Jumat, 28 Mei 2021

Masalahnya Adalah Imperialisme


 

oleh Fariduddin Fansuri Al-Bantani

Cerita tentang Palestina adalah paradoks terakhir yang kita saksikan. Sejak awal hingga kini ia adalah kisah sederhana tentang kolonialisme dan disposesi, namun kaum imperialis menjadikannya kisah berwajah banyak dan rumit yang sukar dipahami dan sulit pula diselesaikan (Noam Chomsky).

Dan sayangnya, sejumlah intelektual partisan di negeri kita sampai jualan isu sektarian hingga membenturkan Sunni dan Syi’ah, semisal mengutip  teori Bulan Sabit Syi’ah yang rapuh  dan tak berdasar, bahkan mempropagandakan ‘Bahaya Iran’ persis seperti bagaimana PM Israel mempropagandakan ‘Bahaya Iran’ demi membela negara-negara Arab yang pro koloanialis Israel, jika bukan sebagai kaum yang mempropagandakan kepentingan Israel-Amerika dkk. Mungkin kita perlu sekalian menghadirkan sekilas gambaran bagaimana ‘martabat’ dan ‘harga diri’ Iran sebagai sebuah bangsa yang berdaulat dan merdeka di Timur Tengah selain sebagai negara utama yang menyumbang uang dan senjata untuk perjuangan Palestina.  

Tahun 1983 adalah tahun kemenangan Israel yang sangat gemilang. Menyusul invasinya terhadap Lebanon tahun 1982, Israel sukses mengusir musuh yang memusingkannya dengan berbagai serangan ke Israel, gerilyawan PLO, dari Lebanon. Tidak hanya itu, Israel juga sukses memaksa pemerintah Lebanon yang dipimpin pemimpin oportunis, Presiden Amin Gemayel, menandatangani perjanjian damai yang memberi hadiah Israel sebagian besar wilayah Lebanon sebagai wilayah pendudukan. Dan selanjutnya, demi menjaga kemenangan itu, Amerika dan Perancis mengirimkan pasukannya dengan kedok "penjaga perdamaian PBB".

Namun kemenangan itu buyar seketika setelah Amin Gemayel dibom oleh rakyatnya sendiri yang kecewa kepadanya. Hancurnya kemenangan Israel itu semakin besar setelah barak pasukan Amerika dan Perancis dibom oleh pejuang Lebanon yang menimbulkan korban militer sangat besar sehingga memaksa kedua negara menarik pasukannya dari Libanon. Dan seolah kesialan yang terus menimpa, para pejuang Libanon di bawah "kepemimpinan" Hizbullah berhasil mengusir Israel dari sebagian besar wilayah Lebanon yang diduduki.

Pemboman barak pasukan Amerika dan Perancis di Beirut, Lebanon, terjadi tgl 23 Oktober 1983, saat dua buah truk bermuatan bom menerobos barak kedua pasukan yang berada di tempat terpisah. Serangan beruntun itu menewaskan 299 pasukan Amerika dan Perancis. Organisasi Jihad Islam mengklaim sebagai pelaku pemboman.

Korban di barak militer Amerika adalah 220 marinir, 18 personil AL dan 3 pasukan Angkatan Darat, ditambah 50 pasukan lainnya mengalami luka-luka. Sejak perang Iwo Jima dalam Perang Dunia II, serangan itu menjadikan korban terbesar korps Marinir Amerika dalam sehari operasi militer dan menjadi serangan mematikan terbesar terhadap pasukan Amerika sejak Perang Dunia II. Kekuatan ledakan yang menghancurkan barak militer Amerika itu setara dengan kekuatan ledakan 5.400 kilo-gram TNT.

Sementara dalam serangan terhadap barak pasukan Perancis, dua menit setelah serangan di barak militer Amerika, 58 pasukan payung Perancis tewas dan 15 lainnya mengalami luka-luka, menjadikannya serangan paling mematikan terhadap pasukan Perancis sejak Perang Kemerdekaan Aljazair.

Meski dibantah oleh pemerintah Amerika dan Perancis, tidak bisa dipungkiri serangan itu menjadi penyebab ditariknya pasukan kedua negara di Lebanon.

Para pengamat percaya, serangan tersebut disebabkan oleh kebencian rakyat Lebanon kepada pasukan asing Amerika dan Perancis. Kebencian itu terutama melanda kaum Muslim dan Druze (satu sekte agama yang menggabungkan keyakinan Islam dan Kristen, banyak terdapat di Lebanon), terlebih lagi kaum Muslim Syi’ah yang kebanyakan tinggal di daerah Beirut Barat dan sekitar airport tempat di mana markas pasukan asing itu berada.

Mereka melihat dengan jelas "pasukan perdamaian" itu sama sekali tidak membawa perdamaian. Mereka turut campur dalam pertempuran dalam Perang Sipil yang tengah berkecamuk di Lebanon, dengan memihak kepada kelompok-kelompok pasukan pro-Israel, seperti milisi Maronit Katholik. Kebencian itu semakin memuncak setelah pasukan Armada VI Amerika menembakkan bom-bomnya ke kawasan-kawasan milisi anti-Israel di pegunungan Shuf, menewaskan banyak warga sipil Lebanon. Pasukan Perancis juga tidak kalah agresif. Sebulan sebelum serangan atas barak militer Amerika dan Perancis, pasukan Perancis melakukan serangan udara besar-besaran atas kawasan Lembah Bekaa.

Hal ini sebenarnya menimbulkan kekhawatiran di kalangan perwira Amerika yang berpikir sportif, bahwa Amerika tidak lagi dipercaya sebagai "pasukan perdamaian" dan lebih berperan sebagai "pasukan pendudukan", sehingga memicu serangan balasan.

Pemimpin gerakan Amal Syi’ah, Nabih Berri, yang awalnya mendukung kehadiran pasukan perdamaian asing, meminta Amerika dan Perancis meninggalkan Lebanon dan menuduh mereka telah melakukan pembantaian terhadap warga sipil Lebanon serta menciptakan "iklim kekerasan" terhadap warga Syi’ah. Kelompok Jihad Islam mengancam pasukan keamanan internasional, bahwa "bumi akan bergetar kecuali pasukan asing meninggalkan Lebanon pada tahun baru 1984."

Dibutuhkan waktu berhari-hari bagi upaya evakuasi korban pemboman, karena para pekerja penyelamat terus mendapat serangan dari penembak-penembak jitu lokal. Seorang penembak jitu itu di antaranya adalah seorang gadis remaja berumur 18 tahun yang akhirnya tewas ditembak pasukan keamanan. Para korban pemboman selanjutnya diterbangkan ke kapal USS Iwo Jima yang berlabuh di lepas pantai Lebanon. Sebagian lainnya diterbangkan ke rumah sakit militer Inggris di Cyprus dan rumah sakit militer Amerika di Jerman.

Setelah pemboman itu, beberapa kelompok Muslim Syi’ah mengklaim sebagai pelaku serangan. Salah satunya, Free Islamic Revolutionary Movement, bahkan memberikan identitas pelaku serangan, yaitu Abu Mazen dan Abu Sijaan.

Setelah bertahun-tahun penyidikan, Amerika menyimpulkan serangan tersebut dilakukan oleh kelompok Hizbullah yang kala itu masih berupa gerakan bawah tanah. Hizbullah dengan dukungan Syria (Suriah) dan Iran juga dianggap bertanggungjawab atas serangan terhadap kedubes AS di Beirut, bulan April 1983. Hizbullah baru mendeklarasikan diri sebagai sebuah organisasi pada tahun 1985. Baik Hizbullah maupun Iran serta Syria (Suriah) menolak tuduhan itu.

Pada tahun 1985 sebuah pengadilan Amerika secara diam-diam menjatuhkan hukuman kepada Imad Mughniyah, pemimpin Hizbullah, sebagai dalang serangan atas barak militer Amerika dan Perancis. Mughniyah meninggal tahun 2008 di Damaskus dalam sebuah serangan bom mobil yang dilakukan Mossad dan CIA.

Penulis Lebanon, Hala Jaber mengklaim Iran dan Syria (Suriah) terlibat dalam serangan dengan memberikan bantuan kepada tersangka, Imad Mughniyeh dan Mustapha Badredeen. Jaber menulis:

"Imad Mughniyeh dan Mustapha Badredeen menjadi pelaku operasi yang didukung Syria (Suriah) dan Iran. Mughniyeh adalah orang yang pernah mendapat latihan dari satuan Force 17 PLO. Misi mereka adalah mengumpulkan informasi dan rincian tentang kedubes Amerika dan merancang sebuah rencana untuk menjamin maksimalnya dampak serangan tanpa meninggalkan jejak. Pertemuan-pertemuan digelar di Kedubes Iran di Damaskus. Mereka terkadang ditemui oleh Dubes Iran untuk Syria (Suriah), Hojatoleslam Ali-Akbar Mohtashemi, yang memainkan peran penting dalam pembiayaan Hizbullah. Dengan bantuan beberapa pejabat senior intelijen Syria (Suriah), rencana akhir disiapkan. Kendaraan dan bahan peledak disiapkan di Lembah Bekaa yang berada di bawah pengawasan pasukan Syria (Suriah)."

Banyak analis yang percaya Iran memegang peran kunci dalam serangan tersebut. Motivasinya adalah balasan terhadap dukungan Amerika kepada Irak dalam Perang Iran-Irak yang berlangsung sejak tahun 1980 hingga 1988. Kala itu Amerika baru saja memberikan kredit pembelian senjata kepada Irak senilai $2.5 miliar, dan pada saat yang sama membekukan penjualan senjata ke Iran. Beberapa minggu sebelum serangan, Iran memperingatkan Amerika bahwa tindakan mempersenjatai musuh Iran akan mendapat balasan setimpal.

Respon Amerika

Amerika telah melakukan tindakan "pengecut" dengan membunuhi warga sipil Lebanon hingga menyebabkan serangan terhadap pasukannya yang mematikan. Namun menanggapi serangan itu, Amerika melakukan tindakan tidak kalah "pengecut". Setidaknya para pejuang Libanon telah melakukan serangan terhadap sasaran militer, tidak seperti Amerika dan Perancis.

Sebagai respon atas serangan tersebut, Angkatan Laut Amerika melakukan pemboman besar-besaran ke wilayah Pegunungan Shauf pada 9 Januari 1984, termasuk dengan menggunakan kapal penjelajah terbesar di dunia kala itu, USS New Jersey. Pada 8 Februari, USS New Jersey menembakkan hampir 300 bom ke posisi milisi Druze dan tentara Syria (Suriah) di Lembah Bekaa, Beirut Timur. Ini adalah pemboman laut besar-besaran Amerika sejak Perang Korea, menewaskan ratusan warga Lebanon, kebanyakan Muslim Syi’ah dan Druze.

Perancis juga melakukan serangan terhadap posisi yang dicurigai sebagai lokasi pasukan Pengawal Revolusi Iran di Lembah Bekaa. Pasukan elit Iran itu memang secara diam-diam diterjunkan ke Lebanon, terutama membantu milisi Hizbullah dan Amal Syi’ah, sekutu Iran. Presiden Amerika dan Perancis juga telah menyetujui serangan terhadap kediaman tokoh Syi’ah Sheik Abdullah di Baalbek serta lokasi-lokasi milisi Syi’ah dan Pengawal Revolusi Iran. Namun Menteri Pertahanan Casper Weinberger berhasil mencegah keputusan itu, khawatir dengan pembalasan Iran dan Syria (Suriah) mengingat keterlibatan mereka atas serangan barak militer Amerika-Perancis masih belum bisa dipastikan.

Sebelumnya, pada bulan Desember 1983, pesawat-pesawat tempur Amerika dari kapal induk USS John F. Kennedy dan USS Independence melakukan serangan terhadap posisi pasukan Syria (Suriah).

Selain itu, Dinas Intelijen Amerika, CIA, juga melakukan aksi balas dendam sendiri. Pada 8 Maret 1985, sebuah truk berisi bom meledak di Beirut, membunuh lebih dari 80 orang dan melukai lebih dari 200 lainnya, hampir semuanya warga sipil. Ledakan terjadi di dekat blok apartemen tempat tinggal Sheikh Mohammad Hussein Fadlallah, seorang ulama Syi’ah yang dianggap sebagai pemimpin spiritual Hizbullah. Meski dibantah Amerika, serangan itu diyakini publik sebagai serangan terorisme CIA.

Fadhlallah mengatakan, "Mereka mengirimi saya surat dan saya mendapatkan pesan mereka, dan sebuah tanda di bekas bangunan yang hancur bertuliskan: buatan Amerika." Robert Fisk, seorang wartawan senior, juga mengklaim agen CIA-lah yang telah meletakkan bom dan bukti-bukti keterlibatan itu dituliskannya di sebuah artikel di koran Washington Post.

Penarikan Pasukan Amerika

Takut menghadapi serangan susulan terhadap pasukannya, Amerika segera menarik pasukannya dari Beirut dan memindahkannya ke atas kapal-kapal perang di lepas Pantai Lebanon. Pada 7 Februari 1984, Presiden Ronald Reagan memerintahkan pasukan Marinir memulai penarikan dari Lebanon yang selesai dilakukan pada 26 Februari 1984. Empat bulan kemudian seluruh pasukan perdamaian internasional ditarik dari Libanon.

Di sisi lain, mundurnya Amerika dari Lebanon setelah serangan atas barak militernya justru melambungkan citra Hizbullah. Meski Hizbullah secara resmi menolak terkait serangan tersebut, namun tampak di mata publik sebagai pelakunya, setidaknya setelah kelompok ini memuji-muji "dua martir mujahidin yang telah menimbulkan kerugian hebat bagi Amerika, yang tidak pernah dialami Amerika sejak Perang Vietnam". Hizbullah dianggap sebagai "ujung tombak perjuangan jihad muslim menentang pendudukan asing."

Sabtu, 22 Mei 2021

Peta Pendukung Palestina dan Penjajah Israel di Indonesia



Oleh: Dina Sulaeman (Pakar Geopolitik & Hubungan Internasional)

(Ini pemetaan berdasarkan afiliasi agama ya)

PENDUKUNG PALESTINA:

[1]. Pendukung dari kalangan Muslim “radikalis” (mereka ini yang suka demo dengan bawa-bawa bendera hitam yang mereka klaim bendera “tauhid”). Mereka ini mengaku membela Palestina didasarkan agama dan sering pakai ayat untuk mendukung narasi mereka.

Tapi, mereka ini sebenarnya kaum gagal paham geopolitik Timteng. Mereka mengaku mendukung Palestina, tapi mendukung “jihad” di Suriah, padahal pemerintah Suriah adalah salah satu pendukung perjuangan bersenjata bangsa Palestina yang terjajah.

Kaum radikalis ini tidak sadar bahwa mereka sedang membantu Zionis. Kebencian kepada kaum Syiah [pemerintah Suriah dituduh Syiah] membuat mereka semakin teradikalisasi, lalu pro-terorisme (tapi mereka sebut “jihad”).

[2]. Pendukung dari kalangan Muslim humanis dan moderat. Misalnya, Presiden Jokowi  dan Ibu Menlu Retno, sangat jelas berpihak pada Palestina. Mana mungkin mereka disebut “Muslim radikalis” kan? Kelompok ini membela Palestina dikarenakan nilai dasar bangsa Indonesia yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945: menentang penjajahan di muka bumi. Sebagian kelompok-kelompok ini juga melakukan aksi-aksi demo pro-Palestina, tapi jelas tidak bergabung dengan kelompok-1.

[3]. Pendukung dari kalangan non-Muslim, antara lain umat Kristiani. Ini perlu dipahami para netizen. Umat Kristiani yang benar-benar mempelajari Kitab Suci, pasti membela Palestina karena mereka paham bahwa ayat-ayat Kitab Suci yang sering dipakai kelompok Kristen pro-Israel adalah ayat-ayat yang ditafsirkan salah kaprah. Mereka paham fakta di lapangan bahwa umat Kristiani di Palestina pun menjadi korban kejahatan Israel, biarawan/ti dipersekusi, dan ada gereja yang dibakar/diserang.

PENDUKUNG ISRAEL:

[1]. Pendukung dengan motif ekonomi dan politik. Mereka memanfaatkan isu Palestina-Israel untuk kepentingan mereka sendiri, tidak didasari agama. Misalnya, kalau hubungan diplomatik Indonesia-Israel dibuka, mereka bisa lebih leluasa berbisnis. Mereka ini ada yang Muslim, ada yang non-Muslim

[2]. Pendukung dari kalangan Kristen radikal. Banyak di antara mereka membawa-bawa ayat Kitab Suci untuk membela Israel. Umumnya mereka adalah kalangan Kristen Evangelis yang berjejaring dengan Amerika Serikat. Robert Gilpin (seorang profesor Hubungan Internasional) menulis: kebijakan luar negeri AS dipengaruhi oleh 3 kelompok, yaitu ultranasionalis, neokonservatif, dan Kristen Evangelis. Neokon dan Kristen Evangelis-lah yang membuat kebijakan luar negeri AS selalu pro-Israel; AS melakukan perang-perang di Timur Tengah demi Israel.

Kelompok Kristen Evangelis, kata Gilpin, melakukan “tafsir fundamentalis” atas Kitab Suci sebagai landasan dukungan pada Israel. 

Apa itu “tafsir fundamentalis”? Yaitu, suka mencomot ayat secara harfiah (tidak dipahami dulu konteksnya, dll). Ini persis sama seperti para radikalis di kalangan Muslim: ada kata “bunuh” di Al Quran, langsung dipakai, tidak peduli pada penjelasan dari para ulama terkemuka mengenai maknanya, asbabun-nuzul, konteks, dll.

Nah, bila kaum radikal Muslim melakukan terorisme (“jihad” versi mereka) dengan berlandaskan ayat-ayat Quran yang ditafsirkan secara salah; kelompok radikal Kristen pun membela terorisme yang dilakukan rezim Zionis terhadap bangsa Palestina dengan ayat-ayat Kitab Suci yang ditafsirkan semaunya.

[Soal penafsiran Kitab Suci secara salah ini, sudah dikemukakan oleh pendukung Palestina kelompok-2.]

[3]. Orang awam yang termakan narasi kelompok pro-Israel 1 & 2. Literasi yang rendah membuat mereka iya-iya saja saat dicekoki narasi: “yang pro-Palestina itu berarti pro-radikalis, lihat saja itu yang demo-demo di jalan, bawa bendera HTI kan?” atau “Hamas itu kan IM, sama dengan kelompok “jihad” di Suriah!” atau “Orang-orang pro-Palestina itu cuma mau cari donasi aja, nanti donasinya diserahkan ke teroris !”

Harapan saya, semoga kelompok awam ini semakin paham situasinya. Minimalnya, pahami peta dukungan pada Palestina, lihat ada kelompok pro-Palestina 2 dan 3. Yang bela Palestina bukan cuma yang kelompok-1, lho. Jangan gebyah uyah. Syukur-syukur, bisa paham bahwa yang terjadi di Palestina itu adalah penjajahan (settler colonialism).

Musisi Roger Waters dan Pink Floyd menyanyikan lagu mendukung Palestina. Mereka ini musisi Amerika Serikat dan jelas bukan radikalis/pro-teroris. Mereka mendukung perjuangan Palestina karena mampu melihat bahwa bangsa Palestina jelas-jelas dalam keadaan tertindas.

Silahkan follow FB Felix Irianto Winardi (alumni Seminari Kentungan) atau Fransiscus Xaverius Arianto Nugroho, atau baca penjelasan Pastor Kopong: https://cutt.ly/pb5YrJI 



Minggu, 16 Mei 2021

Sejarah Kolonialisme Israel



Oleh Alex Sumadinata Al-Bantani

“Pada 3 Oktober, Perdana Menteri Israel, Ariel Sharon, membuat pernyataan berikut ini kepada seorang Yahudi Ashkenazi, Simon Peres, sebagaimana dilaporkan di Radio Kol Yisrael: Setiap kali kita melakukan sesuatu, anda akan berkata Amerika akan melakukan ini dan itu. Saya ingin memberitahu anda sesuatu yang sangat jelas. Jangan cemaskan tekanan Amerika terhadap Israel. Kita mengendalikan Amerika, dan orang-orang Amerika tahu itu.”

1948: Pada musim semi tahun ini Keluarga Rothschild menyogok Presiden Harry S. Truman (Presiden ke-33 Amerika Serikat, 1945-1953) untuk mengakui Israel sebagai negara berdaulat dengan 2 juta Dollar yang mereka berikan padanya untuk rangkaian kampanyenya.

Pada tengah malam 14 Mei 1948, negara Israel secara resmi diproklamirkan di Tel Aviv, sebelas menit kemudian Presiden Truman menyatakan Amerika Serikat sebagai negara asing pertama yang mengakuinya.

1963: Pada 22 November, Presiden John F. Kennedy dibunuh oleh Keluarga Rothschild. Mungkin di antara alasan yang utama dibunuhnya Kennedy adalah fakta bahwa dia memastikan kepada Perdana Menteri Israel, David Ben-Gurion, bahwa dalam keadaan apapun dia tidak akan setuju Israel menjadi negara nuklir. Surat kabar Israel, Ha'aretz, pada tanggal 5 February 1999 dalam sebuah ulasan tentang sebuah buku Avner Cohen yang berjudul "Israel and the Bomb", menyatakan:

"Pembunuhan Presiden Amerika John F. Kennedy mendadak mengakhiri tekanan besar yang diterapkan oleh Pemerintah Amerika terhadap Pemerintah Israel untuk menghentikan program nuklir. Buku ini menyiratkan bahwa kalau Kennedy tetap hidup, diragukan apakah Israel dewasa ini bisa membuat nuklir".

1973: Pada 15 April, Senator Demokrat dari Arkansas, J. William Fulbright, menyatakan hal berikut ini di televisi CBS, sehubungan dengan kekuatan Zionis di Amerika:

"Senat Amerika Serikat tunduk kepada Israel, Israel mengendalikan Senat. Ini sudah sangat sering ditunjukkan, dan inilah yang membuat pemerintah kesulitan".

Pada tahun ini juga, George J. Laurer, seorang pegawai IBM yang dikendalikan oleh Keluarga Rothschild, menciptakan UPC (Universal Product Barcode) yang pada akhirnya akan dipasang pada setiap barang yang diperdagangkan di seluruh dunia dan membawa nomor 666 (Heksagram Merah Mayer Amschel Rothschild).

1993: Mantan penjabat Konggres Paul Findley, menerbitkan bukunya yang berjudul "Deliberate Deceptions: Facing the Fact About the U.S-Israeli Relationship (Muslihat yang Disengaja: Menghadapi Fakta tentang Hubungan AS-Israel)". Di dalam buku ini dia menulis daftar 65 Resolusi Anggota PBB yang menentang Israel dari periode 1955 sampai 1992, dan Amerika Serikat memveto 30 Resolusi demi Israel. Kalau AS tidak membuat veto, ada 95 Resolusi yang menentang Israel. Namun, 65 Resolusi yang menentang Isarel tersebut, berjumlah lebih banyak dari semua Resolusi yang diluluskan untuk menentang negara-negara lain jika digabungkan sekaligus.

Israel tidak peduli dengan pandangan PBB, jika anda mau mempertimbangkan bukti yang pernah ada, bahwa kurang dari 2 minggu setelah serangan Israel terhadap USS Liberty (serangan yang dirancang untuk mengkambinghitamkan Mesir, sehingga AS terdorong untuk berperang melawan Mesir), Menteri Luar Negeri Israel, Abba Eban, membuat pernyataan tentang PBB, sebagaimana yang dilaporkan The New York Times pada 19 Juni 1967:

"Kalau pun General Assembly (Majelis Umum) memungut suara sampai 121 suara berbanding 1 mendukung Israel kembali ke garis gencatan senjata (perbatasan pra-Juni 1967), Israel akan menolak tunduk terhadap keputusan tersebut".

"Mereka adalah peminjam uang dan kontraktor utang besar di dunia. Konsekuensinya adalah negara-negara di dunia mengerang diinjak sistem-sistem pajak dan utang negara yang besar. Mereka adalah musuh terbesar bagi kebebasan". (Lord Harrington)

1995: Pada 21 Oktober, mantan agen Mossad, Victor Ostrovsky, yang menerbitkan 2 buku yang memaparkan kegiatan-kegiatan Mossad, muncul di acara pagi televisi Kanada, Canada AM, bersama jurnalis Israel bernama Yosef Lapid, mantan Kepala Televisi Israel, via hubungan satelit. Yosef Lapid memanggil Mossad untuk mencari Ostrovsky di Kanada untuk membunuhnya, karena telah menulis 2 buku yang membocorkan kegiatan mereka ini. Karena Mossad Israel tidak bisa membunuh Ostrovsky di Kanada tanpa menyebabkan insiden diplomatis. Yosef Lapid mengatakan secara langsung di acara itu, bahwa:

"Saya harap ada seorang Yahudi yang baik di Kanada yang mau melakukan tugas itu untuk kita".

Ostrovsky memutuskan untuk menuntut Yosef Lapid di Pengadilan Kanada karena menghasut publik untuk membunuhnya. Namun, Ostrovsky tidak bisa menemukan pengacara satu pun di Kanada yang mau mengambil kasus itu.

1996: Pada 12 Mei, Duta Besar PBB sekaligus seorang Yahudi Ashkenazi, Madeleine Albright, ketika muncul di program 60 minutes, ditanya oleh Koresponden Lesley Stahl, sehubungan dengan tahun-tahun Amerika Serikat memimpin sanksi ekonomi terhadap Irak:

"Kami telah mendengar bahwa setengah juta anak meninggal. Maksudku, itu lebih banyak dari anak yang meninggal di Hiroshima. Lalu, anda tahu, bahwa harga itu sepadan?"

Jawaban Duta Besar Madeleine Albright adalah:

"Menurut saya itu pilihan yang sangat sulit, tapi harga itu sepadan".

Komentarnya tersebut tidak menimbulkan protes dari publik. Sesungguhnya, Holocaust setengah juta Irak secara positif dikagumi oleh Pemerintah Amerika Serikat. Karena kurang dari 8 bulan kemudian, Presiden Bill Clinton menunjuk Madeleine Albright sebagai Menteri Luar Negeri.

Pada siaran Larry King Live pada bulan April 1996, aktor Marlon Brando membuat pernyataan:

"Hollywood dipimpin oleh orang-orang Zionis. Hollywood dimiliki oleh orang-orang Zionis, dan mereka harus punya sensitivitas tentang persoalan yang diderita oleh orang lain, akibat apa yang telah mereka eksploitasi kepada orang-orang itu".

Akibat pernyataan ini, lembaga Zionis Jewish Defense League (Liga Pertahanan Yahudi) langsung meminta agar Marlon Brando dibuang dari Hollywood Walk of Fame. Tapi, karena takut diprotes publik, Hollywood Chamber of Commerce (Majelis Perdagangan Hollywood) menolak melakukannya.

Pada tahun yang sama, beberapa kejadian penting juga mewarnai kehidupan Amerika, di antaranya:

Washington Post melaporkan bahwa intelijen Amerika Serikat telah menyadap sebuah percakapan. Di dalam percakapan tersebut, dua Pejabat Israel membahas kemungkinan mendapatkan surat rahasia yang telah ditulis oleh Sekretaris Bendahara Luar Negeri waktu itu, Warren Christopher, kepada Pemimpin Palestina, Yasser Arafat.

Duta Besar Amerika Serikat untuk Israel, Martin Indyk, mengeluh secara pribadi kepada Pemerintah Israel tentang pengawasan tidak bijaksana yang dilakukan oleh Badan Intelijen Israel.

Agen-agen Israel memasang penyadap pada telepon seorang Yahudi Ashkenazi sekaligus anak seorang Rabi, Monica Lewinsky, di Watergate dan mereka menyadap sesi seks telepon antara wanita itu dan Presiden Bill Clinton. Laporan Ken Starr menegaskan bahwa Clinton memperingatkan Lewinsky bahwa percakapan mereka direkam, dan kemudian Clinton mengakhiri perselingkuhan tersebut.

Di Los Angeles, sebuah penyelidikan narkoba besar tingkat lokal, telah membuat daerah dan negara menjadi bermasalah. Tersangka dalam penyelidikan ini adalah jaringan kejahatan Israel yang beroperasi di New York, Miami, Las Vegas, Kanada, Israel dan Mesir. Jaringan kejahatan Israel ini terlibat dalam pengedaran narkoba dan ekstasi, begitu juga penipuan kartu kredit dan komputer yang rumit terhadap golongan pekerja kantoran. Yang mengagetkan para opsir penyelidikan, orang-orang Israel yang diselediki ternyata mengawasi pager/beeper, ponsel bahkan telepon rumah para penyelidik. Para penyelidik kemudian mencari tahu dari mana informasi ini mungkin berasal. Mereka segera mengetahui bahwa ini bersangkutan dengan Firma Israel AMDOCS yang hampir memonopoli jasa rekening telepon di Amerika Serikat. Dan ketika mereka memeriksa hasil telepon mereka sendiri tentang bagaimana mereka disadap, mereka menemukan bahwa kontraktor utama mereka adalah Converse Infoys, Firma Israel lainnya yang bekerja dekat dengan Pemerintah Israel.

1998: Pada 31 Oktober, berdasarkan instruksi dari kelompok PNAC (Project for a New American Century – Proyek untuk Abad Amerika Baru), Presiden Bill Clinton menandatangani Hukum H. R. 4655, yaitu "Iraq Liberation Act (Undang-Undang Pembebesan Irak)" yang mendukung usulan perubahan rezim di Irak.

Bagaimana pun, sejarah memberi tahu kita kelompok PNAC sebenarnya tidak kreatif. Memang, pada Februari 1990, seorang Sayan Mossad di New York menjejalkan suatu cerita palsu ke ABC Television bahwa Saddam Husein punya pabrik uranium di Irak untuk menarik perhatian atas "Senjata Pemusnah Masal" Saddam Husein, satu tahun sebelum perang Amerika di Irak.

2000: Pada bulan April, Jacob "Cookie" Orgad, sebagai mantan agen Mossad ditangkap karena menjalankan salah satu operasi penyelundupan ekstasi terbesar dalam sejarah Amerika. Operasi ini mengantarkan ratusan juta Dollar dalam bentuk narkoba illegal yang diproduksi di Belanda, ke kota-kota di seluruh Amerika Serikat.

Di Argentina, IMF mengharuskan negara ini mengurangi defisit anggaran pemerintah dari 5,3 miliar Dollar pada saat itu menjadi 4,2 miliar Dollar pada tahun berikutnya, 2001, yang menyebabkan pengangguran di Argentina sebesar 20 % penduduk usia kerja. Lalu mereka menambah tuntutannya menjadi defisit harus dihapuskan. IMF menawari Argentina beberapa gagasan untuk mencapai ini, dengan mengurangi program ketenagakerjaan darurat pemerintah dari 200 Dollar perbulan menjadi 160 Dollar sebulan.

Mereka juga meminta pemotongan gaji 12 % – 15 % bagi pegawai negeri dan pemotongan pensiun bagi orang tua sebanyak 13 %. Keduanya berdampak bagi banyak orang. Pada Desember 2001, orang-orang Argentina kelas menengah (secara harfiah) muak berburu di jalanan mencari sampah untuk dimakan. Mereka mulai rusuh dan membakar Buenos Aires.

2001: Puncak tragedi di Amerika terjadi pada 11 September, yaitu serangan terhadap WTC (World Trade Center) dan Pentagon yang disusun dengan hati-hati oleh Israel dengan keterlibatan Inggris dan Amerika, dibawah perintah Keluarga Rothschild. Kejadian ini mereka lakukan untuk mengkambinghitamkan Muslim sebagai "Teroris". Ini adalah babak pertama untuk memicu Dunia Barat agar berperang dengan Dunia Arab, demi Isrrael. Dan perang melawan teroris di negara-negara Muslim pun dimulai.

Mereka menggunakan serangan-serangan ini untuk mendapatkan kendali atas beberapa negara di dunia yang tidak mengizinkan bank-bank sentral Rothschild. Dengan demikian, kurang dari sebulan setelah kejadian ini, Amerika Serikat menyerang Afghanistan, satu dari hanya tujuh negara pada saat itu di dunia yang tidak memiliki bank sentral yang dikendalikan oleh Rothschild. Negara ini didominasi penduduk Muslim yang menolak ikut serta dalam sistem simpan-pinjam uang, sesuatu yang telah membuat orang-orang Israel gusar selama ratusan tahun.

Kurang dari seminggu setelah serangan 11 September, tepatnya pada 5 September 2001, orang yang katanya Ketua Pembajak, Mohamed Atta, dan beberapa pembajak lainnya melakukan kunjungan ke salah satu perahu kasino seorang pelobi pro-Israel, seorang Yahudi Ashkenazi bernama Jack Abramoff. Tidak ada penyelidikan dilakukan tentang apa yang mereka lakukan di sana. Menariknya, 7 orang dari 19 orang (yang katanya) pembajak yang disalahkan melakukan serangan pada 11 September, ternyata masih hidup. Beberapa orang malahan muncul di Kedutaan Besar Amerika Serikat di negara-negara Arab.

Pada serangan 11 September juga, terdapat 5 orang Israel yang menyamar dalam pakaian Arab ditangkap karena menari dan bersorak sambil merekam menara WTC yang runtuh. Disewa oleh Urban Moving System (Sistem Perpindahan Kota), sebuah daerah Mossad Israel, orang-orang Israel ini tertangkap punya banyak paspor, satu van teruji positif mengandung peledak dan banyak uang tunai. Akibat penangkapan ini, Walikota Yerussalem (yang akan menjadi Perdana Menteri Israel), Ehud Olmert, secara pribadi menelepon Walikota New York City, Rudi Giuliani, menyatakan bahwa orang-orang ini tidak ada hubungannya dengan serangan teroris, dan hanya sedang sedikit bersenang-senang.

Dua dari lima orang Israel ini belakangan terungkap ternyata Mossad, bertentangan dengan klaim Olmert, ketiga orang lainnya dengan kuat dicurigai Mossad juga. Begitu laporan-laporan saksi melacak kegiatan orang-orang Israel itu, terungkap bahwa mereka terlihat di Taman Liberty pada saat tubrukan pertama. Laporan ini menduga bahwa mereka sudah tahu apa yang akan terjadi.

Orang-orang Israel itu diinterogasi oleh FBI, lalu diam-diam dikirim kembali ke Israel. Para petugas yang menangkap mereka dari Departemen Kepolisian New Jersey diperintahkan agar tidak membahas penangkapan mereka.

Kelima orang Israel yang menari dan menyoraki runtuhnya WTC, belakangan muncul di radio dan televisi Israel. Di sana mereka menyatakan bahwa mereka berada di New York City pada 11 September untuk "mendokumentasikan peristiwa tersebut" karena Amerika belum pernah mengalami serangan seperti itu di daratannya.

Dua jam sebelum serangan 11 September, Odigo, sebuah perusahaan Israel dengan kantor-kantornya yang bertempat hanya beberapa blok dari menara WTC, menerima sebuah peringatan pendahuluan akan serangan tersebut lewat pesan instan internet. Manajer New York Office memberikan FBI alamat IP pengirim pesan tersebut, tapi FBI tidak menindaklanjutinya.

Sekitar 200 orang Israel yang berkaitan dengan perusahaan-perusahaan pemindahan Israel, yang dicurigai merupakan garis depan intelijen Israel, yang sangat aktif di WTC beberapa bulan sebelum serangan, lalu ditangkap karena dicurigai terlibat ketika sisa ban ditemukan di beberapa van pembuangan yang mereka gunakan. Namun, di bawah perintah langsung Pejabat Departemen Peradilan Amerika Serikat, Michael Chertoff, mereka dideportasi ke Israel akibat "Pelanggaran Visa". Chertoff adalah seorang warga negara ganda AS/Israel yang ayahnya seorang Rabi dan ibunya adalah salah satu pekerja pertama Mossad, lalu kemudian dia memerintahkan penangkapan sekitar 900 Muslim yang tidak berkaitan dengan kejadian WTC.

Pada 12 September, The Yerussalem Post diam-diam memperingatkan kemungkinan teurngkapnya Israel sebagai pelaku serangan 11 September. Surat kabat tersebut menampilkan sebuah cerita bahwa 2 orang Israel meninggal pada saat pesawat terbang dibajak, dan 4.000 orang menghilang di WTC. Seminggu kemudian, sebuah stasiun televisi Beirut melaporkan bahwa 4.000 pegawai WTC yang merupakan orang Israel tidak hadir pada hari serangan itu. Ini tampaknya menegaskan cerita di the Yerussalem Post.

Setelah serangan WTC, surat-surat tanpa nama yang berisi virus antraks dikirim ke berbagai politisi dan eksekutif media. Akibat terjangkit virus antraks dalam surat-surat ini, 5 orang meninggal dunia. Seperti serangan 11 September, serangan ini langsung disalahkan kepada Al-Qaeda, sampai diketahui bahwa virus antraks yang dijadikan senjata tersebut, dibuat oleh laboratorium militer Amerika Serikat.

FBI kemudian mengetahui bahwa tersangka utama surat-surat antraks ini adalah orang Yahudi Ashkenazi, Dr. Philip Zack, yang pernah dicerca beberapa kali oleh para pegawainya akibat kata-katanya yang ofensif tentang orang-orang Arab. Dr. Philip Zack tertangkap kamera sedang memasuki daerah penyimpanan tempat dia bekerja di Fort Detrick. Di sanalah antraks disimpan. Pada titik ini, baik FBI mau pun media berhenti membuat pernyataan publik apa pun mengenai kasus ini.

Seminggu sebelum serangan WTC, Zim Shipping Company (Perusahaan Pengapalan Zim) memindahkan kantor-kantornya di WTC, melapaskan kontrak sewanya yang memakan biaya 50.000 Dollar bagi perusahaan tersebut. Tidak ada alasan yang pernah diberikan mengenai hal ini, dan Zim Shipping Company, setengahnya dimiliki oleh negara Israel.

Akibat serangan 11 September disalahkan kepada Osama bin Laden, Amerika Serikat menginvansi Afghanistan dan menumbangkan para penguasa Taliban di sana. Tentu saja alasan sebenarnya terjadi invansi itu menjadi terang. Karena alasan sesungguhnya adalah pemimpin Taliban, Mullah Omar, telah melarang produksi opium pada Juli 2000. Dengan demikian, panen opium pada tahun itu hancur.

Dalam sejarah, bisnis opium merupakan bisnis illegal yang digerakkan oleh Keluarga Rothschild seperti yang terjadi di China pada tahun 1839. Ketika Kaisar Manchu di China memerintahkan penghancuran opium. Lalu Keluarga Rothschild memerintahkan tentara Inggris untuk pergi ke sana untuk memerangi China demi melindungi bisnis narkobanya yang sedang berjalan.

Itulah tepatnya apa yang sedang terjadi. Afghanistan adalah sumber 75 % heroin dunia. Akibat Mullah Omar menghancurkan laba 2001, maka terjadilah invansi pada Oktober 2001. Segera sesudahnya, media melaporkan panen besar opium pada Maret 2002.

Pada 3 Oktober, Perdana Menteri Israel, Ariel Sharon, membuat pernyataan berikut ini kepada seorang Yahudi Ashkenazi, Simon Peres, sebagaimana dilaporkan di Radio Kol Yisrael: Setiap kali kita melakukan sesuatu, anda akan berkata Amerika akan melakukan ini dan itu. Saya ingin memberitahu anda sesuatu yang sangat jelas. Jangan cemaskan tekanan Amerika terhadap Israel. Kita mengendalikan Amerika, dan orang-orang Amerika tahu itu.