Judul
Buku: Jalan Paradoks (Visi Baru Fritjof Capra tentang Kearifan dan Kehidupan
Modern). Penyunting: Budhy Munawar Rachman dan Eko Wijayanto. Penerbit: Teraju
Mizan, 2004. Tebal: 219 + indeks
Dunia yang dihuni manusia seolah terasa makin tak ramah. Gejolak krisis multidimensi sedang melanda dunia. Hal ini memaksa manusia untuk kembali berefleksi di ruang hening. Beragam krisis dari ekonomi, ekologi, politik, pendidikan, kesehatan, ancaman peperangan, dan terorisme, serta lainnya memunculkan pertanyaan mendasar: “why” (kenapa) dan ada apa dengan dunia yang kita diami?
Peradaban modern yang syarat dengan ketidakseimbangan menjadi tersangka utama dalam krisis ini. Hal ini diketahui dari pemujaan pada berhala-berhala materialisme dan rasionalisme yang kian menguat. Kapitalisme ekonomi dan borjuasi sosial menjadi anasir lain dari modernitas, demikian kutip Slamet Sutrisno, dosen Filsafat UGM dalam buku yang disunting Budhy Munawar Rachman. Memang agak abstrak tapi demikian Fritjof Capra menilai. Fritjof Capra adalah seorang fisikawan yang dikenal lewat bukunya Titik Balik Peradaban dan The Tao of Physics.
Munculnya
beragam krisis menurut Capra berasal dari krisis penafsiran atau pemahaman itu
sendiri. Di sini termasuk masalah fanatisme dan pola berpikir parsial yang
menghegemoni pengetahuan manusia. Dalam buku ini mencoba menjawab apakah
“dunia” yang kita diami tersusun atas asas pertentangan? Bisakah hal-hal yang
bersifat paradoks tersatukan dan saling melengkapi? Tentu tak mudah memecahkan
atau menjawabnya. Dalam model filsafat Barat memadukan suatu hal yang
bertentangan adalah sulit, karena mengandung paradoks-paradoks.
Fritjof
Capra berhasil memosisikan masalah yang paradoks (bertentangan atau berlawanan)
dalam tempat yang berimbang. Hal inilah yang menarik kesembilan penulis dari
kalangan akademisi untuk mengepak gagasan Fritjof Capra tentang pencarian
pandangan baru soal kearifan dan kehidupan modern. Mereka antara lain: Agus
Purwandianto, Gadis Arivia, Jusuf Sutanto, L. Wilardjo, Mulyadhi Kartanegara,
P. Wiryono P, Paul Suparno, Slamet Sutrisno, dan Subur Wardoyo.
Kegagalan
proyek modernisasi dalam bahasa Gadis Arivia, yang senada dengan delapan
penulis lainnya, menjadi titik awal diskusi dalam buku ini. Dalam bahasa
berbeda mereka mengapresiasi, mengritik, menolak, saling melengkapi atau bahkan
mengamini . Mereka menengok kembali ide Capra dalam memandang dunia untuk lebih
arif dan holistik. Yakni tentang filsafat dunia Timur yang telah lama dianggap
tertinggal,irrasional, intuitif atau hanya ilusi saja.
Gagasan
pertama Capra tentang adanya pergeseran paradigma dari pemikiran yang didasari
fisika klasik Newton ke arah pemikiran fisika kuantum (hlm 8). Dasar fisika
klasik adalah menganggap segala hal dapat dideterminasi, logis, mekanis,dan
terukur. Sementara dalam fisika kuantum yang terdapat unsur ketidakpastian,
ketidaktepatan, probalilitas, dan indeterministik.
Capra
melihat dasar fisika kuantum ini memiliki kesamaan dengan Mistis Timur seperti
Taoisme dan Budhisme. Taoisme yang menganut hukum keseimbangan gerakan semesta.
Perpaduan yang menarik ini dalam Taoisme disebut Yin Yang. Analisa Yin-Yang
menurut Capra sangat berguna untuk mencari keseimbangan kultural dengan memakai
pandangan ekologi yang kuat (hlm 33). Konsep ecoliteracy atau kesadaran dan
kemelekan pada masa depan planet bumi menjadi gagasan lain yang dicatat P.
Wiryono P. Diharapkan dari prinsip-prinsip ekologis dipakai sebagai sistem dan
jaringan untuk menyimak kehidupan bumi (bukan lagi secara mekanis) menjadi
lebih baik. Dan Nature of Wisdom atau kebijaksanaan alam pun menjadi esensi
dari ecoliteracy.
Kumpulan
artikel dalam buku ini menarik gagasan Capra ke dalam berbagai permasalahan
seperti kesadaran ekologi, feminisme, kesehatan, atau menyandingkan ke dalam
Kawruh Jawa, serta sekadar pembacaan terhadap wacana fisika kuantum dan mistis
Timur.
Berbeda
dengan penulis lainnya Jusuf Sutanto lebih menyukai gaya pendekatan
mengumpulkan puisi dan cerita-cerita kuno tentang kearifan. Misalnya puisi yang
diambil dari penggalan Kitab I Ching, Dhammapada, atau Cheng Yen tentang
pesan-pesan penting dalam menapaki kehidupan di planet bumi.
Mungkin
bagi dunia Timur gagasan Fritjof Capra terlalu biasa atau bahkan usang. Namun
kearifan untuk menyandingkan sebuah gagasan Barat dengan Timur lebih berkesan
kuat sehingga dunia yang paradoks ini bisa dipandang lebih bijak dan utuh.
Dalam
buku yang kaya referensi dan padat ini tak dijelaskan tentang siapakah Fritjof
Capra secara khusus. Pembaca seolah dianggap telah mengenal siapakah Fritjof
Capra. Demikian kekurangan dari buku kecil ini. Terlepas dari hal itu, pesan
yang dibawa dalam buku ini adalah menemukan kembali cara pandang akan manusia
dan alam secara utuh. Dan nilai-nilai mistisisme Timur telah memberikan
kontribusi bagi fisika baru pada khususnya dan diharapkan bagi peradaban masa
mendatang.
Adi Baskoro
Adi Baskoro
Tidak ada komentar:
Posting Komentar