Senin, 13 Desember 2021

Dakwah Moderat dan Jihad Modern


Oleh: Sulaiman Djaya (Sumber: Jurrnal Dakwah Volume 25 Nomor 2, 2021 halaman 116-133)

 

Abstrak

 

Perkembangan dan kemajuan teknologi informasi atau tekno-sains telah menciptakan dan menghadirkan ruang-ruang dan media-media baru aktivitas manusia yang sebelumnya tidak dibayangkan akan membawa dampak yang luas dalam segala bidang kehidupan kita: politik, ekonomi, dan budaya hingga keagamaan. Perkembangan dan kemajuan teknologi atau tekno-sains saat ini hingga membuat para analis, filsuf, pengkaji budaya, kritikus sastra sampai ilmuwan politik menganggapnya sebagai ciri dan penanda utamanya yang telah melahirkan perubahan sikap dan budaya manusia. Kehadiran internet dan media sosial atau yang lazim juga disebut jejaring sosial, telah merebut aktivitas manusia sekarang ini dari ruang dan dunia nyata ke dunia digital atau ke ruang-ruang mayantara. Orang-orang rela menghabiskan waktunya selama berjam-jam demi asyik-masyuk berselancar di media sosial untuk berinteraksi dengan akun-akun lainnya atau untuk memposting status mereka hingga mengunggah foto-foto selfie dan aktivitas kehidupan keseharian mereka. Ruang-ruang dan media-media digital itu memang telah memberi banyak manfaat untuk memudahkan dan meluaskan gerak kita dalam hidup sehari-hari, semisal telah menghubungkan komunikasi dengan orang-orang yang bahkan berada di tempat yang paling jauh hingga memasarkan kerja dan produk kreativitas kita kepada para calon pembeli. Dari menjadi ruang publikasi hingga mengkonsumsi informasi yang tanpa batas dan tanpa jeda. Namun, selain banyak manfaat dari perkembangan dan kemajuan teknologi informasi atau tekno-sains jaman kita saat ini, ada cukup banyak dampak negatifnya. Sebutlah kehadiran ruang-ruang digital dan media sosial itu ternyata menjadi ruang-ruang dan media-media penyebaran secara massif hoax dan ujaran-ujaran atau narasi-narasi kebencian dan intoleran. Tulisan ini sekedar contoh analisa deskriptif tentang bagaimana kita perlu bersikap kritis di jaman atau era digital ini.

Metode Analisa Sokrates

Ribuan tahun silam, di Yunani, seorang warga Athena bertemu dengan Sokrates, dan lalu berkata, "Apakah Anda tahu apa yang telah saya dengar tentang teman Anda?" "Tunggu sebentar," jawab Sokrates. "Sebelum Anda berbicara kepada saya tentang teman saya, saya ingin Anda mengikuti suatu ujian. Saya menyebutnya Ujian Tiga Saringan."

"Ujian Tiga Saringan?" "Betul sekali," ujar Sokrates. "Ada baiknya Anda meluangkan waktu sejenak untuk benar-benar menyaring apa yang akan Anda katakan kepada saya. Itulah mengapa saya menyebutnya Ujian Tiga Saringan. Saringan pertama adalah Kebenaran. Apakah Anda yakin bahwa apa yang akan Anda katakan kepada saya adalah benar?" "Hmm, tidak," kata pria itu, "sebenarnya saya hanya mendengar saja tentang hal itu."

"Baiklah," lanjut Sokrates. "Jadi Anda tidak benar-benar yakin apakah itu benar atau tidak. Sekarang, mari kita coba saringan kedua, yaitu Kebaikan. Apakah yang ingin Anda ceritakan kepada saya tentang teman saya adalah sesuatu hal yang baik?" "Hmmm, tidak, malah sebaliknya!"

"Jadi," Sokrates melanjutkan, "Anda ingin mengatakan sesuatu yang buruk tentang teman saya, tetapi Anda tidak yakin apakah berita itu benar." Baiklah, mungkin saja Anda masih bisa lulus ujian terakhir, karena ada satu saringan lagi yang masih tertinggal, yaitu Kegunaan. Apakah hal yang ingin Anda ceritakan tentang teman saya akan berguna dan bermanfaat bagi saya?" "Tidak, saya pikir tidak." "Baiklah jika demikian," Sokrates pun menyimpulkan, "Jika apa yang ingin Anda katakan kepada saya itu adalah hal yang tidak benar, tidak baik, bahkan tidak berguna, mengapa Anda harus mengatakannya kepada saya?"

Ajaibnya, ilustrasi di atas tetap relevan dan kontekstual di jaman kita saat ini yang disebut sebagai era digital. Jaman ketika sebaran informasi makin marak dan merebak, namun banyak menyebarkan ketidakvalidan atau kebohongan, hingga kita justru dituntut untuk menjadi lebih kritis, juga di saat kemajuan tekhnologi malah hanya menghidupkan budaya oral dan melumpuhkan kritisisme. Ruang-ruang digital atau dunia maya saat ini ternyata juga tak bisa kita anggap remeh, karena sebagaimana telah terbukti dan terjadi, paham-paham intoleran hingga narasi dan wacana kekerasan serta hasutan persekusi disebarkan dan dimassifkan lewat medsos dan internet, semisal melalui fanpage dan situs-situs sektarian yang dikelola kelompok-kelompok atau kaum-kaum intoleran di dunia yang makin mengglobal dan mendekatkan jarak serta menisbikan batas-batas geografi dan negara sekarang ini.  

Dalam artikel menariknya yang berjudul Globalisasi Terpilih dan Globalisasi-globalisasi Hegemonik (Lihat Oliver Leaman [ed], Pemerintahan Akhir Zaman, Al-Huda 2005, hal. 64), Sayid Reza Ameli Menulis: “Globalisasi merupakan hasil dari munculnya industri komunikasi global yang dianggap sebagai hal vital bagi munculnya berbagai bentuk globalisasi lahiriah, dalam tampilan budaya, dan secara samar, dalam orientasi kognitif”. Apa yang dikatakan Sayid Reza Ameli itu cukup menarik bagi kita saat ini, mengingat jaman kita ini, sebagaimana sama-sama kita sadari, bukan hanya jaman meruahnya informasi secara massif dan cepat, namun juga derasnya arus dis-informasi (baca: penyesatan atau penghasutan) baik berupa berita atau pun opini yang digerakkan oleh motif dan ambisi politik, seperti “upaya” menarik simpati dan dukungan bagi ISIS yang didesign oleh Barat beberapa waktu lalu.

Lalu apa hubungannya ISIS (yang di sini sekedar contoh saja) dengan jaman citra dan tekno-sains, era kita saat ini? Tak lain bahwa karena “rekayasa media” yang dimiliki kelompok ISIS dan para pendukung mereka, mereka dapat menyebarkan dan menciptakan “opini” dan “citra” mereka sebagai “mujahidin”, padahal motif dan perang mereka ternyata berbagi, bahkan bekerjasama, dengan kepentingan Barat. Mereka, sebagai contoh, mengklaim diri sebagai “mujahidin” agar dapat menarik simpati dan dukungan kaum muslim di seluruh dunia, meski perang mereka sesungguhnya berdasarkan kepentingan dan skenario Barat. Inilah contoh yang akan disebut oleh Sayid Reza Ameli itu sebagai “Globalisasi Hegemonik” atau “Globalisasi yang Sepihak dan Menindas”, yang dalam bahasa Jacques Derrida (Lihat Giovanna Borradori, Philosophy in the Time of Terror, terj. Alfons Taryadi, Penerbit Kompas 2005, hal. 232-236) disebut sebagai “mondialisasi”, yaitu pendesakkan atau pemaksaan ideologi dan kekuatan politik dan ekonomi dari dunia yang satu (yang dalam hal ini Dunia Barat) terhadap dunia lainnya, yang seringkali motifnya adalah kepentingan material dan ekonomis (semisal perebutan minyak).

Inilah jaman ketika media menjadi aktor utama dan penentu-pencipta opini dunia hingga seorang Sokrates harus menyaring berita atau inforrmasi yang datang di hadapannya dengan tiga saringan: kebenaran, kebaikan dan kegunaan. Di jaman mutakhir kita saat ini, adalah sangat penting untuk memahami sejumlah praktik media yang tak dapat dilepaskan dari interest kekuasaan, politik, dan korporasi, utamanya media-media yang dimiliki dan dikendalikan kaum multinasionalis dan adidaya saat ini. Bersamaan dengan itu, haruslah kita akui, media dan opini yang melayani suatu kepentingan dan kekuasaan, pada akhirnya akan melakukan diskriminasi dan penyingkiran alias eksclusi terhadap hal-hal yang tidak menjadi kepentingannya.

Sebagai contoh, ketika suatu kekuasaan dan imperium hendak membentuk suatu citra publik, seketika itu pula, ia atau pun mereka akan mengerahkan media-media yang dimilikinya untuk membentuk ‘keberpihakan’ publik. Inilah suatu abad atau sebuah jaman, bila meminjam istilahnya Jacques Derrida saat berbincang dengan Giovanna Borradori, di mana publik yang tidak kritis dan malas berpikir akan sangat rentan dimanipulasi dan dihasut oleh media-media yang mengabdi pada kekuasaan dan tirani demi suatu tujuan strategis dan politis, utamanya dalam kancah politk global saat ini.

Dalam hal ini, jaringan media yang kebetulan dikuasai dan dimiliki suatu kelompok tertentu atau suatu rezim bersama yang bekerja berdasarkan kepentingan yang sama akan tak sungkan-sungkan menjadikan media sebagai instrument ‘penaklukkan’, di mana opini, keberpihakan, atau sikap massa (publik) digiring sesuai dengan kehendak para pemilik media, entah para pemilik media itu adalah suatu korporasi, kekuasaan, aliansi, atau suatu rezim kekuasaan dan politik.

Di sini kita dapat memberikan contoh kasusnya adalah ketika media-media seperti youtube, google, facebook dan lain-lainnya mengangkat (dan atau meng-create) citra publik (simpati bersama) bagi insiden Paris beberapa waktu yang silam, namun pada saat bersamaan mereka ‘tidak mengangkat’ atau meng-create citra publik (simpati bersama) bagi tragedi-tragedi yang lebih parah, semisal agressi terhadap Yaman, Suriah dan Palestina.

Salah-satu pemikir kontemporer yang konsen dengan soal ini adalah Noam Chomsky, yang menyatakan bahwa salah-satu strategi media yang mengabdi pada kekuasaan dan korporasi adalah dengan memassifkan opini atau pun diskursus untuk menyembunyikan ‘masalah’ yang sesungguhnya. Media memiliki arti yang sangat penting dalam proses politik, di mana dalam artian negatifnya adalah dalam rangka ‘menguasai’ opini dan sikap publik (massa).

Selain seperti yang dikatakan oleh Sayid Reza Ameli dan Jacques Derrida itu, Anthony Giddens memiliki istilah sendiri untuk menyebut era globalisasi dan kapitalisme lanjut jaman kita ini, yaitu apa yang disebutnya “modernitas kedua”, sedangkan Jean Baudrillard menyebutnya sebagai “Era Simulacra”, yaitu suatu jaman ketika “citra” dan “gambar-gambar visual” adalah motor utama penggerak pikiran dan perilaku kita dalam hidup keseharian kita. Suatu jaman ketika “realitas” dimanipulasi dan direkayasa oleh media serta “hasrat pasar” yang cepat dan massif di era mutakhir kita ini. Tak terkecuali juga ketika hasrat-hasrat politik menggunakan tekno-sains untuk melakukan dis-informasi (pemanipulasian dan penghasutan), semisal ketika ISIS dan Barat membajak Islam dan “Jihad” demi mengelabui sekaligus demi mendapatkan dukungan dan legitimasi pihak-pihak yang justru ingin mereka “taklukkan”, yaitu Islam dan kaum muslim. Sedangkan “modernitas kedua” yang dimaksud Anthony Giddens, meminjam paparannya Sindhunata di majalah Basis Edisi Januari-Februari Tahun 2000 halaman 7 adalah “suatu periode peralihan masyarakat, di mana peralihan itu terjadi dengan menggelisahkan, ketika yang lama dirobohkan di saat yang baru belum dibangun”.

Dengan demikian, di era tekno sains dan jaman citra kita ini, kita dituntut untuk menjadi orang-orang cerdas dan cermat yang akan mampu memilah dan membedakan antara informasi (pengetahuan dan informasi yang objektif) dengan dis-informasi (penyesatan, penghasutan, dan pemanipulasian) yang acapkali digerakkan oleh hasrat-hasrat politik sepihak. Sebagai contoh, yang dalam hal ini kita akan kembali mengambil contoh ISIS yang mencitrakan diri sebagai para “mujahidin” itu, ternyata adalah “agen” dan “pion” Barat di kawasan Timur Tengah.

Filsuf, pengkaji budaya hingga ilmuwan politik menyebut jaman kita saat ini sebagai era postmodern, masyarakat konsumer, masyarakat post-industry dan lainnya. Bagi yang menyebut era ini adalah jaman posttmodern, contohnya, sebagaimana dinyatakan Glenn Ward (Teach Yoursself: Postmodernism, Contemporarry Books 2003: 4) istilah itu merupakan: a descriptive term for all sorts of proposed shifts and change in contemporary society and culture. Sebuah istilah untuk menyebut segala perubahan dan pergeseran dalam masyarakat secara sosial dan budaya. Masyarakat kontemporer itu, yang bila meminjam sebutannya Jean-Francois Lyotard (Krisis dan Masa Depan Pengetahuan, Teraju 2004) adalah masyarakat yang semakin termesinkan dan terkomputerisasi. Lyotard sendiri, sebagaimana ia nyatakan dengan lantang, memaksudkan diksi postmodern dalam ranah budaya dan pemikiran sebagai ketidakpercayaan terhadap logosentrisme, metanarasi, totalitarisme dan merayakan kemajemukan dan perbedaan.

Bahkan, dengan sangat berani, Philippa Berry menganggap jaman kita saat ini sebagai era paska agama dengan menyatakan: The society and culture we inhabit today, at the start of the third millennium, appear at first glance to be the most secular that the world has yet known. As traditional conceptions of knowledge and religion appear increasingly redundant in the context of a postmodern pluralism, so an increasingly frenetic pursuit of this worldly pleasure, along with an ever higher standard of living – with the attendant pressures not just to work harder and to play harder but, above all, to consume – seems definitively to have replace that emphasis upon otherworldly and religious forms of comfort, or salvation, that was accorded social and cultural legitimation in precapitalist society (The Cambridge Companion to Postmodernism, Cambridge University Press 2004: 168).

Jika kita setuju dengan pernyataan Pĥilíppa Berry itu, masyarakat kita saat ini sesungguhnya lebih disibukkan oleh kerja dan karir ketimbang mengejar janji-janji ukhrawi nanti. Berry juga secara terbuka menyatakan bahwa masyarakat religius lebih sebagai ciri masyarkat pra-kapittalisme lanjut seperti saat ini. Sebuah anggapan dan pernyataan yang sesungguhnya sudah terbukti keliru dan terbantahkan ketika gejala fundamentalisme keagamaan malah marak di jaman yang mereka klaim sebagai era postmodern saat ini. Termasuk bangkitnya gerakan kanan keagamaan di Amerika ssendiri. Jeff Zaleski (Spiritualitas Cyber Space, Mizan 1999) sebagai contoh, mengemukakan bahwa di jaman internet dan era yang semakin terkomputerisasi saat ini, ekspressi dan praktik ritual keagamaan malah beralih dan menemukan ruang-ruang dan media-media baru yang jangkauannya lintas negara atau dalam skala global yang menembus dan melintasi batas-batas geografis. Orang yang ingin berkonsultasi atau berdiskusi soal keagamaan dari Amerika bisa melakukan sambungan langsung dengan panutan religiusnya yang ada di Iran atau di Indonesia.

Sementara itu, terkait merebaknya fundamentalisme keagamaan di era kontemporer kita, sekaliber filsuf Jacques Derrida menganggapnya dilahirkan dan dimungkinkan oleh situasi dan perkembangan kontemporer dunia kita saat ini meski sebagai sebuah reaksi (Giovanna Borradori, Filsafat dalam Masa Teror, Kompas 2005: 178-181).

Sedangkan secara sosial, trend dan budaya jaman kontemporer saat ini, Jean Baudrillard mengemukakannya dengan agak metaforis:..one might suppose that the acceleration of modernity, of technology, events and media, of all exchanges –economic, political and sexual – has propelled us to escape velocity, with the result that we have flown free of the referential sphere of the real and of history. We are liberated in every sense of the term, so liberated that we have taken leave of a certain space-time, passed beyond a certain horizon in which the real is possible....(The Postmodern History Reader, Edited By Keith Jenkins, Routledge 1997: 39). Bahwa, bila mengutip pernyataan Jean Baudrillard itu, barangkali kita hidup dalam dan bersama ilusi-ilusi yang kita buat yang lalu membingungkan kita sendiri, ketika orang mungkin mengira bahwa percepatan modernitas, teknologi, peristiwa hidup sehari-hari dan hingar-bingar media, segala aktivitas pertukaran – ekonomi, politik dan seksual – telah mendorong kita untuk melepaskan diri dari kecepatan atau kesegeraan, dengan hasil bahwa kita telah terbang bebas dari lingkup referensial, dari yang nyata dan dari sejarah. Seakan-akan Baudrillard hendak menyatakan bahwa segalanya adalah hal yang mungkin dan apa saja bisa terjadi di era mutakhir kita saat ini. Termasuk dampak buruk perkembangan tekhnologi-informasi itu sendiri yang sudah diramalkan oleh banyak penulis dan pemikir.

Di jaman kita saat ini, internet telah merambah ke setiap sudut hidup dan lintas usia, dari mulai anak-anak hingga orang tua. Internet, tak diragukan lagi, merupakan bukti di mana kapitalisme telah menciptakan suatu dunia tekno-sains yang dampak revolusionernya dapat disamakan dengan revolusi mesin cetak yang ditemukan Gutenberg, tentu saja menurut kadar jamannya masing-masing. Namun, selain sejumlah fungsi dan nilai positifnya, internet juga bermata dua: memiliki dampak negatif yang bahkan bisa melampaui manfaat positifnya: membuat banyak orang jadi tumpul akalnya dan hidup kembali dalam budaya oral.

Terkait perkembangan gegap gempita “dunia maya” ini, sejumlah kalangan dan analis mengkhawatirkan, misalnya, ketika orang-orang menghabiskan waktunya di dunia maya (internet), pada saat itu mereka telah melupakan realitas hidup atau dunia nyata mereka, ruang nyata dan persentuhan hidup sesungguhnya dengan sesama dan lingkungan (ruang) yang riil, yang tak semata virtual. Di antara pengkritiknya yang keras adalah Mark Slouka dan yang moderat adalah Jean Baudrillard.

Berbeda dengan Jean Baudrillard yang terbilang santai dalam menyikapi gegap gempita dunia maya ini, Mark Slouka termasuk sangat mengkhawatirkan dampak dunia maya akan merusak identitas dan kedirian ummat manusia secara sosial dan psikologis. Ada baiknya kita kutip ilustrasi yang ia tulis dalam bukunya yang berjudul War of the Worlds: Cyberspace and the High-Tech Assault on Reality (yang telah diterjemahkan ke Bahasa Indonesia dengan judul Ruang yang Hilang dan diterbitkan Mizan di tahun 1999) halaman 39:

“Ketika itu tahun 1990. Seorang wartawan New York Times sedang menyelidiki kasus terkenal tentang seorang pria yang dituduh membunuh istrinya yang sedang hamil, tetapi kemudian sang pria justru berkilah tentang serangan seorang kulit hitam tak dikenal atas pembunuhan tersebut. Ia mewawancara tetangga pasangan itu. “Anda percaya ceritanya?” tanya si wartawan. “Anda mengenal tersangka? Menurut Anda, mungkinkah dia hanya mengarang cerita bohong?” “Saya sungguh tak tahu,” jawab si tetangga. “Saya ingin sekali menonton filmnya ditayangkan di TV agar saya dapat mengetahui bagaimana akhir ceritanya.” Kurang dari satu tahun kemudian, acara TV yang ditunggunya itu akhirnya mengudara, judulnya “Selamat Malam, Istri Tersayang: Pembunuhan di Boston.”

Dengan ilustrasi tersebut, Mark Slouka sebenarnya hanya ingin mengatakan bahwa kemajuan tekhno-sains atau tekhnologi informasi dan dunia maya, yang dalam hal ini sajian entertainment di televisi sebagai contohnya (yang telah mengakibatkan kecanduan bagi para penontonnya) justru telah mengasingkan manusia dari kehidupan nyatanya dan dari kehidupan kesehariannya, serta dari persentuhan dan keterlibatannya secara intim dengan sesamanya sendiri dalam ruang hidup dan lingkungan yang nyata.

Dalam hal ini, jauh sebelumnya Neil Postman telah menyadari sisi buruk tekhno-sains atau tekhnologi informasi (di samping manfaat positifnya), melalui bukunya yang cukup populer yang telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dengan judul ‘Menghibur Diri Sampai Mati’ yang diterbitkan oleh Pustaka Sinar Harapan tahun 1995, di mana ia berpendapat bahwa salah-satu sisi buruk televisi, sebagai contohnya, telah membuat orang-orang kembali menggandrungi budaya oral serta hal-hal yang instant dan banal.

Nilai penting buku Neil Postman tak lain karena buku tersebut telah membuktikan kecenderungan bahwa apa yang diramalkan George Orwell adalah keliru, dan apa yang “diramalkan” atau diprediksi oleh Aldous Huxley adalah benar –setidaknya menurut versi Neil Postman sendiri. George Orwell memperingatkan kita akan ancaman penindasan tirani penguasa. Sedangkan Aldous Huxley justru menyatakan bahwa manusia justru akan semakin mencintai penindasnya, memuja berbagai tekhnologi (termasuk internet seperti jejaring sosial atau media sosial dunia maya dan perangkat tekhno-sains lainnya) yang akan membutakan pikirannya. Neil Postman memberikan contohnya seperti ini:

“Orwell memprihatinkan pelarangan buku. Huxley memprihatinkan lenyapnya alasan untuk melarang penerbitan buku, karena minat baca telah punah. Orwell mencemaskan adanya pihak yang ingin menjauhkan kita dari informasi, sementara Huxley mengkhawatirkan mereka yang menjejali kita dengan begitu banyak informasi sampai kita menjadi pasif dan egois. Orwell mengkhawatirkan disembunyikannya kebenaran dari kita, Huxley mengkhawatirkan hilangnya kebenaran di dalam lautan informasi yang tidak relevan. Orwell mencemaskan datangnya masa di mana kita menjadi masyarakat yang terbelenggu. Huxley mencemaskan kemungkinan kita menjadi masyarakat remeh-temeh. Singkatnya, Orwell cemas akan kehancuran kita yang disebabkan oleh hal-hal yang kita benci. Huxley, sebaliknya, cemas akan kehancuran kita yang disebabkan oleh hal-hal yang kita sukai.

Maka, mengapa saya tidak terkejut, karena apa yang kini terjadi di sini, sesungguhnya telah terjadi di, sebut saja, Amerika sana di waktu dulu. Di mana politik bahkan sudah dipengaruhi begitu jauh dengan sisi-sisi entertainment. (Menjadi presiden di sana berarti menjaga penampilan, berat badan, hindari kebotakan, dan lain sebagainya!). Bukan hanya soal politik, bahkan juga soal agama. Di Amerika, Tuhan menganak-emaskan mereka yang memiliki bakat dan kemampuan untuk menghibur, apakah mereka pengkhotbah, atlit, pengusaha, politisi, guru, maupun jurnalis. Di Amerika, justru penghibur profesional yang tidak menghibur.” Sebuah satir halus yang menyadarkan kita tentang ruang-ruang bermata dua yang diciptakan oleh kemajuan tekhnologi informasi jaman kita saat ini.

Dakwah Era Medsos dan Digital

Di era medsos dan digital ini, kita punya tantangan sekaligus kesempatan untuk menghadirkan Islam yang ramah dan rahmatan lil ‘alamin bagi siapa saja. Kreativitas dan kecakapan adaptif terhadap perkembangan tekhnologi informasi dan media menjadi salah- satu kuncinya. Dakwah memasuki ruang-ruang baru sebagai akibat dan dampak dari kemajuan tekhnologi dan peradaban manusia saat ini hingga di masa depan. Dakwah tak lagi hanya di majlis-majlis ta’lim, tapi telah dipaksa memasuki ruang-ruang dan media-media baru semisal televisi, YouTube, situs hingga jejaring sosial semisal facebook dan yang sejenisnya. Tentu saja, selain keniscayaan penguasaan materi dakwah dari ragam ilmu keislamman, kemahiran dan kecerdikan adaprif terhadap perkembangan tekhnologi informasi serta inovasi dan kreativitas dalam ranah industri  budaya dan media.

Saat ini, soal-soal keagamaan tak dapat dilepaskan dari aktivitas dan keasyikan orang-orang berselancar di media sosial di mana yang memprihatinkan kita media sosial itu pula yang menjadi ‘media’ penyebaran doktrin-doktrin yang diklaim sebagai ajaran dan nilai religius yang setiap saat melakukan agitasi dan penghasutan kepada para pengguna media sosial, padahal sesungguhnya tak sesuai dengan semangat keagamaan yang sebenarnya. Yang kedua, dan ini juga tak kalah pelik dan memprihatinkan kita, media sosial itu seakan telah menjadi ‘pesantren’ singkat tak resmi, yang sayangnya lebih sering menyebarkan teologi yang devian, dan yang lebih buruknya lagi, adalah justru telah melahirkan budaya oral ketimbang membuat orang-orang terbiasa melakukan analisa, berpikir kritis, dan membaca narasi panjang yang bernas.

Setiap hari, media sosial menghadirkan ‘bujukan’ informasi yang sifatnya kilasan dengan pergantian dan durasi yang demikian cepat, semisal di fesbuk, instagram, twitter, dan yang sejenisnya, yang oleh orang-orang yang tak punya daya kritis dan analitis yang memadai akan ditelan mentah-mentah begitu saja, meski informasi-informasi itu ternyata tak lebih hasutan, propaganda, atau hoax. Inilah tantangan sekaligus peluang kita mengisi dakwah di ruang-ruang baru tersebut untuk menyebarkan Islam yang rahmatan lil ‘alamin atau Islam yang ramah dan mengkomunikasikan spirit Islam asli yang welas-asih.

Bila tak diisi dan dimanfaatkan oleh kita yang menjaga dan merawat moderatisme Islam, maka masyarakat akan terbiarkan begitu saja menjadi korban agitasi dan hasutan para penceramah yang mengajarkan dan mengujarkan kebencian hingga membenarkan persekusi atas dan terhadap ke-liyan-an. Mereka yang menjadi ‘korban’ hasutan dan propaganda yang tersebar di media sosial itu kemudian menjadi para penyebar propaganda dan hoax pula dan begitu seterusnya. Mereka membagikan terus-menerus propaganda, hoax, dan hasutan tersebut, seperti di fesbuk, yang ketika sedemikian menjadi massif lalu akan dianggap sebagai ‘kebenaran’ yang tak terbantahkan. Di sini sesungguhnya harus juga disadari bahwa ketika media-media atau situs-situs yang narasi dan isinya adalah hasutan, bahkan ujaran kebencian tersebut begitu mudah dianggap sebagai ‘kebenaran’, publik terpengaruh dan mereka seakan memiliki ‘pembenaran’ atau laku membenci pihak lain yang ‘difitnah’, dan ujung-ujungnya mereka merasa memiliki ‘dasar’ yang sah untuk mempraktikkan kekerasan.

Di era digital dan zaman android sekarang ini, ketika orang-orang lebih sibuk dan lebih senang berselancar menghabiskan waktu keseharian mereka untuk asyik-masyuk di media sosial: facebook, instagram, twitter dan yang sejenisnya, ketimbang membaca buku, betapa mudahnya hasutan dan propaganda ‘ceramah dan narasi’ kebencian dan intoleran disebarkan dan lalu dikonsumsi banyak orang. Tak jarang orang-orang begitu mudahnya menganggap yang hoax sebagai fakta dan kebenaran, yang tak lain adalah mereka yang menjadi korban hasutan tersebut, tiba-tiba merasa yang paling benar dan paling beriman. Inilah jaman ketika akal dan analisis dibunuh oleh tekhnologi internet, yang justru diciptakan manusia, bahkan tak sedikit yang kemudian menjadi mesin perang yang berubah menjadi zombi-zombi yang akalnya mati sebelum tubuh mereka sendiri menjadi jenazah atau mayat, semisal mereka yang menjadi para pelaku teror, bom bunuh diri dan pelaku praktik kekerasan yang mengatasnamakan agama.

Tak diragukan lagi, di jaman ketika mesin telah membunuh akal dan intelegensia, yaitu era android dan internet kita saat ini, para pendakwah dan para penulis, kaum akademik dan intelektual, mestilah menjalankan tugas ‘profetik’ sebagai para pencerah, dan tentu saja menjadi para penyuluh masyarakat yang sanggup memberi lentera dan pelita bagi hidupnya akal manusia melalui kiprah dan karya-karya mereka, yang mereka tuliskan, yang mereka terbitkan dan mereka bukukan. Sebab jika tidak, intelek dan bahkan jiwa manusia akan remuk ditelan teknologi internet yang diciptakannya sendiri, yang belakangan menjadi medan penyebaran hoax, hasutan, ujaran kebencian, propaganda politik dan perang, di saat internet tersebut juga menjadi media penyebaran ‘budaya oral yang instant’.

‘Terbunuhnya’ intelek inilah yang membuat orang mudah diindoktrinasi dengan ajaran-ajaran dan ujaran-ceramah kebencian dan memiliki pandangan bahwa agama tidak memiliki kekariban dan koherensi dengan akal. Di sini, saya teringat apa yang pernah dinyatakan Sayidina Ali, yang kira-kira bunyinya: “Kadar keberagamaan seseorang sesuai dengan kadar akalnya.” Bukankah dalam Islam, sebagai contoh, syarat kelayakan ibadah seseorang adalah ketika ia ‘aqil balig? Kita tidak diwajibkan berpuasa Ramadhan, misalnya, ketika kita belum aqil balig. Hidupnya intelek ini dimungkinkan dengan aktivitas daras dan membaca, mengaji dan mengkaji, terkait dengan kapasitas literer seseorang. Menurut Sayidina Ali bin Abi Thalib, akal atau intelek ini terbagi dua: “akal tabi’i (natural), kedua adalah akal tajribi (eksperimentasi dan pengalaman), kedua dari pembagian akal manusia ini memberikan manfaat dan faedah kepada manusia, dan seseorang harus menyakini bahwa ia memiliki akal dan agama” (Biharul Anwar jilid 78 hal 128).

Belajar dari Sokrates

Jika kita ambil hikmah dari anekdot filosofis antara Sokrates dan teman dialognya yang telah digambarkan di awal tulisan ini, maka sebuah informasi (agar kita tidak menjadi korban hoax dan hasutan) setidak-tidaknya harus memenuhi tiga syarat untuk bisa diterima sebagai informasi yang tidak mengandung kebohongan atau kepalsuan: kebenaran, kebaikan dan kegunaan.

Yang pertama, yaitu kebenaran tentu syarat yang utama. Sebuah informasi haruslah tidak mengandung kebohongan dan fitnah yang akan berdampak merugikan dan mendatangkan keburukan dan kerusakan. Selanjutnya, yaitu yang kedua, informasi yang baik adalah informasi yang bisa mendatangkan maslahat dan kebaikan, bukan malah sebaliknya. Dan yang terakhir, yang ketiga, adalah juga penting bahwa informasi yang kita sebarkan dan kita terima adalah yang bermanfaat dan berguna. Ketiga syarat itu tentu saja saling berkaitan satu sama lainnya sebagai kesatuan yang harus hadir bersama-sama dalam sebuah informasi.

Anjuran dan saran Sokrates itu relevan dan kontekstual di jaman kita saat ini ketika kemajuan tekhnologi informasi dan sebaran informasi yang melimpah menjadi ladang subur bagi ‘bisnis hoax’ demi mengejar rating dan keuntungan dengan memanfaatkan lemahnya literasi dan kemampuan analisis orang awam. Rendahnya kemampuan analitik dan begitu mudahnya sikap fanatik buta tumbuh dan berkembang justru disumbang oleh keberadaan internet dan medsos itu sendiri. Di jaman merebaknya informasi (juga hoax bersamanya) dan bertebarannya sebaran media internet (serta jejaring media sosial), bisa jadi masyarakat malah bingung, bukannya tercerahkan. Terdistorsi ruang kritisnya dan terbunuh nalar analitiknya bersamaan dengan menguatnya budaya oral di era gawai dan internet abad kita saat ini, yaitu melemahnya kemampuan untuk melakukan ‘pembacaan’ dan ‘analisa’ atas informasi yang datang dalam hitungan detik melalui media sosial dan media-media internet, yang tak jarang menyebarkan informasi-informasi instan, dan bahkan hoax.

Yang lebih memprihatinkan adalah kebingungan dan ‘matinya’ ruang kritis publik tersebut terlebih lagi juga dialami oleh mereka yang berpendidikan tinggi. Kasus hoax Ratna Sarumpaet beberapa waktu silam yang kehebohannya sampai tingkat nasional dan melibatkan para elite itu tentu tak bisa dianggap sebagai sesuatu yang remeh dan angin lalu, karena hoax politik dan politik hoax tersebut sempat menimbulkan pro-kontra yang keras di kalangan para pendukung capres-cawapres saat itu.

Masyarakat atau publik yang terbiasa menerima informasi yang cepat dan melimpah lewat media sosial, serta terbiasa dengan menyaksikan tayangan reality show dan infotainment yang berkesinambungan setiap hari melalui kanal-kanal televisi, ternyata justru menjadi terbiasa juga untuk menghindari sajian dan forum intelektual yang mendidik dan berbudaya, dan kalau pun ada forum seperti itu di televisi, juga yang dikemas dan diformat sesuai dengan reality show: mempertontonkan adu kubu dan ‘pembenturan’ kelompok, yang justru malah semakin mengentalkan fanatisme tak bernalar di kalangan masyarakat luas.

Dalam hal ini, bisa juga dikatakan, media (baik media internet maupun televisi) memiliki peran sentral dalam menciptakan budaya oral (non literer) dalam masyarakat kita. Suatu budaya yang tak memberi ruang dan kesempatan bagi lahir dan hidupnya ‘nalar publik’ yang sehat, bagi tumbuhnya habitus berpikir kritis dan analitis dalam masyarakat. Sehingga, wajar, misalnya, bila hoax menjadi begitu mudah dikonsumsi banyak orang, dan malah hoax telah dijadikan lahan bisnis untuk meraup untung bagi para pegiat situs-situs abal-abal. Hoax menjadi industri di jaman media dan internet, era kita saat ini.

Belajar dari Kasus Ratna Sarumpaet beberapa waktu yang silam sebelum terilpihnya Joko Widodo untuk kedua kalinya itu, betapa bahkan para elite di negeri ini begitu mudahnya termakan hoax dan lalu menjadi para penyebar hoax. Dan ternyata, sudah lama, mereka yang menjadi konsumen dan para penyebar hoax di negeri ini termasuk juga tokoh-tokoh agama, PNS, para penceramah agama (terutama dai-dai yang muncul sejak tahun 2000-an), hingga para politisi. Tengok saja ketika pecah Perang Suriah sejak tahun 2000-an itu, betapa para penyebar hoax adalah mereka yang biasa melakukan ceramah agama hingga para politisi. Artinya, hoax telah menjadi konsumsi lintas kalangan dan kelas.  

Dakwah Moderat dan Jihad Modern

Nilai dan materi dakwah yang sesuai dengan visi Islam Moderat atau moderatisme Islam adalah nilai, ajaran dan materi dakwah yang mengajak dan mengajarkan semangat dan sikap toleran, solidaritas dan welas-asih kepada sesama, sesuai dengan makna kata dakwah itu sendiri yang mengajak dengan hikmah kepada kebajikan dan kemasalahatan, bukan menyebarkan ujaran dan sikap kebencian dan intoleransi. Kita sadar betul banyak muslim yang mudah terhasut dan terprovokasi karena ke-awaman mereka secara keagamaan. Banyak muslim yang keagamaan mereka sekedar patuh secara ritual saja. Banyak dari mereka orang-orang baik dan lugu lalu menjadi tidak baik setelah mendengar ceramah-ceramah sektarian yang memassifkan ujaran kebencian dan sikap intoleran, termasuk dalam retorika pemaknaan jihad belakangan ini yang seringkali disalah-gunakan untuk membenarkan teror dan kekerasan.

Dalam ceramahnya di Chicago Humanities Festival, Garry Wills mengutip pernyataan Patricia Crone bahwa pelaku terorisme sudah pasti mereka yang tidak paham agama mereka  sendiri. Kutipan itu dilontarkan Garry Wills dalam rangka mengemukakan pembacaannya bahwa dalam Quran tidak ada kata ‘pedang’ ketika banyak orang Barat menuduh Islam mengajarkan agressi dan kitab sucinya sebagai ayat-ayat pedang dan menganjurkan agressi atau terorisme. Kenyatannya dalam Quran, hanya perang dalam rangka membela diri (mempertahankan diri) yang dibenarkan dan sama-sekali tidak  ada ayat yang membenarkan terorisme apalagi bom bunuh diri.

Bersamaan dengan itu pula, lanjutnya, kata jihad dalam makna esensinya pun acapkali disalah-pahami  banyak orang di Barat dan di sisi lain dibajak oleh para teroris dan kaum ekstrimis dalam rangka ‘membenarkan’ tindakan kekerasan mereka. Jihad tentu saja bermakna kesungguh-sungguhan, semangat dalam pengertian budaya Barat, ungkap Garry Wills, untuk melakukan tindakan-tindakan positif dan bermanfaat bagi kehidupan.

Memang, seorang muslim yang peka tentu saja akan merasa prihatin dengan peristiwa-peristiwa mutakhir yang berkenaan dengan Islam sebagai sebuah kepercayaan dan pandangan hidup muslim, yang akhir-akhir ini dilekatkan dengan kejadian-kejadian teror dan kekerasan, yang menemukan titik klimaks pertamanya pada peristiwa 11 September 2001, atau yang lazim disebut sebagai Black September yang mengakibatkan kematian banyak jiwa, bebeberapa tahun silam.

Dan belakangan tindakan-tindakan teror tersebut untuk sebagiannya masih menggunakan retorika-retorika jihad dan kesyahidan. Berangkat dari peristiwa-peristiwa tersebut, barangkali kita perlu sejenak bertanya: “Benarkah tindakan-tindakan bunuh diri dan serentetan peristiwa-peristiwa kekerasan itu sejalan dengan semangat dan doktrin Islam? Benarkah kata dan terminologi jihad dan kesyahidan hanya dimaksudkan dalam konteks-konteks peperangan fisik, dan bukan yang lebih bermakna kultural dan intelektual?”

Namun, sebelum kita menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, ada baiknya kita mempertimbangkan apa yang pernah dikatakan Akbar S. Ahmed sejauh menyangkut tantangan ummat Islam saat ini. Di abad 21, demikian tulis Ahmed dalam bukunya yang berjudul Posmodernisme, Bahaya dan Harapan bagi Islam (Mizan, 1993), interaksi dan bahkan konfrontasi antara Islam dan Barat melahirkan dilemma internal di antara keduanya, dan khusus bagi kaum muslim itu sendiri adalah bagaimana melestarikan esensi pesan-pesan Al-Qur’an tanpa harus sekedar mereduksinya hanya semata-mata nyanyian usang dan hampa dalam adaptasinya dengan konteks kekinian ummat Islam itu sendiri.

Juga bagaimana, lanjut Ahmed, kaum muslim dapat berpartisipasi dalam peradaban global tanpa harus menghapus identitas mereka sebagai muslim. Dengan kata lain, ummat Islam mau tak mau dan tak mungkin menghindarinya telah berada di persimpangan jalan, berada dalam dilemma bagaimana mendayagunakan vitalitas dan komitmen keimanan dan keislaman mereka dalam memenuhi tujuan mereka di pentas dunia tanpa harus meninggalkan Islam itu sendiri.

Dilema kekinian kaum muslim sebagaimana yang dikemukakan Akbar S. Ahmed di atas memang bukan isapan jempol semata dan masih terasa sampai detik ini bila kita melihat tantangan Islam saat ini berkaitan dengan isu-isu dan peristiwa-peristiwa terorisme dan kekerasan yang acapkali dirujukkan kepada Islam sebagai ajaran, ideologi, dan kepercayaan. Dan itu pula yang dapat kita sebut sebagai situasi epistemik yang dihadapi dan mau tidak mau mesti dihidupi kaum muslim saat ini, yang bila meminjam frasenya Jurgen Habermas bagaimana orang-orang beriman dapat hidup selaras di tengah dunia yang telah mengakui dan menerima kemajemukan dan toleransi sebagai dasar institusi sosial dan politiknya, tanpa mesti orang-orang beriman meninggalkan keyakinan agamis mereka di dalam dunia yang menuntut toleransi dan tidak lagi menginginkan praktik-praktik kekerasan.

Dan bila dilihat secara umum, tantangan tersebut juga dihadapi semua agama, bukan hanya Islam, seperti yang dikemukakan William McInner dengan ceramahnya pada tahun 1989 dalam suatu konferensi di Jepang (Jurnal Ulumul Qur’an Vol.II 1990, h. 76-83). Di mana agama di abad 21 mau tidak mau harus menerima kenyataan fragmentaris yang bisa menjadi lawan sekaligus menjadi kawan, seperti semakin diterimanya sikap-sikap dan pandangan-pandangan positivisme-ilmiah dan privatisasi. Yang selanjutnya menurut McInner, agama juga menghadapi kekuatan-kekuatan sinkretisasi yang berusaha mencari dan menemukan sintesis-sintesis dari doktrin-doktrin dan nilai-nilai agama dengan cita-cita humanisme sekular dan positivisme abad ini. Yang bila disederhanakan dan disingkat, agama seakan-akan dituntut untuk berdamai dengan realitas kefanaan yang terus berubah, dan kadang terlampau cepat dan mengagetkan paradigma orang-orang beriman yang masih menganggap doktrin dan bunyi-bunyi verbal kitab suci mereka sebagai pijakan segala-galanya.

Apa yang dikemukakan Akbar S. Ahmed dan McInner tersebut juga tengah dihadapi dan sedang berlangsung dalam kehidupan kaum muslim, ketika kaum muslim harus mampu mencapai kemajuan peradaban dan intelektualnya, di satu sisi, tetapi di sisi lain tetap mempertahankan identitas kemuslimannya, yang pada saat yang sama kaum muslim dituntut untuk memperkecil kesenjangan antara doktrin Islam dan kenyataan kefanaan yang dihidupinya. Bahkan, sedemikian rupa, ummat Islam mau tak mau mesti menyelaraskan dirinya dengan perbedaan-perbedaan dan identitas-identitas kebangsaan dan keagamaan di luar dirinya.

Persis dalam konteks itu pula, identitas kemusliman dan kesalehan tentu saja tak hanya menemukan jawaban dan aplikasinya dalam ortodoksi, yang selama ini sekedar memandang dan memahami Islam sebatas sejumlah doktrin dan ajaran pewahyuan yang dikonsentrasikan pada ritualitas murni (mahdhah) semata, Islam yang dijauhkan dari wacana pemikiran. Kecenderungan-kecenderungan seperti itu hanya akan mengarahkan pada pemahaman dan sikap hidup yang dapat membuat Islam seolah-olah tidak terbuka pada ikhtiar pemikiran kritis (ijtihad) untuk selalu menyikapi dengan lapang dada arus-arus perubahan dan mengafirmasi realitas kefanaan yang dihidupi dan dialami dalam keseharian ummat Islam.

Kita pun sama-sama maphum, kedatangan Islam itu sendiri dalam sejarahnya merupakan counter culture atas keadaan-keadaan dan kondisi-kondisi sosial-politik di mana Islam diperjuangkan oleh Nabi Muhammad, ketika Islam menolak paganisme dan penguburan bayi perempuan dalam keadaan hidup, sebagai contohnya. Penolakan dan perlawanan terhadap praktek-praktek paganisme dan penguburan bayi perempuan dalam keadaan hidup itu pada jamannya telah membuka wawasan baru tentang humanisme dan martabat manusia.

Contoh-contoh dan pendapat-pendapat di atas telah membuktikan bahwa Islam tak hanya sebuah agama ritualis, tetapi lebih dari itu, ia merupakan semangat emansipasi dan pencerahan, sebuah agama yang tak cuma mengajarkan jihad dalam artiannya yang semata fisik dan berbau kekerasan, tetapi adalah sebuah nilai dan semangat hidup agar manusia terus menerus melakukan kebajikan yang tak semata-mata dipahami secara egoistik dan chauvinistik, melainkan agar menjadi rahmat bagi semua ummat manusia di muka bumi ini.

Jihad yang sesungguhnya adalah bagaimana kaum muslim mengentaskan dirinya dari kemiskinan dan ketertinggalan kultural dan struktural, adalah bagaimana ummat Islam tak cuma menjadi ummat yang bisa mengkonsumsi tanpa mencipta, ummat yang kreatif dan produktif hingga berperan aktif dalam cita-cita peradaban dan perdamaian ummat manusia, sebagaimana yang dibayangkan Akbar S. Ahmed. Idealnya, ummat Islam harus mengaktualkan diri dalam konteks kemajuan humanisme, sains dan peradaban.

Barangkali kita juga harus instrospeksi atau melakukan kritik diri yang konstruktif. Tepat, dalam hal ini, kiranya relevan kita menyimak “pembedaan” dua corak dan bentuk iman dan agama, sebagaimana dikemukakan Immanuel Kant, yang tentu saja sekedar dipinjam sebagai cermin, di mana dalam traktat-nya yang berjudul Religion within the Limits of Reason Alone itu sebagaimana disitir Jacques Derrida dalam dialognya dengan Giovanna Borradori ihwal agama dan terorisme, Kant mendistingsikan atau mengkontraskan antara iman reflektif dan iman dogmatis. Yang pertama, atau iman reflektif, adalah iman yang tidak menutup akal dan nurani, yang kalau meminjam bahasanya Soren Kierkegaard, adalah iman yang dihayati. Sedangkan sebaliknya, yaitu iman dogmatis, adalah iman yang telah kehilangan kepekaan, alih-alih malah menyuburkan kebencian.

Belakangan ini, seperti sama-sama kita tahu, yang tentu saja tak mungkin kita anggap remeh, adalah maraknya paham-paham teologis yang gandrung menyebarkan kebencian. Mereka bahkan “menghalalkan darah”, bukan hanya kepada yang berbeda agama, tetapi kepada yang se-agama dengan mereka. Mereka juga gandrung sekali “memassifkan fatwa dan tuduhan” sesat dan kafir kepada kelompok dan ummat yang bukan dari mazhab mereka. Sebagai nama sementara, mereka kita kenal sebagai kelompok Takfiri. Di Suriah belum lama ini, misalnya, kelompok ini, bila kita baca sejumlah media cetak dan media non-cetak, menjadi kelompok pemberontak dan tak segan-segan “memerangi dengan senjata canggih yang mereka dapatkan” dan “membantai”, seperti yang telah dikatakan, bukan hanya orang yang tak se-agama dengan mereka, tapi juga orang yang bukan dari mazhab atau golongan mereka.

Islam sendiri, seperti sama-sama kita tahu, adalah agama yang visi dan nilainya menekankan agama yang memberi rahmatan lil ‘alamin, yang bolehlah kita terjemahkan juga sebagai rahmat untuk seluruh alam dan segala kalangan. Setidak-tidaknya, visi humanis dan kesalehan sosial kita juga terkandung dalam doktrin dan nilai-nilai Islam, yang seperti telah disebut, menjadi muslim yang mempraktekkan ihsan kepada sesama dalam hidup. Di sini, saya teringat syair Sa’di, pujangga muslim dari Persia itu, di mana salah-satu puisinya yang kini diabadikan di dinding gedung PBB berbunyi, “Anak adam satu raga satu jiwa, tercipta dari muasal yang sama. Jika satu anggota ummat manusia terluka, semua akan merasa terluka. Engkau yang tak berduka atas luka manusia, tak layak menyandang nama manusia”.

Pesan moral tentang solidaritas kemanusiaan puisi Sa’di tersebut membuatnya menjadi istimewa bagi semua kalangan, relevansinya melampaui batas-batas etnik, agama, dan bangsa, meski ditulis oleh seorang muslim yang dikenal sangat arif, saleh, dan tentu saja berwawasan luas. Dan seperti telah disebutkan, puisi itu pun disematkan di gedung PBB atau United Nations sebagai simbol welas asih dan perdamaian sesama ummat manusia. Sa’adi sebenarnya hanyalah salah-satu contoh ketika dunia Islam menyumbangkan kearifan dan melahirkan penyair-penyair yang menjadi teladan Timur dan Barat, semisal Attar, Hafiz, Rumi, Khayyam, dan yang lainnya. Dunia Islam telah menorehkan kegemilangan peradaban dan humanisme melalui para penulis, filsuf, dan penyair seperti mereka.

Sebenarnya, bila dikaji dan ditelusuri lebih seksama, ajaran humanisme Islam, yang barangkali dapat juga kita sebut sebagai nilai-nilai kesalehan sosial tersebut, telah lahir bersamaan dengan kelahiran Islam itu sendiri melalui dan bersamaan dengan ajaran Islam dan Nabi Muhammad SAW, yang diriwayatkan perawi hadits masyhur, Muslim itu, “Berbuat kebajikan adalah tanda (mahkota) keimanan, dan sesiapa yang tidak berbuat kebajikan maka bukanlah orang beriman”. Pesan singkat ini memiliki makna yang dalam dan universal, di mana basis dan dasar keimanan seseorang adalah berbuat kebajikan yang akan bermanfaat, dan universalisme terasa saat hadits tersebut tidak melabelkan agama atau etnik tertentu. Hadits tersebut hanya menyebutkan, “Berbuat kebajikan adalah tanda (mahkota) keimanan”.

Pesan dan ajaran serupa juga diteruskan oleh para imam ahlul bayt (keluarga dan keturunan Nabi SAW) semisal tercermin lewat ajaran Imam Hussain, sang cucu kesayangan Nabi SAW yang syahid di Karbala itu. Dikisahkan oleh para ulama dan perawi Hadits, sebelum syahid di Karbala, Imam Husain pernah berpesan kepada putranya, Imam Ali Zainal Abidin as Sajjad, “Wahai anakku, berhati-hatilah dari berlaku zalim terhadap seseorang yang tidak menemukan pembela di hadapanmu kecuali Allah.” Pesan Imam Husain tersebut, tak ragu lagi, adalah penegasan dan penafsiran fasih dari pesan dan ajaran akhlaq kekeknya, yaitu Nabi Muhammad, tentang ukuran keimanan seseorang adalah berbuat kebaikan sebagaimana telah disebutkan.

Mungkin tak salah dalam konteks ini kita tidak boleh lupa bahwa sebagai rahim dan pencipta kegemilangan intelektual dan peradaban di era keemasan dulu, Islam telah memberikan sumbangan yang diakui Timur dan Barat, sebagai pioneer. Bahkan ketika Eropa tengah berada dalam tidur lelap abad kegelapannya, Islam-lah yang membangunkan dan mencerahkannya, saat Islam menerjemahkan karya-karya filsuf Yunani dan melakukan inovasi sains, semisal yang disumbangkan Albiruni, Omar Khayyam, Ibn Haitham, Alkhawarizmi, dan yang lainnya. Dan salah satu ruh kegemilangan peradaban Islam tersebut tak lain adalah spirit humanis yang disumbangkan para pujangga, seperti Attar, Hafiz, Rumi, Firdausi, Sa’di, Khayyam, dan yang lainnya, selain tercermin dalam ajaran-ajaran Islam yang disampaikan Nabi Muhammad Saw dan ahlul baitnya. Dari mereka lah, para pujangga raksasa Timur dan Barat belajar dan menimba kearifan, seperti Goethe, Emerson, dan Tagore, sebagaimana diakui oleh para penyair besar tersebut.

Jika di masa itu ummat Islam menjadi pioneer dan pelopoer inovasi sains dan kreator peradaban, bukan tak mungkin kita saat ini bisa melakukan raihan dan prestasi serupa di saat ini dan di masa yang akan datang bila kita bekerja keras untuk menggapai pengetahuan dan sains dalam rangka membentuk diri kita sebagai inovator, produsen yang tak cuma jadi konsumen belaka.

 

Daftar Pustaka

 

Buku:

Akbar S. Ahmed, Posmodernisme: Bahaya dan Harapan bagi Islam, Mizan 1993.

Giovanna Borradori, Philosophy in the Time of Terror (Filsafat dalam Masa Teror), terj. Alfons Taryadi, Penerbit Kompas 2005.

Glenn Ward, Teach Yoursself: Postmodernism, Contemporarry Books 2003.

Jean-Francois Lyotard, Krisis dan Masa Depan Pengetahuan, Teraju 2004.

Jeff Zaleski, Spiritualitas Cyber Space, Mizan 1999.

Keith Jenkins [ed],The Postmodern History Reader, Routledge 1997.

Mark Slouka, Ruang yang Hilang, Mizan 1999.

Neil Postman, Menghibur Diri Sampai Mati, Pustaka Sinar Harapan 1995.

Oliver Leaman [ed], Pemerintahan Akhir Zaman, Al-Huda 2005.

The Cambridge Companion to Postmodernism, Cambridge University Press 2004.

 

Jurnal dan Majalah

Jurnal Ulumul Qur’an Vol.II 1990.

Majalah Basis Edisi Januari-Februari Tahun 2000.

 

Sulaiman Djaya lahir di Serang, Banten. Menulis esai dan fiksi. Tulisan-tulisannya pernah dimuat di Koran Tempo, Majalah Sastra Horison, Indo Pos, Pikiran Rakyat, Media Indonesia, Majalah TRUST, Majalah AND, Majalah Sastra Kandaga Kantor Bahasa Banten, Rakyat Sumbar, Majalah Sastra Pusat, Jurnal Sajak, Tabloid Kaibon, Radar Banten, Kabar Banten, Banten Raya, Tangsel Pos, Majalah Banten Muda, Tabloid Cikal, Tabloid Ruang Rekonstruksi, Harian Siantar, Change Magazine, Banten Pos, Banten News, basabasi.co, biem.co, buruan.co, Dakwah NU, Satelit News, simalaba, dan lain-lain. Buku puisi tunggalnya Mazmur Musim Sunyi diterbitkan oleh Kubah Budaya pada tahun 2013. Esai dan puisinya tergabung dalam beberapa Antologi, yakni Memasak Nasi Goreng Tanpa Nasi (Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013), Antologi Puisi Indonesia-Malaysia, Berjalan ke Utara (Antologi Puisi Mengenang Wan Anwar), Tuah Tara No Ate (Antologi Cerpen dan Puisi Temu Sastra IV di Ternate, Maluku Utara Tahun 2011), Sauk Seloko (Bunga Rampai Puisi Pertemuan Penyair Nusantara VI di Jambi Tahun 2012)), Kota, Kata, Kita: 44 Karya Para Pemenang Lomba Cipta Cerpen dan Puisi 2019, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta dan Yayasan Hari Puisi, Antologi Puisi ‘NUN’ Yayasan Hari Puisi Indonesia 2015, dan lain-lain. Sewaktu mahasiswa menjadi finalis Lomba Karya Tulis Ilmiah untuk Mahasiswa IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 1999.