Yahudi ketika itu memang sangat kuat dan keras.

Sekarang  pihak Muslimin mengepung benteng Zubair. Pengepungan ini tampaknya cukup  lama  disertai  dengan  pertempuran  yang sengit  pula.  Sungguh  pun  begitu mereka tidak juga berhasil menaklukkannya. Baru setelah akhirnya saluran air  ke  benteng itu  diputuskan,  pihak  Yahudi  terpaksa  keluar  dan  dengan mati-matian mereka memerangi kaum  Muslimin sekalipun  mereka itu  akhirnya  lari  juga. Dengan demikian benteng-benteng itu satu demi satu jatuh ke tangan  Muslimin  yang  berakhir  pada benteng  Watih dan Sulalim dalam kelompok perbentengan Katiba, dua buah benteng terakhir yang kukuh dan kuat.

Sejak itulah perasaan putus-asa mulai merayap  ke  dalam  hati mereka.  Kini  mereka  minta  damai.  Semua harta-benda mereka didalam  benteng- benteng asy-Syiqq, Natat   dan   Katiba diserahkan   kepada  Nabi  untuk  disita,  asal  nyawa  mereka diselamatkan. Permohonan   ini   oleh   Muhammad   diterima. Dibiarkannya  mereka  itu  tinggal  di kampung halaman mereka, yang  menurut  hukum  penaklukan   sudah   berada   di   bawah kekuasaannya.  Mereka  akan mendapat separoh hasil buah-buahan daerah itu sebagai imbalan atas tenaga kerja mereka.

Muhammad  memperlakukan  Yahudi  Khaibar  tidak  sama  seperti terhadap  Yahudi  Banu  Qainuqa dan Banu Nadzir tatkala mereka dikosongkan dari kampung halaman itu;  sebab  dengan  jatuhnya Khaibar ini ia sudah merasa terjamin dari adanya bahaya Yahudi dan yakin pula bahwa mereka samasekali tidak  akan  bisa  lagi mengadakan  perlawanan.  Di  samping  itu di Khaibar terdapat pula beberapa perkebunan, ladang dan kebun-kebun kurma.  Semua ini  masih  memerlukan  tenaga-tenaga  ahli  yang cukup banyak untuk mengolahnya dan yang akan dapat pula mengurus pengolahan itu    dengan    cara    yang    sebaik-baiknya.    Kendatipun pengikut-pengikut Medinah terdiri dari penduduk yang  bercocok tanam,  tanah mereka pun sangat pula memerlukan tenaga mereka, namun mengingat, bahwa Nabi  juga  sangat memerlukan  tentara untuk angkatan perangnya, maka ia tidak suka membiarkan mereka semua itu dalam bercocok tanam.  Dalam  pada  itu  orang-orang Yahudi Khaibar tetap bekerja meskipun kekuasaan politik mereka sudah runtuh demikian rupa  yang  juga  mempengaruhi  kegiatan mereka,  sehingga dari segi pertanian dan perkebunan pun cepat sekali Khaibar mengalami kemunduran  dan  kehancuran;  padahal sudah  begitu  baik Nabi memperlakukan penduduk daerah itu, di samping Abdullah b. Rawaha  utusan  Nabi  kepada  mereka  yang cukup  adil,  setiap  tahun  mengadakan pembagian hasil dengan mereka. Demikian baiknya Nabi  memperlakukan  penduduk  Yahudi Khaibar  itu  sehingga  tatkala kaum Muslimin menyerbu mereka, dan diantara barang-barang rampasan perang itu  terdapat  juga ada  beberapa  buah  kitab  Taurat,  ketika  oleh pihak Yahudi diminta, maka oleh Nabi diperintahkan supaya  kitab-kitab  itu diserahkan  kembali  kepada  mereka.  Ia  tidak sampai berbuat seperti  yang  pernah  dilakukan  oleh  pihak  Rumawi   ketika menaklukkan   Yerusalem.  Kitab-kitab  suci  itu  oleh  mereka dibakar dan diinjak-injak dengan telapak kaki. Juga  ia  tidak melakukan  perbuatan seperti yang dilakukan oleh pihak Nasrani dalam  perang  menindas  kaum  Yahudi Andalusia   (Spanyol). Kitab-kitab Taurat itu oleh mereka juga dibakar.

Setelah Yahudi Khaibar minta damai - selama Muslimin mengepung mereka di perbentengan Watih dan Sulalim, Nabi telah  mengutus orang  kepada  penduduk Fadak dengan maksud supaya mereka mau menerima  ajakannya  atau  menyerahkan   harta-benda   mereka. Mengetahui  peristiwa  yang sudah terjadi di Khaibar, penduduk Fadak sudah  merasa  ketakutan  sekali.  Persetujuan  diadakan dengan  menyerahkan  separo  harta  mereka  tanpa pertempuran. Kalau daerah Khaibar menjadi milik Muslimin karena mereka yang telah  berjuang membebaskannya,  maka  Fadak  untuk  Muhammad karena pihak Muslimin tidak memperolehnya dengan pertempuran.

Selesai semua itu Rasul pun berkemas-kemas hendak  kembali  ke Medinah  melalui Wadi'l-Qura. Akan tetapi pihak Yahudi daerah ini sudah  menyiapkan  diri  hendak  menyerang  Muslimin.  Dan pertempuran segera pecah. Tetapi mereka juga terpaksa menyerah dan  minta  damai  seperti  halnya dengan   pihak Khaibar. Sebaliknya  golongan  Yahudi  Taima,  mereka bersedia membayar jizya (pajak) tanpa terjadi peperangan atau pertempuran.

Dengan demikian semua orang  Yahudi  tunduk  kepada  kekuasaan Nabi,  dan  berakhir pulalah semua kekuasaan mereka di seluruh jazirah. Dari jurusan utara ke Syam  sekarang  Muhammad  sudah tidak  kuatir  lagi,  sama  halnya  seperti dulu, dari jurusan selatan  juga  ia  sudah  tidak  kuatir  lagi  setelah  adanya Perjanjian Hudaibiya.

Dengan  habisnya  kekuasaan  Yahudi  itu, maka kebencian pihak Muslimin - terutama kaum Anshar - terhadap kepada mereka  jadi berkurang sekali. Bahkan mereka menutup mata terhadap beberapa orang  Yahudi  yang  kembali  ke  Yathrib.  Dan  Nabi  berdiri bersama-sama  dengan  orang-orang Yahudi yang sedang berkabung terhadap kematian  Abdullah  b.  Ubayy  dan  menyatakan  turut berdukacita  pula  kepada  anaknya. Kepada Mu'adh b. Jabal pun dipesannya untuk tidak membujuk orang-orang  Yahudi  itu  dari agama  Yahudinya.  Juga  pajak  jizya  tidak  dikenakan kepada orang-orang Yahudi Bahrain  meskipun  mereka  tetap  berpegang pada  keyakinan  agama  mereka.  Dengan Yahudi Banu Ghazia dan Banu  'Aridz  dibuat  pula  persetujuan  bahwa   mereka   akan memperoleh  dhimma  (perlindungan) dan kepada mereka dikenakan pula pajak.

Ringkasnya, pihak Yahudi itu sekarang tunduk kepada  kekuasaan kaum  Muslimin.  Kedudukan  mereka di negeri-negeri Arab sudah berantakan dan mereka pun terpaksa  meninggalkan  daerah  itu. Tadinya  mereka di tempat itu sebagai golongan yang dipertuan, sampai selesai  mereka  itu  dikeluarkan,  yang  menurut  satu pendapat  sejak  semasa  hidup Rasul, pendapat lain mengatakan setelah Rasul wafat.

Akan tetapi tunduknya penduduk  Khaibar  dan  golongan  Yahudi lainnya di seluruh jazirah itu tidak terjadi sekaligus setelah mereka jatuh. Bahkan akibat kejatuhan mereka itu  hati  mereka masih  penuh  memikul  kebencian dan dendam yang kotor sekali. Zainab  bint'l-Harith  isteri   Sallam b. Misykam pernah menyampaikan  hadiah daging domba kepada Muhammad - setelah ia merasa aman dan setelah ada perjanjian perdamaian dengan pihak Khaibar.  Ketika  ia  dan  sahabat-sahabat sedang duduk hendak memakan daging itu, Nabi 'a.s. mengambil  bagian kakinya  dan sudah  akan  mulai  di  kunyah,  tapi tidak sampai ditelannya. Dalam pada itu Bisyr bin'l-Bara' yang duduk makan bersama-sama telah  pula  mengambil  daging  itu  sekerat.  Tapi Bisyr lalu menelannya  sekaligus.  Sedang  Rasul  memuntahkannya  kembali seraya katanya.

"Ada tanda-tanda tulang ini beracun." Kemudian Zainab dipanggil, dan ia pun mengaku. Lalu katanya: "Tuan telah mengadakan tindakan terhadap golongan saya seperti sudah tuan ketahui." Lalu kataku: "Kalau dia seorang raja, aku sudah  lega;  kalau  dia  seorang  nabi  tentu dia akan diberi tahu!" Akibat makan daging itu Bisyr kemudian meninggal dunia.

Dalam hal ini ahli-ahli sejarah masih berbeda pendapat. Tetapi sebahagian besar menyatakan, bahwa Nabi telah memaafkan Zainab,  dan  sangat  menghargai  sekali  alasannya  mengingat malapetaka yang telah menimpa ayah dan suaminya itu. Disamping itu  ada  juga  yang mengatakan  bahwa dia pun dibunuh karena Bisyr yang telah mati diracun itu.

Sebenarnya perbuatan Zainab itu telah menimbulkan  kesan  yang dalam  sekali di dalam hati kaum Muslimin. Peristiwa-peristiwa yang timbul sesudah Khaibar membuat mereka tidak percaya  lagi kepada  orang-orang  Yahudi.  Bahkan mereka kuatir akan segala akibat tipu muslihat yang akan dilakukan secara  perseorangan, setelah  secara  massal  mereka  dapat dihancurkan. Shafia bt. Huyayy b. Akhtab  dari  Banu  Nadzir  termasuk  salah  seorang tawanan  yang oleh kaum Muslimin diambil dari benteng Khaibar. Dia isteri  Kinana  bin'l-Rabi'.  Setahu  pihak  Muslimin,  di tangan  Kinana  inilah  harta-benda  Banu Nadzir itu disimpan. Ketika   Nabi   menanyakan    harta    itu    kepadanya,    ia bersumpah-sumpah bahwa dia tidak mengetahui tempatnya.

Salah seorang dari mereka ini  pernah  melihat  Kinana  sedang mundar-mandir  pada  sebuah puing,  dan  hal  ini disampaikan kepada Nabi. Oleh Nabi diperintahkan supaya puing  itu  digali dan  dari  dalam  puing itulah harta simpanan itu dikeluarkan.  Sekarang Shafia berada di tangan Muslimin sebagai salah seorang tawanan perang. "Shafia  adalah  ibu  Banu Quraidza dan Banu Nadzir. Dia hanya pantas buat tuan," demikian dikatakan kepada Nabi Saw.

Imam Muhammad al Jawad As, Mahkota Ahlulbait




Imam Muhammad Jawad lahir pada bulan Rajab 195 H dan mereguk cawan syahadat pada hari terakhir bulan Dzulqaidah tahun 220 H. Salah satu hal menarik dalam kehidupannya, beliau menjadi imam pada usia delapan tahun. Lalu, muncul pertanyaan mungkinkah di usia semuda itu menjadi pemimpin umat sebagai Imam kaum muslimin? Memang, akal dan fisik manusia harus menempuh tahapan-tahapan tertentu untuk mencapai kesempurnaan. Tapi, jika Allah swt berkehendak maka fase yang sangat panjang itu bisa dilalui dalam waktu yang sangat singkat oleh orang-orang tertentu.

Dalam kenabian dan imamah, faktor umur bukan suatu persyaratan. Allah Yang Maha Kuasa mampu memberikan ilmu dan kemaksuman serta segala sesuatu yang menjadi kekhususan bagi seorang nabi dan imam kepada seorang anak kecil atau bayi yang baru dilahirkan. Demikian pula dengan Imam Jawad as, dalam keadaan masih anak-anak telah menjadi imam setelah kesyahidan ayah beliau yang mulia.

Al-Quran menjelaskan orang-orang tertentu yang dipilih Tuhan menjadi pemimpin umat di usia sangat muda bahkan bayi. Nabi Yahya misalnya, menjadi pemimpin umat di usia kanak-kanak. Dalam surat Maryam ayat 12, Allah swt berfirman, "Wahai Yahya, ambillah alKitab (Taurat) itu dengan sungguh-sungguh. Dan kami berikan kepadanya hikmah selagi ia masih kanak-kanak."

Di ayat lain, al-Quran menjelaskan bahwa Nabi Isa dapat berbicara dalam keadaan masih bayi dan memberitahukan kenabiannya kepada masyarakat. Surat Maryam ayat 30 menceritakan, "Berkata Isa: Sesungguhnya aku ini hamba Allah, Dia memberiku Al Kitab (Injil) dan Dia menjadikan aku seorang nabi. Dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkati di mana saja aku berada. Dia memerintahkan kepadaku (mendirikan) shalat dan (menunaikan) zakat selama aku hidup. Berbakti kepada ibuku, dan Dia tidak menjadikan aku seorang yang sombong lagi celaka. Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari aku dilahirkan, pada hari aku meninggal dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali. Itulah Isa putera Maryam, yang mengatakan perkataan yang benar, yang mereka berbantah-bantahan tentang kebenarannya."

Imam Jawad sebagaimana ayahnya Imam Ridha memainkan peran penting dalam menjaga dan menyebarkan nilai-nilai agama Islam di tengah masyarakat. Beliau menyebarkan ilmu al-Quran, akidah, fiqh, hadis, dan ilmu keislaman lainnya. Salah satunya mengenai tafsir al-Quran. Imam Jawab menjawab pertanyaan mengenai makna dan tafsir sejumlah ayat al-Quran.

Seorang sahabat Imam bernama Abu Hashim Jafari bertanya, "Apa makna kalimat ‘Ahad' dalam ayat ‘Qul Huwallahu Ahad'." Imam menjawab, "Ahad adalah keyakinan terhadap keesaan Allah yang Maha Besar. Apakah kamu tidak mendengar ayat yang artinya berbunyi, "Jika ditanya kepada orang kafir siapa yang menciptakan langit dan bumi ini ? Mereka pasti menjawab, ‘Allah'. Meskipun orang-orang kafir itu sesuai fitrah dan akalnya mengakui Tuhan, tapi mereka menyekutukannya."

Keutamaan ilmu dan kemuliaan akhlak Imam Jawad begitu harum semerbak di tengah masyarakat, hingga penguasa yang merasa terancam dengan popularitas sang Imam merancang sebuah konspirasi untuk menjatuhkan citra beliau. Pada hari yang telah ditentukan, penguasa Abbasiyah bersama Yahya bin Aktsam memasuki majelis besar yang dihadiri oleh orang-orang terhormat, bangsawan, dan para pejabat pemerintahan. Kemudian, datanglah Imam Jawad as ke majelis itu. Orang-orang yang hadir di dalam majelis itu berdiri menyambut kedatangan beliau.

Makmun berkata kepada Imam Jawad, "Yahya bin Aktsam ingin mengajukan beberapa pertanyaan kepadamu." "Silahkan bertanya apa pun yang ia ingin ditanyakan", jawab Imam as. Yahya mulai melontarkan pertanyaannya kepada Imam, "Apa pendapatmu tentang orang yang mengenakan pakaian Ihram dan berziarah ke Ka'bah, pada saat yang sama ia juga pergi berburu dan membunuh seekor binatang di sana?"

Imam Al-Jawad berkata, "Wahai Yahya, kau telah menanyakan sebuah masalah yang masih sangat umum. Mana yang sebenarnya ingin kau tanyakan; apakah orang itu berada di dalam Tanah Haram atau di luar? Apakah ia tahu dan mengerti tentang larangan perbuatan itu atau tidak? Apakah dia membunuh binatang itu dengan sengaja atau tidak? Apakah dia itu seorang budak atau seorang merdeka? Apakah pelaku perbuatan itu menyesali perbuatannya atau tidak? Apakah kejadian ini terjadi pada malam atau siang hari? Apakah perbuatannya itu untuk yang pertama kali atau kedua kalinya atau ketiga kalinya? Apakah binatang buruan itu sejenis burung atau bukan? Apakah binatang buruan itu besar atau kecil?"

Mendengar jawaban dari  Imam  Jawad yang saat ini berusia sangat muda, Yahya bin Aktsam, takjub dan dari raut mukanya terlihat ketidakberdayaannya. Ia pun mengakui keilmuan Imam Jawad.

Imam Jawad juga memiliki sahabat dan murid-murid yang berjasa dalam penyebaran keilmuan Islam. Di antaranya adalah Muhammad Bin Khalid Barqi yang menulis sejumlah karya di bidang tafsir al-Quran, sejarah, sastra, ilmu hadis dan lainnya.

Mengenai pentingnya Ilmu pengetahuan, Imam Jawad berkata, "Beruntunglah orang yang menuntut ilmu. Sebab mempelajarinya diwajibkan bagimu. Membahas dan mengkajinya merupakan perbuatan baik dan terpuji. Ilmu mendekatkan saudara seiman, hadiah terbaik dalam setiap pertemuan, mengiringi manusia dalam setiap perjalanan, dan  menemani  manusia dalam keterasingan dan kesendirian."

Imam Jawad senantiasa menyerukan untuk menuntut ilmu dan menyebutnya sebagai penolong terbaik. Beliau menasehati sahabatnya supaya menghadiri majelis ilmu dan menghormati orang-orang yang berilmu. Tentang pembagian ilmu, Imam Jawad berkata, "Ilmu terbagi dua, yaitu ilmu yang berakar dari dalam diri manusia, dan ilmu yang diraih dari orang lain. Jika ilmu yang diraih tidak seirama dengan ilmu fitri, maka tidak ada gunanya sama sekali. Barang siapa yang tidak mengetahui kenikmatan hikmah dan tidak merasakan manisnya, maka ia tidak akan mempelajarinya. Keindahan sejati terdapat dalam lisan dan laku baik. Sedangkan kesempurnaan yang benar berada dalam akal."

Imam Jawad menyebut ilmu sebagai faktor pembawa kemenangan dan sarana mencapai kesempurnaan. Beliau menyarankan kepada para pencari hakikat dan orang-orang yang mencari kesempurnaan dalam kehidupannya untuk menuntut ilmu. Sebab ilmu akan membantu mencapai tujuan tinggi baik dunia maupun akhirat.

Pada hari terakhir bulan Dzulqaidah 220 H, Imam Jawad syahid akibat racun yang disuguhkan oleh isterinya, Ummu Al-Fadhl  atas perintah khalifah Bani Abbas. Makam suci beliau di samping kuburan suci kakeknya yang mulia, Imam Musa Ibn Ja`far as, di kota Kadzimain yang menjadi tempat ziarah para pecinta Ahlul Bait as.

Salam bagimu wahai Muhammad bin Ali yang mulia, takwa dan setia !

Salam bagimu wahai tanda besar Tuhan !

Salam bagimu wahai hujah Allah bagi makhluk ! 



Senin, 28 Juli 2014

Otobiografi Annemarie Schimmel



(Perkataan Imam Ali bin Abi Thalib As di Nisan Annemarie Schimmel: “Seluruh manusia tertidur pulas. Ketika ajal tiba, mereka baru sadar.”)

Pakistan menjadi fokus studi saya setelah meninggalkan Turki. Ada banyak perjalanan yang membawa saya ke sana selama  kurun waktu beberapa tahun hingga hari ini. Saya menjadi begitu hafal setiap sudut dan tikungan dari negeri yang luas itu, tidak hanya padang-padang stepa Sind yang dihiasi titik-titik musoleum  di sana-sini, tapi juga kemudian wilayah pegunungannya di utara. Saya tidak tahu lagi, mana yang paling hebat dari 30 kali kunjungan saya ke Pakistan. Apakah episode di Islamabad ketika saya menerima penghargaan Hilal-i Pakistan – penghargaan tertinggi bagi masyarakat sipil di Pakistan – yang diberikan pada sebuah upacara yang dihadiri oleh Aga Khan? Atau perjalanan ke Khunjrab Pass yang berada di ketinggian 15.000 kaki di perbatasan Cina? Atau penerbangan di sepanjang Nanga Parbat menuju ngarai di lembah Indus? Atau keramahan luar biasa yang ditunjukkan oleh masyarakat termiskin di pedesaan, yang ditunjukkan oleh ketergesaan seorang pengawal yang memberikan segelas air kepada tamu terhormat dari Jerman? Atau mungkin perjalanan dengan helikopter kecil melintasi Balochistan di wilayah selatan negeri menuju Las Bela, lalu menuju ke gua suci Hinglaj di pegunungan Makran, sebuah tempat suci yang akhirnya mampu kami capai dengan menunggang unta?

Saya juga menyaksikan perubahan politik; berbicara panjang lebar dengan Bhutto dan Jenderal Zia ul-Haqq; menyaksikan tumbuhkan industrialisasi; hilangnya pola-pola kehidupan lama secara perlahan; meningkatnya ketegangan antara faksi-faksi yang berbeda; hingga pergantian dan pembunuhan menteri dan kepala negara. Namun keragaman kultural yang sangat kaya, serta persahabatan dengan begitu banyak orang (yang biasanya mengenal saya dari seringnya saya tampil di televisi), membuat saya benar-benar menemukan rumah saya di Pakistan.

Ketertarikan saya terhadap Pakistan – dan seluruh Anak Benua tersebut – mendapatkan berbagai macam dukungan. Pada tahun 1960, sebelum mendapat panggilan dari Universitas Bonn untuk mengajar studi-studi keislaman dan bahasa-bahasa yang relevan dengan subyek itu, saya sempat membantu penyelenggaraan Kongres Internasional Sejarah Agama di Marburg. Lima tahun kemudian sejumlah kolega Amerika mengundang saya untuk membantu mereka mengorganisir kongres kedua di Claremont, California. Itu menjadi kunjungan pertama saya ke Amerika Serikat. Saya benar-benar menikmatinya, mengunjungi dari Disneyland hingga Grand Canyon dan New York, yang semuanya tak berhenti memikat hati saya. Konferensi itu sendiri secara jelas menunjukkan pentingnya pendekatan kesejarahan terhadap studi-studi agama yang diinisiasi oleh beberapa sarjana Eropa namun kemudian dikembangkan secara lebih dinamis oleh sejumlah sarjana di Amerika Utara. Tapi yang membuat saya lebih bingung dibanding tegang terhadap berbagai pendekatan ini, adalah pertanyaan dari Wilfred Cantwell Smith tentang kesediaan saya untuk bergabung dengan Harvard dan mengajar mengenai budaya Indo-Muslim. Itulah yang diidamkan oleh pimpinan Minute-Rice [1] yang terkenal, seorang Muslim India kaya, yang tergila-gila dengan puisi Urdu karya Mir (w.1810) dan Ghalib (w. 1869), yang menginginkan agar karya-karya penyair pujaannya diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris untuk memikat Barat, seperti yang dilakukan Fitzgerald terhadap Rubaiyat Omar Khayyam lebih dari seabad silam. Tidak, jawab saya; saya tidak tertarik sama sekali – Urdu bukan bagian dari studi saya. Dan Amerika? Saya tidak pernah bermimpi untuk menetap di sana.

Sampai titik itu saya masih punya alasan untuk menolak tawaran tersebut, atau setidaknya untuk bersikap ragu: setelah pindah ke Bonn pada 1961, saya menjadi editor sejak tahun 1963 untuk sebuah jurnal budaya berbahasa Arah dengan Albert Theile, salah satu dari sedikit elit jenius penulis budaya. Jurnal kami, Fikrun wa Fann, sering dipuji sebagai jurnal paling cantik yang terbit di Jerman. Saya bukan hanya bertanggungjawab atas naskah-naskah berbahasa Arabnya, namun juga dalam komposisinya. Saya belajar bagaimana membuat lay-out secara klasik, dengan menggunakan gunting dan lem hingga tercipta sebuah karya yang sempurna. Untuk memilih artikel, penulis dan ilustrasi, kami harus mengunjungi banyak sekali museum, teater, pertunjukan balet, sehingga wawasan saya terhadap karya-karya seni terbuka lebar dan memungkinkan saya mengeksplorasi minat artistik yang saya miliki: sesuatu yang dengan caranya sendiri menunjang profesi akademis saya. Meninggalkan jurnal yang saya lahirkan ini? Tidak!

Namun, siapa yang sanggup menolak tawaran dari Harvard? Saya akhirnya menerimanya, terutama karena saya tak lagi melihat ada peluang untuk promosi lebih tinggi di Jerman – ketika pimpinan saya mengatakan, “Miss Schimmel, kalau saja anda seorang laki-laki, anda akan mendapatkan jabatan!”

Kontrak saya dengan Harvard dimulai pada bulan Juli 1966, namun saya memanfaatkan bulan-bulan pertama untuk membeli buku di India dan Pakistan. Sekembalinya dari Iran, saya singgah ke Afghanistan, yang keindahan alamnya menawan hati – dan danau berwarna safir Band-i Amir itu, bukankah seperti diambil begitu saja dari mimpi kanak-kanak kita? Belakangan saya memang harus kembali beberapa kali ke negara ini, menjumpai penduduknya yang sangat ramah, menempuh perjalanan dari Sistan ke Balkh, dari Ghazni ke Heart, di mana setiap tempat dipenuhi dengan kenangan mengenai sejarah Islam dan menggemakan kembali bait-bait puisi Persia. Saya tinggal cukup lama di Lahore, lalu pindah ke India, yang di tahun-tahun berikutnya semakin saya kenal dengan baik – tidak hanya bagian utaranya yang menyimpan warisan Moghul, tapi juga bagian selatannya. Di sana saya menemukan kota-kota bekas pusat kerajaan kecil Deccan – Gulbarga, Bidar, Bijapur, Aurangabad, dan Golconda-Hyderabad. Begitu banyak saksi dan bukti mengenai warisan literatur dan artistik yang luar biasa namun sangat sedikit diketahui. Sekali lagi sebuah dunia baru untuk dibuka untuk saya. Sebuah dunia yang akan saya coba paparkan kepada mahasiswa-mahasiswa saya di Harvard nanti. Sebuah dunia yang memungkinkan saya menawarkan bantuan ketika Cary Welch menyiapkan pameran istimewa bertajuk “INDIA!” pada tahun 1985 di Museum Metropolitan, kelak.

Pada bulan Maret 1967 saya tiba di Harvard dan mengalami badai salju yang sangat buruk pagi itu. Tak seorang pun mengingatkan saya bahwa hal itu biasa terjadi. Juga tak seorangpun merasa perlu mengenalkan saya pada rahasia administrasi di Harvard: tumpukan peraturan yang meliputi soal tingkat, makalah, pertemuan-pertemuan penting, perbedaan antara sarjana dan pasca-sarjana, dan sebagainya. Bagaimana mungkin seseorang, yang berasal dari sistem akademis yang sepenuhnya berbeda (Turki dan Jerman) diharapkan langsung memahami hal-hal tersebut? Semester pertama sungguh penuh tantangan: saya tidak hanya dipaksa untuk memberi kuliah pengantar sejarah Islam, bahasa Persia, Urdu, dan beberapa mata kuliah lain, tapi juga di setiap waktu luang saya harus nongkrong di pojok perpustakaan Widener untuk membuat daftar beratus-ratus buku berbahasa Urdu yang didatangkan dari Anak Benua tersebut. Jika sebelumnya kami hanya memiliki enam atau tujuh terbitan berbahasa Urdu – itu yang saya jumpai di katalog pertama – maka sekarang Widener bisa menyombongkan diri sebagai salah satu perpustakaan yang menyimpan karya berbahasa Urdu dan Sindhi terlengkap di Amerika Serikat.

“Harvard adalah tempat paling sunyi di dunia,” kata seorang kolega Amerika memperingatkan, dan memang hanya karena mahasiswa-mahasiswa yang luar biasalah saya sanggup bertahan melewati tahun-tahun pertama yang sungguh sulit. Mereka adalah mahasiswa dari India, Pakistan, dari Carolina dan Pantai Barat, dari Iran dan dunia Arab, penganut Yesuit, Muslim dan Budhis. Merekalah anak-anak saya, yang menolong saya melewati masa-masa nyaris putus asa, serta yang datang kepada saya untuk meminta bantuan atas persoalan yang mereka hadapi (baik terkait pendidikan maupun problem pribadi), dan dengan demikian membantu mengatasi persoalan saya sendiri. Kemudian, sebagaimana saya mengalami Istambul dari kacamata penyair, demikian pula saya belajar mengenai “para wanita Cambridge yang hidup dengan jiwa yang utuh” melalui puisi E.E. Cummings.

Masalahnya adalah saya harus mengajar dalam bahasa yang bukan bahasa asli saya, dan meskipun saya sangat menikmati mengajar dalam bahasa Turki, saya selalu ingat pengalaman ketika saya hampir gagal dalam pelajaran bahasa Inggris ketika duduk di bangku SMA, meskipun ketika itu saya sudah menerbitkan beberapa buku dalam bahasa Inggris. Buruknya lagi, di Jerman saya bisa memanfaatkan karya-karya terjemahan puitik yang luar biasa dari puisi Timur yang ditulis sejak tahun 1810, dan ketika karya yang diperlukan tidak tersedia maka saya akan menerjemahkannya sendiri. Tapi di sini saya seperti bisu, karena tidak bisa memberikan menjelaskan harta karun ini kepada para mahasiswa – atau setidaknya itu yang saya pikir.

Ketika Harvard menawari posisi tetap pada tahun 1970, saya merasa lebih aman dengan pengaturan untuk mengajar satu semester dengan beban dua kali lipat, sehingga saya bisa menghabiskan hampir seluruh musim gugur di Jerman dan Anak Benua India, saya kira akan berkontribusi positif baik terhadap riset saya sendiri maupun mahasiswa saya. Ketika akhirnya pengaturan itu diterima oleh pihak universitas, maka itu terutama disebabkan oleh upaya dan jaminan komisaris Minute-Rice, Mr. James R. Cherry, yang persahabatan serta nasihat-nasihat bijaknya terus menemani sejak saya pertama kali menginjakkan kaki ke negeri ini. Selama selang waktu tersebut, terutama setelah saya pindah ke Eliot House, saya semakin merasa menjadi anggota sejati komunitas Harvard, bertemu dengan kolega-kolega yang berasal dari latar belakang dan spesialisasi berbeda di Senior Common Room – sesuatu yang oleh sekelompok kecil anggota departemen “eksotis” perlukan untuk membangun sensitivitas terhadap aneka persoalan yang dihadapi oleh sebuah universitas elit dan ternama.

Agak aneh karena meskipun saya hidup di tiga benua, namun produktivitas menulis saya terus tumbuh. Amerika Serikat memaksa saya untuk menulis dalam bahasa Inggris, yang artinya saya menjangkau lebih banyak pembaca ketimbang sebelumnya, ketika saya menulis dalam bahasa Jerman. Saya juga menikmati kesempatan untuk mempelajari berbagai hal mengenai Amerika Utara, melalui berbagai seminar dan konferensi yang mengantar saya ke kampurs-kampus utama. Di mana-mana saya berjumpa dengan teman. UCLA adalah salah satu yang hampir secara rutin saya kunjungi untuk menghadiri konferensi Levi-della-Vida, dan di salah satu konferensi tersebut, tanpa saya duga, saya menerima penghargaan Levi-della-Vida pada tahun 1987. Lalu Salt Lake City dan pemandangan alam yang amat memukau di selatan Utah; kemudian Eugene (Oregon) dan Dallas; Chapel Hill dan Toronto serta masih banyak lainnya; kemudian Chicago dengan sekelompok ahli sejarah agama yang memasukkan saya ke jajaran editor Encyclopedia of Religion-nya Mircea Eliade yang sangat prestisius. Juga harus saya sebutkan kuliah-kuliah ACLS dalam Sejarah Agama pada musim semi 1980, yang memperjalankan saya dari Tennessee dan Duke ke Edmonton, Alberta. Saya kira saya sudah memecahkan rekor jumlah mata kuliah yang diajarkan mengenai aspek-aspek puitik sufisme dalam Islam, yang kemudian terbit dengan judul Through a Veil. Waktu yang saya habiskan di seberang lautan juga sebagian besarnya digunakan untuk memberikan kuliah dari Swis ke Skandinavia, dari Praha ke Australia, dari Mesir ke Yaman, dan juga berpartisipasi dalam berbagai perayaan terkait 2500 tahun Iran pada 1971.

Saya sering ditanya apakah tidak meletihkan menjalani hidup yang demikian: dari kelas ke kelas, menulis, dan membicarakan berbagai topik di berbagai kesempatan. Ya, mungkin demikian pada waktu-waktu tertentu,  namun suka cita yang dialami seseorang ketika bertemu dengan demikian banyak pribadi yang menarik, menyibukkan diri dengan diskusi-diskusi yang hidup setelah kuliah usai – sambil sarapan, makan siang atau makan malam – sudah tentu sangat menyemangati, karena itu semua memenuhi pikiran kita dengan ide-ide segar. Bahkan pertanyaan bodoh dari seorang wartawan yang tak terlatih, atau pertanyaan sok tahu dari seorang pelajar SMA, semuanya menjadi petunjuk bahwa kita harus menyelesaikan persoalan dengan lebih taktis, atau memformulasikan jawaban dengan lebih jelas. Sudah barang tentu, pertanyaan yang paling sering diulang, “Bagaimana mungkin, sebagai perempuan anda tertarik dengan Islam dan semua itu?” akan membuat saya hilang sabar dan bahkan marah!

Lingkaran kesarjanaan saya, yang hampir bisa disamakan dengan kehidupan saya sendiri, kian meluas. Kenyataan bahwa pada sepupu saya Paul Schimmel (yang namanya diambil dari almarhum ayah saya yang tidak pernah mengenalnya) juga mengajar di MIT dan terpilih sebagai anggota American Academy of Arts and Sciences persis pada hari yang sama dengan saya sendiri, terus menjadi sumber kebahagiaan untuk saya. Saya bangga terhadapnya dan keluarganya yang penuh kasih, terutama pada dua anak perempuannya yang sangat berminat terhadap kebudayaan Islam.

Sungguh sebuah pengalaman yang luar biasa menyaksikan perkembangan para mahasiswa (beberapa di antara mereka sekarang sudah pensiun sebagai duta besar, atau menjadi guru besar senior). Tapi juga tak terkatakan rasanya melihat bagaimana bibit-bibit spritualitas yang sejak lama disemai bersemi dan tumbuh menjadi bunga-bunga indah dan buah yang membanggakan. Ketika saya mulai belajar bagaimana menerapkan pendekatan fenomenologis terhadap agama, yang secara mudah diartikan sebagai memahami manifestasi eksternal dari agama, untuk kemudian secara bertahap masuk ke inti ajaran agama, saya yakin (dan masih terus yakin) bahwa pendekatan ini akan mengantarkan pada toleransi yang amat kita butuhkan sekarang ini, tanpa kekhawatiran akan lebur dalam pandangan-pandangan “sinkretistik” yang membahayakan imannya dan mengaburkan semua perbedaan.

Tapi bagaimana saya berani bermimpi bahwa suatu hari (tepatnya pada 1980) saya akan terpilih sebagai Presiden dari International Association of the History of Religion, perempuan pertama dan Islamolog pertama yang menduduki posisi ini? Atau bagaimana orang akan meramalkan bahwa pada 1992 saya akan menyampaikan kuliah di Gifford Lectures di Edinburgh, sesuatu yang selalu menjadi impian setiap ahli sejarah agama, teolog dan filosof? Kalau saya mengingat lagi bacaan Persia saya di semester kedua, ketika saya berusia 17 tahun, Safarnama, karya filsuf besar Ismailia bad pertengahan Nasir-i-Khusraw (wafat setelah 1071), apakah saya membayangkan bahwa beberapa mahasiswa terbaik saya di Harvard adalah anggota komunitas Ismaili, atau bahwa saya akan berhubungan erat dengan Institute of Ismaili Studies di London, di mana saya selalu gembira mengajar selama musim panas dan untuk siapa saya rela menerjemahkan (kali ini, syukurlah, ke dalam bahasa Inggris!) puisi-puisi dari buku asli Nasir-i-Khusraw?

Dan ketika saya merasa nyaris putus asa di Arbeitsdients sebelum memasuki universitas, menulis surat kepada seorang imam di Masjid Berlin memohon bantuannya untuk mengenalkan pada sebuah keluarga di Lahore sehingga saya bisa tinggal di sana untuk belajar bahasa Urdu (yang tentu nyaris terdengar sebagai sebuah utopia pada waktu itu!) – siapa yang akan menyangka bahwa 40 tahun kemudian, pada 1982, salah satu lorong paling indah di Lahore akan dinamai dengan nama saya?

Seluruh hidup saya, yang lingkarannya semakin luas, sebagaimana dikatakan Rilke, adalah sebuah proses belajar tanpa henti. Sudah barang tentu, dari belajar dan belajar lagi tentang sejarah, kadang membuat saya ngeri mengamati perubahan perspektif yang terus-menerus terjadi dalam ranah politik di negara-negara yang dekat di hati saya. Mungkin, ketika kita mengamati masyarakat-masyarakat Islam (tentu saja bukan hanya Islam) di masa modern, kita jadi memiliki keterampilan untuk mengingat pasang surut sejarah, sebagaimana dikatakan oleh sejarawan Afrika Utara abad ke-14, Ibn Khaldun, dalam muqaddima-nya yang terkenal –dan sempat saya terjemahkan dahulu kala. Selain itu, dengan mempelajari sejarah orang akan cenderung (dan ini juga saya rasakan) untuk mencari kekuatan tetap yang berdiri di bawah samudra, di balik permukaan yang penuh gelombang peristiwa.

Orangtua saya yang bijaksana mengajarkan hal ini dengan cara yang berbeda. Tanpa pemahaman ayah mengenai inti ajaran agama, dan tanpa kebijaksanaan ibu yang demikian mendalam serta kesabarannya yang seolah tanpa batas menghadapi putrinya yang cenderung aneh, juga dukungan tanpa letihnya, bisa dipastikan saya akan menjalani hidup yang berbeda. Sebagai gadis desa yang tak pernah menamatkan pendidikan menengahnya dan murni seorang otodidak, ibu membaca naskah-naskah yang saya tulis dan mengoreksi buku-buku serta artikel berbahasa Jermah saya serta bertindak, seperti diistilahkannya, sebagai “suara orang kebanyakan”. Dengan demikian mengajarkan pada saya untuk menulis dengan membayangkan para pembaca awam. Namun di sisi lain, ibu juga menjadi penyeimbang bagi kecenderungan saya tenggelam terlalu dalam di dalam mimpi-mimpi spiritualitas cinta, dan karena ibu sendiri adalah seorang yang supersensitif, ia menjaga agar saya tidak kehilangan ketenangan dan pemikiran kritis saya.

Walaupun tampaknya masa belajar itu akan segera berakhir, saya mengerti bahwa setiap pengalaman – bahkan yang paling tidak menyenangkan sekalipun – mengajarkan sesuatu kepada saya: bahwa setiap pengalaman itu harus disatukan untuk memperkaya keseluruhan kehidupan. Tidak ada kata akhir untuk belajar, sebagaimana tidak ada akhir untuk kehidupan. Iqbal menyatakan ini dalam kalimatnya yang sangat berani: “Surga itu adalah tak ada hari libur!” katanya, merujuk pada Goethe dan para pemikir lain. Bahwa kehidupan yang abadi sekalipun adalah sebuah proses bertumbuh yang terus-menerus, dan itu artinya belajar – belajar dengan cara yang misterius mengenai misteri-misteri keilahian yang kerap tak terduga, yang menyembunyikan diri di balik berbagai pertanda. Penderitaan adalah bagian dari proses ini, dan salah satu tugas paling sulit dalam hidup ini adalah belajar kesabaran.

Belajar, untuk saya, adalah proses mentransformasi pengetahuan dan pengalaman kepada kebijaksanaan dan cinta, untuk menjadi matang. Seperti dikatakan oleh sebuah nasihat dari Timur, bahwa batu biasapun bisa berubah menjadi rubi jika ia mengizinkan dirinya terbakar cahaya matahari, dan meneteskan darah untuk sebuah pengorbanan yang agung. Mungkin beberapa bait puisi yang saya tulis setelah mengunjungi musoleum Maulana Rumi di Konya berikut ini secara lebih tepat mengungkapkan apa arti belajar untuk saya:

Kau tak akan pernah mencapai gunung perak itu
yang tampak, seperti kumpulan awan sukacita,
dalam cahaya malam

Kau tidak akan pernah melintasi danau penuh garam
yang terus tersenyum kepadamu
dalam kabut pagi

Setiap langkah di jalan ini akan membawamu semakin jauh
dari rumah, dari bunga-bunga, dari musim semi.
terkadang bayangan awan akan meneduhi jalanmu
terkadang kau mendapati dirimu beristirah di puing-puing yang ditinggalkan kafilah,
mencari Kebenaran dari balik kepulan asap jelaga,
terkadang kau melangkah beberapa depa
bersama jiwa yang kau kira keluarga
hanya untuk kehilangan dirinya

Kau akan terus melangkah, tercabik awan,
terbakar matahari,
sementara seruling sang gembala
mengabarkan kepadamu tentang “Jalan darah”.

Sampai kau tak sanggup lagi menangis
sampai danau menjadi asin
oleh air matamu yang mengering

yang mencerminkan gunung sukacita
yang lebih dekat kepadamu, daripada hatimu.

(Annemarie Schimmel, 1993)
[1] Minute-Rice adalah merek nasi instan terkenal yang pertama kali diperkenalkan oleh General Food pada tahun 1949.

Hak Cipta Terjemahan @ Nurul Agustina