Senin, 12 April 2021

Bermain Dengan Bahasa

 


Sebuah Esai Otobiografis Sulaiman Djaya

Aku telah menjalani hidup puluhan tahun. Entah dengan riang atau dalam keadaan sebaliknya. Dalam kesukaran dan nestapa. Aku menuliskan esai naratifku ini karena aku percaya pada satu alasan yang tak teringkari oleh siapa saja: manusia menginginkan kebahagiaan. 

Di hari Minggu aku bangun saat subuh dan tidak langsung mandi karena biasanya aku harus berangkat bersama ibuku ke sawah untuk mencabuti rumput dan gulma yang tumbuh bersama padi-padi yang ia tanam. Persis seperti yang dilakukan tokoh utama dalam film Little Forest yang diperankan Ai Hashimoto dan para petani lainnya di sebuah desa di lereng gunung dalam film yang bertema dan berlatar kehidupan pedesaan di Jepang itu. Kami berangkat selepas menyantap nasi goreng yang dimasak ibuku. Atau menyantap ubi dan singkong rebus di hari Minggu lainnya. Semuanya tergantung persediaan pangan apa yang masih ada yang tak habis di waktu malam. Biasanya rumput-rumput di setapak pematang yang kami lalui ketika itu masih basah sebelum akhirnya embun-embun itu menguap karena datangnya sinar matahari yang mulai tampak dan memancar pada pukul enam pagihari dari sela-sela ranting dan dahan pohon-pohon yang berbaris sepanjang setapak tepi sungai Irigasi yang hulunya berada di Pamarayan. Sungai yang merupakan anak Sungai Ciujung.

Bila cuaca hangat sudah agak mulai terasa masuk ke dalam pori-pori tubuh kami melalui benang-benang baju, kami akan pulang. Antara jam 10 hingga jam 11. Dan saat sampai di rumah, ibuku akan langsung ke dapur untuk memasak apa saja yang ada untuk menu makan siang. Dunia pedesaan tempat masa kanak-kanakku hidup adalah dunia yang saling bertentangan. Di satu sisi ada kegembiraan dan kebebasan, di sisi lain ada kemiskinan dan keterbatasan. Misalnya adalah keanehan kami sebagai petani yang acapkali kehabisan beras sebab butuh waktu berbulan-bulan lagi untuk panen sementara kebutuhan sehari-hari tidak tercukupi dengan persedian beras yang ada dari panen sebelumnya. Dan begitu pun sebaliknya, acapkali ketika persediaan beras melimpah, kami tak punya cukup uang untuk membeli bahan pangan lainnya sehingga ibuku harus rela menjual berliter-liter beras hasil kerja kerasnya selama berbulan-bulan demi uang yang tak terlampau banyak agar kebutuhan menu makan kami sehari-hari tercukupi selain untuk kebutuhan sekolah.

Karena keterbatasan itu aku membawa buku-buku ke sekolah dasarku tanpa menggunakan tas seperti halnya para siswa lain. Dan bila ada yang berani mengejek kemiskinan dan keterbatasanku, aku akan segera menghajar siswa itu. Meskipun demikian, aku tetap sanggup menjadi yang terbaik dan tercerdas di kelasku. Hanya saja kecerdasanku itu tak begitu saja memuaskan para guruku di sekolah dasar sebab aku terbilang siswa yang ‘berandal’ dan ‘bengal’ karena acapkali melakukan hal-hal iseng seperti menaruh setangkai pohon songler dari pinggir sungai yang terdapat beberapa ulat bulu berwarna hitam arang di daun-daunnya untuk kuletakkan di salah-satu meja siswi.

Barangkali watak dan sikap berandal dan bengalku di masa kanak-kanak itu adalah wujud dan ekspressi protesku atas kemiskinan dan keterbatasanku di saat aku tak mau ‘ditindas’ oleh beberapa siswa yang mengejek kemiskinanku dengan sikap mereka yang akan berbuat polah seenaknya jika saja keberanian mereka untuk melakukan hal demikian tak terlebih dulu kuhentikan dengan keberanianku untuk melakukan perlawanan. Itulah diantara manifestasi kebebasanku untuk tidak dikalahkan oleh kondisi kemiskinanku. Dorongan dan upaya untuk melawan itu sendiri merupakan sumber dan benih kebebasan dan kemerdekaan yang ada dalam diriku sebagai kanak-kanak yang lahir di dunia yang terbatas. Dan justru karena watak dan karakterku itulah aku mendapatkan dan memiliki beberapa teman yang loyal dan kuat meski tak banyak. Mereka lah yang senantiasa bermain denganku. Menjalani kemerdekaan dan kebebasan kanak-kanak untuk melakukan apa saja yang terasa menyenangkan dan memuaskan hati kami. Melakukan hal-hal yang bisa membuat kami merasa gembira meski dalam kemiskinan.

Ibuku sendiri adalah contoh orang yang tak mau dikalahkan oleh kemiskinan. Kesabaran dan ketabahannya mengajarkanku bahwa watak dan karakter untuk menjalani hidup dengan ikhlas akan melahirkan kekuatan dalam diriku untuk tidak dikalahkan kemiskinan dan keterbatasan. Di masa-masa paceklik ketika padi-padi terserang hama dan gagal panen, contohnya, kami masih bisa menyantap singkong dan ubi jalar yang direbus dengan sama riangnya sebagaimana kami melahap nasi dengan ikan asin (sesekali tempe yang digoreng atau ditumis), sayur asam, dan sambal yang diulek dan diaduk dari campuran cabe rawit, garam, terasi, dan beberapa irisan kulit buah Rosella agar sambal itu cukup banyak untuk memenuhi kebutuhan menu makan.

Lagi-lagi aku teringat film Little Forest saat si tokoh utama yang diperankan Ai Hashimoto dalam film itu mahir membuat panganan dari bahan pangan yang tumbuh di pedesaan berdasarkan ingatan dan pengalaman hidupnya bersama ibunya di masa silam.

Anak-anak yang orang tua mereka mampu membelikan sepeda akan memilih untuk bersepeda di hari Minggu. Anak-anak lelaki biasanya bisa menyombongkan sepeda BMX mereka dan anak-anak perempuan mengayuh pedal sepeda mereka yang memiliki keranjang di stang-nya. Aku dan teman-temanku kebetulan tak memiliki sepeda, sehingga kami memilih mengembara ke sawah-sawah dan pematang-pematang untuk berburu para belalang atau menerbangkan layang-layang bila aku tak sedang membantu ibuku di sawah. Inilah contoh hal lain kebebasan dan kemerdekaan dunia masa kanak-kanakku yang meski tak memiliki sepeda, tetap masih bisa merayakan kegembiraan kami dengan melakukan apa saja yang kami sukai dan yang membuat kami senang untuk melakukannya tanpa harus membebani orangtua-orangtua kami yang tak mampu membelikan kami sepeda. Di kali yang lain kami akan berburu burung dengan cara memanjat pohon-pohon besar tempat mereka membangun sarang di sela-sela ranting dan dahan. Kami akan mengambil anak-anak mereka yang belum bisa terbang untuk kami pelihara hingga besar.

Dunia masa kanak-kanak di mana kami belajar di sekolah dasar dan bermain di antara sungai, pematang, dan sawah adalah dunia ketika kami belum mengenal gawai dan permainan-permainan yang diciptakan oleh kemajuan dan kecanggihan tekhnologi, tapi bermain dengan permainan-permainan yang kami lakukan bersama alam. Kegembiraan-kegembiraan berlari-lari dalam guyur hujan di sawah-sawah saat kami mengejar dan memburu para belalang dengan alat pemukul berupa pohon songler yang masih berdaun, sudah pasti tidaklah sama dengan permainan-permainan di gawai saat ini. Saat itu kami menggerakkan tulang-tulang dan tubuh kami seperti ketika planet-planet di semesta berotasi dalam orbit mereka. Kami kadangkala terjatuh dan terjerembab dalam genangan air saat kaki kami tersangkut jerami atau terpeleset karena lumpur yang terasa licin.

Ingatan-ingatan tentang apa yang kulakukan di masa kanak-kanak itu muncul di saat kini aku mudah sekali terserang rasa jenuh dan bosan. Di saat aku merasa menderita dan kesepian. Entah karena apa. Tak jelas sebab dan muasalnya. Sering kucoba untuk mengusir rasa jenuh dan bosan itu dengan jalan menonton film-film dari ragam Negara, namun tetap saja tak sanggup mengobati kebosanan dan kejenuhanku. Seringkali aku pun tak menonton film-film itu hingga akhir karena plot dan alur ceritanya sudah bisa kutebak. Sementara film-film lainnya lebih merupakan propaganda politis Barat, seperti film-film yang menceritakan kebesaran Romawi atau film-film yang menarasikan para hero dari Amerika. Karena hal-hal demikian, aku menjadi tertarik dengan tema-tema penderitaan dan kebahagiaan dalam kehidupan manusia. Seperti rasa bahagiaku ketika memiliki sepeda seperti si tokoh utama film Little Forest yang mengayuh sepeda di jalan-jalan rimbun di pegunungan di Jepang itu.

Meski bukan komoditas baru dari toko, aku merasa gembira saat ibuku akhirnya membelikanku sepeda. Sepeda yang dibeli dari tetangga yang anaknya minta dibelikan motor hingga sepeda lamanya dijual kepada ibuku. Itu artinya aku bisa mengayuh sepeda untuk berangkat menuju sekolah menengah pertamaku dan tentu saja saat pulangku dari sekolah aku tak perlu lagi nebeng ke teman-temanku atau pun menumpang mobil truck pengangkut pasir atau bata. Saat itu aku baru naik ke kelas tiga Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN). Selain untuk keperluan sekolahku, sepeda itu punya tugas tambahan di luar jam sekolah, mengangkut gabah dari setapak ke rumah dan mengangkut gabah dari rumah ke tempat penggilingan agar menjadi beras. Dan bila tak sedang melakukan tugas tambahan itu, kukayuh sepedaku ke mana pun aku ingin pergi. Ke mana hatiku ingin meninggalkan rasa bosan dan jenuhku yang ada di rumah.

Hasrat ingin pergi dan melarikan diri dari rumah mungkin saja karena seseorang ingin mengetahui bahwa ada dunia lain yang berbeda. Ada dunia kemungkinan yang ia bayangkan dalam pikirannya untuk dikunjungi. Di saat ada kesempatan untuk tidak membantu ibuku di sawah, kukayuh sepedaku sejauh mungkin dan hanya akan berhenti jika aku benar-benar merasa lelah mengayuh sepeda di jalanan berbatu dan berdebu. Kukayuh sepedaku ke jalan raya yang dekat dengan sekolah menengah pertamaku. Jalan beraspal membuat dua roda sepedaku lancar berputar dan kedua kakiku tidak cepat lelah hingga tanpa terasa aku telah mengayuh sepedaku sedemikian jauh dari rumah ketika itu jika tak disadarkan oleh kumandang azan asar. Saat itu aku langsung berputar arah untuk pulang dan sampai di rumah menjelang magrib.

Saat aku mengayuh sepeda di jalan raya beraspal itu kubayangkan aku berbalapan dengan kendaraan dan sepeda motor. Dan cukup sering pula kudengar klakson kendaraan dan motor yang terasa nyaring dan keras yang seakan-akan menegurku agar tetap di pinggir jalan dan jangan sampai ke tengah jika tak ingin nyawa melayang karena tertabrak mereka.

Keesokan harinya kebetulan hari Minggu dan kebetulan lainnya adalah ibuku tidak pergi ke sawah sehingga aku tak perlu membantunya untuk menganyam bakul kecil yang hanya ia yang bisa. Kugunakan kesempatan itu untuk mengayuh sepedaku dan aku hanya membasuh wajahku sebelum berangkat untuk pergi dari rumah dengan sepeda. Bila sebelumnya aku menuju arah selatan, kini kutempuh arah utara. Kukayuh dan terus kukayuh sepedaku hingga sekira tak sampai setengah jam, aku telah sampai di jalan di mana di sebelah kiriku adalah sungai irigasi yang merupakan anak sungai Ciujung dari Pamarayan dan di sebelah kananku tampak Sungai Ciujung itu sendiri. Tentu saja Sungai Ciujung di sebelah kananku jauh lebih besar dibanding sungai irigasi di sebelah kiriku. Ketika itu di tepi jalan yang adalah juga tepi Sungai Ciujung berbaris kokoh pohon-pohon besar. Tak kuduga di tengah jalan ada sekumpulan kerbau, dan akhirnya kuputuskan untuk berputar dan kembali ke rumah di saat perutku mulai terasa lapar karena belum sarapan.

Kegembiraan mengayuh sepeda di masa remajaku itu adalah juga kegembiraan yang sama di masa kanakku berburu para belalang dan menerbangkan layang-layang. Memiliki sepeda di masa-masa itu bagi para remaja merupakan kebanggaan tersendiri dan beberapa orang di kampungku telah memiliki sepeda di saat mereka masih di sekolah dasar. Aku dan beberapa temanku termasuk mereka yang terlambat untuk memiliki sepeda, dan terlebih lagi aku yang membelinya bukan dari tokonya, tapi dari tetangga. Aku tak tahu apakah ibuku membayarnya dengan kontan atau dengan jalan mencicil. Dan tentu saja itu bukan urusanku sehingga aku selalu saja membatalkan niatku untuk menanyakan hal itu kepada ibuku.

Aku sangat percaya bahwa dengan hobi dan permainan-permainan itulah jiwa dan mental manusia bisa berkembang dengan sehat. Begitu jika pikiran dan kecerdasannya. Peran yang juga dilakukan alam bagi kehidupannya. Seperti ketika mendapatkan tugas untuk menggambar, yang pertama-tama kugambar pada buku gambarku adalah yang hadir secara nyata di alam yang akrab dengan hidupku: sawah, pohon, sungai, kambing, ayam, kerbau dan yang lainnya yang ketika itu sering kulihat dan hadir di kesekitaranku. Hobi dan permainan-permainan yang orang senang dan cinta untuk melakukannya juga akan memungkinkan hadirnya rasa bahagia bagi jiwanya, sebagaimana penderitaan lahir dari rasa sakit, kurangnya gizi dan makanan, tidak bebasnya seseorang untuk melakukan dan mengekspressikan hobi dan bakatnya, dan lain sebagainya.

Sesampainya di rumah aku pun istirahat sejenak untuk mengeringkan keringat di badanku sebelum mandi dengan air yang kutimba dari sumur. Saat mandi dapat kucium aroma bawang yang digoreng ibuku, dan rupa-rupanya ibuku sedang memasak tumis kangkung dan menggoreng ikan asin yang dibubuhi bawang goreng agar terasa harum dan lezat, juga lebih gurih rasanya dibanding bila tak dicampur dengan bawang goreng. Aku suka sekali dengan tumis kangkung yang masih hangat selain sup kulit tangkil berwarna merah yang dimasak ibuku. Menu-menu masakan itu akan terasa nikmat disantap bersama sambal yang dicampur kulit buah Rosella dan terasi yang dimasak dengan cara dipanggang di atas bara. Dalam soal memasak, ibuku terbilang jago masak dan selalu bisa mengolah apa saja dari alam seperti bayam, daun singkong, kangkung, kulit tangkil yang telah matang dan berwarna merah, buah pisang muda, dan yang lainnya menjadi tumis dan sup yang lezat.

Kemampuan ibuku untuk mengolah bahan-bahan dari alam menjadi masakan yang lezat dan nikmat itu adalah juga kebahagiaan dan kegembiraanku yang lain di saat ada sisi kemiskinan dan keterbatasan dalam hidup kami di desa. Mungkin itulah yang dimaksud bahwa kebahagiaan bisa ada di mana saja. Kegembiraan bisa ditemui dan dijumpai di mana pun bagi mereka yang memiliki jiwa yang bebas dan merdeka meski hidup dalam keterbatasan selagi keterbatasan itu menjadi peluang bagi hadirnya kesempatan untuk mengolah yang ada. Dan itulah yang dilakukan ibuku. Ia sanggup mengolah menu masakan yang nikmat tanpa harus membeli bahan-bahannya dari warung atau pasar. Ia menanam sendiri bahan-bahan pangan itu di halaman depan rumah dan di tanah di belakang rumah. Sembari menanam padi, ia pun menanam kacang panjang di pematangnya, sehingga saat memanen padi, ia pun memanen kacang itu pula agar bisa memberi pangan bagi kami secara lengkap di saat ia tak memiliki cukup uang untuk membeli bahan-bahan pangan yang akan ia olah menjadi menu-menu yang menggoda selera.

Aku akan menyebut hal itu sebagai kemandirian dan ketahanan pangan orang-orang desa di masa-masa itu. Kesanggupan untuk mengolah alam menjadi komoditas kebutuhan rumah tangga tanpa harus merusak alam. Ibuku melakukan itu sebelum saat ini orang-orang Barat menyebutnya sebagai permaculture.

Apa yang sanggup dilakukan ibuku itu adalah kesanggupan manusia untuk melakukan adaptasi dan menciptakan peluang bagi hadirnya kegembiraan dan kebahagiaan. Manusia memang senantiasa menginginkan kesenangan dan kebahagiaan dan berusaha untuk menjauhi atau menghindari rasa tak nyaman dan penderitaan dalam hidup mereka di mana saja. Bersamaan dengan itu manusia memiliki watak dan sifat mementingkan diri sendiri dan menolak berbagi sumber daya demi memuaskan egoismenya dan dalam rangka survivalnya.

Diantara sekian cara untuk mendapatkan kegembiraan dan rasa nyaman itu bagiku adalah mendengarkan musik kesukaanku sembari menikmati kopi dan membaca tulisan-tulisan serta buku-buku yang kusukai. Terlebih dalam cuaca dingin selepas hujan yang turun berkali-kali sejak kemarin di saat aku menulis risalah filsafatku ini. Di berita-berita, ketika musim hujan telah mulai dan banjir melanda beberapa tempat, timbul kembali pembicaraan tentang cuaca ekstrem dan perubahan iklim yang konon diantara penyebabnya adalah pemanasan global dan kerusakan lingkungan.

Tentu saja di masa kanakku dulu tak kudengar istilah-istilah cuaca ekstrem, perubahan iklim atau pemanasan global. Dan kebetulan pula sejak aku lahir hingga saat ini tempat di mana rumahku berada tidak pernah mengalami banjir. Yang kutahu di kala itu saat haus dan lelah selepas bermain sepak bola di lapangan sekolah dasarku bersama teman-teman sekelasku, aku segera menuju dapur rumah untuk menenggak air dari kendi yang terasa sejuk. Tak jarang aku pun menenggak air yang belum dimasak terlebih dulu di masa itu dari gentong dengan cara mengambilnya menggunakan gayung untuk dituangkan ke dalam gelas. Bahkan ketika itu air dari sumur yang kami timba tak kalah segarnya dengan air dari mata-air di pegunungan. Berbeda dengan saat ini ketika rasa air sumur memang sudah berubah dan orang-orang memilih untuk membeli air dari depot isi ulang dengan menggunakan gallon. Air-air yang dijual di depot isi ulang air itu berasal dari pegunungan.

Jika benar di masa depan akan terjadi ‘bencana’ kelangkaan air dan menurunnya kualitas air dari dalam tanah akibat kerusakan lingkungan, maka tak diragukan lagi hal itu akan melahirkan penderitaan baru bagi kehidupan manusia jika tak diantisipasi untuk segera menemukan cara dan tekhnologi untuk mengurangi kerusakan lingkungan. Harus kuakui pula, hal-hal yang dulu bisa kita dapatkan secara gratis dari alam, kini kita harus membelinya, seperti yang telah disebutkan tadi, yaitu air. Tak diragukan lagi kerakusan dari hasrat untuk mencari keuntungan individual seorang korporat dan penguasa modal untuk terus mengakumulasi modal dan surplus value di atas kepentingan bersama oleh kapitalisme dan korporasi telah melakukan komodifikasi atas hal-hal yang dulu bisa kita dapatkan secara gratis dari alam. Belum lagi privatisasi yang mereka lakukan untuk hal-hal yang sesungguhnya merupakan hak publik dan diberikan oleh alam dan lingkungan.

Di masa-masa itu, ibuku mengisi gentongnya dengan air yang ia timba dari sumur. Air dari gentongnya itulah yang kemudian ia manfaatkan untuk minum dan memasak menu makan kami setiap hari. Tapi sekarang aku sendiri bahkan tak berani meminum air dari keran sejak ada isu bahwa sungai yang tercemar oleh limbah rumah-tangga dan industri telah pula meresap ke dalam tanah di sekitarnya. Air hujan saat ini dan air hujan dulu kala konon pula tak sama lagi kualitasnya sejak maraknya industrialisasi dengan limbah-limbah yang mereka lemparkan ke udara melalui cerobong-cerobong asap raksasa mereka. Begitu pula limbah dan polusi transportasi atau kendaraan yang sama-sama mencemari udara.

Aku hanya ingin berkata bahwa kesehatan lingkungan yang akan melahirkan kelimpahan bagi kebutuhan manusia seperti kelimpahan bahan pangan dari hasil pertanian dan tiadanya bencana alam ketika tak ada kerusakan alam dan lingkungan, akan tidak memberikan penderitaan dan kesulitan baru bagi kehidupan manusia. Seperti ketika ibuku berinvestasi jangka pendek dengan cara menanam segala jenis tanaman yang akan menjadi bahan pangan bagi kebutuhan makan kami setiap hari. Ibuku mengolah alam dengan tidak merusaknya karena ia tak menggunakan bahan-bahan kimia tapi menyuburkan media tanam dengan menggunakan bahan-bahan dari alam pula seperti kotoran kerbau, ayam, kambing dan yang lainnya.

Aku masih ingat diantara bulan Januari dan Februari, kami mengunduh (memanen) ubi jalar dan singkong untuk direbus sebagai panganan pelengkap di saat kami menikmati kopi yang dibuat dari buah-buah Rosella oleh ibuku. Atau di saat-saat kami menikmati teh dari kulit buah Rosella, kembang pepaya dan daun sirsak. Di bulan-bulan itu pula aku dan teman-temanku akan bergembira dalam guyur hujan di saat berburu para belalang dengan alat pemukul berupa pohon songler yang masih berdaun. Para belalang yang kesulitan terbang karena guyur hujan itu akan kami pukul dengan batang songler tersebut dan tentu saja mereka terjatuh di genangan air hujan di sawah-sawah. Kami masukan mereka ke dalam kantong plastik yang kami ikatkan di celana pendek kami. Setelah merasa cukup banyak mendapatkan para belalang, kami akan menyerahkannya kepada para ibu kami untuk digoreng. Belalang yang telah digoreng itu akan terasa gurih saat kami santap di waktu malam.

Anak-anak sekarang tak melakukan apa yang dulu kami lakukan itu. Mereka mendapatkan mainan baru mereka sesuai jaman mereka: gawai, yang dengannya mereka bermain aneka games yang disediakan ragam aplikasi dalam gawai tersebut. Mereka lebih dekat kepada mesin dan produk serta komoditas tekhnologi dibandingkan kepada alam seperti halnya generasi kami di waktu dulu. Game yang mereka gemari pun rupa-rupanya yang berisi kekerasan: senjata, pedang, perang, tembak-menembak, dan memusnahkan lawan. Anak-anak itu tampak riang ketika mereka berhasil menembak dengan senapan atau membetot lawan mereka dengan pedang yang disediakan game dalam gawai itu. Bahkan seringkali mereka menyumpahi dan mencaci lawan mereka. Dunia mereka adalah dunia virtual bukan dunia nyata alam dan lingkungan sawah-sawah dan pematang yang dulu kami intimi dan kami akrabi sebagai wahana permainan dan petualangan kami untuk mendapatkan kesenangan dan kegembiraan.

Keasyikan mereka dengan games yang ada di gawai-gawai mereka yang mereka pegang dengan dua tangan mereka saat bermain game kesukaan mereka di gawai itu telah membuat mereka lupa, misalnya, untuk belajar membaca kitab suci atau membaca buku-buku sekolah. Mungkinkah dunia virtual ini menggantikan dunia nyata dan lalu menjadi wahana baru manusia untuk mendapatkan kebahagiaan di masa-masa yang akan datang? Aku tak tahu, karena membutuhkan riset dan penelitian untuk menemukan jawabannya. Di sini aku hanya hendak menceritakan pengalaman jamanku dalam konteks jaman saat ini sebagai perbandingan untuk mencoba membaca perkembangan kehidupan batin manusia. Sebab di balik tubuh dan daging, di dalam diri manusia ada yang bernama jiwa, tempat kebahagiaan dan penderitaan dalam hidupnya bermuara.

Adanya seni dan hasrat untuk menciptakan keindahan adalah diantara ikhtiar dan upaya untuk memenuhi kegembiraan dan kesenangan ruhaniah tersebut. Bahwa acapkali kepuasan dan kegembiraan seorang seniman karena keberhasilannya menciptakan karya yang indah akan membuat dirinya bangga dan merasa bermakna. Semisal ketika aku melakukannya. Rasa bermakna pun akan aku dapatkan ketika aku melakukan hobiku yang membuatku merasakan kepuasan ruhaniah.

Menanam dan merawat tanaman bunga dan tanaman lainnya adalah contoh hobi yang bisa membuatku merasa melakukan tindakan bermakna. Keindahan bunga-bunga dengan aneka warna mereka saat mekar memberikan rasa nyaman dan sensansi keindahan bagi kedua mataku yang akhirnya rasa nyaman dan sensasi keindahan itu masuk ke dalam jiwaku. Tentu saja hobi lainnya yang bisa membuatku merasa mengekspressikan dan memanifestasikan kedirianku adalah ketika aku menulis puisi. Puisi bagiku adalah upayaku untuk menghadirkan refleksi dengan jalan mengolahnya dengan keindahan agar sanggup menginspirasi pembacanya karena kesanggupannya menyentuh rasa dan intelek secara bersamaan.

Aku yang lahir dan dibesarkan dalam suasana pedesaan berusaha mengolah alam itu sendiri sebagai kosakata dan bahasaku untuk menyatakan apa yang kupikirkan dan kurasakan melalui puisi. Aku ingin berkata bahwa ada kebahagiaan tersendiri ketika puisi yang kutulis mendapatkan tempat tersendiri di hati para pembacanya. Bagaimana pun upayaku untuk mengekspressikan keindahan tak sekadar untuk diriku sendiri tetapi dalam rangka berbagi dengan orang lain. Adalah alami bagi penyair bahwa ekspressi pertamakali yang mereka ungkapkan melalui puisi adalah ekspressi cinta. Sebab rahim bahasa yang paling jujur sekaligus peka bagi seorang penyair adalah ketika perasaannya begitu membuncah saat jatuh cinta kepada perempuan. Aku pun mengalami hal itu, meski tentu saja tak selamanya seorang penyair harus selalu cuma menulis puisi cinta.

Manusia ingin mendapatkan pengakuan dan kasih-sayang dari manusia-manusia lainnya. Ia butuh dicintai dan merasa aman dan tidak terancam keberadaannya justru karena manusia cenderung selfish dan mengutamakan kebutuhan untuk survivalnya. Kondisi lingkungan, situasi politik, dan bahkan situasi kebudayaan yang baik juga sangat berpengaruh dalam menghadirkan kenyamanan dan kegembiraan bagi kehidupan manusia yang akhirnya akan membuat manusia merasa betah dan bahagia tinggal di lingkungan yang baik tersebut. Manusia akan merasakan derita bila hidup dalam situasi yang terus chaos dan konflik, sebagaimana sebaliknya, kemajuan dan kecerdasan ilmu pengtahuannya terkondisikan pula oleh ketersediaan sistem dan fasilitas yang mendukung dan menopangnya. Lalu bagaimana dengan buku-buku? Tentu membaca buku-buku yang baik dan berkualitas akan menyumbang bagi kemajuan intelek manusia dan bahkan bisa memberikan kepekaan-kepekaan yang sifatnya ruhaniah seperti ketika seseorang membaca karya-karya sastra, semisal puisi, yang menggugah dan mencerahkan.

Kala masih di sekolah dasar, buku-buku yang kusukai adalah buku-buku tentang para penemu dan para ilmuwan. Aku minta ijin kepada ibu guruku untuk membawa pulang buku-buku sekolah itu sebagai temanku dalam kesendirian dalam naungan rimbun bambu ketika ibuku memerintahkanku untuk menunggui padi-padi yang mulai menguning dari serbuan para burung. Biasanya aku melakukan tugas itu selepas makan siang. Sembari menikmati sejuknya semilir angin di rimhun bambu itu, aku pun acapkali merenung dan berkhayal. Contohnya mengkhayalkan bahwa Tuhan ada di langit yang jauh dari tempatku duduk.

Mungkin saja pada saat itu aku sedang berdoa dalam kesepianku. Namun, tentu saja, doa tak selamanya hanya milik mereka yang mengklaim beragama dan mengakui eksistensi Tuhan. Meski demikian aku tak percaya kepada mereka yang berkata bahwa mereka berkuasa sepenuhnya atas hidup dan hari-hari mereka, termasuk tentang bagaimana mereka bisa mendapatkan kebahagiaan tanpa harus menjadi orang-orang yang beriman. Mereka keliru karena iman dan harapan membuat ummat manusia survive dan bertahan dalam petaka dan kemalangan. Utopia memiliki fungsi menjadi perawat dan penjaga kehidupan manusia agar tidak musnah ketika terancam bahaya dan akhirnya menjaganya tetap hadir bagi masa depan.

Aku tak percaya kepada mereka yang mengingkari keajaiban dan kebetulan, sehingga dengan lantang mereka senantiasa mengumandangkan bahwa Tuhan itu tidak ada, bukannya berendah hati bahwa jiwa manusia senantiasa berada dalam kerentanan. Adalah fakta dan kenyataan yang tak teringkari bahwa manusia acapkali dirundung kegelisahan, rasa bosan, kesepian, dan diterkam suatu keadaan dan kebetulan dalam hidup yang berada di luar jangkauan akal dan pemahamannya. Seseorang seringkali terjebak begitu saja dalam rasa asing dan keterasingan, dan karenanya hatinya berdoa dan mengharapkan sesuatu yang menggembirakan akan datang dalam hidupnya di masa yang akan datang. Aku pun mengalami hal itu jika merasa kesepian dan merasa asing dalam kesendirian.

Pernahkah kau merasakan kegelisahan dan keterasingan ketika engkau berada dalam kesulitan dan kepapaan, contohnya? Dan pada saat itu engkau merasa tak berarti dan terjebak dalam rasa ketakbermaknaan dalam hidup. Jika kau pernah mengalami hal itu, maka kau manusia normal. Ketika engkau berharap mendapatkan kebahagiaan dan kegembiraan dalam hidup ini, pada saat itulah engkau tengah berdoa, seperti yang kulakukan di saat kesepian, entah kau mempercayai adanya Tuhan atau tidak. Soal kepada siapa engkau membathinkan harapan di dalam hatimu ketika engkau tidak mempercayai Tuhan, itu bukan urusanku, karena engkau sendiri yang berhak menjawabnya.

Aku hanya ingin berkata ada saat-saat manusia berada dan terjebak dalam situasi yang tak menyenangkan, mengalami kesepian dan kesendirian ketika berada dalam kesulitan dan kejatuhan yang tak ia duga sebelumnya yang membuatnya menderita dan tak nyaman, pada saat itu yang membuat manusia bertahan adalah doa dan harapan yang ada di lubuk jiwanya. Barangkali, itulah iman. Meskipun begitu, aku tak sedang berusaha menjadi seorang dai ketika berbicara tentang iman dan agama. Aku hanya ingin berbicara tentang bagaimana manusia dalam hidupnya menjadikan apa saja sebagai landasan dan alasan untuk survivalnya. Termasuk ketika ia menjadikan agamanya sebagai pedoman dan pegangan dalam rangka mendapatkan kepastian di masa depan. Ia berusaha mendapatkan kesenangan dengan banyak cara dan jalan dalam rangka survival tersebut karena pada dasarnya ia hanya ingin bahagia dan tak ingin menderita. Dan karena itulah ia yang percaya adanya hari kebangkitan berharap dimasukkan ke dalam surga. Cara lain manusia untuk mendapatkan kebahagiaan itu antara lain dengan mengekspressikan harapan, refleksi, dan aspirasinya melalui seni dan sastra.

Seni (dan tentu juga sastra) hanyalah salah-satu diantara sekian ragam cara mengada manusia untuk meraih kegembiraan atau kebahagiaan, selain bentuk ekspressi dan manifestasi kediriannya. Begitu pun ketika aku mengintimi karya seni atau membaca puisi-puisi yang indah dan menggugah, ada rasa nyaman dan kegembiraan dalam jiwaku. Jika demikian, seni (dan sastra) adalah di antara yang memainkan peran dalam menciptakan dan melahirkan kesenangan dan kebahagiaan bagi kehidupan dan hidupnya manusia. Aku tak ingat kapan mulanya aku mulai bisa mengapresiasi dan menghayati puisi-puisi yang kubaca dan kapan pula aku mulai belajar untuk menulis puisiku sendiri. Namun berdasarkan jejak-jejak buku diariku, ada dua moment di mana aku mulai belajar menulis puisi-puisiku sendiri: momen di saatku bahagia seperti ketika sedang jatuh cinta dan moment di saat dirundung kesedihan dan derita seperti ketika aku kehilangan seseorang yang kukasihi.

Ketika itu aku menangis dan bersembunyi di kebun singkong yang ditanam ibuku. Sepertinya aku tak ingin ada yang tahu kesedihanku dan mungkin juga aku merasa malu bila ada yang tahu bahwa aku menangis. Tentu saja hal itu terasa lucu karena menangis adalah sesuatu yang wajar dan normal bagi lelaki atau pun perempuan selagi manusia memiliki jiwa dan rasa di dalam tubuhnya. Itulah kesedihan pertamaku di masa kanak-kanak yang kutanggung sendirian dan tak mau ada orang lain yang mengetahui. Kesedihan yang menjadi kesepian dan kesunyianku sendiri.

Kami sama-sama menyayangi kelinci yang dibeli bapak kami di masa-masa itu. Kelinci berwarna putih terang itu kami biarkan bebas bermain di kebun dan di antara tanaman-tanaman yang ditanam ibu kami. Ia akan pulang sendiri jika sudah merasa puas bermain. Kami sama-sama paham bahwa tak hanya manusia yang butuh bermain, tetapi juga binatang yang sama-sama menghendaki kebebasan dan bukan keterkekangan dalam hidup. Tepat di sini, kebebasan manusia untuk menentukan menjadi apa ia sesuai dengan panggilan jiwanya adalah juga di antara cara mengadanya untuk meraih kebahagiaan dan kegembiraan ruhaniah. Tetapi meskipun demikian, dalam kesempitan dan keterdesakan, manusia pun acapkali sanggup menciptakan celah-celah kebebasan dan kemerdekaan. Seperti tak sedikit para penulis yang menghasilkan karya-karya besar mereka justru di saat mereka menjalani hidup sehari-hari mereka di dalam penjara.

Aku masih ingat saat aku mulai menulis puisi dan sesekali catatan harian ketika hidup di asrama di sebuah pesantren di mana aku harus belajar ilmu-ilmu agama (Islam) sembari menempuh pendidikan sekuler sekolah menengah atas (umum). Aku pun mulai mencuri-curi kesempatan untuk membaca buku-buku filsafat, seperti Berkenalan dengan Eksistensialisme yang ditulis oleh Fuad Hasan, selain harus mendaras kitab-kitab kuning sebagai daras wajib. Perkenalanku dengan buku-buku filsafat itu berlanjut ketika aku kuliah. Di masa-masa kuliah inilah aku jarang masuk kelas karena lebih asik membaca buku-buku yang kubeli sendiri dari toko-toko buku bekas di kawasan Blok M Jakarta dan di kawasan Senen Jakarta. Seringkali di saat aku sedang membaca buku kukunci pintu kamar kos-ku. Ditemani musik-musik yang kusukai dari sebuah radio tape yang sengaja kubawa ke Jakarta dari rumah, kegandrunganku membaca kemudian dengan cepat ke buku-buku novel dan puisi.

Andai saja aku anak orang kaya, pastilah aku tidak akan mengurung diri dalam kamar dengan membaca buku-buku sastra dan filsafat, tapi lebih memilih merayakan hidup seperti beberapa temanku yang melakukannya dengan cukup sering nongkrong di kafe-kafe atau menonton film-film terbaru di mall-mall dan pusat perbelanjaan. Aku melakukan hal-hal itu jika kebetulan ditraktir saja, selebihnya aku harus memperioritaskan untuk kebutuhan makan sehari-hari karena kondisi keuanganku tak cukup untuk menikmati gaya hidup konsumtif seperti yang dilakukan sedikit saja dari teman-teman kelasku yang kebetulan orangtua-orang tua mereka adalah pejabat dan birokrat.

Dalam keadaan demikian itu, pernah kubandingkan diriku sebagai tokoh Raskolnikov-nya Dostoyevsky dalam novelnya yang berjudul Crime and Punishment. Bahwa peluang dan kemungkinan kehidupan manusia akan menjadi buruk atau akan menjadi lebih baik akan sangat tergantung dalam kondisi lingkungan yang buruk (miskin) ataukah dalam kondisi lingkungan yang makmur di mana anggota masyarakatnya sejahtera dan berkecukupan. Bahwa dunia dan takdir Sonia Marmeladov dalam novel itu adalah dunia dan takdir yang diberikan dan dipaksakan oleh situasi dan kondisi lingkungan di mana ia harus hidup menjadi seorang pelacur dan jodohnya pun tak jauh-jauh amat dengan orang yang nasibnya sama dan persis seperti dirinya: Rodion Raskolnikov.

Karya-karya sastra yang baik dan berkualitas memang tak ubahnya sebuah perpustakaan dan khazanah-khazanah hikmah dan kearifan yang membuka kepekaan dan wahana baru bagi pemahaman dan pengetahuan manusia di saat tak semua karya fiksi dan imajinasi dapat disebut sastra seperti novel pop dan komik yang hanya menjalankan fungsi banal industri hiburan dan budaya komodifikasi yang menjerembabkan manusia pada oralitas baru bukannya mengasah kepekaan ruhaniah dan kecerdasan aqliyah. Fiksi dan imajinasi sastrawi anehnya telah menjalankan fungsi saintifik dengan cara lain. Cervantes menertawakan dogmatisme dan heroisme melaui novel sadurannya dari karya sejarawan Sayid Hamid, Don Quixote, karena dogma dalam rangka memberikan kesadaran baru bagi humanisme yang dilandasi kejujuran dan kebenaran yang realistis dan bisa dipertanggungjawabkan, bukan kebenaran yang membutakan dan malah melahirkan kebodohan. Dostoyevsky menyadarkan tentang pentingnya kasih-sayang dan solidaritas kepada sesama manusia ketika menggambarkan kepedihan orang-orang miskin seperti Rodion Raskolnikov dan Sonia Marmeladov.

Dalam kadar yang demikian itu pula, pada saat bersamaan, karya-karya sastra yang berhasil dan berkualitas tinggi menjalankan fungsi yang juga dilakukan oleh para filsuf ketika pemikiran-pemikiran mereka membuka cakrawala baru bagi majunya ilmu dan pengetahuan dalam jejak langkah sejarah peradaban manusia. Karya-karya itu mengajakku berlaku reflektif dalam hidup sembari menarasikan dirinya dengan kiasan dan keindahan. Meminjam laku kehidupan dan polah serta watak manusia itu sendiri. Sedangkan puisi mengajakku untuk menyelami aspek terdalam intelek dengan media bahasa yang dikiaskan dan dipadatkan sedemikian rupa.

Karena keasikan berteman dengan buku-buku sastra dan filsafat itu aku terlambat jatuh cinta dan lupa, tepatnya tak sempat, untuk merayakan hidup dengan jalan bersenang-senang seperti yang dilakukan sedikit temanku. Dan tentu saja, alasan yang sesungguhnya adalah karena aku tak punya cukup uang untuk menjalani kehidupan konsumtif sebagaimana anak para pejabat dan para birokrat. Aku tak tahu apakah ayah-ayah mereka mendapatkan banyak uangnya dari korupsi atau bukan.

Meski aku sudah mulai membaca buku-buku kesukaanku sejak di akhir masa sekolah dasar, aku (bersama teman-temanku) masih lebih banyak menghabiskan waktu di masa kanak-kanakku dengan bermain di antara sawah dan pematang ketika libur panjang sekolah. Contohnya kami akan mengunduh buah ceri dan ceplukan yang tumbuh secara liar di antara bukit-bukit kecil dan tepian kali kecil irigasi di antara sawah-sawah. Ukuran buah-buah ceri yang kami unduh itu tak jauh berbeda dengan buah-buah ceplukan. Sekarang, di saat aku mulai menulis risalah filsafatku ini, sawah-sawah dan pematang di mana dulu kami mengunduh buah-buah ceri dan ceplukan itu telah dibeli oleh sebuah perusahaan kertas dan ditanami pohon-pohon jati.

Namun sesungguhnya bukan hanya kami yang bermain di pematang itu, sebab selain kami ada capung-capung dan para kupu-kupu serta para belalang. Di kemudian hari setelah menerima pelajaran biologi tingkat lanjut, kami tahu bahwa keberadaan mereka adalah juga keberadaan dan kelangsungan makhluk-makhluk lainnya di alam. Segala yang ada dan hidup di alam pada dasarnya adalah satu ekosistem dan kesatuan yang tak terpisahkan dan bila di antara mereka ada yang rusak atau musnah maka akan terjadi kerusakan serta kemusnahan bagi yang lainnya. Kegembiraan mereka saat menggetarkan dan mengepakkan sayap-sayap mereka tentulah tamsil kegembiraan hidup itu sendiri. Tamsil kebebasan dan kemerdekaan untuk bisa bahagia.

Ingatan di masa kanak-kanak itu kembali muncul saat aku kembali menyusuri dan menapaki pematang yang sama yang telah berubah di mana dulu aku dan teman-temanku mengunduh buah-buah ceri dan ceplukan. Di masa kanak-kanak segalanya hadir tanpa dipertanyakan ketika aku mengakrabinya begitu saja di alam dan suasana pedesaan. Seperti kunang-kunang yang menghiasi kesunyian malam dengan cahaya-cahaya mungil mereka. Kunang-kunang yang tak lain pertanda kesunyian yang bahagia di kala malam. Cahaya-cahaya mungil yang memecah keheningan dan kegelapan di masa kanak-kanakku itu, meski tak semua Kunang-Kunang memiliki cahaya di tubuh mereka merupakan hiburan tersendiri di saatku kesepian dalam sunyi dan hening malam hari.

Mereka lah para peri dari kesunyian langit malam yang datang dan hadir ke Bumi dengan membawa cahaya atau foton di tubuh-tubuh mereka. Sahabat-sahabat masa kanak dan masa remajaku itu kini tak lagi kujumpai ketika aku telah menjadi lelaki dewasa, sejak deru dan bising mesin pabrik dan transportasi menjadi bagian dari kehidupan keseharian, dan cerobong-cerobong asap industri telah mengotori udara. Sejak hasrat mencari untung para korporat dan geliat industri kapitalisme merambah lahan-lahan subur pedesaan yang semestinya menjadi lahan pengolahan pangan. Dan mereka pun kini hanya tinggal ingatan dan kenangan saja.

Namun ada masa-masa ketika aku setia menanti kedatangan dan kehadiran mereka di kala magrib dan isya menjelma menjadi keheningan yang kental. Sekental kesepian kami sebagai orang-orang desa. Aku berdiri di depan pintu dan mengarahkan kedua mataku ke arah jalan yang berdempetan dengan sungai, yang seakan saling menenggelamkan diri mereka masing-masing dalam kesunyian, dalam senyap kebisuan yang memanen keakraban yang tak kupahami sebagai seorang bocah yang mulai merasakan bosan dan jenuh saat kedua mataku belum ingin terlelap tidur. Di masa-masa ketika belum ada lampu-lampu bohlam dan neon seperti sekarang.

Kadang aku memandangi mereka dari pintu dapur tanpa sepengetahuan ibuku yang sedang berdoa atau kadang sedang sembahyang malam, dan atau ketika ia sudah tidur dengan tikar pandan yang dianyamnya di sela-sela waktu luangnya jika ia tidak sedang di sawah atau di ladang untuk menyirami atau memanen kerja-kerasnya yang sabar dan tekun tanpa pernah dikalahkan oleh kemiskinan. Dan Kunang-Kunang itu kulihat berkerumun di atas pematang-pematang sawah, di antara lalang dan pohon-pohon yang berselimutkan kegelapan dan lembab cuaca malam.

Tentu saja aku pun selalu menyukai cara mereka berpindah-pindah tempat di setiap malam, seakan ingin mempermainkanku yang memang selalu bahagia dengan kehadiran mereka di saat malam, di saat aku merasa kesepian sebagai bocah dan lelaki remaja yang tak memiliki penghiburan di pedesaan, di mana untuk menerangi rumah-rumah kami pun kami masih menggunakan lampu-lampu minyak, bahkan ibu kami membuat sendiri minyaknya. Seringkali terpikir olehku bahwa barangkali saja pada saat itu, mereka sedang mengajariku secara langsung untuk bersikap intim kepada apa yang ada dan hadir di sekitar keberadaanku, di keseharian kehidupanku yang bersahaja dan acapkali dilanda rasa jenuh.

Di masa-masa itu, adakalanya mereka hadir selepas hujan senja pergi ke balik malam, dan seolah-olah mereka ingin menerangi hamparan kegelapan yang dingin dengan cahaya-cahaya foton di tubuh mereka, yang bagiku tampak berkelap-kelip seperti tebaran-tebaran bintang di angkasa nun jauh di atas kepalaku yang gaib bila selepas hujan mengguyur rumah, halaman, dan pematang-pematang sawah serta ladang sayur-mayur ibuku. Juga pohon-pohon dan lalang-lalang liar yang tertidur dalam kedamaian dan kedinginan. Haruslah jujur kuakui pula bahwa mereka memberiku sensasi dan pencerapan keindahan bagi kedua mataku dan bagi sepi, juga sunyi hatiku yang acapkali dilanda rasa jenuh dan bosan yang hadir dan datang tanpa kuduga.

Itulah kejenuhan dan kebosananku sebagai seorang bocah dan remaja yang hidup di pedesaan yang tak memiliki banyak aktivitas di waktu malam selain mengerjakan PR yang diberikan oleh guru-guruku di sekolah. Sebagai bocah di sekolah dasar, aku jenuh dan bosan bila hanya bertemankan selampu minyak di meja belajarku, dan karena itulah aku akan membuka pintu dan menanti kedatangan mereka, peri-peri kecil bercahaya yang terbang dan mengambang di waktu malam. Kupikir di masa-masa itu pulalah ibuku paham, dan karenanya ibuku hanya bisa membiarkanku berdiri cukup lama di depan pintu untuk memandang dan merenungi mereka, ketika ibuku tahu apa yang selalu kulakukan bila aku jenuh dan bosan duduk di kursi menghadap meja belajar bertemankan selampu minyak.

Tentu masih kuingat juga bahwa kadangkala aku berjalan keluar ke dekat kebun ubi jalar, singkong, dan cabai hingga cabai rawit yang ditanam ibuku. Di dekat barisan tanaman Rosella yang juga ditanam dan dirawat ibuku di belakang dan di samping rumah, atau ke halaman di depan rumah, tergantung di mana ketika itu mereka berada dengan cahaya-cahaya indah di tubuh-tubuh mereka yang mungil, lembut dan terang itu. Agar aku dapat melihat mereka dari dekat, yang seperti telah kukatakan, tak ubahnya tebaran bintang-bintang yang datang dan hadir begitu intim dan akrab, setidak-tidaknya bagiku.

Pernah suatu kali seekor kunang-kunang mendekatiku, hinggap di pundakku, yang tak ayal lagi membuatku menjadi bahagia dan merasa akrab dan intim karenanya. Kebahagiaan dan kegembiraan yang hanya kumengerti ketika itu. kebahagiaan dan kegembiraan yang tak lagi kudapatkan saat ini.

Mungkin ada pertanyaan: Apakah selama masa kanak-kanak aku tidak keluar atau tidak melakukan perjalanan selain hanya berada di lingkungan sekitar rumahku saja? Tentu saja tidak. Di saat sebelum masuk sekolah dasar di saat usiaku antara 5-6 tahun, aku ikut dalam mobil truck yang mengangkut bata bapakku untuk dibawa ke Labuan, Pandeglang. Kami pun bahkan mampir ke Pasar Labuan demi membeli beberapa komoditas dan panganan untuk dibawa pulang ke rumah. Di sana aku cukup was-was ketika tiba-tiba di depanku telah berdiri lelaki tinggi berasal dari Pakistan. Bahkan sebelum aku masuk sekolah dasar, aku pernah tinggal selama setahun bersama pamanku di Panacaran, Munjul, Pandeglang.

Dan yang membuatku bisa juga pergi ke Kota Serang (yang ketika itu masih bagian dari Provinsi Jawa Barat) adalah ketika pihak sekolah dan para guru sepakat dengan suara bulat memilihku untuk mewakili sekolah dasarku mengikuti perlombaan bergengsi Tingkat Kabupaten Serang. Aku dibonceng salah-satu ibu guruku dengan motor Honda model lamanya di masa-masa itu. ibu guruku itu terbilang cantik, dan bahkan salah-seorang guru sekolah tetangga jatuh cinta kepadanya, meski ibu guruku tak membalas cinta guru sekolah tetangga itu. Sebelum aku akhirnya pergi ke Kota Serang, aku terlebih dahulu berhasil menjadi juara pertama di Tingkat Kecamatan. Ibu guruku sangat bangga dengan prestasiku itu karena ia merasa tak sia-sia untuk selalu memboncengku dengan motor Honda model lamanya yang berwarna putih itu. ia mentraktirku makan siang di sebuah warung makan Gudeg Jogja sebelum akhirnya ia memboncengku untuk pulang ke rumahku.

Aku sendiri, tentu saja, merasa bangga dan bahagia dengan prestasiku itu. Terlebih prestasiku itu pun turut pula membuat pihak sekolah dan para guru merasa bangga karena merasa telah melahirkan anak didik yang berprestasi. Anda pun mungkin demikian pula, akan merasa memiliki arti dan merasa bermakna ketika hidup dan kehadiran anda memberikan arti dan makna bagi orang lain yang terkait dengan kehidupan keseharian anda. Benar bahwa ada sifat dan watak mementingkan diri dalam diri manusia dalam rangka survival, namun ada hukum pasti lainnya adalah bahwa manusia tak bisa hidup sendiri tanpa kehadiran orang lain. Bahkan manusia ingin mendapatkan kasih-sayang dan merasa dicintai oleh manusia lainnya. Sehingga, selain memiliki sisi egoisme dan sifat selfish, manusia juga sesungguhnya memiliki sifat altruis demi pengakuan akan eksistensi dirinya. Ia mencintai orang lain tak lain karena ia sendiri ingin dicintai orang lain.

Beberapa guruku di sekolah dasar adalah orang-orang yang menurutku menyayangiku. Mungkin karena aku satu-satunya murid yang bisa berprestasi secara akademik. Sebelum kini aku sadar bahwa prestasi akademik saja tak cukup bagi seseorang untuk menjadi arif bijaksana jika hanya mengambil pelajaran formal dari sekolah dan belum banyak mendapatkan pengalaman, semisal kepahitan dan kesulitan dalam hidup. Bahwa melakukan apa yang kita suka dan mendapatkan hal-hal yang menyenangkan dalam hidup akan membuat kita bergembira dan bahagia, tapi kesulitan dan kepahitan dalam hiduplah yang akan membuat kita menjadi orang yang rendah hati dan kuat. Tapi penting untuk diketahui bahwa menjadi rendah-hati tidaklah sama dengan menjadi rendah diri (minder). Ketika lulus sekolah dasar dan di terima di sekolah menengah pertama negeri, selama dua tahun aku harus berangkat dan pulang ke sekolah yang jaraknya beberapa kilometer itu dengan cara berjalan kaki dan hanya akan sesekali numpang kendaraan bila ada kendaraan pengangkut pasir dan bata yang lewat di saat hendak berangkat ke sekolah atau di saat pulang dari sekolah. Di sekolah menengah pertama itu pula lah aku menjadi sadar bahwa ada banyak yang ternyata lebih pintar dan lebih cerdas dariku secara akademik atau yang sama dan setara denganku. Pada saat itulah aku mulai mengukur diri agar aku tahu diri dan tidak gegabah dalam memandang orang lain. Terlebih aku sendiri berasal dari keluarga petani yang sederhana dan bersahaja.

Pernah suatu hari saat pulang dari sekolah menengah pertamaku itu, hujan turun dengan derasnya di tengah perjalananku pulang ke rumah. Aku berteduh di serindang pohon besar dan cuaca membuat keadaan menjadi gelap. Saat menunggu hujan akhirnya tak terlalu lebat, di saat itulah aku merasa kesepian. Aku putuskan untuk tak lagi berteduh dan melanjutkan perjalanan pulang di saat hujan tak lagi deras dengan pakaian dan kondisi badan yang basah kuyup meski buku-bukuku tidak ikut basah karena kubungkus dengan plastik yang selalu kubawa atas saran ibuku selama sekolah di saat bulan-bulan musim hujan. Sesampainya di rumah, ibuku akan menjemur seragam sekolahku yang basah itu di sebilah bambu yang melintang di atas tungku dapur karena seragam sekolah itu harus kering keesokan harinya untuk kupakai lagi.

Meski aku banyak bermain dan bergembira di masa kanak-kanakku bersama teman-teman sekampungku, bukan berarti aku tak pernah merasakan kesulitan dan kesukaran hidup sehari-hari di masa kanak-kanak. Hanya saja aku tak ingin keterbatasan dan kesahajaan keluargaku menjadi penghalang untukku menjadi bebas dan merdeka, seperti kebebasan dan kemerdekaan yang bisa kurasakan ketika aku bermain dengan teman-temanku.

Aku masih ingat ketika aku tinggal bersama keluarga pamanku di Panacaran, Munjul, Pandeglang. Saat itu aku bermain ke hutan kecil untuk mencari buah luba-lubi. Tak kusangka ada babi hutan dan sialnya babi hutan itu berjalan cepat ke arahku dan aku pun segera berlari agar tak terkena seruduknya. Untungnya saat itu ada sebuah pohon yang cukup besar untuk kupanjat. Aku panjat pohon itu sementara si babi hutan terus saja berjalan cepat hingga melewati pohon di mana aku berada di dahannya. Pengalaman tinggal bersama keluarga pamanku itu tentulah tak sama dengan pengalaman di tanah kelahiranku dengan kondisi alamnya yang berbeda. Di tanah kelahiranku aku tak pernah berjumpa dengan babi hutan yang mirip serigala. Namun dari pengalaman itulah sedikit atau banyaknya aku bisa juga menjadi tak terlampau takut untuk mengenali rimba.

Terkadang aku bermain-main sendiri di antara barisan pohon-pohon sawit bila tak ada yang bisa kulakukan untuk membantu bibiku. Makan sehari-hari di masa-masa itu yang bisa disantap para petani yang bekerja di kebun sawit itu pun terbilang sederhana: terasi atau sesekali ikan asin sebagai pelengkap nasi yang mereka tanak di tungku. Betapa akrabnya aku dengan kehidupan para petani sejak masa kanak-kanak hingga aku merasa jiwaku sendiri adalah jiwa seorang petani dan aku selalu memiliki rasa simpati yang dalam pada kehidupan para petani yang lugu dan tulus.