Jumat, 09 Mei 2014

Khutbah Imam Ali Bin Abi Thalib As Paska Tahkim di Shiffin




Segala puji hanya bagi Allah, walaupun waktu telah membawa (bagi kita) petaka yang meremukkan dan kejadian yang besar. Dan saya bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah Yang Maha Esa, tiada sekutu bagi-Nya dan tak ada bersama-Nya sesuatu selain Dia Sendiri, dan Muhammad (saw) adalah hamba dan pesuruh-Nya.

‘Amma ba’du, sesungguhnya orang yang durhaka kepada penasihat yang penuh belas kasih, yang berpengetahuan dan pengalaman, menimbulkan kekecewaan dan mengakibatkan penyesalan. Saya telah memberikan kepada Anda perintah-perintah saya tentang tahkim itu, telah saya sampaikan ke hadapan Anda pandangan saya yang tersembunyi. Saya berhasrat kiranya pandangan Qashir[2] telah diterima; tetapi Anda menolaknya seperti lawan yang kasar dan pemberontak yang durhaka sampai si penasihat sendiri jatuh dalam keraguan tentang nasihatnya dan latu api (kecerdasannya) berhenti memberi nyala api. Sebagai akibatnya, kedudukan saya dan kedudukan Anda menjadi seperti yang dikatakan si penyair Bani Hawazin,

Kuberikan perintahku di Mun’arajil-Liwa,
Tetapi tidak kaulihat baiknya nasihatku,
Hingga menjelang tengah hari berikutnya (ketika sudah terlambat).[3]

[1] Ketika semangat orang Suriah telah patah oleh pedang-pedang ganas orang ‘Iraq dan serangan-serangan yang tak berkeputusan pada Malam al-Harir menjatuhkan moralnya dan mengakhiri aspirasi-aspirasinya, ‘Amr ibn ‘Ash menyarankan siasat licik kepada Mu’awiah supaya mengangkat mashaf Al-Qur’an di ujung tombak dan berteriak-teriak mendesak untuk menggunakannya sebagai hakim seraya mengatakan, sebagian orang akan berusaha menghentikan peperangan dan sebagian lagi hendak meneruskannya. Dengan demikian maka kita memecah belah mereka dan akan dapat menangguhkan peperangan sampai pada kesempatan lain.” Sesuai dengan saran itu, mushaf-mushaf Al-Qur’an diangkat pada ujung tombak. Hasilnya, sebagian orang yang tak berpikir membuat huru-hara dan berseru serta menimbulkan perpecahan dan kekacauan di kalangan tentara, dan perjuangan kaum Muslim yang terkicuh mereda setelah hampir mencapai kemenangan. Tanpa memahami sesuatu, mereka mulai menjerit-jerit menghendaki keputusan Al-Qur’an atas peperangan.

Melihat Al-Qur’an dijadikan alat siasat licik, Amirul Mukminin mengatakan, “Wahai, manusia. Janganlah kamu terjebak dalam penipuan dan kelicikan ini. Mereka menggunakan rancangan ini untuk mengelakkan aibnya kekalahan. Saya mengenal watak setiap orang dari mereka. Mereka bukan penganut Al-Qur’an dan tidak bertindak menurut perintah Al-Qur’an. Demi Allah, janganlah kamu terjebak dalam tipu daya mereka. Teruskan dengan tekad dan berani, dan baru berhenti setelah mengalahkan musuh yang sedang sekarat.” Namun, siasat licik kebatilan telah bekerja. Orang-orang itu mengambil sikap membangkang dan memberontak. Mis’ar ibn Fadaki at-Tamimi dan Zaid ibn Husain ath-Tha’i, masing-masing dengan pasukan sebesar 20.000 orang, menghadapi Amirul Mukminin seraya berkata, “Hai, ‘Ali. Apabila Anda tidak menyambut seruan Al-Qur’an, kami akan memperlakukan Anda seperti kami memperlakukan ‘Utsman. Segeralah akhiri pertempuran, dan tunduklah kepada keputusan Al-Qur’an.”

Amirul Mukminin berusaha sekuat kuasanya untuk menyadarkan mereka, tetapi iblis telah berdiri di hadapan mereka berjubahkan mushaf Al-Qur’an. Ia tidak mengizinkan mereka untuk berbuat demikian, dan mereka memaksa Amirul Mukminin mengutus seseorang untuk memanggil Malik ibn Harits al-Asytar dari medan pertempuran. Karena terpaksa, Amirul Mukminin mengirim Yazid ibn Hanf’ memanggil Malik.

Ketika Malik mendengar perintah ini, ia menjadi bingung, seraya berkata, ‘Tolong katakan kepadanya, ini bukan saat untuk meninggalkan posisi. Ia boleh menunggu sebentar saat saya menghadapnya dengan berita kemenangan.” Ibn Hani’ menyampaikan pesan itu sekembalinya, tetapi orang-orang berteriak bahwa tentulah Amirul Mukminin telah menyampaikan pesan rahasia kepadanya. Amirul Mukminin mengatakan bahwa tak ada kesempatan baginya untuk menyampaikan suatu pesan rahasia. Segala yang dikatakannya dilakukan di hadapan mereka.

Orang-orang itu mengatakan bahwa Ibn Hani’ harus diutus lagi, dan apabila Malik menunda kedatangannya maka Amirul Mukminin akan kehilangan nyawa. Amirul Mukminin menyuruh lagi Ibn Hani dan menyampaikan pesan bahwa telah terjadi pemberontakan; ia harus kembali dalam keadaan bagaimanapun. Maka Ibn Hani’ pergi lagi lalu mengatakan kepada Malik, “Apakah Anda lebih mencintai kemenangan atau nyawa Amirul Mukminin? Kalau nyawanya lebih Anda cintai, Anda harus melepaskan tangan dari pertempuran lalu pergi kepadanya.” Dengan meninggalkan kesempatan untuk menang, Malik berangkat menghadap Amirul Mukminin dengan sedih dan kecewa. Kekacauan pun berkecamuk. Ia membantah orang-orang itu dengan sangatnya, tetapi mereka tak dapat diperbaiki lagi.

Maka diputuskanlah bahwa setiap pihak harus menunjuk seorang hakim supaya mereka menyelesaikan persoalan kekhalifahan itu menurut Al-Qur’an. Dari pihak Mu’awiah telah diputuskan ‘Amr ibn ‘Ash. Dari pihaknya, orang-orang itu mengajukan Abu Musa al-Asy’ari. Melihat pilihan yang salah ini, Amirul Mukminin mengatakan, “Karena Anda tidak menerima pendapat saya tentang tahkim, sekurang-kurangnya sekarang Anda menyetujui untuk tidak mengangkat Abu Musa sebagai hakim. Ia bukan orang yang amanat. Di sini ada ‘Abdullah ibn ‘Abbas, dan di sini ada Malik al-Asytar. Pilihlah seorang di antara mereka.” Tetapi, mereka tak mau mendengarkannya, dan bersikeras pada Abu Musa. Amirul Mukminin akhir-nya mengatakan, “Nah, lakukanlah sesuka Anda. Tidak lama lagi Anda akan memakan tangan Anda sendiri karena kebatilan Anda.”

Setelah pengangkatan hakim, setelah surat persetujuan ditulis, imbuhan “Amirul Mukminin” pada nama ‘Ali ibn Abt Thalib juga tertulis. ‘Amr ibn ‘Ash mengatakan, “Ini harus dihapus. Apabila kami memandangnya sebagai Amirul Mukminin, mengapa peperangan ini harus dilakukan?” Mula-mula Amirul Mukminin menolak untuk menghapusnya, tetapi setelah mereka sama sekali tak mau menerima, ia menghapusnya seraya mengatakan, “Peristiwa ini sama dengan peristiwa di Hudaibiah, ketika orang-orang kafir bersikeras bahwa kata ‘Rasulullah’ bersama nama Nabi Muhammad harus dihapus, dan Nabi menghapusnya.” Mendengar ini ‘Amr ibn ‘Ash marah dan mengatakan, “Apakah Anda memperlakukan kami sebagai orang kafir?” Amirul Mukminin berkata. “Pada hari apa Anda mempunyai suatu hubungan dengan kaum mukmin dan kapan Anda telah menjadi pendukung mereka?”

Bagaimanapun, setelah penyelesaian ini, orang-orang bubar. Setelah bermusyawarah, kedua hakim memutuskan bahwa dengan menyingkirkan ‘Ali maupun Mu’awiah dari kekhalifahan, rakyat akan diberi hak memilih siapa saja yang mereka sukai.

Ketika tiba saat pengumumannya, diadakan suatu pertemuan di Daumatul Jandal. Yang terletak antara ‘Iraq dan Suriah, kemudian kedua hakim itu tiba pula di sana untuk memaklumkan keputusan tentang nasib umat Islam. Secara licik, ‘Amr ibn ‘Ash berkata kepada Abu Musa, “Saya merasa tak pantas mendahului Anda. Anda lebih tua dalam tahun dan usia, karena itu Andalah yang mula-mula menyampaikan maklumat itu.” Abu Musa menyerah pada kata-kata pujiannya lalu keluar dengan bangganya serta berdiri di hadapan hadirin. Kepada mereka ia berkata, “Wahai kaum Muslim, kami telah besama-sama menyelesaikan bahwa ‘Ali maupun Mu’awiah harus dimakzulkan dan hak memilih khalifah diserahkan kepada rakyat. Mereka akan memilih siapa saja yang mereka kehendaki.” Setelah mengatakan ini, ia duduk.

Sekarang giliran ‘Amr ibn ‘Ash, lalu ia berkata, “Hai, kaum Muslim. Anda telah mendengar bahwa Abu Musa telah menyingkirkan ‘Ali ibn Abi Thalib. Saya pun menyetujuinya. Tentang Mu’awiah, tidak ada persoalan akan menyingkirkan dia. Karena itu saya tetapkan dia pada kedudukan itu.”

Setelah ia mengatakan ini, serentak terdengar teriakan di mana-mana. Abu Musa berteriak sekuat-kuatnya bahwa itu tipu daya licik, seraya mengatakan kepada ‘Amr ibn ‘Ash, “Engkau telah menipu, dan ibaratmu adalah seperti anjing yang apabila kau muati sesuatu ia akan menjulurkan lidah, apabila engkau tinggalkan ia akan menjulurkan lidah.” ‘Amr ibn “‘Ash menjawab, “Ibaratmu adalah seperti keledai yang dimuati buku.” Bagaimanapun, siasat licik ‘Amr ibn ‘Ash efektif dan kaki goyah Mu’awiah dikuatkan kembali.

Inilah ringkasan riwayat Tahkim yang dasarnya dilandaskan pada Al-Qur’an dan sunah. Tetapi, apakah itu kepulusan Al-Qur’an, ataukah itu hasil tipu daya licik yang selalu digunakan manusia duniawi untuk mempertahankan kekuasaan mereka? Dapatkah lembaran-lembaran sejarah ini dijadikan obor penyuluh bagi masa depan? Pantaskah Al-Qur’an dan sunah digunakan sebagai alat untuk keuntungan untuk mendapatkan kekuasaan duniawi?

Ketika Amirul Mukminin mendapatkan berita tentang hasil yang menyedihkan ini, ia naik ke mimbar dan mengucapkan khotbah, yang setiap patah katanya merupakan kesedihan dan kesusahan dan pada saat yang sama menyinarkan pikiran sehatnya, kebenaran pandangannya dan kearifannya yang menjangkau jauh.

[2] Ini peribahasa yang digunakan bilamana nasihat seseorang dilolak, kemudian disesali. Dasar kenyataannya ialah sebagai berikut. Penguasa al-Hirah, yakni Jadzimah al-Abrasy, membunuh penguasa al-Jazirah yang bernama ‘Amr ibn Zharib, lalu putrinya az-Zabba’ dijadikan penguasa Jaztrah itu. Segera setelah az-Zabba’ naik tahta, ia menyusun rencana untuk menuntut balas atas darah ayahnya. Ia mengirim pesan kepada Jadzimah bahwa ia tak dapat mengurus negaranya sendirian dan bahwa apabila ia dapat menjadi teman pelindungnya dengan jalan menerima-nya sebagai istri maka ia akan bersyukur. Jadzimah merasa amat sangat bangga atas lamaran ini, lalu bersiap-siap untuk ke Jazirah dengan seribu orang berkuda. Budaknya, Qashir, menasihatinya sungguh-sungguh bahwa itu hanya suatu tipuan dan siasat, dan supaya ia jangan menjerumuskan diri ke dalam bahaya. Tetapi, pikirannya telah begitu tertutup sehingga ia tak dapat memikirkan mengapa az-Zabba’ sampai memilih pembunuh ayahnya sebagai teman hidupnya. Bagaimanapun, ia berangkat. Ketika ia sampai di perbatasan Jazirah, tentara az-Zabba’ hadir untuk menyambutnya, namun az-Zabba’ sendiri tidak memberikan sambutan khusus atau ucapan hangat selamat datang. Melihat keadaan itu, Qashir merasa curiga lagi lalu menasihati Jadzimah untuk kembali, namun semakin dekat ke tujuan semakin terbakar nafsunya. Ia tidak mempedulikan nasihat itu, dan melangkah lebih jauh memasuki kota. Segera setelah tiba di sana, ia dibunuh. Ketika Qashir melihat ini, ia mengatakan, “Andaikan nasihat Qashir diikuti!” Sejak itu peribahasa ini berlaku.

[3] Penyair Bani Hawazin ialah Duraid ibn ash-Shimmah. Ia menulis syair ini setelah saudaranya, ‘Abdullah ibn ash-Shimmah, meninggal. Dasar faktanya ialah bahwa ‘Abdullah bersama saudaranya memimpin serangan terhadap dua kelompok Bani Jusyam dan Bant Nashr, keduanya dari suku Hawazin, dan melarikan banyak unta. Waktu kembali, ketika mereka hendak beristirahat di Mun’arajil-Liwa, Duraid mengatakan tak bijaksana untuk berhenti di situ karena mungkin musuh menyerang dari belakang, tetapi ‘Abdullah tak setuju, lalu berhenti di sana. Akibatnya, begitu mulai malam, musuh menyerang dan membunuh ‘Abdullah di situ. Duraid juga luka, tetapi ia berhasil lolos. Sesudah itulah ia menulis beberapa syair, dalam salah satu di antaranya ia merujuk kehancuran sebagai akibat penolakan terhadap nasihatnya.

Sumber: Khutbah No.35 dalam Nahjul Balaghah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar