Sabtu, 22 Maret 2014

Agenda Rahasia Rezim Saud Melalui PKS

Testimoni ini ditulis oleh seorang mantan kader PKS dari UI, AF, sebagai “note” pribadi di facebook.

Pertama-tama, saya menuliskan pengalaman saya ini tidak untuk menjatuhkan atau menjelek-jelekkan salah satu partai besar di Indonesia. Saya hanya ingin berbagi pengalaman untuk menjadi bahan renungan para pembaca agar dapat lebih mengenal PKS dari dalam. Tulisan ini dimaksudkan agar masyarakat dapat mengenal PKS secara objektif, agar rakyat Indonesia mengetahui apakah PKS benar-benar mengusung kepentingan rakyat Indonesia atau justru sedang mengkhianati masyarakat dan para kadernya sendiri dengan sentimen keagamaan serta jargon sebagai partai bersih. Sayangnya, banyak masyarakat dan orang-orang di dalam tubuh PKS ini pun tidak menyadarinya.

Bagian tersebut akan saya jelaskan secara singkat di akhir cerita saya, dan sekarang saya ingin berbagi dulu kepada para pembaca mengenai sistem pengkaderan PKS yang sangat canggih dan sistematis sehingga dalam waktu singkat membuatnya menjadi partai besar. Saya waktu itu mahasiswa dan kader PKS mulai dari ‘amsirriyah sampai ke ‘am jahriyah. Mulai dari saya masih sembunyi-sembunyi dalam berdakwah, sampai ke fase dakwah secara terang-terangan, sejak PKS masih bernama PK sampai kemudian menjadi PKS. Dalam struktur pengkaderan PKS di kampus, ada beberapa lingkaran, yakni lingkaran inti yang disebut majelis syuro’ah (MS), lingkaran kedua yakni majelis besar (MB), dan lingkaran tiga yang menjadi corong dakwah seperti senat (BEM), BPM (MPM), dan lembaga kerohanian Islam.

Jenjangnya adalah mulai dari lembaga dakwah tingkat jurusan, fakultas, sampai ke universitas. Jika di universitas tersebut terdapat asrama dan punya kegiatan kemahasiswaan, maka di sana pun pasti ada struktur seperti yang telah saya terangkan. Universitas biasanya akan berhubungan dengan PKS terkait perkembangan politik kampus maupun perkembangan politik nasional. Dari sanalah basis PKS dalam melakukan pergerakan-pergerakan politik dalam negeri atas nama mahasiswa baik itu yang berwujud demonstrasi ataupun pergerakan lainnya. Sistem pergerakan, pengkaderan, dan struktur lingkaran yang terjadi di dunia kampus sama persis dengan yang terjadi di tingkat nasional.

Kembali ke dalam struktur lingkaran PKS di kampus, orang-orang yang duduk di MS jumlahnya biasanya tidak banyak dan orang-orangnya adalah orang-orang yang terpilih. Kebanyakan yang menjadi anggota MS adalah mahasiswa yang memang sudah di kader sejak SMU. Tapi tidak banyak juga yang berhasil masuk ke dalam MS dari orang-orang yang telah dikader pada saat kuliah. Saya termasuk orang yang masuk ke dalam lingkaran MS yang baru dikader pada saat kuliah dan menduduki posisi sebagai mas’ulah di asrama UI sehingga saya punya akses langsung untuk berdiskusi dengan mas’ulah tingkat universitas. Dari sini juga saya akhirnya banyak tahu sistem dalam PKS meskipun saya pada tingkat fakultas hanya masuk sampai tingkat MB.

Dalam MS dan MB memiliki mas’ul (pemimpin untuk anggota ikhwan) dan mas’ulah (pemimpin untuk anggota akhwat). Masing-masing mas’ul (ah) ini membawahi MS secara keseluruhan dan ada juga mas’ul (ah) yang membawahi sayap-sayap dakwah yakni sayap tarbiyah (mengurusi pengkaderan khusus untuk ikhwah seperti pemetaan liqoat, materi liqoat, dll), sayap syiar (mengurusi syiar Islam khususnya dalam lembaga kerohanian formal dan menjaring kader baru), dan sayap sosial & politik (mengurusi dakwah dalam bidang lembaga formal kampus yakni BEM dan MPM).

Di lingkaran kedua adalah majelis besar, anggotanya adalah ikhwah yang sudah dikader juga dan tinggal menerima keputusan dari MS untuk dilaksanakan. Jadi, MS ini adalah tink-tank dari seluruh kegiatan yang terjadi di kampus. Apabila kader PKS duduk sebagai ketua BEM/Senat atau MPM/BPM, maka semua kegiatannya harus mendapat ijin dari MS dan memang biasanya berbagai agenda di BEM/Senat dan MPM/BPM ini dibuat oleh MS. Bagaimana sistem pengkaderan PKS itu sendiri? Bagaimana PKS mengubah seorang menjadi kader yang militant? Jalan pertama adalah menguasai Senat, BEM, BPM, dan MPM. Apabila lembaga formal ini sudah dikuasai maka akan mudah untuk membuat kebijakan terutama pada masa penerimaan mahasiswa baru.

Saat orientasi Mahasiswa baru biasanya mereka akan dibentuk kelompok kecil (halaqah) dan ikhwah PKS akan berperan sebagai mentor. Kegiatan ini akan berlanjut rutin selama masa perkuliahan di mana halaqah ini akan berkumpul 1 minggu sekali. Dari sinilah biasanya akan terjaring orang-orang yang kemudian akan menjadi ikhwah militan, bahkan orang yang sebelumnya tidak pakai jilbab dan sangat gaul bisa menjadi seorang akhwat yang sangat pemalu namun juga sangat militan.

Agenda utama kami adalah membentuk Manhaj Islamiyah di Indonesia menuju Daulah Islamiyah (mirip dengan sistem Khilafah Islamiyah dari HTI). Doktrin utama dalam sistem jamaah PKS yang juga menamakan dirinya sebagai jamaah Ikhwanul Muslimin ini adalah “nahnu du’at qobla kulli sya’i” dan“sami’na wa ata’na”. Dua doktrin inilah yang membuat kami semua menjadi orang yang sangat loyal dan militan. Setiap instruksi yang diberikan dari mas’ul (ah) ataupun murabbi (ah) kami akan kami pasti patuhi meskipun kami tidak benar-benar paham tujuannya. Seperti menyumbang, mengikuti demonstrasi, meskipun harus bolos kuliah, dll.

Selama saya aktif di pergerakan ini, saya melihat banyak sekali teman-teman saya yang berhenti menjadi Aktivis Dakwah Kampus (ADK). Dulu saya merasa kasihan dengan mereka, karena yang saya tahu – diberitahu oleh murabbi kami dan juga seringkali dibahas dalam taujih atau tausiyah (semacam kultum) – bahwa dalam jalan dakwah ini selalu akan ada orang-orang yang terjatuh di jalan dakwah, mereka adalah orang-orang futur (berbalik ke belakang). Orang-orangini biasanya kami labeli sebagai anggota “basah” (barisan sakit hati). Saya mempercayai semuanya sampai akhirnya saya pun merasa tidak cocok lagi untuk berada di sana dan memutuskan untuk keluar dari ADK, padahal saya dulu sudah diproyeksikan sebagai ADK abadi (orang yang akan menjadi aktivis dakwah kampus selamanya dengan cara menjadi dosen atau karyawan tetap di kampus).

Ada beberapa alasan yang membuat saya mengambil keputusan untuk keluar, antara lain: Adanya ekslusivisme antara kami para ADK dengan orang-orang di luar ADK. Kami para ADK adalah orang-orang khos (orang khusus) dan mereka adalah adalah orang ’amah (orang umum). Orang khos adalah orang yang sudah mengikuti tarbiyah dan mengikuti liqo’at (semacam halaqah tapi lebih khusus lagi) dan orang ’amah adalah orang yang belum mengenal tarbiyah. Para ikhwah, terutama para ADK, tidak akan mau menikah dengan ’amah karena mereka dapat membuat orang khos seperti kami menjadi futur, bahkan bisa membuat kami terlempar dari jalan dakwah. Istilah khos dan a’amah ini membuat saya merasa tidak natural dan tidak manusiawi dalam menghadapi teman saya yang ’amah. Saya diajarkan bahwa mereka adalah mad’u (objek dakwah) saya. Jika saya bisa menarik mereka ke dalam sistem kami apalagi bisa menjadi ADK, maka kami akan mendapat pahala yang sangat besar. Saya merasa menjadi berdagang dengan teman saya yang dulunya sebelum menjadi ADK adalah sahabat saya. Saya merasa tidak memanusiakan teman saya dan lebih memandang mereka sebagai objek dakwah.

Dalam liqo’at ataupun dauroh saya juga ada beberapa hal yang membuat saya tidak sreg, seperti bahwa saya harus lebih mengutamakan liqo’at daripada kepentingan orang tua dan keluarga saya. Bahkan saya pernah diberitahu bahwa bila sudah ada panggilan liqo’at, meski orang tua saya sakit dan harus menjaganya, maka saya harus tetap datang liqo (entah mengapa selama beberapa tahun saya bisa menerima konsep yang kurang manusiawi ini). Ha llain adalah saya tidak boleh mengikuti kajian di luar liqo saya, padahal setahu saya bahwa kebenaran itu tidak hanya milik liqo saya, masih banyak sekali kebenaran di luar sana. Bahkan buku bacaan pun diatur di mana ada banyak buku yang saya sangat berguna untuk menambah wawasan keislaman saya seperti buku yang mengajarkan tentang hakikat Islam namun oleh murabbi saya dilarang.

Untuk hal ini saya membangkang karena seandainya Islam itu memang benar rahmatan lil alamin maka ilmunya pun pasti sangat luas dan tidak hanya monopoli orang-orang di PKS semata. Semua ganjalan-ganjalan yang saya rasakan akhirnya meledak ketika saya kemudian tahu dari sumber yang terpercaya dalam pemerintahan, juga dari petinggi PKS sendiri, tentang agenda yang tidak pernah saya ketahui sebelumnya dan pastinya juga tidak diketahui oleh orang-orang se-level saya atau bahkan pun pengurus inti PKS.

Agenda Utama PKS

Agenda utama PKS adalah menghancurkan budaya Indonesia melalu iinvasi budaya Arab Saudi. Banyak sekali indikasi yang saya rasakan langsung pada saat menjadi ADK seperti upaya kami untuk menghalang-halangi acara seni, budaya, dll. Hingga berbagai upaya kami agar bisa memboikot mata kuliah ilmu budaya dasar (IBD). Saya ingat dulu, karena saya begitu termakan doktrin bahwa mata kuliah IBD tidak berguna dan bisa melemahkan iman saya seringkali membolos kalau ada latihan menari sampai saya sempat dibenci teman-teman saya. Kembali kepada agenda PKS ini sebagai perpanjangan tangan dari Kerajaan Saudi (kerajaan yang didirikan Zionist yang juga mendirikan Wahabisme) tujuan utamanya adalah agar kekuasaan Arab bisa mencapai Indonesia mengingat satu-satunya sumber devisa Arab adalah minyak yang diperkirakan akan habis pada tahun 2050 dan melalui jamaah haji.

Indonesia adalah negara yang sangat kaya sumber daya alam dan merupakan umat muslim terbesar di dunia. Bahkan jika seluruh umat muslim di Ttimur Tengah disatukan, umat muslim Indonesia masih jauh lebih banyak. Untuk itu, agar dapat bertahan secara ekonomi, maka Arab Saudi harus bisa merebut Indonesia dan cara yang paling jitu adalah melalui invasi kebudayaan.

Islam dibuat menjadi satu gaya Arab Saudi, sehingga budaya Arab Saudi (yang sebenarnya tidak Islami itu) akan dianggap Islam oleh masyarakat Indonesia yang relative masih kurang terdidik dan secara emosional masih sangat fanatik terhadap agama.


Tidak banyak orang PKS yang tahu soal ini, hanya segelintir saja yang memahaminya. Mereka menduduki posisi-posisi strategis dalam pemerintahan agar dapat lebih memudahkan agendanya. Sentimen keagamaan terus dipakai untuk meraih simpati masyarakat. Sehingga berbagai produk kebijakan seperti Perda Syariat, UU APP, dll. yang rata-rata hanya sekedar mengurus masalah cara berpakaian semata akan dengan bangganya diterima oleh masyarakat muslim yang naif sebagai keberhasilan Islam. Orang-orang PKS sebenarnya layak disebut orang yang memperdagangkan Islam ketika mereka memahami Islam secara labeling semata. 


Gita dan Jempol Kaki Soekarno

Tulisan Dina Y. Sulaeman ini dimuat di situs baru yang keren,http://www.nefosnews.com  Dalam tulisan berjudul Gita dan Jempol Kaki Soekarno ini, saya menulis, sbb.

Sejumlah ekonom dari Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM), baru-baru ini memprediksi bahwa tahun depan nilai rupiah akan terus melemah, seiring dengan perekonomian Indonesia yang bakal semakin memburuk. Salah satu akar masalah adalah Indonesia terlalu mengandalkan konsumsi dan tingkat impor jauh lebih tinggi daripada ekspor. (Tempo, 25/12/2013)

Prediksi ini seolah kontradiktif dengan gegap gempita konferensi WTO di Bali yang baru berlalu. Yang paling berbahagia, agaknya Memperindag Gita Wirjawan, Sang Chairman sidang. Bayangkan saja, organisasi yang menjadi panglima pasar bebas dunia itu sudah bersidang sejak Putaran Doha (12 tahun yang lalu), tapi tak berhasil melahirkan kesepakatan. Namun, di Bali, Gita berhasil memimpin sidang yang melahirkan kesepakatan. Tentu saja, Gita memuji-muji Paket Bali; menyebutnya menguntungkan bagi negara berkembang dan miskin, karena “Mendapatkan manfaat untuk membuat akses bebas dari barang dan jasa untuk meningkatkan perdagangannya.” (Jurnas, 8/12/2013)

Dalam kacamata Gita, pasar bebas adalah jalan untuk mencapai kemajuan ekonomi. Pasar bebas memang memberi kesempatan kepada kita untuk mengekspor produk ke luar negeri, maupun berinvestasi di mana pun. Namun sebaliknya, juga memaksa kita untuk membuka pintu rumah lebar-lebar, mengizinkan arus modal, barang dan jasa masuk. Dalam perspektif pasar bebas, yang penting roda perekonomian berputar, tak penting siapa yang menguasai modalnya. Karena itu, dalam pandangan mereka, tak penting petani Indonesia tak berproduksi, yang penting adalah kebutuhan pangan tercukupi (meski dengan cara impor).

Lalu, apa hubungannya dengan jempol kaki Bung Karno?

Silahkan baca saja di website-nya ya..:)
Btw, masih ingatkah, apa itu NEFOS?

Gagasan pembentukan “Kekuatan Ketiga” memang baru dikumandangkan Bung Karno secara konseptual pada pertengahan 1960-an, yang kemudian populer disebut NEFOS atau The New Emerging Forces. Kekuatan ketiga yang bukan sekadar tidak ingin terseret ke kubu AS-Inggris maupun kubu Soviet-China.

NEFOS merupakan kontra skema kapitalisme global. Sebuah gerakan pro aktif “Perang Asimetrik” melawan skema kapitalisme global negara-negara maju melalui perang non militer.

Sayang, harus terhenti sebelum menemukan format pas, menyusul tergusurnya Bung Karno, Ben Bella, U Nu, Nkrumah dan Sihanouk.

Lebih sayang lagi, NEFOS yang harusnya jadi harta karun, seakan dengan sadar dikubur hidup-hidup menyusul tergusurnya Bung Karno dan munculnya Rezim Orde Baru Soeharto. Dan celakanya, Orde Reformasi kadung “amnesia sejarah” untuk menghidupkan, apalagi merevitalisasi NEFOS.


Selengkapnya, silahkan membaca tulisan Hendrajit, NEFOS Modal Songsong Perang Asia Timur Raya Jilid III.

From Business to Government, Antek-antek Rotschild di Indonesia

Oleh Artawijaya (Penulis Buku "Jaringan Zionis Internasional di Nusantara")

Soros memiliki banyak kedekatan dengan tokoh-tokoh yang “menyediakan dirinya kepada penghambaan bagi dunia dan jaringan yang dikendalikan oleh Rotschild melalui ideologi neo-liberalisme” semisal Gita Wirjawan, Goenawan Mohamad, Boediono, dan Sri Mulyani. Para pebisnis Zionis memiliki peran penting dalam upaya memperjuangkan politik Zionis di mana pun mereka berada. Mereka tak sekadar berbisnis, namun juga melakukan lobi-lobi politik untuk memuluskan misi mereka dalam menaklukkan sebuah negara, termasuk di Indonesia.


Karena itu, lobi-lobi pebisnis Zionis di negeri ini patut dicurigai! Siapa tak kenal George Soros? Pebisnis berdarah Yahudi asal Amerika yang memiliki nama asli Gyorgy Shcwartz ini adalah sosok yang disebut-sebut sebagai “biang kerok” krisis finansial yang melanda Asia, termasuk Indonesia pada 1997 silam. Pria kelahiran Budapest, Hongaria, 12 Agustus 1930 ini adalah pebisnis Yahudi yang memiliki reputasi buruk sebagai spekulan di pasar uang internasional. Soros memiliki keyakinan, bahwa pasar adalah wilayah tanpa moral.

Sebagai pebisnis berdarah Yahudi, Soros tentu paham betul soal trilogi; bisnis politik, dan kepentingan Yahudi. Para pebisnis Yahudi yang menjalankan trilogi itu tentu menyadari bahwa lobi bisnis adalah sarana untuk bisa menjalankan lobi politik yang lebih luas ke jantung pemerintahan.Mereka menyebutnya sebagai plan B (business) to G (Government). Karena itu, ia hanya akan melakukan lobi bisnis pada orang yang berada di lingkar elit kekuasaan atau tokoh high level yang memiliki wewenang dalam mengeluarkan kebijakan, khususnya dalam mengeluarkan regulasi bisnis.

Jika pada masa-masa pasca krisis, Soros tak berani menampakkan batang hidungnya di negeri Indonesia, namun berkat lobi-lobi yang dilakukannya Soros kini bisa leluasa melenggang ke Indonesia leewat lembaga Open Society Institute. Tak banyak media yang meliput, kecuali Harian Kompas yang selama ini dikenal sebagai corong kelompok neo-liberal. Sebelumnya, Soros juga dikenal sebagai donatur Tifa Foundation, LSM yang juga bergerak memperjuangkan paham neo-liberal. Kedatangan Soros ke Indonesia nyaris tanpa penolakan, khususnya dari umat Islam.

Melalui ”para kurirnya” di Indonesia, Soros kemudian berusaha melakukan ekspansi bisnis di dunia perbankan dan perkebunan sawit di Nanggroe Aceh Daarussalam. Tak tanggung-tanggung, Soros berusaha menanam investasi pada sektor perbankan devisa melalui Bank Pembangunan Daerah (BPD) Aceh. Rencana Soros sempat menuai pemberitaan tajam di media massa, namun setelah itu hilang begitu saja.

Awal tahun 2010, lobi Soros ke jantung pemerintahan semakin mulus. Di saat masyarakat Indonesia heboh dengan skandal bail out Bank Century yang diduga melibatkan Wakil Presiden Boediono yang saat itu menjabat sebagai Gubernur Bank Indonesia, Soros justru dengan entengnya melenggang ke istana wakil presiden. Selain bertemu Boediono, di istana wapres tersebut Soros juga bertemu dengan pejabat tinggi Indonesia lainnya, seperti Kepala Unit Kerja Presiden Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP3) Kuntoro Mangkusubroto dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Gita Wirjawan.

Pejabat di lingkungan wakil presiden menyebut kedatangan Soros sebagai courtessy call, pertemuan biasa yang tak memiliki agenda khusus. Bahkan, Gita Wirjawan sebagai kepala BKPM menyebut kedatangan Soros sekadar membicarakan perkembangan demokrasi di Indonesia. Sungguh aneh, kalau sekadar membicarakan perkembangan demokrasi, kenapa harus bertemu dengan kepala UKP3 dan BKPM? Kenapa tidak bertemu dengan DPR atau lembaga-lembaga yang lebih terkait dengan upaya mengembangkan demokrasi?

Direktur eksekutif Indonesia Israel Public Affair Comitte (IIPAC) Benjamin Ketang, seperti dikutip Warta Ekonomi, menyebut sowannya Soros ke Boediono bukan pertemuan biasa. Ada agenda besar dan lobi bisnis tingkat tinggi yang dilakukan Soros sebagai pebisnis Yahudi asal Amerika dengan Indonesia yang diwakili oleh Boediono sebagai elit pemerintahan di negeri ini. Strategi B (bussiness) to G (Goverment) yang dilakukan Soros setidaknya melibatkan petinggi di negeri ini.

Kiprah bisnis Soros di Indonesia tercatat di beberapa perusahaan besar di Indonesia, diantaranya; Ricky Putra Grup (bergerak di bidang pakaian), Bank CIC (Bank yang kemudian merger dengan Bank Century), Bhakti Investama (bergerak di bidang media), PT. Global Putra Internasional (bergerak di bidang penerbangan), PT Fatrapolindo Nusa Industri (bergerak di bidang industri plastik kemasan), PT Intan Bumi Inti Perdana (bergerak di bidang pertambangan), dan lain-lain.

Jika Soros telah lebih dulu memainkan pengaruh bisnisnya di Indonesia, maka saat ini pebisnis Zionis lainnya yang berasal dari Dinasti Yahudi Tameng Merah (Rothschild), berusaha menancapkan taring bisnisnya di Indonesia lewat kolaborasi dengan Grup Bakrie. Rothschild adalah dinasti Yahudi yang banyak memainkan peran dalam berbagai kekisruhan politik dan ekonomi di negara-negara Eropa dan Amerika.

Seperti kata ZA Maulani dalam bukunya ”Zionisme Gerakan Menaklukkan Dunia”, untuk memuluskan ekspansi bisnisnya, Dinasti Rothschild tak hanya menampakkan orang-orangnya ke permukaan, tetapi juga menanam para intelijennya yang melakukan operasi rahasia untuk memuluskan hegemoni bisnisnya.