Oleh Ahmad Fadhil (Pengajar Filsafat di IAIN Banten)
Kepercayaan akan adanya Hari Akhir adalah salah satu pilar penting dalam
iman umat Islam. Di dalam Manzumah ‘Aqidah al-‘Awam Ahmad al-Marzuqi
al-Maliki mengatakan, “Imanuna bi yawm akhir wajab wa kulli ma kana bihi min
al-‘ajab—Wajib hukumnya kita mengimani Hari Akhir serta segala keajaiban yang
ada padanya.” Saat menerangkan bait ini, Nawawi al-Bantani mengatakan,
“Setiap mukallaf wajib mempercayai adanya Hari Akhir serta segala sesuatu yang
termasuk di dalamnya seperti kebangkitan manusia, perhitungan amal perbuatan, sirat,
timbangan, pembalasan, surga, neraka, telaga, dan syafaat.[1]
Beriringan dengan keimanan pada Hari Akhir terdapat riwayat-riwayat tentang
tanda-tanda kedatangannya seperti munculnya al-Mahdi, Dajjal, dan Nabi Isa.
Walaupun banyak ulama yang telah membahas, tapi tema-tema ini masih dipenuhi
kesamaran. Muhammad Isma’il al-Muqaddam, penulis buku al-Mahdi Haqiqah La
Khurafah mengatakan bahwa pembicaraan tentang al-Mahdi di kalangan
terpelajar kadang-kadang diwarnai sikap yang tidak moderat. Ada orang yang
ekstrem menegasi sampai-sampai menolak hadis-hadis yang sahih tentang al-Mahdi,
ada juga yang ekstrem mengafirmasi sampai-sampai menerima hadis maudu dan
cerita bohong. Sementara itu, orang-orang awam terjebak dalam lumpur
kebingungan dan kebimbangan antara mempercayai adanya al-Mahdi atau tidak.[2]
Kondisi yang berbeda terdapat di kalangan muslim Shiah Ithna ‘Ashariyyah.
Keyakinan tentang al-Mahdi adalah salah satu pilar yang penting dalam mazhab ini.
Para ulama Shiah seolah berlomba menulis buku tentang al-Mahdi. ‘Ali
al-Kurani al-‘Amili menulis buku Mu’jam Ahadith al-Imam al-Mahdi selama
5 tahun. Dia juga
menulis buku berjudul ‘Asr al-Zuhur yang menggambarkan setting
kemunculan al-Mahdi, alur, dan tokoh yang terlibat dalam rangkaian
kemunculannya dalam sebuah narasi yang sangat dramatis. Sadr al-Din al-Sadr menulis buku al-Mahdi dan Mirza Lutf Allah al-Safi menulis buku Muntakhab al-Athar yang
berisi ulasan tentang hadis-hadis al-Mahdi yang diriwayatkan di dalam kitab-kitab hadis
Ahlus Sunnah.
Perhatian besar ini dapat dianggap wajar di antaranya karena keyakinan
tentang adanya manusia yang lahir hampir 12 abad yang lalu, masih hidup hingga
kini tapi tidak dikenali oleh orang lain, dan umurnya boleh jadi akan bertambah
sampai beberapa abad lagi sampai Allah mengizinkannya untuk muncul dan
menampakkan diri, tentu saja sulit dipahami sehingga membutuhkan dalil rasional
dan tradisional (‘aqli dan naqli) yang terfokus agar konsep ini
dapat diterima.[3]
Banyak aspek tentang al-Mahdi telah diungkap di dalam literatur Shiah.
Mulai dari afirmasi prinsip atau dasar keyakinan ini dari al-Quran dan Sunnah,
inventarisir dan komparasi riwayat-riwayat tentang al-Mahdi dari Mazhab Ahlus
Sunnah atau dari sejarah Islam secara umum, bantahan terhadap kontroversi dan
keragu-raguan yang ditujukan pada konsep al-Mahdi Shiah, sampai eksplorasi filosofis
konsep ini sebagai jawaban terhadap ideologi-ideologi lain yang beredar di
dunia pada saat ini.
Murtada Mutahhari adalah ulama Shiah modern yang memberikan perhatian besar
terhadap tema al-Mahdi. Dia tidak menulis buku
khusus tentang tema ini. Pembahasannya yang secara
langsung berkaitan dengan al-Mahdi terdapat minimal di dua
tempat. Pertama, di bab kedelapan buku Hayah al-A'immah al-Athar halaman
213-248 dan bagian ketiga di dalam buku Ru’a Jadidah Fi al-Fikr al-Islami
dengan judul Nahdah al-Mahdi Fi Daw’ Falsafah al-Tarikh halaman 87-132. Meskipun demikian, tulisan-tulisan Mutahhari yang lain dari satu
atau banyak segi berhubungan dengan tema al-Mahdi dalam aspek-aspek
tersebut. Tulisan ini akan membahas pandangan Mutahhari tentang al-Mahdi untuk
mengetahui apakah al-Mahdi merupakan konsep khas Shiah, bagaimana konsep
al-Mahdi menurut Shiah, dan apa muatan filosofis dalam konsep al-Mahdi?
Al-Mahdi: konsep mitologis, teologis, dan filosofis universal
Konsep Ratu Adil bukan konsep eksklusif Mazhab Shiah; bukan mitos karena
tidak ada mitos yang mendapat perhatian semua agama langit dan diadopsi oleh
para saintis, pemikir dan filsuf; bukan kreasi Yahudi karena konsep ini ada di
kalangan Yahudi dan non Yahudi; dan bukan buah dari kondisi tertindas yang
dialami oleh para penganut Shi’ah karena banyak orang tertindas yang tidak
mengenal konsep ini dan banyak bukan orang tertindas yang mengenal konsep ini.[4]
Orang Jawa memiliki mitos Ratu Adil. Sindhunata menulis buku Bayang-Bayang
Ratu Adil diterbitkan Gramedia Pustaka Utama, 1999. Beberapa buku yang
ditampilkan laman http://books.google.co.id/
mengaitkan konsep ratu adil dengan beberapa politisi. Buku Mencari Ratu Adil tulisan Moh. Hari Suwarno
mengaitkan Ratu Adil dengan figur Soekarno-Hatta. Lalu ada buku Ratu Adil
Hidayat Nurwahid: Satria Pinandhita Dari Prambanan tulisan Purwadi dan Ratu
Adil Dan Perjalanan Spiritual Megawati oleh Damarhuda.
Di dalam buku Satria Pinilih: Siapa Pantas Jadi Ratu Adil, Arwan
Tuti Artha mengatakan, “Ranggawarsita menyebut, ciri Ratu Adil itu adalah
satria yang masih tersembunyi, dalam posisi piningit. ... tokoh baru,
masih bersih, keindahan perangainya bagaikan teratai putih, ....” Di dalam buku
berjudul Novel Pangeran Diponegoro: Menggagas Ratu Adil karya Remy
Silado, penerbitnya mengatakan, “... Indonesia negeri elok yang diberkahi Tuhan
dengan kekayaan alam ... Sayang, ... negeri ini tak lagi surgawi, koyak oleh
sejuta bencana, sejuta korupsi, .... Dalam kondisi serba tersakiti seperti ini,
tak urung bangsa ini merindukan hadirnya sosok yang di tangannya semua orang
berharap perbaikan akan terjadi. Rakyat kini menantikan munculnya ratu adil,
satria piningit, atau entah apa pun namanya yang mampu memimpin bangsa ini
menuju cahaya terang gemah ripah lohjinawi, ... pemimpin yang mencintai rakyat
sehingga rakyat pun mencintainya, memimpin dengan akal dan hati yang terikat
kuat kepada Sang Mahahidup ....”
Kepercayaan akan adanya Ratu Adil, Satria Piningit, Messiah, al-Mahdi,
Reformer Relijius Internasional dan berdirinya negara ilahi yang adil di dunia
adalah salah satu "poin kesamaan yang jelas antara semua agama dan
perbedaannya hanya dalam penetapan identitas reformer yang akan mewujudkan
semua tugas para nabi tersebut.”[5]
Konsep ini dipercayai juga oleh orang yang tidak beragama dan tidak percaya
kepada kegaiban dalam bentuk apa pun.[6]
Keyakinan akan adanya Ratu Adil ini diungkap secara tegas dan eksplisit
oleh kitab suci berbagai agama, dan bukan hanya oleh perkataan atau tafsiran
para ahli agama terhadap teks yang samar di dalam kitab suci mereka. Muhammad
al-Sadiqi menulis buku berjudul Bisharat al-'Ahdayn untuk menginventarisir
teks-teks tersebut. Bahkan, menurut Mahdi Khalil Ja'far, dakwah semua nabi
adalah langkah-langkah pengkondisian untuk kemunculan Ratu Adil yang akan
mewujudkan tujuan dakwah mereka semua.[7]
Al-Quran menyatakan bahwa kitab-kitab suci terdahulu telah menyebut
keyakinan tentang al-Mahdi. Di dalam QS al-Anbiya’: 105 Allah berfirman:
وَلَقَدْ
كَتَبْنَا فِي الزَّبُورِ مِنْ بَعْدِ الذِّكْرِ أَنَّ الأرْضَ يَرِثُهَا
عِبَادِيَ الصَّالِحُونَ (١٠٥)
“Dan sungguh telah Kami tulis di dalam Zabur sesudah (Kami tulis di dalam)
al-Dhikr bahwasanya bumi ini dipusakai hamba-hamba-Ku yang saleh.”
Zabur adalah kitab yang dibawa oleh Dawud dan dan al-Dhikr adalah Taurat
yang dibawa oleh Musa. Janji Tuhan ini pasti terlaksana pada suatu waktu,
meskipun waktu tersebut adalah hari terakhir dalam umur dunia.
Tema al-Mahdi disebut di dalam Mazmur ke-39, 9, Injil Matius fasal 24.
Muhammad Taqi al-Mudarrisi di dalam bukunya al-Mahdi Qudwah Wa Uswah mengatakan
bahwa kitab suci agama Yahudi menyebut al-Mahdi dengan sebutan “Bahram”,
sedangkan Hindu menyebutnya Krisna.[8]
Di kalangan Yahudi, keyakinan akan adanya Messiah telah mendorong munculnya
gerakan politik yang berujung pada berdirinya Negara Israel di Tanah Palestina.
Mereka meyakini bahwa pendirian negara ini adalah langkah awal bagi kemunculan
Sang Messiah dan kembalinya mereka ke Palestina adalah awal dari
Armageddon/Perang Akhir Zaman yang akan membidas kejahatan di dunia. Berbagai
sekte Umat Nasrani juga percaya bahwa Yesus Kristus akan kembali di akhir
zaman dan akan mengangkat senjata untuk mendirikan negara internasional yang
adil.[9]
Al-Mahdi
dalam Pandangan Shiah
Mutahhari mengatakan bahwa al-Mahdi adalah sebutan yang diberikan oleh
riwayat-riwayat Islam bagi figur yang akan mewujudkan harapan-harapan umat
Islam yang besar. Yaitu, masa depan saat cahaya Islam menerangi seluruh penjuru
dunia, saat nilai-nilai kemanusiaan berkuasa mutlak, dan saat masyarakat yang
utama dan ideal terwujud. Kemestian terwujudnya harapan ini diyakini oleh
seluruh umat Islam. Semua mazhab Islam sepakat bahwa tentara kebenaran,
keadilan, dan keselamatan akan menang dalam perang melawan tentara kebatilan,
kezaliman, dan permusuhan.[10]
Al-Mahdi bukan ideologi ekslusif Shi’ah. Umat Islam sepakat bahwa al-Mahdi
berasal dari keturunan Rasulullah yang baik dan suci, dari kalangan Ahlul Bayt
dan merupakan keturunan Fatimah. Setelah itu, para ulama berbeda pendapat apakah
al-Mahdi adalah Putra Hasan al-Askari atau bukan? Semua ulama Mazhab
al-Imamiyyah sepakat bahwa al-Mahdi adalah Putra al-Hasan al-‘Askari, telah
lahir dan dalam keadaan hidup, tapi dalam keadaan tidak hadir dan tidak
dikenali (mastur).[11]
Sebagian ulama Ahlus Sunnah—Mahdi Khalil Ja’far menyebutkan 18 nama—sepakat
dengan hal itu, di antaranya Muhammad bin Talhah al-Halabi al-Shafi’i di dalam Matalaib
al-Su’l Fi Manaqib Al al-Rasul, Muhammad bin yusuf al-Kunji al-Shafi’i di
dalam al-Bayan Fi Akhbar Sahib al-Zaman, Ibnu al-Sabbagh Muhammad bin
Ahmad al-Maliki di dalam al-Fusul al-Muhimmah, Sibt Ibnu al-Jawzi di
dalam Tadhkirah al-Khawas.[12]
Bukti lain bahwa al-Mahdi bukan ideologi khas Shiah adalah riwayat tentang
al-Mahdi sangat banyak tersebar di kitab-kitab hadis Ahlus Sunnah yang disusun
oleh al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, al-Tirmidhi, al-Hakim,
al-Tabarani, dll. Al-Ha'iri dan Adharshab, setelah menginventarisir
145 nama penulis hadis Ahlus Sunnah yang meriwayatkan hadis tentang al-Mahdi,
menginventarisir nama-nama ulama Ahlus Sunnah yang menyatakan bahwa hadis dan
riwayat tentang al-Mahdi mencapai derajat mutawatir. Di antara mereka adalah
al-Shawkani di dalam kitab 'Awn al-Ma'bud, Ibnu Kathir di dalam kitab
al-Bidayah wa al-Nihayah, dan al-Kattani di dalam Nazm al-Mutanathir Fi Hadith
al-Mutawatir.[13]
Di antaranya hadis yang diriwayatkan oleh Muslim dan Ahmad:
عن جابر: سمعت النبي ص يفول: لا تزال طائفة من أمتي
يقاتلون على الحق ظاهرين الى يوم القيامة، قال: فينزل عيسى ابن مريم ص فيقول
أميرهم: صل لنا، فيقول: لا، إن بعضكم على بعض أمراء تكرمة من الله لهذه الأمة.
Atau hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari,
Muslim, dan Ahmad:
كيف أنتم إذ نزل ابن مريم فيكم وإمامكم منكم.
Atau hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud:
لو لم يبق من الدهر إلا يوم لبعث الله رجلا من أهل بيتي
يملأها عدلا كما ملأت جورا.
Atau hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud:
المهدي من عترتي من ولد فاطمة.
Mutahhari membantah tuduhan yang menyatakan akidah al-Mahdi baru muncul
pada paruh kedua abad ketiga Hijrah setelah lahirnya Imam al-Mahdi. Dalilnya,
pertama, al-Quran telah mengungkapkan kondisi yang terjadi sebagai konsekwensi
dari kemunculan al-Mahdi sebagai sesuatu yang pasti terjadi di masa depan.
Kedua, hadis-hadis tentang al-Mahdi tidak hanya diriwayatkan oleh kaum Shiah.
Dari perspektif sejarah Islam. menurut Mutahhari sejak paruh kedua abad pertama
Hijriyah, berita dan ramalan yang berkaitan dengan masalah al-Mahdi telah
menjadi penyebab munculnya banyak peristiwa di dalam sejarah Islam. Sejak saat
itu, sudah ada orang-orang yang menyalahgunakaan hadis-hadis tentang al-Mahdi.[14]
Ketiga, pembuktian historis. Mutahhari mengatakan bahwa tidak ada seorang
ulama pun sejak masa awal sejarah Islam sampai masa Ibnu Khaldun yang
berpandangan bahwa hadis-hadis yang berkaitan dengan al-Mahdi tidak memiliki
dasar yang sahih. Semua ulama berpandangan sebaliknya. Jika ada perbedaan
pendapat, maka hanya dalam detail masalah. Misalnya, apakah sosok al-Mahdi
orang ini atau itu? Apakah dia putra Imam al-'Askari atau bukan. Apakah dia
keturunan al-Hasan atau al-Husayn? Adapun tentang umat Islam akan memiliki
al-Mahdi, bahwa dia adalah keturunan Nabi saw dan keturunan Fatimah, bahwa
tugasnya adalah memenuhi dunia dengan keadilan setelah sebelumnya dipenuhi kezaliman,
maka tidak ada keragunan sedikit pun tentang hal ini di kalangan seluruh umat
Islam.[15]
Ada enam fragmen sejarah yang disebutkan Mutahhari. Yaitu, Revolusi
al-Mukhtar, komentar al-Zuhri ketika mendengar berita wafatnya Zayd bin 'Ali
bin al-Husayn, Revolusi al-Nafs al-Zakiyyah, tindakan al-Mansur al-'Abbasi
memberi nama anaknya dengan nama al-Mahdi, konflik antara al-Mansur al-'Abbasi
dengan ahli fiqh Madinah yang bernama Muhammad bin 'Ajlan, dan peristiwa Da'bal
membaca puisi di depan Imam 'Ali al-Rida.[16]
Meskipun akidah al-Mahdi adalah akidah umat Islam
secara keseluruhan, tapi kekhasan narasi Shi’ah tentang akidah ini tidak dapat
dipungkiri. Ali Khamenei mengatakan, “Karakteristik akidah Shiah dalam tema ini
adalah narasinya tidak mengandung kesamaran sama sekali. Shiah menguasai detail
tema ini dan sangat mengenal sosok al-Mahdi. Kita mengenal pemimpin, junjungan,
dan imam kita, penghulu alam semesta. Kita mengenal ayahnya, ibunya, tanggal
lahirnya, serta segala sesuatu yang berkaitan dengan kelahirannya yang penuh
berkah. …. Imam kita yang maksum ini sepanjang zaman tinggal bersama
komunitas-komunitas manusia. Sekarang, dia ada di antara kita. Tapi, hikmah
ilahi menetapkan kita mengalami penantian yang panjang ini dan begitu juga Sang
Imam pun mengalami penantian ini.”[17]
Satu aspek yang unik dari
keyakinan Shiah, yaitu keyakinan bahwa al-Mahdi telah lahir dengan identitas yang
jelas dan kini dia berada dalam keadaan hidup. Shams al-Din membandingkan tidak
dikenalinya al-Mahdi dengan tidak dikenalinya Yusuf oleh saudara-saudaranya
sampai Yusuf mengenalkan diri (QS Yusuf: 90).[18]
Mutahhari juga menyinggung masalah umur al-Mahdi yang panjang. Jika ilmu
pengetahuan belum mampu menjelaskan rahasia panjangnya umur al-Mahdi, maka itu
tidak berarti panjangnya umur al-Mahdi adalah sesuatu yang mustahil. Masih
banyak sekali hal yang belum dapat dijelaskan oleh ilmu. Ilmu mengupayakan
usaha memperpanjang umur manusia. Maka, masalah panjangnya umur al-Mahdi harus
diterima sebagai sesuatu yang wajar. Menurut Mutahhari, "Sama saja baik
kita mengkaji masalah ini dari segi ilmiah maupun dari segi metafisis, masalah
panjangnya umur al-Mahdi tidak dapat diragukan atau disangsikan. Apalagi hadis
dan riwayat keagamaan telah menegaskannya. Salah satu fungsi agama adalah membuka
akal manusia dan mengeluarkan pemikirannya dari lingkaran yang sempit
peristiwa-peristiwa sehari-hari yang biasa mereka alami."[19]
Kemunculan al-Mahdi ditandai dengan tanda-tanda
umum dan tanda-tanda khusus. Termasuk tanda-tanda umum berbagai penyimpangan
dalam bidang seksualitas, ekonomi, social, dan etika. Termasuk tanda-tanda
khusus seperti al-Sufyani, teriakan, terkubur dalam tanah, dll. Mutahhari mengutip sabda Nabi saw
dan Imam Ali tentang zaman kemunculan al-Mahdi. Zaman kemunculan al-Mahdi
adalah zaman terbitnya kedamaian, keselarasan, keamanan, kemajuan, keberkahan,
kesejahteraan, dan hilangnya kekejian dan kebejatan seperti mabuk-mabukan,
zina, dll, juga tentang menyempurnanya manusia secara mental sehingga secara
alamiah dia menghindar dari dusta, bergunjing, mengadu domba, memfitnah, dsb.
Pada zaman itu, keadilan dilakukan oleh manusia bukan demi keuntungan yang kembali
kepada dirinya, tapi karena dia mencintai keadilan.[20]
Al-Mahdi
Dan Keadilan Sosial
Menurut
Mutahhari,
semua rasul diutus dengan membawa dua tujuan utama. Pertama, membangun relasi
yang benar antara manusia dengan Allah atau membebaskan manusia dari semua
jenis perbudakan, penghambaan, penyembahan kecuali pada Allah saja. Ini
terangkum dalam ucapan la ilaha illallah. Kedua, membangun hubungan yang
benar di antara sesama manusia dengan berbasis keadilan, kebaikan, kedamaian,
cinta, kerja sama, dan saling membantu. Tujuan pertama diterangkan oleh
firman Allah al-Ahzab: 46, tujuan kedua diterangkan oleh QS al-Hadid: 25.[21]
Jadi, keadilan adalah prinsip utama terbentuknya
masyarakat manusia dan salah satu tujuan utama semua risalah langit. Karena
itu, pertanyaan yang harus dijawab adalah, akankah ada bagi umat manusia satu
hari saat mereka menyaksikan keadilan yang universal dan komprehensif terwujud
sehingga tidak ada setitik pun kezaliman, kesewenang-wenangan, eksploitasi,
kedengkian, kebencian, perang, penumpahan darah; juga segala sifat yang tercela
yang mengiringi hal tersebut seperti kebohongan, kemunafikan, penipuan,
kerakusan, kekikiran, dsb? Ataukah itu hanya khayalan yang takkan terwujud?
Al-Quran menegaskan prinsip keadilan sosial dan menyatakan bahwa penerapan
prinsip ini adalah salah satu tujuan utama semua risalah langit. Pertanyaannya,
apakah umat manusia akan melihat satu hari saat keadilan terpenuhi secara
universal dan komprehensif, saat tidak ada satu pun bekas kezaliman,
penindasan, eksploitasi, kebencian, perang, penumpahan darah, serta sifat-sifat
tercela yang mengiringinya seperti kemunafikan, penipuan, kerakusan, dan
kekikiran di tengah-tengah manusia? Ataukah hal itu hanya utopia?
Menurut Mutahhari akidah al-Mahdi sangat erat berkaitan dengan usaha menegakkan keadilan sosial. Boleh jadi banyak muslim relijius yang
tidak mengingkari prinsip keadilan ilahi dan percaya bahwa Allah menciptakan
segala sesuatu dengan prinsip keadilan. Tapi, melihat parahnya kebobrokan dan
kezaliman di dunia, maka dia menyerah dan menganggap penerapan keadilan di
tengah-tengah manusia sebagai kemustahilan. Lalu, dia berpandangan bahwa dunia
adalah tempatnya kezaliman; keadilan yang penuh hanya ada di akhirat, tempat
kezaliman yang terjadi di dunia akan dibalas dan hak-hak akan diberikan kepada
pemiliknya. Akidah Islam dan khususnya dalam
perspektif Shiah menolak pandangan pesimis seperti itu dan meyakini bahwa masa
kezaliman adalah sementara.[22]
Konsep al-Mahdi menurut Mutahhari memberikan perspektif positif terhadap
perjalanan alam semesta dan perjalanan sejarah. Konsep ini memberikan harapan
akan masa depan dan menghilangkan semua pandangan negatif terhadap apa yang
akan terjadi di ujung perjalanan umat manusia. Di dalam riwayat-riwayat Islam,
harapan akan tujuan umat manusia secara keseluruhan ini disebut “intizar
al-faraj” (menanti kelapangan). Islam menilai perbuatan menanti kelapangan ini
sebagai ibadah, bahkan ibadah yang paling baik.
Menurut Mutahhari, prinsip menanti kelapangan ini dapat dideduksi dari
prinsip al-Quran (QS Yusuf: 87) tentang “keharaman berputus asa dari rahmat
Allah.” Orang-orang yang beriman pada pertolongan ilahi tidak akan kehilangan
harapan betapa pun sulitnya keadaan dan tidak akan menyerah kepada
keputusasaan. Konsep ini adalah berita gembira bagi semua umat manusia, bukan
bagi kelompok tertentu saja, dan bukan bagi individu tertentu saja.[23]
Selain itu, Mutahhari berdalil dengan ayat al-Quran al-Nur: 55. Menurut
Mutahhari, ayat ini secara tegas menjanjikan bahwa yang akan menjadi penguasa
di masa depan di dunia adalah orang yang beriman dan beramal salih atau panji
tauhid dan agama Allah dengan semua nilai yang diajarkannya terutama nilai
keadilan. Mutahhari juga berdalil dengan QS al-Tawbah: 33 dan al-Saff: 9 yang
menyatakan keniscayaan kemenangan risalah langit; QS al-Anbiya: 105 tentang
keniscayaan kemenangan orang-orang yang saleh dan bertakwa. Al-Qasas: 5 tentang
keniscayaan kekalahan tentara kezaliman dan kesewenang-wenangan, serta
al-A’raf: 138 tentang keniscayaan terbitnya fajar bahagia bagi seluruh umat
manusia.[24]
Keyakinan tentang Ratu Adil adalah bahan bakar bagi
kebangkitan wong cilik. Pembicaraan tentang al-Mahdi berarti pembicaraan
tentang revolusi historis dan perubahan yang niscaya terjadi di muka bumi dari
kezaliman kepada keadilan, dari kebatilan kepada kebenaran, dari kegelapan
kepada cahaya, dari kekacauan kepada keteraturan.[25]
Karena itu,
akidah Shiah menurut Mutahhari menolak bentuk penantian al-Mahdi yang salah,
yaitu menanti secara pasif dan acuh terhadap kewajiban reformatif atau amar
makruf nahi munkar.[26]
Mutahhari memaparkan pandangan beberapa filsuf tentang keadilan, di
antaranya Nietsczhe, Machiavelli, Bertrand Russell, para penganut Marxizme.[27]
Keyakinan seperti ini
tentu menarik perhatian pihak-pihak yang berkepentingan. Kemunculan
al-Mahdi sama dengan kemenangan Islam. Ali al-Kurani mengatakan bahwa setelah kemenangan
Revolusi Islam Iran perhatian terhadap akidah al-Mahdi semakin besar di
berbagai bangsa sampai-sampai muncul desas-desus bahwa CIA telah menyusun file
tentang al-Mahdi dan yang belum memiliki hanya satu, yaitu fotonya saja.[28]
Daftar Pustaka
Abu ‘Abd al-Mu’ti Muhammad bin ‘Umar bin ‘Ali Nawawi al-Jawi al-Bantani
al-Tanari, Nur al-Zalam Sharh Manzumah ‘Aqidah al-‘Awam, Dar al-Hawi,
Cet. I, 1416 H./1996 M..
Muhammad Isma’il
al-Muqaddam, al-Mahdi, Iskandariyyah: al-Dar al-‘Alamiyyah, Cet. VIII,
2004.
Sadr al-Din al-Sadr, al-Mahdi,
al-Kuwayt: Maktabah al-Manhal, 1398 H./1978 M., h. 7.
Ayyub al-Ha'iri, al-Imam al-Mahdi al-Muslih al-'Alami al-Muntazar, Beirut:
Dar al-Wala', Cet. III, 1426 H..
Mahdi Khalil Ja'far, al-Imam al-Mahdi Fi al-Adyan Abhath 'Ilmiyyah Hawla
Fikrah al-Mahdi Fi al-Adyan Bahth 'Ilmi Istidlali Fi al-Fikr al-Masihi
al-Yahudi al-Fara'inah al-Hindus al-Sini al-Hindi al-Adyan Qabla al-Islam,
Beirut: Dar al-Mahajjah al-Bayda', Cet. I, 1429 H./2008 M.
Faruq al-Musawi,
al-Hatmiyyat Min ‘Ala’im al-Zuhur, Qum: Mu’assasah al-SIbtayn as al-‘Alamiyah,
Cet. II, 1427 H..
Markaz Nun li al-Ta’lif wa
al-Tarjamah, Silsilah Fi Rihab al-Wali al-Khamina’i: al-Imam al-Mahdi, edisi
revisi 2010 M./1431 H..
Murtada Mutahhari, Ru’a Jadidah Fi al-Fikr al-Islami,
Qum: Qalam Maknun, Cet. I, 1427 H..
Murtada Mutahhari, Hayah al-A'immah al-Athar, ....
Mahdi Shams al-Din, Hikayat al-Shaykh Bahjat al-ZUhur wa al-Dawlah Wa Ma
Qablaha Wa Ma Ba’daha, terj, Abu Abdullah al-Najafi, Beirut: Mu’assasah
al-A’lami, Cet. I, 1431 H./2010 M..
Muhammad ‘Ali Adharshab,
Mu’amarah al-Mutajirin Bi al-Din ‘Ard Mujaz Li al-Dajjaj al-Lati Ifta’alaha
al-Mutajirun Bi al-Din Hawla Hadith al-Imam al-Khumayn Bi Sha’n al-Mahdi
al-Muntazar. ...
Catatan:
[1] Abu ‘Abd al-Mu’ti Muhammad bin ‘Umar
bin ‘Ali Nawawi al-Jawi al-Bantani al-Tanari, Nur al-Zalam Sharh Manzumah
‘Aqidah al-‘Awam, Dar al-Hawi, Cet. I, 1416 H./1996 M., h. 100.
[2] Muhammad Isma’il al-Muqaddam, al-Mahdi,
Iskandariyyah: al-Dar al-‘Alamiyyah, Cet. VIII, 2004, h. 7-8.
[4] Ayyub al-Ha'iri, al-Imam al-Mahdi al-Muslih al-'Alami
al-Muntazar, Beirut: Dar al-Wala', Cet. III, 1426 H., h. 16.
[5] Mahdi Khalil Ja'far, al-Imam al-Mahdi Fi al-Adyan, h. 7;
Ayyub al-Ha'iri, al-Imam al-Mahdi al-Muslih al-'Alami al-Muntazar, h. 16.
[6] Faruq al-Musawi, al-Hatmiyyat Min
‘Ala’im al-Zuhur, Qum: Mu’assasah al-SIbtayn as al-‘Alamiyah, Cet. II, 1427 H.,
h. 11.
[8] Markaz Nun li al-Ta’lif wa
al-Tarjamah, Silsilah Fi Rihab al-Wali al-Khamina’i: al-Imam al-Mahdi, edisi
revisi 2010 M./1431 H., h. 9.
[10] Murtada Mutahhari, Ru’a
Jadidah Fi al-Fikr al-Islami, Qum: Qalam Maknun, Cet. I, 1427
H., h. 93.
[11] Markaz Nun li al-Ta’lif wa al-Tarjamah, Silsilah Fi
Rihab al-Wali al-Khamina’i: al-Imam al-Mahdi, edisi revisi 2010 M./1431 H., h.
10-11.; Mahdi Shams al-Din, Hikayat al-Shaykh Bahjat al-ZUhur wa al-Dawlah Wa
Ma Qablaha Wa Ma Ba’daha, terj, Abu Abdullah al-Najafi, Beirut: Mu’assasah
al-A’lami, Cet. I, 1431 H./2010 M., h.
5-6.
[13] Mahdi Khalil Ja'far, al-Imam al-Mahdi Fi al-Adyan Abhath
'Ilmiyyah Hawla Fikrah al-Mahdi Fi al-Adyan Bahth 'Ilmi Istidlali Fi al-Fikr
al-Masihi al-Yahudi al-Fara'inah al-Hindus al-Sini al-Hindi al-Adyan Qabla
al-Islam, Beirut: Dar al-Mahajjah al-Bayda', Cet. I, 1429 H./2008 M., h.
165-167. Ayyub al-Ha'iri, al-Imam al-Mahdi al-Muslih al-'Alami al-Muntazar,
Beirut: Dar al-Wala', Cet. III, 1426 H., h. 18-20; Markaz Nun li al-Ta’lif wa al-Tarjamah, Silsilah Fi Rihab al-Wali
al-Khamina’i: al-Imam al-Mahdi, edisi revisi 2010 M./1431 H., h. 12-24.
Muhammad ‘Ali Adharshab, Mu’amarah al-Mutajirin Bi al-Din ‘Ard Mujaz Li
al-Dajjaj al-Lati Ifta’alaha al-Mutajirun Bi al-Din Hawla Hadith al-Imam
al-Khumayn Bi Sha’n al-Mahdi al-Muntazar, h. 7-26.
[14] Murtada Mutahhari, Hayah al-A'immah al-Athar, Beirut:
al-Dar al-Islamiyyah, cet. I, 1413 H./1992 M., h. 233.
[17] Markaz Nun li al-Ta’lif wa
al-Tarjamah, Silsilah Fi Rihab al-Wali al-Khamina’i: al-Imam al-Mahdi, edisi
revisi 2010 M./1431 H., h. 17.
[25] Markaz Nun li al-Ta’lif wa
al-Tarjamah, Silsilah Fi Rihab al-Wali al-Khamina’i: al-Imam al-Mahdi, edisi
revisi 2010 M./1431 H., h. 9.
Thank you for the helpful post. I found your blog joker123 latest version with Google and I will start following. Hope to see new blogs soon.
BalasHapusThis is a brilliant writing Online Casino Malaysia and very pleased to find this site. I couldn’t discover to much different information on your blog. I will surely be back again to look at some other important posts that you have in future.
BalasHapuslive22 Dude.. I am live 22 not much into reading live22 Malaysia, but somehow I got to read live22 login lots of articles on your blog. Its amazing how interesting it is for me to visit you live22 slot games very often.
BalasHapus