Selasa, 31 Maret 2015

Lubang di Jantung Fisika




Oleh George Musser*

Fisikawan kelihatannya tak mampu memahami waktu—sungguh. Dapatkah filsuf menolong?

Bagi kebanyakan orang, misteri besar waktu adalah bahwa rasanya kita tak pernah mempunyai cukup waktu. Jika ini adalah suatu hiburan, fisikawan menghadapi persoalan yang sama. Hukum fisika memuat variabel waktu, tapi ia gagal menangkap aspek kunci waktu yang kita jalani—khususnya, perbedaan antara masa lalu dan masa depan. Dan selagi periset mencoba merumuskan hukum yang lebih fundamental, si t kecil menguap sama sekali. Terjebak situasi sulit, banyak fisikawan mencari pertolongan dari sumber yang tak familiar: filsuf.

Dari filsuf? Bagi kebanyakan fisikawan, itu terdengar agak aneh. Jalinan terdekat beberapa [ilmuwan] dengan filsafat adalah saat percakapan larut malam soal bir hitam. Bahkan mereka yang telah membaca filsafat secara serius pada umumnya menyangsikan kegunaannya; setelah berhalaman-halaman Kant, filsafat mulai terasa tak bisa dipahami dalam menyelidiki hal-hal yang tak dapat ditentukan. “Terus terang, saya pikir sebagian besar kolega saya takut berbincang dengan filsuf—seolah-olah tertangkap basah keluar dari sebuah bioskop porno,” kata fisikawan Max Tegmark dari Universitas Pennsylvania.

Tapi tidak selalu demikian. Filsuf memainkan peran krusial dalam revolusi sains di masa lalu, termasuk pengembangan mekanika quantum dan relativitas di awal abad 20. Hari ini sebuah revolusi baru sedang berlangsung, saat fisikawan berjuang menggabungkan kedua teori itu menjadi teori gravitasi quantum—sebuah teori yang akan merekonsiliasikan dua konsepsi ruang dan waktu yang berbeda jauh. Carlo Rovelli dari Universitas Aix-Marseille di Prancis, pemimpin dalam usaha ini, mengatakan, “Kontribusi filsuf terhadap pemahaman baru tentang ruang dan waktu dalam gravitasi quantum akan penting sekali.”

Dua contoh mengilustrasikan bagaimana fisikawan dan filsuf telah menyatukan sumber daya mereka. Contoh pertama menyangkut “persoalan waktu beku” (problem of frozen time), juga secara sederhana dikenal sebagai “persoalan waktu”. Ini timbul ketika para teoris mencoba mengubah teori relativitas umum Albert Einstein menjadi sebuah teori quantum dengan memakai prosedur yang disebut canonical quantization (quantisasi kanonikal). Prosedur tersebut bekerja secara brilian ketika diterapkan pada teori gaya elektromagnet, tapi dalam kasus relativitas, ia menghasilkan sebuah persamaan (persamaan Wheeler-DeWitten) tanpa variabel waktu. Dipikirkan secara harfiah, persamaan ini mengindikasikan bahwa alam semesta semestinya terbeku dalam waktu, tak pernah berubah.

Jangan Membuang-buang Waktu Lagi
Hasil tak menyenangkan ini bisa mencerminkan cacat dalam prosedur tersebut sendiri, tapi beberapa fisikawan dan filsuf berargumen bahwa itu memiliki akar yang lebih dalam, persis menuju salah satu prinsip dasar relativitas: kovariansi umum, yang berpegang bahwa hukum fisika adalah sama untuk semua pengamat. Fisikawan memikirkan prinsip ini dari segi geometri. Dua pengamat akan mempersepsikan ruang-waktu memiliki dua bentuk berbeda, sesuai dengan penglihatan mereka tentang siapa yang bergerak dan gaya apa yang beraksi. Setiap bentuk merupakan versi melengkung halus atas yang lain, sebagaimana cangkir kopi dianggap sebagai donat yang dibentuk ulang. Kovariansi umum menyatakan bahwa perbedaannya tidak berarti. Oleh karena itu, dua bentuk semacam itu adalah ekuivalen secara fisika.

Di akhir 1980-an, filsuf John Earman dan John D. Norton dari Universitas Pittsburgh berargumen bahwa kovariansi umum mempunyai implikasi mengejutkan terhadap pertanyaan metafisik lama: Apakah ruang dan waktu eksis secara terpisah dari bintang, galaksi, dan muatan lainnya (sebuah kedudukan yang dikenal sebagai substantivalism), ataukah ruang dan waktu hanya perangkat artifisial untuk menggambarkan bagaimana objek-objek fisik saling terhubung (relationism)? Sebagaimana ditulis Norton, “Apakah mereka seperti kanvas yang di atasnya seorang seniman melukis; mereka eksis tanpa menghiraukan apakah seniman melukis di atasnya atau tidak? Ataukah mereka sama dengan kedudukan orangtua; tidak ada kedudukan orangtua sampai ada orangtua dan anak.”

Dia dan Earman meninjau kembali eksperimen pikiran milik Einstein yang sudah lama diabaikan. Pikirkan tambalan hampa ruang-waktu. Di luar lubang ini, distribusi materi menentukan geometri ruang-waktu, menurut persamaan relativitas. Namun, di dalam, kovariansi umum memperkenankan ruang-waktu mengambil beraneka ragam bentuk. Sedikit banyak, ruang-waktu berperilaku seperti tenda kanvas. Tiang tenda, yang mewakili materi, memaksa kanvas mengambil bentuk tertentu. Tapi jika Anda menghilangkan satu tiang, menciptakan lubang yang ekuivalen, bagian tenda bisa merosot, menunduk, atau berkerut akibat angin tanpa bisa diprediksi.

Mengesampingkan perbedaan halus, eksperimen pikiran menimbulkan dilema. Jika continuum (rangkaian kesatuan) adalah sesuatu yang pada tempatnya (sebagaimana pendapat substantivalisme), maka relativitas umum harus indeterministis—yakni, uraiannya tentang dunia harus memuat elemen keacakan. Agar teori tersebut deterministis, ruang-waktu harus fiksi belaka (sebagaimana pendapat relasionisme). Sekilas, ini sepertinya kemenangan bagi relasionisme. Di samping itu, teori-teori lain, seperti gaya elektromagnet, didasarkan pada kesimetrian yang menyerupai relasionisme.

Tapi relasionisme punya masalahnya sendiri. Ia merupakan sumber pokok persoalan waktu beku: ruang bisa berubah dibanding waktu, tapi jika bentuknya yang banyak adalah ekuivalen semuanya, ia tak pernah sungguh-sungguh berubah. Selain itu, relasionisme berbenturan dengan fondasi substantivalis mekanika quantum. Jika ruangwaktu tak mempunyai pengertian pasti, bagaimana bisa Anda melakukan pengamatan di tempat dan momen tertentu, sebagaimana diwajibkan oleh mekanika quantum?

Resolusi berbeda atas dilema ini membawa pada teori-teori gravitasi quantum yang sangat berlainan. Beberapa fisikawan, seperti Rovelli dan Julian Barbour, mencoba pendekatan relasionis; mereka berpikir waktu tidak eksis dan mereka telah mencari cara untuk menjelaskan perubahan sebagai suatu ilusi. Yang lainnya, termasuk para teoris string, condong kepada substantivalisme.

“Ini adalah contoh bagus nilai filsafat fisika,” kata filsuf Craig Callender dari Universitas California, San Diego. “Bila fisikawan berpikir bahwa persoalan waktu dalam canonical quantum gravity (gravitasi quantum kanonikal) adalah persoalan quantum semata-mata, maka mereka melukai pemahaman mereka atas persoalan tersebut—sebab ini telah bersama kita jauh lebih lama dan lebih umum.”

Berjalan di Entropi
Contoh kedua kontribusi filsuf adalah berkenaan dengan anak panah waktu—keasimetrian masa lalu dan masa depan. Banyak orang berasumsi bahwa anak panah dijelaskan oleh hukum termodinamika kedua, yang menyatakan bahwa entropi, secara longgar didefinisikan sebagai jumlah ketidakteraturan dalam sebuah sistem, meningkat seiring waktu. Tapi tak ada seorang pun yang bisa betul-betul menerangkan hukum kedua tersebut.

Penjelasan paling utama, diajukan oleh fisikawan Austria abad 19, Ludwig Boltzmann, adalah probabilitas. Ide dasarnya adalah bahwa terdapat lebih banyak cara bagi sebuah sistem untuk tidak teratur daripada teratur. Jika saat ini sistem agak teratur, ia mungkin akan tidak teratur sesaat dari sekarang. Namun, pemikiran ini simetris dalam hal waktu. Sistem mungkin lebih tak teratur juga sesaat yang lalu. Sebagaimana diakui Boltzmann, satu-satunya cara untuk memastikan bahwa entropi akan meningkat di masa depan adalah jika ia berawal dengan harga yang rendah di masa lalu. Dengan demikian, hukum [termodinamika] kedua bukanlah kebenaran fundamental seperti kejadian sejarah, mungkin terkait dengan peristiwa-peristiwa di awal big bang.

Teori-teori lain untuk anak panah waktu sama tidak lengkapnya. Filsuf Huw Price dari Universitas Sydney berargumen bahwa hampir setiap upaya untuk menjelaskan keasimetrian waktu menderita argumentasi sirkuler, seperti semacam praduga tersembunyi atas keasimetrian waktu. Karyanya merupakan sebuah contoh bagaimana filsuf bisa bertindak, dalam kata-kata filsuf Richard Helaey dari Universitas Arizona, sebagai “suara hati intelektual para fisikawan”. Terlatih khusus dalam kekerasan logika, mereka adalah ahli dalam melacak bias-bias halus.

Hidup akan membosankan bila kita selalu mendengarkan suara hati kita, dan fisikawan telah sering melakukan yang terbaik ketika mengabaikan filsuf. Tapi dalam pertarungan abadi dengan lompatan logika kita sendiri, suara hati kadangkala harus kita pegang.

*George Musser adalah staf editor dan penulis di majalah Scientific American. (Sumber: Special Edition Scientific American – A Matter of Time, 2006, hal. 12-13).

Jumat, 20 Maret 2015

Isaac Newton 1642-1727





Oleh Michael H. Hart

Alam dan hukum alam tersembunyi di balik malam. Tuhan berkata, biarlah Newton ada! Dan semuanya akan terang benderang (ALEXANDER POPE)

Isaac Newton, ilmuwan paling besar dan paling berpengaruh yang pernah hidup di dunia, lahir di Woolsthrope, Inggris, tepat pada hari Natal tahun 1642, bertepatan tahun dengan wafatnya Galileo. Seperti halnya Nabi Muhammad, dia lahir sesudah ayahnya meninggal. Di masa bocah dia sudah menunjukkan kecakapan yang nyata di bidang mekanika dan teramat cekatan menggunakan tangannya. Meskipun anak dengan otak cemerlang, di sekolah tampaknya ogah-ogahan dan tidak banyak menarik perhatian. Tatkala menginjak akil baliq, ibunya mengeluarkannya dari sekolah dengan harapan anaknya bisa jadi petani yang baik. Untungnya sang ibu bisa dibujuk, bahwa bakat utamanya tidak terletak di situ. Pada umurnya delapan belas dia masuk Universitas Cambridge. Di sinilah Newton secara kilat menyerap apa yang kemudian terkenal dengan ilmu pengetahuan dan matematika dan dengan cepat pula mulai melakukan penyelidikan sendiri. Antara usia dua puluh satu dan dua puluh tujuh tahun dia sudah meletakkan dasar-dasar teori ilmu pengetahuan yang pada gilirannya kemudian mengubah dunia.

Pertengahan abad ke-17 adalah periode pembenihan ilmu pengetahuan. Penemuan teropong bintang dekat permulaan abad itu telah merombak seluruh pendapat mengenai ilmu perbintangan. Filosof Inggris Francis Bacon dan Filosof Perancis Rene Descartes kedua-duanya berseru kepada ilmuwan seluruh Eropa agar tidak lagi menyandarkan diri pada kekuasaan Aristoteles, melainkan melakukan percobaan dan penelitian atas dasar titik tolak dan keperluan sendiri. Apa yang dikemukakan oleh Bacon dan Descartes, sudah dipraktekkan oleh si hebat Galileo. Penggunaan teropong bintang, penemuan baru untuk penelitian astronomi oleh Newton telah merevolusionerkan penyelidikan bidang itu, dan yang dilakukannya di sektor mekanika telah menghasilkan apa yang kini terkenal dengan sebutan "Hukum gerak Newton" yang pertama.

Ilmuwan besar lain, seperti William Harvey, penemu ihwal peredaran darah dan Johannes Kepler penemu tata gerak planit-planit di seputar matahari, mempersembahkan informasi yang sangat mendasar bagi kalangan cendikiawan. Walau begitu, ilmu pengetahuan murni masih merupakan kegemaran para intelektual, dan masih belum dapat dibuktikan --apabila digunakan dalam teknologi-- bahwa ilmu pengetahuan dapat mengubah pola dasar kehidupan manusia sebagaimana diramalkan oleh Francis Bacon.

Walaupun Copernicus dan Galileo sudah menyepak ke pinggir beberapa anggapan ngelantur tentang pengetahuan purba dan telah menyuguhkan pengertian yang lebih genah mengenai alam semesta, namun tak ada satu pokok pikiran pun yang terumuskan dengan seksama yang mampu membelokkan tumpukan pengertian yang gurem dan tak berdasar seraya menyusunnya dalam suatu teori yang memungkinkan berkembangnya ramalan-ramalan yang lebih ilmiah. Tak lain dari Isaac Newton-lah orangnya yang sanggup menyuguhkan kumpulan teori yang terangkum rapi dan meletakkan batu pertama ilmu pengetahuan modern yang kini arusnya jadi anutan orang.

Newton sendiri agak ogah-ogahan menerbitkan dan mengumumkan penemuan-penemuannya. Gagasan dasar sudah disusunnya jauh sebelum tahun 1669 tetapi banyak teori-teorinya baru diketahui publik bertahun-tahun sesudahnya. Penerbitan pertama penemuannya adalah menyangkut penjungkir-balikan anggapan lama tentang hal-ihwal cahaya. Dalam serentetan percobaan yang seksama, Newton menemukan fakta bahwa apa yang lazim disebut orang "cahaya putih" sebenarnya tak lain dari campuran semua warna yang terkandung dalam pelangi. Dan ia pun dengan sangat hati-hati melakukan analisa tentang akibat-akibat hukum pemantulan dan pembiasan cahaya. Berpegang pada hukum ini dia --pada tahun 1668-- merancang dan sekaligus membangun teropong refleksi pertama, model teropong yang dipergunakan oleh sebagian terbesar penyelidik bintang-kemintang saat ini. Penemuan ini, berbarengan dengan hasil-hasil yang diperolehnya di bidang percobaan optik yang sudah diperagakannya, dipersembahkan olehnya kepada lembaga peneliti kerajaan Inggris tatkala ia berumur dua puluh sembilan tahun.

Keberhasilan Newton di bidang optik saja mungkin sudah memadai untuk mendudukkan Newton pada urutan daftar buku ini. Sementara itu masih ada penemuan-penemuan yang kurang penting di bidang matematika murni dan di bidang mekanika. Persembahan terbesarnya di bidang matematika adalah penemuannya tentang "kalkulus integral" yang mungkin dipecahkannya tatkala ia berumur dua puluh tiga atau dua puluh empat tahun. Penemuan ini merupakan hasil karya terpenting di bidang matematika modern. Bukan semata bagaikan benih yang daripadanya tumbuh teori matematika modern, tetapi juga perabot tak terelakkan yang tanpa penemuannya itu kemajuan pengetahuan modern yang datang menyusul merupakan hal yang mustahil. Biarpun Newton tidak berbuat sesuatu apapun lagi, penemuan "kalkulus integral"-nya saja sudah memadai untuk menuntunnya ke tangga tinggi dalam daftar urutan buku ini.

Tetapi penemuan-penemuan Newton yang terpenting adalah di bidang mekanika, pengetahuan sekitar bergeraknya sesuatu benda. Galileo merupakan penemu pertama hukum yang melukiskan gerak sesuatu obyek apabila tidak dipengaruhi oleh kekuatan luar. Tentu saja pada dasarnya semua obyek dipengaruhi oleh kekuatan luar dan persoalan yang paling penting dalam ihwal mekanik adalah bagaimana obyek bergerak dalam keadaan itu. Masalah ini dipecahkan oleh Newton dalam hukum geraknya yang kedua dan termasyhur dan dapat dianggap sebagai hukum fisika klasik yang paling utama. Hukum kedua (secara matcmatik dijabarkan dcngan persamaan F = m.a) menetapkan bahwa akselerasi obyek adalah sama dengan gaya netto dibagi massa benda. Terhadap kedua hukum itu Newton menambah hukum ketiganya yang masyhur tentang gerak (menegaskan bahwa pada tiap aksi, misalnya kekuatan fisik, terdapat reaksi yang sama dengan yang bertentangan) serta yang paling termasyhur penemuannya tentang kaidah ilmiah hukum gaya berat universal. Keempat perangkat hukum ini, jika digabungkan, akan membentuk suatu kesatuan sistem yang berlaku buat seluruh makro sistem mekanika, mulai dari pergoyangan pendulum hingga gerak planit-planit dalam orbitnya mengelilingi matahari yang dapat diawasi dan gerak-geriknya dapat diramalkan. Newton tidak cuma menetapkan hukum-hukum mekanika, tetapi dia sendiri juga menggunakan alat kalkulus matematik, dan menunjukkan bahwa rumus-rumus fundamental ini dapat dipergunakan bagi pemecahan problem.

Hukum Newton dapat dan sudah dipergunakan dalam skala luas bidang ilmiah serta bidang perancangan pelbagai peralatan teknis. Dalam masa hidupnya, pemraktekan yang paling dramatis adalah di bidang astronomi. Di sektor ini pun Newton berdiri paling depan. Tahun 1678 Newton menerbitkan buku karyanya yang masyhur Prinsip-prinsip matematika mengenai filsafat alamiah (biasanya diringkas Principia saja). Dalam buku itu Newton mengemukakan teorinya tentang hukum gaya berat dan tentang hukum gerak. Dia menunjukkan bagaimana hukum-hukum itu dapat dipergunakan untuk memperkirakan secara tepat gerakan-gerakan planit-planit seputar sang matahari. Persoalan utama gerak-gerik astronomi adalah bagaimana memperkirakan posisi yang tepat dan gerakan bintang-kemintang serta planit-planit, dengan demikian terpecahkan sepenuhnya oleh Newton hanya dengan sekali sambar. Atas karya-karyanya itu Newton sering dianggap seorang astronom terbesar dari semua yang terbesar.

Apa penilaian kita terhadap arti penting keilmiahan Newton? Apabila kita buka-buka indeks ensiklopedia ilmu pengetahuan, kita akan jumpai ihwal menyangkut Newton beserta hukum-hukum dan penemuan-penemuannya dua atau tiga kali lebih banyak jumlahnya dibanding ihwal ilmuwan yang manapun juga. Kata cendikiawan besar Leibniz yang sama sekali tidak dekat dengan Newton bahkan pernah terlibat dalam suatu pertengkaran sengit: "Dari semua hal yang menyangkut matematika dari mulai dunia berkembang hingga adanya Newton, orang itulah yang memberikan sumbangan terbaik." Juga pujian diberikan oleh sarjana besar Perancis, Laplace: "Buku Principia Newton berada jauh di atas semua produk manusia genius yang ada di dunia." Dan Langrange sering menyatakan bahwa Newton adalah genius terbesar yang pernah hidup.

Sedangkan Ernst Mach dalam tulisannya di tahun 1901 berkata, "Semua masalah matematika yang sudah terpecahkan sejak masa hidupnya merupakan dasar perkembangan mekanika berdasar atas hukum-hukum Newton." Ini mungkin merupakan penemuan besar Newton yang paling ruwet: dia menemukan wadah pemisahan antara fakta dan hukum, mampu melukiskan beberapa keajaiban namun tidak banyak menolong untuk melakukan dugaan-dugaan; dia mewariskan kepada kita rangkaian kesatuan hukum-hukum yang mampu dipergunakan buat permasalahan fisika dalam ruang lingkup rahasia yang teramat luas dan mengandung kemungkinan untuk melakukan dugaan-dugaan yang tepat.

Dalam uraian yang begini ringkas, adalah mustahil membeberkan secara terperinci penemuan-penemuan Newton. Akibatnya, banyak karya-karya yang agak kurang tenar terpaksa harus disisihkan biarpun punya makna penting di segi penemuan dalam bidang masalahnya sendiri. Newton juga memberi sumbangsih besar di bidang thermodinamika (penyelidikan tentang panas) dan di bidang akustik (ilmu tentang suara). Dan dia pulalah yang menyuguhkan penjelasan yang jernih bagai kristal prinsip-prinsip fisika tentang "pengawetan" jumlah gerak agar tidak terbuang serta "pengawetan" jumlah gerak sesuatu yang bersudut. Antrian penemuan ini kalau mau bisa diperpanjang lagi: Newtonlah orang yang menemukan dalil binomial dalam matematika yang amat logis dan dapat dipertanggungjawabkan. Mau tambah lagi? Dia juga, tak lain tak bukan, orang pertama yang mengutarakan secara meyakinkan ihwal asal mula bintang-bintang.

Nah, sekarang soalnya begini: taruhlah Newton itu ilmuwan yang paling jempol dari semua ilmuwan yang pernah hidup di bumi. Paling kemilau bagaikan batu zamrud di tengah tumpukan batu kali. Taruhlah begitu. Tetapi, bisa saja ada orang yang mempertanyakan alasan apa menempatkan Newton di atas pentolan politikus raksasa seperti Alexander Yang Agung atau George Wasington, serta disebut duluan ketimbang tokoh-tokoh agama besar seperti Nabi Isa atau Budha Gautama. Kenapa mesti begitu?

Pertimbangan saya begini. Memang betul perubahan-perubahan politik itu penting kalau tidak teramat penting. Walau begitu, bagaimanapun juga pada umumnya manusia sebagaian terbesar hidup nyaris tak banyak beda antara mereka di jaman lima ratus tahun sesudah Alexander wafat dengan mereka di jaman lima ratus sebelum Alexander muncul dari rahim ibunya. Dengan kata lain, cara manusia hidup di tahun 1500 sesudah Masehi boleh dibilang serupa dengan cara hidup buyut bin buyut bin buyut mereka di tahun 1500 sebelum Masehi. Sekarang, tengoklah dari sudut perkembangan ilmu pengetahuan. Dalam lima abad terakhir, berkat penemuan-penemuan ilmiah modern, cara hidup manusia sehari-hari sudah mengalami revolusi besar. Cara berbusana beda, cara makan beda, cara kerja dan ragamnya beda. Bahkan, cara hidup santai berleha-leha pun sama sekali tidak mirip dengan apa yang diperbuat orang jaman tahun 1500 sesudah Masehi. Penemuan ilmiah bukan saja sudah merevolusionerkan teknologi dan ekonomi, tetapi juga sudah mengubah total segi politik, pemikiran keagamaan, seni dan falsafah. Sangat langkalah aspek kehidupan manusia yang tetap "jongkok di tempat" tak beringsut sejengkal pun dengan adanya revolusi ilmiah. Alasan ini --sekali lagi alasan ini-- yang jadi sebab mengapa begitu banyak ilmuwan dan penemu gagasan baru tercantum di dalam daftar buku ini. Newton bukan semata yang paling cerdas otak diantara barisan cerdas otak, tetapi sekaligus dia tokoh yang paling berpengaruh di dalam perkembangan teori ilmu. Itu sebabnya dia peroleh kehormatan untuk didudukkan dalam urutan hampir teratas dari sekian banyak manusia yang paling berpengaruh dalam sejarah manusia. Newton menghembuskan nafas penghabisan tahun 1727, dikebumikan di Westminster Abbey, ilmuwan pertama yang memperoleh penghormatan macam itu.

Sumber: Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah (Urutan 2), Michael H. Hart, 1978, Terjemahan H. Mahbub Djunaidi, 1982, PT. Dunia Pustaka Jaya.

Kamis, 19 Maret 2015

Galeri Buku Sastra


Sajak-sajak yang termaktub dalam buku antologi puisi karya penyair Sulaiman Djaya ini menyuguhkan 69 sajak yang menampilkan dan menyuarakan ragam tema. Tampak juga sajak-sajak yang termuat dalam Mazmur Musim Sunyi ini tampil dalam aneka gaya dan bentuk puitika: mulai dari kwatrin hingga puisi prosaik, dari bentuk ode hingga balada, dan tak lupa juga sajak-sajak yang berbentuk atau bergaya meditatif kedalam, hening, dan berusaha menyelami realitas yang ingin “direnungi” dan ingin “dibaginya” dengan para pembaca, semisal sajak-sajak yang bernada sufistik dan sajak-sajak permenungan personal penyairnya.

Dan tak lupa juga, buku Mazmur Musim Sunyi ini pun memuat sejumlah sajak cinta romantis dan sajak cinta renyah yang terkesan rileks dan bercanda, selain tentu saja ada juga sajak-sajak yang bercerita tentang kenangan penyairnya, seperti sajak-sajak yang bertema dan berjudul tentang "Ibu". Untuk yang berminat membeli, bisa pesan ke: 0815-4614-7625. Harga Rp. 50.000 (Sudah termasuk ongkos kirim). 

Pendapat Para Penulis tentang Buku Mazmur Musim Sunyi

Keberhasilan Sulaiman Djaya adalah memainkan personifikasi dan hiperbola dalam setiap puisi-puisinya. Material dihidupkan oleh teknik seorang penyair, bukan alami. Ini salah satu gaya yang dimiliki oleh SD (Heri Maja Kelana, penulis dan pecinta sepeda).

Puisi-puisi penyair Sulaiman Djaya yang terkumpul dalam buku Mazmur Musim Sunyi ini menyiratkan keseimbangan kecerdasan pikiran dan tangan sebagai “sekembar” aktus intelegensia itu sendiri. Bagi penulis, gagasan itu di dalam tangan yang sekaligus bekerja kompak dengan intuisi dan pikirannya. Terlihat juga dalam beberapa sajaknya yang prosaik, selain sajak-sajaknya yang tertib laiknya puitika kwatrin itu, menampilkan diri dengan lincah sekaligus rileks (M. Taufan, penyair tinggal di Bekasi).

Di dalam bis, di Smoking Area saya buka buku Mazmur Musim Sunyi. Saya menemukan puisi berjudul "Monolog". Ada bagian menarik di puisi itu, seperti berikut: Saya tahu seorang penyair harus belajar menulis puisi yang kata pertamanya bukan aku. Saya merenungi kalimat tersebut. Seorang penyair harus belajar menulis puisi yang kata pertamanya bukan aku. "Aku" ini, aku sebagai kediriankah? Jika memang demikian, saya setuju. Penyair harus bisa menulis puisi yang tidak hanya berkutat dengan kediriannya, sebab ada banyak hal di luar diri yang juga penting dan esensial untuk dituliskan (Lutfi Mardiansyah, penyair tinggal di Sukabumi).

Simbol-simbol waktu yang ditanam Sulaiman Djaya dalam puisi-puisinya mengingatkan pada sumpah Tuhan atas nama makhluknya, yakni “Demi Waktu”. Keberadaan waktu dalam kehidupan memang misterius. Ia seperti sangat jauh padahal begitu dekat. Seperti sangat renggang padahal begitu rapat dengan tubuh dan ruh manusia (M. Rois Rinaldi, penulis tinggal di Cilegon).

Akan banyak sekali yang ditemukan dari puisi-puisi yang terhimpun dalam Mazmur Musim Sunyi Sulaiman Djaya ini, yang secara tanpa sadar menggunakan citraan warna-warna untuk menandakan benda-benda. Sebut saja “putih beludru” dalam puisi “Memoar”, “November yang agak ungu” untuk latar waktu pada puisi “Surat Cinta”, “mendengar putih bintang-bintang”, “tahun-tahun adalah kibasan perak warna kelabu yang jadi biru”, “hijau musim di wajahmu yang matang”, “senja tampak marun”, “langit kuning bulan Mei”, “akhirnya datanglah Desember putih”, dan masih banyak lagi yang lainnya yang kemudian dapat disandingkan dengan penanda waktu (Mugya Syahreza Santosa, penyair tinggal di Bandung). 


Senin, 09 Maret 2015

Ali Ibn Abu Rafie –Tokoh Syi’ah Ali Peletak Dasar Ilmu Fikih





“Ia adalah sekretaris Imam Ali, menyimpan banyak dokumen, dan menyusun sebuah kitab tentang berbagai bab Fiqih, seperti Wudhu, Shalat dan bab-bab lainnya. Ia belajar pada Imam Ali bin Abi Thalib as. Penyusunan kitab itu dilakukannya pada masa hidup sang guru yang mulia, dimulai dari bab Wudhu. Termaktub di dalamnya, bahwa jika salah seorang dari kalian hendak berwudhu, maka memulailah dari bagian kanan ke kiri dari badannya”

Oleh Ayatullah Sayyid Hasan Ash-Shadr

Ketahuilah bahwasanya orang pertama yang mengarang kitab di bidang ilmu Fiqih dan merumuskannya ialah Ali ibn Abu Rafie –pembantu Rasulullah saw. An-Najasyi di dalam mengulas generasi pertama pengarang dari Syi’ah Amiril Mukminin Ali bin Abi Thalib as: “Ali ibn Abu Rafie, pembantu Rasulullah saw adalah seorang tabi’in dan pengikut setia Syi’ah. Ia mempunyai hubungan persahabatan yang dekat dengan Imam Ali ibn Abi Thalib as. Ia adalah sekretaris Imam Ali, menyimpan banyak dokumen, dan menyusun sebuah kitab tentang berbagai bab Fiqih, seperti Wudhu, Shalat dan bab-bab lainnya. Ia belajar pada Imam Ali bin Abi Thalib as. Penyusunan kitab itu dilakukannya pada masa hidup sang guru yang mulia, dimulai dari bab Wudhu. Termaktub di dalamnya, bahwa jika salah seorang dari kalian hendak berwudhu, maka memulailah dari bagian kanan ke kiri dari badannya”.

Masih dari An-Najasyi dikatakan: “Para Ulama menghormati kitab ini. Maka, dia (Ali bin Abu Rafie) adalah orang pertama dari kaum Syi’ah yang mengarang kitab di bidang Fiqih. Dan Jalaluddin As-Suyuthi menyatakan: “Orang pertama yang mengarang kitab di bidang Fiqih ialah Imam Abu Hanifah”. Maksudnya ialah orang pertama dari kalangan Ahli Sunnah, sebab penyusunan kitab fiqih telah dilakukan oleh Ali ibn Abu Rafie di masa hiodup Imam Ali ibn Abi Thalib as, beberapa puluh tahun jauh sebelum kelahiran Abu Hanifah.

Bahkan terdapat sekelompok ahli fiqih Syi’ah yang mengarang kitab di bidang Fiqih sebelum Abu Hanifah, seperti seoang tabi’in bernama Al-Qosim ibn Muhammad ibn Abu Bakar dan Sa’id ibn Al-Musayyab; seorang faqih Madinah keturuan bangsa Quraisy –dan salah seorang enam pakar fiqih. Sa’id wafat pada tahun 94 H. Sementara Al-Qosim ibn Muhammad ibn Abu Bakar wafat pada 106 H. ini berdasarkan pendapat yang benar. Ia adalah datuk Tuan kami; Imam Ja’far Ash-Shadiq as dari pihak ibu beliau, yaitu Farwah binti Al-Qosim. Al-Qosim menikah dengan anak perempuan Imam Ali Zainal Abidin as.

Di samping itu, Abdullah Al-Humairi di dalam kitabnya, Qurbul Isnad, dalam mengulas ihwal Al-Qosim ibn Muhammad ibn Abu Bakar dan Sa’id ibn Al-Musayyab mengatakan: “Kedua-duanya adalah Syi’ah”. Adapun Al-Kulaini di dalam Al-Kafi di bab kelahiran Imam Ja’far Ash-Shadiq as menukil dari Yahya ibn Jarir, bahwa Yahya mengatakan: “Berkata Abu Abdillah (Imam Ja’far Ash-Shadiq as) bahwa Sa’id ibn Al-Musayyab, Al-Qosim ibn Muhammad ibn Abu Bakar dan Abu Khalid Al-Kalibi termasuk dari perawi-perawi terpercaya Ali ibn Husein as (Imam Ali Zainal Abidin). Bahkan dalam sebuah hadis, dinyatakan bahwa Sa’id dan Al-Qosim adalah dua hawari (sahabat dekat) Ali ibn Husein as.”

Tentang Tokoh-tokoh Tersohor Dari Fuqoha Generasi Pertama Syi’ah

Nama-nama mereka telah dicatat oleh Syeikh Abu Amr Al-Kasyi di dalam kitabnya yang terkenal; Rijalul Kasyi, yang semasa dengan Abu Ja’far Al-Kulaini; ahli hadis di abad ketiga. Al-Kasyi mengatakan: “Mengenai nama-nama para faqih dari sahabat Imam Muhammad al Baqir dan Imam Ja’far Ash-Shadiq as, bahwa para ulama telah sepakat pada pengakuan mereka akan kedudukan ilmu orang-orang pertama dari sahabat Imam Muhammad al Baqir dan Imam Ja’far Ash-Shadiq as, dimana ulama ini merujuk mereka ini dalam masalah fiqih. Mereka mengatakan bahwa yang paling terkemuka di antara mereka adalah enam sahabat Imam, yaitu Zurarah ibn A’yan, Ma’ruf ibn Kharbudz, Buraid, Abu Bashir Al-Asadi, Al-Fudhail ibn Yasar dan Muhammad ibn Muslim Ath-Thaifi. Sebagian mereka mengatakan bahwa yang benar ialah Abu Abshir Al-Muradi, yakni Laits ibn Al-Bakhtari, bukan Abu Bashir Al-Asadi. Mereka juga mengatakan bahwa yang paling alim di antara enam sahabat ini ialah Zurarah”.

Al-Kasyi lebih lanjut mengatakan: “Mengenai nama-nama fuqoha dari sahabat Imam Ja’far Ash-Shodiq as, para ulama telah sepakat untuk menyatakan sohih atas hadis-hadis sohih yang diriwayatkan oleh mereka, membenarkan apa yang mereka katakan, dan mengakui fiqih selain mereka berenam yang telah kami sebutkan namanya masing-masing. (Selain) mereka itu adalah enam orang –yaitu Jamil ibn Darraj, Abdullah ibn Miskan, Abdullah ibn Bakir, Hammad ibn Isa, Hammad ibn Utsman dan Aban ibn Utsman. Mereka (para ulama) juga mengatakan bahwa seorang faqih besar bernama Abu Ishaq; yaitu Tsa’labah ibn Maimun, menilai bahwa yang paling alim di antara mereka berenam ialah Jamil ibn Darraj. Enam orang itu adalah sahabat-sahabat muda Imam Ja’far Ash-Shadiq as”.

Masih dari Al-Kasyi dinyatakan: “Mengenai nama-nama fuqoha dari sahabat Abu Ibrahim dan Abul Hasan (Imam Ali Ar-Ridha as), bahwa telah sepakat ulama kami untuk menilai sohih hadis-hadis yang diriwayatkan oleh mereka, membenarkan ucapan mereka serta mengakui ilmu dan fiqih mereka. Mereka itu ialah enam orang yang datang selain eman orang sahabat Imam Ja’far Ash-Shadiq as yang telah kami sebutkan di atas tadi –yaitu Yunus ibn Abdurrahman, Shafwan ibn Yahya Bayya’ As-Sabiri, Muhammad ibn Abi Umair, Abdullah ibn Al-Mughirah, Al-Hasan ibn Mahbub dan Ahmad ibn Muhammad ibn Abi Bashar. Sebagian ulama itu mengatakan bahwa yang benar bukanlah Al-Hasan ibn Mahbub, tetapi Al-Hasan ibn Ali ibn Fidhal dan Fudhalah ibn Ayyub. Sebagian mereka lagi menempatkan Utsman ibn Isa di posisi Fudhalah. Disepakati bahwa di antara mereka yang paling alim ialah Yunus ibn Abdurrahman dan Shafwan ibn Yahya”. Demikianlah kesaksian Al-Kasyi menjelaskan tokoh-tokoh tersohor dari fuqoha Syi’ah.

Tentang Banyaknya Jumlah Nama Faqih Dari Generasi Pertama Yang Mengarang Kitab Berdasarkan Mazhab Imam Ja’far Ibn Muhammad Ash-Shadiq as

Ketika membahas ihwal Imam Ja’far Ash-Shadiq as, Syeikh Abul Qosim Ja’far ibn Sa’id yang terkenal dengan gelar Al-Muhaqqiq (peneliti) mengatakan di dalam kitabnya yang berjudul Al-Mu’tabar: “Dia (Imam Ja’far Ash-Shadiq) telah melakukan pengajaran sekelompok besar dari ulama dan ahli fikih terkemuka. Dari jawaban-jawaban Imam Ja’far as atas persoalan-persoalan yang diajukan, mereka menulis 400 kitab”. Saya katakan bahwa kitab-kitab ini adalah hasil penyusunan para ulama dan ahli fikih tersebut. Namun, perlu dicatat bahwa Syeikh Syamsuddin Muhammad ibn Makki Asy-Syahid menyatakan di awal kitab Adz-Dzikra: “jawaban-jawaban Imam Ja’far Ash-Shadiq as atas masalah-masalah fiqih telah ditulis oleh 4000 orang dari warga Irak, Hijaz, Khurasan dan Syam. Nama-nama kitab mereka tersimpan di kitab-kitab katalogia kitab-kitab Syi’ah, seperti kitab Fehrest Syeikh Abul Abbas An-Najasyi, Fehrest Syeikh Abu Ja’far Ath-Thusi, Fehrest Syeikh Abul Faraj Ibnu Nadim, kitab Al-‘Uqaili, kitab Ibnu Al-Ghadhoiri.

Pada kesempatan membahas ihwal Imam Ja’far Ash-Shadiq as, Syeikh Mufid di dalam Al-Irsyad mengatakan: “Begitu banyak orang yang menukil dari beliau sehingga menjadi pusat tujuan perjalanan dan menebar sanjungan kepadanya di berbagai pelosok negeri. Para ulama tidak menukil hadis dan ilmu beliau dari salah satu aggota keluarga beliau. Para ahli hadis mencatat nama-nama perawi terpercaya yang meriwayatkan dari beliau, meski perbedaan pendapat mereka. Jumlah mereka mencapai 4000 orang”. Saya katakan bahwa Syeikh Abul Abbas Ahmad ibn ‘Uqdah Az-Zaidi telah menghitung nama-nama tersebut sebanyak 4000 orang, lalu menghimpunnya secara terpisah di dalam sebuh kitab, sebagaimana yang dilaporkan oleh Syeikh Abu Ja’far Ath-Thusi di awal bab sahabat-sahabat Imam Ja’far Ash-Shadiq as dari kitabnya, Ar-Rijal. Silahkan dirujuk!

Tentang Sebagian Kitab-kitab Induk Fiqih Yang Dikarang Oleh Sahabat-sahabat Para Imam Ahlulbait Dari Generasi Pasca Tabi’in

Seperti kitab induk fiqih bernama Jami’ul Fiqh yang dikarang oleh Tsabit ibn Hurmuz Al-Miqdam dari Imam Ali Zainal Abidin as, dan kitab Syara’iul Iman, karya Muhammad ibn Al-Mu’afi –pembantu Imam Ja’far Ash-Shadiq as sekaligus belajar pada Imam Musa Al-Kadzim dan Imam Ali Ar-Ridha as. Muhammad wafat pada tahun 265 H. Juga kitab Jami’ Abwabil Fiqh karya Ali ibn Abu Hamzah; murid Imam Ja’far Ash-Shadiq as. Adalah Abdullah ibn Al-Mughirah telah menulis tiga puluh kitab tentang bebarapa bab fiqih, sebagaimana dicatat oleh An-Najasyi. Ia adalah salah seorang sahabat Imam Musa Al-Kadzim as.

Ada juga kitab Al-Fiqh wal Ahkam yang dkarang oleh Ibrahim ibn Muhammad ibn Abu Yahya Al-Madani Al-Aslami. Ia swafat pada tahun 184 H. Juga kitab Al-Jamie fi Abwabil Fiqh karya Al-Hasan ibn Ali ibn Abu Muhammad Al-Hijal. Juga kitab Al-Jamiul Kabir fil Fiqh karya Ali ibn Muhammad ibn Syireh Al-Kasyani Abil Hasan –seorang yang produktif mengarang kitab. Juga sebuah kitab yang disusun menurut urutan bab fiqih yang dikarang oleh Shafwan ibn Yahya Al-Bajali. Ia wafat pada tahun 210 H. Juga kitab Al-Masyikhakh yang disusun berdasarkan arti fiqih oleh Abu Ali Al-Hasan ibn Mahbub As-Sarrad –seorang guru besar Syi’ah dan sahabat Imam Ali Ar-Ridha as. Ia wafat pada tahun 224 H. Dan terkhir adalah kitab Ar-Rahmah –sebuah kitab tebal yang menghimpun berbagai cabang ilmu fiqih dari jalur Ahulubait as.