Kamis, 29 Mei 2014

Saat Syi'ah Islam Mengalahkan Israel Tahun 2006




Satu ajaran moral yang bisa dipetik dari Perang Lebanon I dan masih relevan hingga kapanpun, yaitu semua orang bodoh bisa memulai perang dan hanya orang yang bijaksana-lah yang bisa mencegahnya. Suriah dan Lebanon, setidak-tidaknya sejak berdirinya Israel, dan konflik yang timbul bersamaan dengan kehadiran Israel tersebut, merupakan medan dan jazirah yang selalu mengundang perhatian para pengamat politik, jurnalis, tak ketinggalan akademisi. Sebutlah semisal Thomas L. Friedman, penulis buku terkenal yang berjudul From Beirut to Jerusalem itu.

Oleh Cahyono Adi (Jurnalis Lepas)

Dan, Juni tiga puluh satu tahun yang lalu, tentara Israel menerobos perbatasan Lebanon dan memulai apa yang kemudian dikenal sebagai Perang Lebanon I, untuk membedakannya dengan Perang Lebanon II tahun 2006 saat Israel babak belur “dihajar” gerilyawan Hizbullah. Ini adalah perang paling pahit dan lama bagi Israel. Berlangsung hingga 18 tahun saat Israel dipaksa meninggalkan kawasan Lebanon Selatan setelah, lagi-lagi, babak belur “dihajar” Hizbullah tahun 2000, ketika Israel harus kehilangan 1.500 prajurit terbaiknya di samping ribuan warga Lebanon dan Palestina.

Hampir seluruh peperangan didasari oleh kebohongan hingga kebohongan dianggap sebagai bagian yang sah dalam suatu peperangan. Dan Perang Lebanon I adalah contoh paling brilian tentang kebohongan dalam peperangan.

Kebohongan sudah diawali dari nama resmi operasi militer Israel yang menjadi pemicu peperangan, “Operasi Perdamaian Gelilea”. Jika kita tanyakan pada Israel tentang perang tersebut, mereka akan menjawab: “Kita tidak punya pilihan. Mereka meluncurkan roket katyusha ke Galilea dari Lebanon setiap hari. Kita harus menghentikan mereka.” Benarkah demikian? Ternyata tidak!

Fakta yang paling sederhana menunjukkan bahwa hingga 11 bulan sebelum perang, tidak ada 1 tembakan pun dilancarkan dari Lebanon ke Israel. Suatu gencatan senjata tengah berlangsung dan Yasser Arafat, pemimpin Palestina kala itu, sukses mengimplementasikan gencatan senjata itu di antara semua faksi perjuangan Palestina, termasuk faksi paling radikal-nya.

Pada akhir Mei tahun 1982 menhan Ariel Sharon bertemu menlu Amerika Alexander Haig di Washington DC. Kala itu Sharon meminta dukungan Amerika atas rencananya menyerang Lebanon. Haig menolak rencana tersebut kecuali terjadi provokasi nyata terhadap Israel.

Maka provokasi langsung dirancang dan dilaksanakan. Abu Nidal, saingan kotor Yasser Arafat yang dikenal sebagai gembong teroris, mengirimkan keponakannya sendiri untuk membunuh dubes Israel di London. Sang dubes selamat dari pembunuhan namun mengalami luka-luka cukup parah. Sebagai reaksinya Israel membom Beirut yang dibalas Palestina dengan tembakan roket dan altileri sebagaimana diharapkan. Maka PM Menachem Begin mengijinkan Sharon menginvasi Lebanon sejauh 40 km demi menjauhkan Galilea dari jangkauan roket.

Ketika seorang pejabat inteligen mengatakan kepada Begin dalam suatu rapat kabinet, bahwa Abu Nidal bukan anggota PLO pimpinan Arafat, Begin menjawab, “Mereka semua PLO!”. Tetapi faktanya adalah Nidal tidak lain adalah binaan Mossad, lembaga intelijen Israel.

Kebohongan yang dilancarkan setiap hari oleh Israel terkait perang sedemikian massif dan mendalam terbenam dalam pikiran orang terutama rakyat Israel. Ini adalah contoh bagaimana sebuah mitos bisa merasuk kuat dalam pikiran masyarakat dan dipandang sebagai suatu realita, termasuk bagi mereka yang melihat dengan mata kepala sendiri tentang realita yang berbeda. Sembilan bulan sebelum perang Ariel Sharon mengatakan kepada penulis biografinya, Uri Avnery, tentang pandangan-pandangannya pada “perdamaian” Timur Tengah. Menurut Uri, Sharon adalah perpaduan antara “pikiran kotor” yang didasari pada pengetahuan rendah tentang sejarah bangsa-bangsa serta obsesi mewujudkan sebuah “grand design”. Ia memandang rendah semua orang, termasuk PM Isreal kala itu, Menachen Begin.

Grand Design Sharon sebagaimana tertulis dalam biografinya yang terbit sebelum perang, adalah:

[1] Menyerang Lebanon dan mendudukkan pemimpin boneka diktator Kristen yang bekerja untuk kepentingan Israel.
[2] Mengusir Syria dari Lebanon.
[3] Mengusir Palestina dari Lebanon masuk ke Syria dimana di sana mereka akan diusir Syria ke Jordania.
[4] Mendorong Palestina memberontak terhadap Raja Jordania dan membentuk pemerintahan Palestina di Jordania.
[5] Membuat perjanjian damai dengan negara Palestina yang mengatur kekuasaan bersama atas Tepi Barat.

Dengan obsesinya itu Sharon meyakinkan Begin untuk memulai perang dengan janji hanya akan mengusir Palestina sejauh 40 km dari perbatasan. Namun yang terjadi kemudian adalah petualangan perang kotor yang dikutuk orang sepanjang sejarah. Setelah membunuhi ribuan warga sipil Lebanon, Sharon mengangkat diktator Kristen Bashir Gemayel sebagai presiden yang bekerja untuk kepentingan Israel. Kemudian ia mengkomandoi pembantaian Sabra dan Shatilla oleh milisi Gemayel terhadap pengungsi Palestina dengan tujuan membuat ketakutan orang-orang Palestina dan mengungsi ke Syria.

Namun hasil dari perang yang dilakukannya bertolak belakang dengan keinginannya itu. Bashir dibunuh oleh agen-agen Syria dan digantikan oleh saudaranya, Amien Gemayel yang “lemah”. Syria memperkuat kedudukannya di Lebanon, dan pembantaian Sabra dan Shatilla tidak membuat ketakutan orang-orang Palestina. Jordania tidak pernah menjadi negara Palestina. PLO memang terusir dari Lebanon dan mengungsi ke Tunisia, namun secara politis mereka berhasil menjadi satu-satunya perwakilan Palestina dan kemudian kembali ke Palestina.

Secara politik dan militer Israel tidak mendapatkan kemenangan perang. Israel terdepak dari Lebanon tahun 2000 dan dipukul mundur oleh Hizbullah tahun 2006. Dalam perang itu tidak ada 1 unit militer Israel pun yang berhasil mencapai targetnya, atau setidaknya sesuai dengan waktu yang ditargetkan. Perlawanan hebat Palestina di Sidon berhasil menahan pasukan Israel dan sampai gencatan senjata terjadi Beirut berada di luar jangkauan Israel. Sharon kemudian dengan licik melanggar gencatan senjata ketika musuh tidak menyangka hal itu dilakukan, kemudian mengepung Beirut dan masuk ke wilayah Timur Beirut, bagian yang dihuni oleh mayoritas warga Kristen.

Berbeda dengan janjinya kepada Begin untuk tidak “menyentuh” Syria, Sharon menyerang posisi-posisi pasukan Syria dan berusaha memutus jalur suplai Beirut-Damaskus. Namun militer Israel gagal mencapai sasarannya, bahkan dipukul mundur oleh Syria di daerah Sultan Yacoub. Satu aspek lain kekalahan Israel adalah terkait dengan keberadaan warga Syiah di Selatan Lebanon yang berbatasan dengan Israel. Dari tahun 1948 hingga 1970-an perbatasan Lebanon adalah daerah yang tenang di antara semua daerah perbatasan Israel. Orang-orang tanpa sengaja melintas perbatasan dan dikembalikan tanpa insiden. Bisa dikatakan Lebanon adalah negara Arab pertama yang siap untuk berdamai dengan Israel.

Kala itu, orang-orang Syiah adalah warga negara kelas 2 di Lebanon, yang lemah secara politik dan miskin secara ekonomi. Apalagi kala itu, ketika wilayah mereka diduduki oleh orang-orang Palestina yang terusir dari Jordania. Perbedaan mazhab serta tingkah orang-orang Palestina yang kurang simpatik membuat mereka tidak terlalu peduli ketika Israel menerobos perbatasan untuk mengusir Palestina. Namun tidak terlalu lama bagi mereka untuk memahami watak jahat orang-orang Israel, maka mereka pun memberontak dan membentuk satuan-satuan milisi: Amal dan Hizbullah.

Syiah Lebanon pun lambat laun tapi pasti berubah dari seekor tikus menjadi singa, tanpa terduga. Tidak siap dengan perang gerilya yang dilancarkan mereka, Israel pun hengkang dari Beirut dan sebagian besar Lebanon Selatan. Tidak hanya itu, Israel bahkan dipaksa meninggalkan seluruh Lebanon Selatan tahun 2000. Orang-orang Syiah moderat Lebanon itu memang telah berubah menjadi “radikal progresif”, menjelma menjadi Hizbullah yang disokong Iran, yang kemudian menjadi kelompok militer dan politik paling kuat di Lebanon. Untuk menghambat perkembangan mereka, Israel membunuh pemimpinnya, Abbas al-Musawi. Namun penggantinya, Sayid Hassan Nasrallah, ternyata lebih tangguh dan cerdas hingga berhasil menghajar Israel dalam Perang Lebanon II thn 2006.

Sementara itu, kembaran Sharon di Washington, George W. Bush yang sama-sama bodohnya, menghancurkan pemimpin Irak, Saddam Hussein, yang merupakan saingan Iran, yang juga dikenal sebagai figur sekuler yang keji dan banyak membunuh warga Syiah serta para ulama Syiah. Hancurnya Saddam Hussein hanya menjadikan Irak menjadi lebih dekat dengan Iran, negara yang sama-sama berpenduduk mayoritas Syiah. Maka kini yang ada adalah sebuah aliansi kuat: Syiah Iran, Syiah Irak (PM Maliki dan Muqtada al Sadr), Syiah Lebanon (Amal dan Hizbullah) serta pemimpin Alawit di Syria, Bashar al Assad, menjadi penghalang besar bagi dominasi Israel di Timur Tengah.

Maka jika saja, saat sebelum meninggalnya, Sharon sadar dari koma-nya yang telah berlangsung 6 tahun, dan melihat realita yang terjadi di Timur Tengah, ia mungkin akan langsung meninggal dan meninggalkan penderitaannya selama 6 tahun.

Penderitaan Sharon, yang selama 6 tahun jiwanya melayang-layang antara alam dunia dan alam akhirat karena pintu neraka terlalu sempit untuknya, lebih hebat dari Begin. Terkejut dengan ulah Sharon dalam pembantaian ribuan warga Palestina di Sabra dan Shatilla yang mengundang kecaman internasional terhadap Israel, Begin mundur dari dunia politik dan meninggal dalam keadaan depresi sepanjang 10 tahun. Satu ajaran moral yang bisa dipetik dari Perang Lebanon I dan masih relevan hingga kapanpun, yaitu semua orang bodoh bisa memulai perang dan hanya orang yang bijaksana-lah yang bisa mencegahnya. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar