Rabu, 29 April 2020

Mafia Berkeley Sebagai Kuda Troya Amerika untuk Indonesia



oleh David Ransom

“Kejadian di Indonesia tahun 1965 merupakan kejadian terbaik bagi kepentingan Amerika sejak perang dunia kedua”, demikian kata seorang pejabat Bank Dunia. Sebagaimana dapat diikuti dalam cerita-cerita tentang Indonesia di masa lalu, Indonesia adalah kawasan yang paling menggoda bagi para petualang dan pencari kekayaan. Mereka menganggap Indonesia sebagai “hadiah terbesar” bagi penjajah di dunia. Presiden Amerika Richard Nixon pada tahun 1967 mengatakan bahwa Indonesia adalah “hadiah terbesar” di wilayah Asia Tenggara.

Pada awal tahun 1960-an, Amerika merasa kehilangan kekayaan yang tak ternilai karena pada waktu itu Indonesia berada di bawah kekuasaan seorang nasionalis progressif, yaitu Soekarno, yang dicap Amerika sebagai berorientasi Peking dan didukung oleh Partai Komunis Indonesia dengan 3.000.000 lebih massa anggotanya yang siap-siap menunggu kesempatan berkuasa.

Pada bulan Oktober 1965 terjadilah kudeta yang dilakukan seorang kolonel. Pada saat itu beberapa jenderal Indonesia segera bertindak menggagalkan kudeta tersebut, dan secara bersamaan membuka pintu bagi perusahaan-perusahaan Amerika untuk mengeruk kekayaan alam Indonesia yang luar biasa besarnya dengan melumpuhkan kekuasaan kepala negara pada saat itu, yaitu Presiden Soekarno.

Para penguasa militer pada saat itu juga membiarkan terjadinya pembunuhan massal yang terbesar dalam sejarah modern negeri ini, di mana kurang lebih antara 500.000 hingga 1.000.000 orang yang dianggap komunis atau anggota Partai Komunis Indonesia yang tidak bersenjata, juga petani-petani yang dianggap simpatisan PKI, dibunuh secara keji oleh militer Indonesia. Setelah pembantaian tersebut, lenyaplah semangat nasionalisme yang berkobar-kobar sebelumnya, yang telah dikobarkan selama sepuluh tahun sebelumnya.

Dengan jatuhnya Soekarno yang memiliki nasionalisme tinggi itu, pemerintah baru (Orde Baru Soeharto) berkesempatan membuka lebar-lebar kekayaan alam Indonesia yang luas dan besar itu bagi perusahaan-perusahaan Amerika. Untuk memuluskan masuknya perusahaan-perusahaan Amerika tersebut, dibentuk “tim istimewa” dalam pemerintahan Indonesia yang terdiri dari menteri-menteri yang menguasai bidang perekonomian, yang oleh orang-orang Indonesia sendiri dikenal sebagai para “Mafia Berkeley”.

Para ahli dan sarjana lulusan Universitas California, yang kelak dikenal sebagai Mafia Berkeley itu, berfungsi sebagai kelompok yang duduk di dewan penguasa (Orde Baru Soeharto). Orang-orang inilah (yang sadar atau tanpa sadar menjadi Kuda Troya bagi kepentingan ekonomi dan politik Amerika) yang kemudian membentuk politik nasional baru Indonesia di masa rezim Orde Baru Soeharto.

Pertanyaannya adalah: mengapa hal yang demikian bisa terjadi? Untuk memahami masalah ini secara baik, kita harus menoleh ke jaman kekuasaan Soekarno kala itu dan apa yang berlangsung di dalamnya –tetapi tidak tampak dari luar. Di balik kekuasaan Soekarno yang menonjol kala itu, di dalamnya sesungguhnya berlangsung suatu perang intrik intelektual internasional, suatu rencana perebutan kekuasaan terselubung, yang bahkan barangkali melampaui khayalan Cecil Rhodes, bersembunyi di balik proyek kemanusiaan dan universitas. Mereka ini terdiri dari para jenderal, mahasiswa, dosen, dekan, dan tentu saja, politisi.

Begitu Jepang keok dalam perang dunia kedua, terjadilah gerakan-gerakan revolusioner di Asia, dari India di Barat hingga Korea di Timur, serta dari Cina di Utara sampai Filipina di Selatan. Gerakan-gerakan tersebut merupakan ancaman bagi rencana Amerika untuk membentuk Pan-Pasifik. Indonesia, meskipun sebelumnya dengan gigih berperang melawan Belanda, tetapi kemerdekaannya tidak diperoleh melalui perjuangan besar seluruh rakyat, melainkan melalui kesepakatan para pemimpinnya.

Saat itu, para pemimpin yang dekat dengan Barat “mengatur” kemerdekaan Indonesia di gedung-gedung mewah di Washington dan New York. Di antara orang-orang Indonesia yang menjalankan manuver-manuver diplomatik pada saat itu adalah: [1] Soedjatmoko yang akrab dipanggil Koko, dan [2] Soemitro Djojohadikusumo, seorang doktor ekonomi dan diplomat (kesayangan Amerika).

Dua orang tersebut adalah anggota Partai Sosialis Indonesia (PSI), sebuah partai kecil yang berorientasi ke Barat (Amerika), di antara sekian banyak partai di Indonesia. Di New York, dua orang ini namanya dibesarkan oleh suatu elit yang berhubungan erat dengan yang biasa dikenal sebagai “Vietnam Lobby”, yang tidak lama kemudian menempatkan Ngo Dinh Diem sebagai kepala negara Vietnam yang sesuai dengan selera politik Amerika. Golongan elit itu, yang di dalamnya juga termasuk Norman Thomas, terdiri dari anggota-anggota komite kemerdekaan untuk Vietnam dan Liga India. Mereka adalah pelopor kaum SOSKA (Sosialis Kanan).

“Kita harus berusaha, agar usaha-usaha dan kegiatan Amerika untuk membentuk pemerintahan non-komunis di Asia setelah perang dunia kedua jangan sampai ketahuan”, demikian ditegaskan Robert Delson, salah-seorang anggota Liga yang menjadi pengacara di Park Avenue, dan menjadi penasehat hukum bagi Indonesia di Amerika.

Robert Delson selalu menemani dan membawa Soemitro Djojohadikusumo dan Soedjatmoko dari kota yang satu ke kota yang lainnya, dan memperkenalkannya kepada kolega-koleganya di American for Democratic Action (ADA) –sebuah institusi kumpulan orang-orang Amerika untuk Aksi-aksi Demokratis, dan pemimpin-pemimpin tinggi buruh yang anti-komunis.

Mereka juga bergerak di kalangan anggota-anggota dari Lembaga Urusan Luar Negeri, Council of Foreign Relations atau CFR (suatu badan yang dibiayai yayasan), yaitu suatu badan yang sangat berpengaruh dalam merumuskan politik Amerika

Karena tidak suka kepada Soekarno (yang visi nasionalisnya merugikan Amerika) dan kuatnya golongan kiri dari para pejuang kemerdekaan Indonesia, para elit Amerika melihat “nasionalisme” ala Soedjatmoko dan Soemitro Djojohadikusumo merupakan alternatif yang paling cocok bagi (kepentingan) Amerika. Kala itu, menurut Soedjatmoko yang bicara di hadapan para elit Amerika di New York, strategi Marshall Plan di Eropa sangat bergantung pada ketersediaan “sumber-sumber daya di Asia”, dan ia (Soedjatmoko) menawarkan kerjasama yang menguntungkan dengan Amerika.

Sementara itu, di awal tahun 1949 yang bertempat di sekolah untuk kajian internasional terkini (School of Advanced International Studies) yang dibiayai oleh Ford Foundation, Soemitro Djojohadikusumo menyatakan bahwa sosialisme yang diyakininya termasuk “akses seluas-luasnya” bagi Amerika ke berbagai sumber daya alam Indonesia dan insentif yang cukup bagi perusahaan-perusahaan asing (utamanya perusahaan-perusahaan Amerika).

Sedangkan dalam pembicaraan-pembicaraan di dewan urusan hubungan luar negeri, kedua orang Indonesia (yang menjual bangsanya) itu menunjukkan minatnya yang sungguh-sungguh untuk memodernisasi Indonesia (sesuai kehendak Amerika), dan bukan untuk merevolusionerkannya (sebagaimana yang diperjuangan Soekarno).

Setelah pengakuan kedaulatan tahun 1949, Soemitro Djojohadikusumo kembali ke Jakarta dan diangkat menjadi Menteri Perdagangan dan Industri dalam suatu pemerintahan koalisi (dan Menteri Keuangan dalam beberapa kabinet berikutnya serta Dekan Fakultas Ekonomi). Sebagai menteri, Soemitro Djojohadikusumo kala itu berenang melawan arus. Sebab saat itu, PNI-nya Soekarno, NU, PKI, kecuali PSI dan Masyumi, sedang bergelora semangat nasionalismenya setelah perang.

Hasilnya, pada Pemilihan Umum 1955 –pemilihan umum yang pertama dan terakhir di Indonesia di era Orde Lama itu, PSI hanya meraup suara yang sangat sedikit dan hanya menduduki tempat kelima. Bahkan lebih tragis lagi, PSI kalah telak dalam pemilihan lokal untuk melilih anggota-anggota DPRD, di mana yang meraih suara tertinggi dan terkuat adalah PKI.

Soemitro Djojohadikusumo pun menentang upaya nasionalisasi perusahaan-perusahaan dan aset-aset milik Belanda yang dilakukan Soekarno pada tahun 1957, di mana ia bersama para pemimpin Partai Masyumi serta sejumlah komandan tentara melakukan pemberontakan di luar Jawa. Pemberontakan ini didukung oleh CIA, namun tak sanggup bertahan lama dan gagal total. Karena kegagalan pemberontakan di Sumatra dan Sulawesi (PRRI/PERMESTA) ini, Soemitro Djojohadikusumo mengasingkan diri ke luar negeri dan menjadi konsultan usaha dan pemerintah di Singapura. Sementara itu, oleh Bung Karno, setelah tahu bahwa pemberontakan itu ditukangi PSI dan Masyumi bersama CIA, Masyumi dan PSI dinyatakan sebagai partai terlarang (pengkhianat).

Kelompok-kelompok di Indonesia yang menjadi sekutu (jongos) Amerika ini telah mengadakan persekongkolan dengan kekuatan imperialis (Amerika) untuk menggulingkan pemerintahan nasionalis populer hasil pemilihan rakyat, yang dipimpin oleh seorang yang dianggap sebagai George Washington-nya Indonesia, yaitu Soekarno, dan mereka kalah. Reputasi mereka hancur, sehingga hanya keajaiban saja yang bisa membawa mereka kembali.

Dan memang, keajaiban itu terjadi 10 tahun kemudian, bukan dengan manuver diplomatik, peran partai politik atau invasi militer Amerika. Sebab cara-cara itu sudah terbukti gagal di Indonesia (ketika menghadapi kelihaian Soekarno kala itu). Keajaiban itu datang melalui dunia pendidikan, dengan bantuan kebaikan para filantropis (untuk mengkader mereka yang kelak akan menjadi kaki tangan kepentingan Amerika) melalui pendidikan dan indoktrinasi ideologi ekonomi-politik. Di situlah Ford Foundation bersama dengan Soemitro Djojohadikusumo bekerja-keras menjalankan misinya.