Segala
puji hanya bagi Allah, walaupun waktu telah membawa (bagi kita) petaka yang
meremukkan dan kejadian yang besar. Dan saya bersaksi bahwa tiada tuhan selain
Allah Yang Maha Esa, tiada sekutu bagi-Nya dan tak ada bersama-Nya sesuatu
selain Dia Sendiri, dan Muhammad (saw) adalah hamba dan pesuruh-Nya.
‘Amma ba’du, sesungguhnya orang yang
durhaka kepada penasihat yang penuh belas kasih, yang berpengetahuan dan
pengalaman, menimbulkan kekecewaan dan mengakibatkan penyesalan. Saya telah
memberikan kepada Anda perintah-perintah saya tentang tahkim itu, telah saya
sampaikan ke hadapan Anda pandangan saya yang tersembunyi. Saya berhasrat
kiranya pandangan Qashir[2] telah diterima; tetapi Anda menolaknya seperti
lawan yang kasar dan pemberontak yang durhaka sampai si penasihat sendiri jatuh
dalam keraguan tentang nasihatnya dan latu api (kecerdasannya) berhenti memberi
nyala api. Sebagai akibatnya, kedudukan saya dan kedudukan Anda menjadi seperti
yang dikatakan si penyair Bani Hawazin,
Kuberikan
perintahku di Mun’arajil-Liwa,
Tetapi tidak kaulihat baiknya nasihatku,
Hingga menjelang tengah hari berikutnya (ketika sudah terlambat).[3]
Tetapi tidak kaulihat baiknya nasihatku,
Hingga menjelang tengah hari berikutnya (ketika sudah terlambat).[3]
[1]
Ketika semangat orang Suriah telah patah oleh pedang-pedang ganas orang ‘Iraq
dan serangan-serangan yang tak berkeputusan pada Malam al-Harir menjatuhkan
moralnya dan mengakhiri aspirasi-aspirasinya, ‘Amr ibn ‘Ash menyarankan siasat
licik kepada Mu’awiah supaya mengangkat mashaf Al-Qur’an di ujung tombak dan
berteriak-teriak mendesak untuk menggunakannya sebagai hakim seraya mengatakan,
sebagian orang akan berusaha menghentikan peperangan dan sebagian lagi hendak
meneruskannya. Dengan demikian maka kita memecah belah mereka dan akan dapat
menangguhkan peperangan sampai pada kesempatan lain.” Sesuai dengan saran itu,
mushaf-mushaf Al-Qur’an diangkat pada ujung tombak. Hasilnya, sebagian orang
yang tak berpikir membuat huru-hara dan berseru serta menimbulkan perpecahan
dan kekacauan di kalangan tentara, dan perjuangan kaum Muslim yang terkicuh
mereda setelah hampir mencapai kemenangan. Tanpa memahami sesuatu, mereka mulai
menjerit-jerit menghendaki keputusan Al-Qur’an atas peperangan.
Melihat
Al-Qur’an dijadikan alat siasat licik, Amirul Mukminin mengatakan, “Wahai,
manusia. Janganlah kamu terjebak dalam penipuan dan kelicikan ini. Mereka
menggunakan rancangan ini untuk mengelakkan aibnya kekalahan. Saya mengenal
watak setiap orang dari mereka. Mereka bukan penganut Al-Qur’an dan tidak
bertindak menurut perintah Al-Qur’an. Demi Allah, janganlah kamu terjebak dalam
tipu daya mereka. Teruskan dengan tekad dan berani, dan baru berhenti setelah
mengalahkan musuh yang sedang sekarat.” Namun, siasat licik kebatilan telah
bekerja. Orang-orang itu mengambil sikap membangkang dan memberontak. Mis’ar
ibn Fadaki at-Tamimi dan Zaid ibn Husain ath-Tha’i, masing-masing dengan
pasukan sebesar 20.000 orang, menghadapi Amirul Mukminin seraya berkata, “Hai,
‘Ali. Apabila Anda tidak menyambut seruan Al-Qur’an, kami akan memperlakukan
Anda seperti kami memperlakukan ‘Utsman. Segeralah akhiri pertempuran, dan
tunduklah kepada keputusan Al-Qur’an.”
Amirul
Mukminin berusaha sekuat kuasanya untuk menyadarkan mereka, tetapi iblis telah
berdiri di hadapan mereka berjubahkan mushaf Al-Qur’an. Ia tidak mengizinkan
mereka untuk berbuat demikian, dan mereka memaksa Amirul Mukminin mengutus
seseorang untuk memanggil Malik ibn Harits al-Asytar dari medan pertempuran.
Karena terpaksa, Amirul Mukminin mengirim Yazid ibn Hanf’ memanggil Malik.
Ketika
Malik mendengar perintah ini, ia menjadi bingung, seraya berkata, ‘Tolong
katakan kepadanya, ini bukan saat untuk meninggalkan posisi. Ia boleh menunggu
sebentar saat saya menghadapnya dengan berita kemenangan.” Ibn Hani’
menyampaikan pesan itu sekembalinya, tetapi orang-orang berteriak bahwa
tentulah Amirul Mukminin telah menyampaikan pesan rahasia kepadanya. Amirul
Mukminin mengatakan bahwa tak ada kesempatan baginya untuk menyampaikan suatu
pesan rahasia. Segala yang dikatakannya dilakukan di hadapan mereka.
Orang-orang
itu mengatakan bahwa Ibn Hani’ harus diutus lagi, dan apabila Malik menunda
kedatangannya maka Amirul Mukminin akan kehilangan nyawa. Amirul Mukminin
menyuruh lagi Ibn Hani dan menyampaikan pesan bahwa telah terjadi
pemberontakan; ia harus kembali dalam keadaan bagaimanapun. Maka Ibn Hani’
pergi lagi lalu mengatakan kepada Malik, “Apakah Anda lebih mencintai
kemenangan atau nyawa Amirul Mukminin? Kalau nyawanya lebih Anda cintai, Anda
harus melepaskan tangan dari pertempuran lalu pergi kepadanya.” Dengan
meninggalkan kesempatan untuk menang, Malik berangkat menghadap Amirul Mukminin
dengan sedih dan kecewa. Kekacauan pun berkecamuk. Ia membantah orang-orang itu
dengan sangatnya, tetapi mereka tak dapat diperbaiki lagi.
Maka
diputuskanlah bahwa setiap pihak harus menunjuk seorang hakim supaya mereka
menyelesaikan persoalan kekhalifahan itu menurut Al-Qur’an. Dari pihak Mu’awiah
telah diputuskan ‘Amr ibn ‘Ash. Dari pihaknya, orang-orang itu mengajukan Abu
Musa al-Asy’ari. Melihat pilihan yang salah ini, Amirul Mukminin mengatakan,
“Karena Anda tidak menerima pendapat saya tentang tahkim, sekurang-kurangnya
sekarang Anda menyetujui untuk tidak mengangkat Abu Musa sebagai hakim. Ia
bukan orang yang amanat. Di sini ada ‘Abdullah ibn ‘Abbas, dan di sini ada
Malik al-Asytar. Pilihlah seorang di antara mereka.” Tetapi, mereka tak mau
mendengarkannya, dan bersikeras pada Abu Musa. Amirul Mukminin akhir-nya
mengatakan, “Nah, lakukanlah sesuka Anda. Tidak lama lagi Anda akan memakan
tangan Anda sendiri karena kebatilan Anda.”
Setelah
pengangkatan hakim, setelah surat persetujuan ditulis, imbuhan “Amirul
Mukminin” pada nama ‘Ali ibn Abt Thalib juga tertulis. ‘Amr ibn ‘Ash
mengatakan, “Ini harus dihapus. Apabila kami memandangnya sebagai Amirul
Mukminin, mengapa peperangan ini harus dilakukan?” Mula-mula Amirul Mukminin menolak
untuk menghapusnya, tetapi setelah mereka sama sekali tak mau menerima, ia
menghapusnya seraya mengatakan, “Peristiwa ini sama dengan peristiwa di
Hudaibiah, ketika orang-orang kafir bersikeras bahwa kata ‘Rasulullah’ bersama
nama Nabi Muhammad harus dihapus, dan Nabi menghapusnya.” Mendengar ini ‘Amr
ibn ‘Ash marah dan mengatakan, “Apakah Anda memperlakukan kami sebagai orang
kafir?” Amirul Mukminin berkata. “Pada hari apa Anda mempunyai suatu hubungan
dengan kaum mukmin dan kapan Anda telah menjadi pendukung mereka?”
Bagaimanapun,
setelah penyelesaian ini, orang-orang bubar. Setelah bermusyawarah, kedua hakim
memutuskan bahwa dengan menyingkirkan ‘Ali maupun Mu’awiah dari kekhalifahan,
rakyat akan diberi hak memilih siapa saja yang mereka sukai.
Ketika
tiba saat pengumumannya, diadakan suatu pertemuan di Daumatul Jandal. Yang
terletak antara ‘Iraq dan Suriah, kemudian kedua hakim itu tiba pula di sana
untuk memaklumkan keputusan tentang nasib umat Islam. Secara licik, ‘Amr ibn
‘Ash berkata kepada Abu Musa, “Saya merasa tak pantas mendahului Anda. Anda
lebih tua dalam tahun dan usia, karena itu Andalah yang mula-mula menyampaikan
maklumat itu.” Abu Musa menyerah pada kata-kata pujiannya lalu keluar dengan
bangganya serta berdiri di hadapan hadirin. Kepada mereka ia berkata, “Wahai
kaum Muslim, kami telah besama-sama menyelesaikan bahwa ‘Ali maupun Mu’awiah
harus dimakzulkan dan hak memilih khalifah diserahkan kepada rakyat. Mereka
akan memilih siapa saja yang mereka kehendaki.” Setelah mengatakan ini, ia
duduk.
Sekarang
giliran ‘Amr ibn ‘Ash, lalu ia berkata, “Hai, kaum Muslim. Anda telah mendengar
bahwa Abu Musa telah menyingkirkan ‘Ali ibn Abi Thalib. Saya pun menyetujuinya.
Tentang Mu’awiah, tidak ada persoalan akan menyingkirkan dia. Karena itu saya
tetapkan dia pada kedudukan itu.”
Setelah
ia mengatakan ini, serentak terdengar teriakan di mana-mana. Abu Musa berteriak
sekuat-kuatnya bahwa itu tipu daya licik, seraya mengatakan kepada ‘Amr ibn
‘Ash, “Engkau telah menipu, dan ibaratmu adalah seperti anjing yang apabila kau
muati sesuatu ia akan menjulurkan lidah, apabila engkau tinggalkan ia akan
menjulurkan lidah.” ‘Amr ibn “‘Ash menjawab, “Ibaratmu adalah seperti keledai
yang dimuati buku.” Bagaimanapun, siasat licik ‘Amr ibn ‘Ash efektif dan kaki goyah
Mu’awiah dikuatkan kembali.
Inilah
ringkasan riwayat Tahkim yang dasarnya dilandaskan pada Al-Qur’an dan sunah.
Tetapi, apakah itu kepulusan Al-Qur’an, ataukah itu hasil tipu daya licik yang
selalu digunakan manusia duniawi untuk mempertahankan kekuasaan mereka?
Dapatkah lembaran-lembaran sejarah ini dijadikan obor penyuluh bagi masa depan?
Pantaskah Al-Qur’an dan sunah digunakan sebagai alat untuk keuntungan untuk
mendapatkan kekuasaan duniawi?
Ketika
Amirul Mukminin mendapatkan berita tentang hasil yang menyedihkan ini, ia naik
ke mimbar dan mengucapkan khotbah, yang setiap patah katanya merupakan
kesedihan dan kesusahan dan pada saat yang sama menyinarkan pikiran sehatnya,
kebenaran pandangannya dan kearifannya yang menjangkau jauh.
[2]
Ini peribahasa yang digunakan bilamana nasihat seseorang dilolak, kemudian
disesali. Dasar kenyataannya ialah sebagai berikut. Penguasa al-Hirah, yakni
Jadzimah al-Abrasy, membunuh penguasa al-Jazirah yang bernama ‘Amr ibn Zharib,
lalu putrinya az-Zabba’ dijadikan penguasa Jaztrah itu. Segera setelah
az-Zabba’ naik tahta, ia menyusun rencana untuk menuntut balas atas darah
ayahnya. Ia mengirim pesan kepada Jadzimah bahwa ia tak dapat mengurus
negaranya sendirian dan bahwa apabila ia dapat menjadi teman pelindungnya dengan
jalan menerima-nya sebagai istri maka ia akan bersyukur. Jadzimah merasa amat
sangat bangga atas lamaran ini, lalu bersiap-siap untuk ke Jazirah dengan
seribu orang berkuda. Budaknya, Qashir, menasihatinya sungguh-sungguh bahwa itu
hanya suatu tipuan dan siasat, dan supaya ia jangan menjerumuskan diri ke dalam
bahaya. Tetapi, pikirannya telah begitu tertutup sehingga ia tak dapat
memikirkan mengapa az-Zabba’ sampai memilih pembunuh ayahnya sebagai teman
hidupnya. Bagaimanapun, ia berangkat. Ketika ia sampai di perbatasan Jazirah,
tentara az-Zabba’ hadir untuk menyambutnya, namun az-Zabba’ sendiri tidak
memberikan sambutan khusus atau ucapan hangat selamat datang. Melihat keadaan
itu, Qashir merasa curiga lagi lalu menasihati Jadzimah untuk kembali, namun
semakin dekat ke tujuan semakin terbakar nafsunya. Ia tidak mempedulikan
nasihat itu, dan melangkah lebih jauh memasuki kota. Segera setelah tiba di
sana, ia dibunuh. Ketika Qashir melihat ini, ia mengatakan, “Andaikan nasihat
Qashir diikuti!” Sejak itu peribahasa ini berlaku.
[3]
Penyair Bani Hawazin ialah Duraid ibn ash-Shimmah. Ia menulis syair ini setelah
saudaranya, ‘Abdullah ibn ash-Shimmah, meninggal. Dasar faktanya ialah bahwa
‘Abdullah bersama saudaranya memimpin serangan terhadap dua kelompok Bani
Jusyam dan Bant Nashr, keduanya dari suku Hawazin, dan melarikan banyak unta.
Waktu kembali, ketika mereka hendak beristirahat di Mun’arajil-Liwa, Duraid
mengatakan tak bijaksana untuk berhenti di situ karena mungkin musuh menyerang
dari belakang, tetapi ‘Abdullah tak setuju, lalu berhenti di sana. Akibatnya,
begitu mulai malam, musuh menyerang dan membunuh ‘Abdullah di situ. Duraid juga
luka, tetapi ia berhasil lolos. Sesudah itulah ia menulis beberapa syair, dalam
salah satu di antaranya ia merujuk kehancuran sebagai akibat penolakan terhadap
nasihatnya.
Sumber: Khutbah No.35
dalam Nahjul Balaghah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar