Satu
ajaran moral yang bisa dipetik dari Perang Lebanon I dan masih relevan hingga
kapanpun, yaitu semua orang bodoh bisa memulai perang dan hanya orang yang
bijaksana-lah yang bisa mencegahnya. Suriah dan Lebanon, setidak-tidaknya sejak
berdirinya Israel, dan konflik yang timbul bersamaan dengan kehadiran Israel
tersebut, merupakan medan dan jazirah yang selalu mengundang perhatian para
pengamat politik, jurnalis, tak ketinggalan akademisi. Sebutlah semisal Thomas
L. Friedman, penulis buku terkenal yang berjudul From Beirut to Jerusalem itu.
Oleh
Cahyono Adi (Jurnalis Lepas)
Dan,
Juni tiga puluh satu tahun yang lalu, tentara Israel menerobos perbatasan Lebanon
dan memulai apa yang kemudian dikenal sebagai Perang Lebanon I, untuk
membedakannya dengan Perang Lebanon II tahun 2006 saat Israel babak belur
“dihajar” gerilyawan Hizbullah. Ini adalah perang paling pahit dan lama bagi
Israel. Berlangsung hingga 18 tahun saat Israel dipaksa meninggalkan kawasan
Lebanon Selatan setelah, lagi-lagi, babak belur “dihajar” Hizbullah tahun 2000,
ketika Israel harus kehilangan 1.500 prajurit terbaiknya di samping ribuan
warga Lebanon dan Palestina.
Hampir
seluruh peperangan didasari oleh kebohongan hingga kebohongan dianggap sebagai
bagian yang sah dalam suatu peperangan. Dan Perang Lebanon I adalah contoh
paling brilian tentang kebohongan dalam peperangan.
Kebohongan
sudah diawali dari nama resmi operasi militer Israel yang menjadi pemicu
peperangan, “Operasi Perdamaian Gelilea”. Jika kita tanyakan pada Israel
tentang perang tersebut, mereka akan menjawab: “Kita tidak punya pilihan.
Mereka meluncurkan roket katyusha ke Galilea dari Lebanon setiap hari. Kita
harus menghentikan mereka.” Benarkah demikian? Ternyata tidak!
Fakta
yang paling sederhana menunjukkan bahwa hingga 11 bulan sebelum perang, tidak
ada 1 tembakan pun dilancarkan dari Lebanon ke Israel. Suatu gencatan senjata
tengah berlangsung dan Yasser Arafat, pemimpin Palestina kala itu, sukses
mengimplementasikan gencatan senjata itu di antara semua faksi perjuangan
Palestina, termasuk faksi paling radikal-nya.
Pada
akhir Mei tahun 1982 menhan Ariel Sharon bertemu menlu Amerika Alexander Haig
di Washington DC. Kala itu Sharon meminta dukungan Amerika atas rencananya
menyerang Lebanon. Haig menolak rencana tersebut kecuali terjadi provokasi
nyata terhadap Israel.
Maka
provokasi langsung dirancang dan dilaksanakan. Abu Nidal, saingan kotor Yasser
Arafat yang dikenal sebagai gembong teroris, mengirimkan keponakannya sendiri
untuk membunuh dubes Israel di London. Sang dubes selamat dari pembunuhan namun
mengalami luka-luka cukup parah. Sebagai reaksinya Israel membom Beirut yang
dibalas Palestina dengan tembakan roket dan altileri sebagaimana diharapkan.
Maka PM Menachem Begin mengijinkan Sharon menginvasi Lebanon sejauh 40 km demi
menjauhkan Galilea dari jangkauan roket.
Ketika
seorang pejabat inteligen mengatakan kepada Begin dalam suatu rapat kabinet,
bahwa Abu Nidal bukan anggota PLO pimpinan Arafat, Begin menjawab, “Mereka
semua PLO!”. Tetapi faktanya adalah Nidal tidak lain adalah binaan Mossad,
lembaga intelijen Israel.
Kebohongan
yang dilancarkan setiap hari oleh Israel terkait perang sedemikian massif dan
mendalam terbenam dalam pikiran orang terutama rakyat Israel. Ini adalah contoh
bagaimana sebuah mitos bisa merasuk kuat dalam pikiran masyarakat dan dipandang
sebagai suatu realita, termasuk bagi mereka yang melihat dengan mata kepala
sendiri tentang realita yang berbeda. Sembilan bulan sebelum perang Ariel
Sharon mengatakan kepada penulis biografinya, Uri Avnery, tentang
pandangan-pandangannya pada “perdamaian” Timur Tengah. Menurut Uri, Sharon
adalah perpaduan antara “pikiran kotor” yang didasari pada pengetahuan rendah
tentang sejarah bangsa-bangsa serta obsesi mewujudkan sebuah “grand design”. Ia
memandang rendah semua orang, termasuk PM Isreal kala itu, Menachen Begin.
Grand
Design Sharon sebagaimana tertulis dalam biografinya yang terbit sebelum
perang, adalah:
[1]
Menyerang Lebanon dan mendudukkan pemimpin boneka diktator Kristen yang bekerja
untuk kepentingan Israel.
[2]
Mengusir Syria dari Lebanon.
[3] Mengusir Palestina dari Lebanon masuk ke Syria dimana di sana mereka akan diusir Syria ke Jordania.
[4] Mendorong Palestina memberontak terhadap Raja Jordania dan membentuk pemerintahan Palestina di Jordania.
[5] Membuat perjanjian damai dengan negara Palestina yang mengatur kekuasaan bersama atas Tepi Barat.
[3] Mengusir Palestina dari Lebanon masuk ke Syria dimana di sana mereka akan diusir Syria ke Jordania.
[4] Mendorong Palestina memberontak terhadap Raja Jordania dan membentuk pemerintahan Palestina di Jordania.
[5] Membuat perjanjian damai dengan negara Palestina yang mengatur kekuasaan bersama atas Tepi Barat.
Dengan
obsesinya itu Sharon meyakinkan Begin untuk memulai perang dengan janji hanya
akan mengusir Palestina sejauh 40 km dari perbatasan. Namun yang terjadi
kemudian adalah petualangan perang kotor yang dikutuk orang sepanjang sejarah.
Setelah membunuhi ribuan warga sipil Lebanon, Sharon mengangkat diktator
Kristen Bashir Gemayel sebagai presiden yang bekerja untuk kepentingan Israel.
Kemudian ia mengkomandoi pembantaian Sabra dan Shatilla oleh milisi Gemayel
terhadap pengungsi Palestina dengan tujuan membuat ketakutan orang-orang
Palestina dan mengungsi ke Syria.
Namun
hasil dari perang yang dilakukannya bertolak belakang dengan keinginannya itu.
Bashir dibunuh oleh agen-agen Syria dan digantikan oleh saudaranya, Amien
Gemayel yang “lemah”. Syria memperkuat kedudukannya di Lebanon, dan pembantaian
Sabra dan Shatilla tidak membuat ketakutan orang-orang Palestina. Jordania
tidak pernah menjadi negara Palestina. PLO memang terusir dari Lebanon dan
mengungsi ke Tunisia, namun secara politis mereka berhasil menjadi satu-satunya
perwakilan Palestina dan kemudian kembali ke Palestina.
Secara
politik dan militer Israel tidak mendapatkan kemenangan perang. Israel terdepak
dari Lebanon tahun 2000 dan dipukul mundur oleh Hizbullah tahun 2006. Dalam
perang itu tidak ada 1 unit militer Israel pun yang berhasil mencapai
targetnya, atau setidaknya sesuai dengan waktu yang ditargetkan. Perlawanan
hebat Palestina di Sidon berhasil menahan pasukan Israel dan sampai gencatan
senjata terjadi Beirut berada di luar jangkauan Israel. Sharon kemudian dengan
licik melanggar gencatan senjata ketika musuh tidak menyangka hal itu
dilakukan, kemudian mengepung Beirut dan masuk ke wilayah Timur Beirut, bagian
yang dihuni oleh mayoritas warga Kristen.
Berbeda
dengan janjinya kepada Begin untuk tidak “menyentuh” Syria, Sharon menyerang
posisi-posisi pasukan Syria dan berusaha memutus jalur suplai Beirut-Damaskus.
Namun militer Israel gagal mencapai sasarannya, bahkan dipukul mundur oleh
Syria di daerah Sultan Yacoub. Satu aspek lain kekalahan Israel adalah terkait
dengan keberadaan warga Syiah di Selatan Lebanon yang berbatasan dengan Israel.
Dari tahun 1948 hingga 1970-an perbatasan Lebanon adalah daerah yang tenang di
antara semua daerah perbatasan Israel. Orang-orang tanpa sengaja melintas
perbatasan dan dikembalikan tanpa insiden. Bisa dikatakan Lebanon adalah negara
Arab pertama yang siap untuk berdamai dengan Israel.
Kala
itu, orang-orang Syiah adalah warga negara kelas 2 di Lebanon, yang lemah
secara politik dan miskin secara ekonomi. Apalagi kala itu, ketika wilayah
mereka diduduki oleh orang-orang Palestina yang terusir dari Jordania.
Perbedaan mazhab serta tingkah orang-orang Palestina yang kurang simpatik
membuat mereka tidak terlalu peduli ketika Israel menerobos perbatasan untuk
mengusir Palestina. Namun tidak terlalu lama bagi mereka untuk memahami watak
jahat orang-orang Israel, maka mereka pun memberontak dan membentuk
satuan-satuan milisi: Amal dan Hizbullah.
Syiah
Lebanon pun lambat laun tapi pasti berubah dari seekor tikus menjadi singa,
tanpa terduga. Tidak siap dengan perang gerilya yang dilancarkan mereka, Israel
pun hengkang dari Beirut dan sebagian besar Lebanon Selatan. Tidak hanya itu,
Israel bahkan dipaksa meninggalkan seluruh Lebanon Selatan tahun 2000.
Orang-orang Syiah moderat Lebanon itu memang telah berubah menjadi “radikal
progresif”, menjelma menjadi Hizbullah yang disokong Iran, yang kemudian
menjadi kelompok militer dan politik paling kuat di Lebanon. Untuk menghambat
perkembangan mereka, Israel membunuh pemimpinnya, Abbas al-Musawi. Namun
penggantinya, Sayid Hassan Nasrallah, ternyata lebih tangguh dan cerdas hingga
berhasil menghajar Israel dalam Perang Lebanon II thn 2006.
Sementara
itu, kembaran Sharon di Washington, George W. Bush yang sama-sama bodohnya,
menghancurkan pemimpin Irak, Saddam Hussein, yang merupakan saingan Iran, yang
juga dikenal sebagai figur sekuler yang keji dan banyak membunuh warga Syiah
serta para ulama Syiah. Hancurnya Saddam Hussein hanya menjadikan Irak menjadi
lebih dekat dengan Iran, negara yang sama-sama berpenduduk mayoritas Syiah.
Maka kini yang ada adalah sebuah aliansi kuat: Syiah Iran, Syiah Irak (PM
Maliki dan Muqtada al Sadr), Syiah Lebanon (Amal dan Hizbullah) serta pemimpin
Alawit di Syria, Bashar al Assad, menjadi penghalang besar bagi dominasi Israel
di Timur Tengah.
Maka
jika saja, saat sebelum meninggalnya, Sharon sadar dari koma-nya yang telah
berlangsung 6 tahun, dan melihat realita yang terjadi di Timur Tengah, ia
mungkin akan langsung meninggal dan meninggalkan penderitaannya selama 6 tahun.
Penderitaan
Sharon, yang selama 6 tahun jiwanya melayang-layang antara alam dunia dan alam
akhirat karena pintu neraka terlalu sempit untuknya, lebih hebat dari Begin.
Terkejut dengan ulah Sharon dalam pembantaian ribuan warga Palestina di Sabra
dan Shatilla yang mengundang kecaman internasional terhadap Israel, Begin
mundur dari dunia politik dan meninggal dalam keadaan depresi sepanjang 10
tahun. Satu ajaran moral yang bisa dipetik dari Perang Lebanon I dan masih
relevan hingga kapanpun, yaitu semua orang bodoh bisa memulai perang dan hanya
orang yang bijaksana-lah yang bisa mencegahnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar