Oleh Warta Madani
TEORI Michel Foucaut tentang kekuasaan,
wacana, dan pengetahuan merupakan aspek-aspek yang tidak terpisahkan.
Terminologi episteme dalam pemikiran Michel Foucault berarti korelasi
epistemologis yang dalam di antara berbagai cabang ilmu pengetahuan yang
berkembang pada masa dan kurun tertentu. Kaitannya dengan empat abad terakhir
sejarah pemikiran Eropa, Michel Foucault membaginya ke dalam tiga macam episteme,
yaitu: episteme Abad Tengah, episteme Klasik dan episteme Modern.
Setiap
penggalan (rupture) dari episteme tesebut memiliki sistem
pemikiran tersendiri yang berbeda satu sama lain, sekurangnya dalam konsep dan
metode. Arkeologi pengetahuan mendapatkan posisi di sini: bertugas mengungkap
unsur-unsur terdalam dan tersembunyi.
Episteme
(boleh jadi)
merupakan kumpulan relasi yang menghubungkan antara praktek-praktek lisan
dengan pengetahuan dalam berbagai bentuknya pada periode sejarah tertentu. Episteme
adalah sitem tersembunyi dibalik pengetahuan yang dominan pada masa
tertentu. Sistem tersembunyi ini dianggap sebagai pemersatu, dalam realitasnya
yang paling dalam, pada peradaban tertentu dan, periode tertentu.
Episteme
adalah prasyarat
munculnya pengetahuan dan teori. Jadi, ia adalah latar tersembunyi di belakang
pengetahuan; episteme adalah struktur dasar yang berada di luar sejarah.
Ringkasnya, ia adalah struktur pengetahuan global dengan cirinya yang holistik.
Ia dianggap sebagai jaringan dasar hukum-hukum yang mengatur pengetahuan,
metode, pemahaman, dan metode analisa.
Michel
Foucault meninggalkan anggapan lama yang memandang bahwa pengetahuan hanya
mungkin berkembang di luar wilayah kekuasaan. Antara pengetahuan dan kuasa
justru terdapat relasi yang saling berkembang, tidak ada praktek pelaksanaan
kuasa yang tidak memunculkan pengetahuan dan tidak pula pengetahuan yang di
dalamnya tidak mengandung relasi kuasa.
Ada
kesamaan antara Michel Foucault dengan Jacques Lacan berkenaan dengan bahasa.
Michel Foucault mengatakan bahwa yang berbicara bukanlah subyek, tapi struktur
linguistik dan sistem bahasa.
Sementara
Lacan menegaskan bahwa jalan yang telah dirintis oleh Freud tak memiliki makna
selain bahwa, alam bawah-sadar adalah bahasa. Mereka tampaknya memahami bahasa secara
luas. Signifikansi bahasa dalam studi Michel Foucault tampak dalam karyanya Madness
and Civilization, yang meneliti tentang simbol-simbol yang diciptakan oleh
relasi kuasa dengan pengetahuan. Praktek sosial menyediakan mekanisme yang
memungkinkan relasi kuasa beroperasi.
Kuasa
ada di mana-mana, karena itu, kekuasaan bisa ditemukan dalam segala bidang
interaksi manusia: keluarga, politik, ekonomi, sosial, agama dan sebagainya.
Penelitiannya tentang sejarah orang-orang gila, yakni tentang mereka yang ditolak
masyarakat, berhasil mengungkap formasi-formasi bahasa dan diskursus yang telah
menciptakan konsep pihak lain (the other). Untuk hal ini, ia menggunakan
deskripsi genealogis.
Genealogi
bukanlah teori, tapi lebih merupakan cara pandang atau model perspektif untuk
menempatkan diskursus, praktek sosial dan diri kita sendiri dalam wilayah
relasi kuasa. Genealogi merupakan kelanjutan dari arkeologi. Kalau arkeologi
lebih difokuskan untuk menyingkap suatu wilayah praktek diskursusif; untuk
menemukan fenomena-fenomena keterputusan dan keberbedaan, tanpa dikorelasikan
dengan kemajuan, maka genealogi lebih merupakan usaha untuk mendeskripsikan
sejarah formasi-formasi sosial; sejarah tentang asal suatu pemikiran untuk
menemukan titik tolak pemberangkatan, tanpa menghubungkannya dengan hakekat
(substansi) ataupun identitas-identitas yang hilang.
Tujuannya
hanyalah untuk membongkar pemikiran-pemikiran asali, center dan substansi.
Segala sesuatu tidak memiliki mahiyah (inti; substansi). Segala substansi tak
lebih dari buatan manusia, karena itu harus didekontruksi dan dikeping-keping.
Michel Foucault mampu membuktikan bahwa sejarah selama ini adalah sejarah yang
terdistorsi; bukan sejarah bahasa dan makna, tapi sejarah relasi kuasa.
Michel
Foucault menggunakan terminologi arkeologi secara metaforis untuk menunjuk pada
sesuatu yang disebut arsip. Bukan untuk menemukan awal sesuatu ataupun untuk
menghidupkan masa lalu yang telah mati.
Lebih
lanjut, Ia menerangkan tentang apa yang dimaksud dengan arsip, apa yang dimaksud
dengan arsip bukanlah kumpulan teks-teks yang dijaga oleh peradaban tertentu,
bukan pula kumpulan peninggalan arkeologis yang mungkin untuk dijaga dari
kehancuran, tapi merupakan kumpulan prinsip-prinsip (aturan-aturan) yang
menentukan bagi muncul dan hilangnya suatu diskursus; ketersambungan (continuity)
ataupun keterputusan (rupture) diskursus tersebut pada peradaban
tertentu.
Berkenaan
dengan sejarah kegilaan, Michel Foucault menunjukkan bahwa predikat ‘gila’ bukanlah
sekedar masalah empiris atau medis semata, tapi juga berkenaan dengan
norma-norma sosial dan bentuk-bentuk diskursus tertentu. Pengertian tentang
kegilaan adalah hasil ciptaan manusia, karena kategori gila terus berubah
sesuai dengan zaman. Abad Pertengahan memperlakukan orang gila sebagai orang
yang tidak berintegrasi dengan masyarakat. Menurut versi gereja, orang gila
adalah yang tidak memiliki loyalitas pada gereja. Pengertian gila terus berubah
sesuai dengan perspektif dan kepentingan pemegang kuasa.
Dalam
proses penciptaan, ikut terlibat para dokter, politisi, ahli hukum dan
unsur-unsur yang dominan dalam masyarakat. Yang paling dominan peranannya
adalah para dokter yang menciptakan bahasa simbol dan tanda-tanda. Selanjutnya,
struktur bahasa inilah yang sangat berpengaruh dalam menilai ‘gila’ atau
‘waras’nya seseorang.
Analisa
genealogis adalah kritik terhadap ilmu pengetahuan modern, dalam hal ini ilmu
pengetahuan sejarah. Ilmu pengetahuan sejarah modern lebih merupakan
pembungkaman terhadap the others, sehingga banyak lapisan-lapisan yang
sebenarnya bagian dari wacana ilmiah luput dari perhatian ilmuwan, apalagi
kita. Kegilaan adalah aspek yang terlupakan (yang terbungkam; yang
terpinggirkan), namun sebenarnya bagian dari wacana ilmiah. Kegilaan sebenarnya
mengandung hikmah dan kebijaksanaan.
Penelitian
Michel Foucault berhasil menyimpulkan bahwa kegilaan merupakan kebutuhan
masyarakat akan formasi sosial yang dikehendaki, hingga menjadi kebutuhan
sosial tertentu di mana dari sinilah tercipta mereka, ‘Pihak Lain’. Michel
Foucault membuktikan bahwa kode-kode
pengetahuan
(dalam konteks ini: kedokteran) banyak mempengaruhi struktur bawah-sadar
masyarakat. Dengan genealogi, Michel Foucault ingin mendelegitimasi masa
sekarang dari masa lampau; ada rupture.
Gagasan
lain Michel Foucault yang terpenting, berkenaan dengan wacana (discourse).
Dalam discourse, bahasa adalah mediator. Wacana adalah ucapan yang dengannya
pembicara menyampaikan segala sesuatu kepada pendengar. Unsur terkecil dari
wacana adalah kalimat. Wacana yang diperkuat dengan tulisan disebut teks.
Wacana
merupakan kumpulan pernyataan-pernyataan (statement) yang berbeda dengan
ungkapan (utterance) maupun proposisi (proposition). Yang dimaksud
Michel Foucault di sini bukanlah sekedar perbincangan sehari-hari, tapi
perbincangan yang serius (serious speech act). Serius
tidaknya suatu perbincangan diukur berdasar intensitas keterlibatan unsur
relasi kuasa dengan pengetahuan yang melahirkan wacana tersebut.
Teori
Michel Foucault yang sangat terkenal adalah kritiknya atas teori kekuasaan Karl
Marx. Dia bersedia melakukan konfrontasi dengan tokoh yang menjadi idola para
mahasiswa semasanya. Pemikiran Michel Foucault tentang kekuasaan berupaya
memeriksa salah satu segi proses peradaban Barat, yaitu agresi rasio dengan
kepastian-kepastian filsafat “Pencerahan”. Agresi rasio dengan kepastian-kepastian
yang dibawa oleh filsafat Pencerahan ini mendapat kritik tajam dari Michel
Foucault, yakni terhadap filsafat sejarah yang terlalu percaya pada sistem dan
terhadap metode pembahasannya. Kekacauan kejadian-kejadian sejarah mengungkap
peran para filsuf sejarah yang selalu berorientasi pada sistem.
Persoalan
sejarah bukan untuk menjadikan koheren apa yang tidak koheren. Sejarah bukan
untuk mempertahankan rasionalitas yang bertentangan dengan realitas konflik
kekuasaan dan ideologi. Kritik ini jelas diarahkan pada konsepsi Hegel tentang
sejarah sebagai dialektika. Kehebatan dialektika terletak pada kemampuannya mengubah
dari kekurangan menjadi kekuatan, yang jahat menjadi sarana kebaikan, perbedaan
menjadi momen di mana kesadaran jadi lebih jelas.
Menurut
Michel Foucault, sintesis yang dianggap sebagai jalan keluar dialektika itu
tidak lain hanyalah imajinasi pemecahan antisipatif terhadap
kontradiksi-kontradiksi atau konflik-konflik. Kebenaran semacam itu
diberlakukan sebagai jalan keluar bagi perbedaan kepentingan dan
hubungan-hubungan pertarungan kekuatan. Michel Foucault, dengan arkeologi
pengetahuan, justru menerapkan metodologi yang sebaliknya, yaitu menyadari
perbedaan-perbedaan kepentingan dari setiap representasi dunia baru. Pengaruh
Nietzsche dalam diri Michel Foucault memperlihatkan bagaimana pandangan Michel
Foucault tentang sejarah.
Michel
Foucault menolak menggambarkan sejarah sebagai ilmu-ilmu tentang sejarah
kemajuan, gerak tunggal, seakan-akan diarahkan menuju satu tujuan. Tujuan ini
ialah menjelaskan kesadaran manusia dan meningkatkan penguasaan manusia
terhadap dunia demi kesejahteraannya.
Gagasan
sejarah seperti ini menurut Michel Foucault patut dicurigai, seakan-akan
kejadian-kejadian itu hanya mempunyai satu sebab tunggal. Padahal sebab tidak
selalu tunggal. Cara berpikir ini cenderung menafikan perbedaan. Saat-saat
konflik hanya dianggap sebagai krisis tahap perkembangan manusia yang sedang
mewujudkan hakikatnya.
Kebanyakan
agama mempunyai konsep sejarah teleologis seperti itu sehingga menerima
perbedaan cenderung dianggap tidak koheren dengan hakikatnya, apabila menerima perbedaan,
hanya semu, yakni ketika agama sebagai yang paling benar, tetapi agama lain
juga memiliki jalannya sendiri untuk ambil bagian dalam kebenaran agama yang
satu itu.
Upaya
mengkonfrontasikan gagasan-gagasan Marx dan Foucault bisa menjelaskan dari mana
produktivitas pemikiran Michel Foucault. Sudah sejak saat penulisan l’Histoire
de la folie, menurut P. Macherey, Michel Foucault mulai meninggalkan
keterpikatannya pada marxisme dalam bentuk kritik konkret terhadap alienasi.
Sejak saat itu, Michel Foucault curiga terhadap semua yang berbau materialisme
dialektik.
Pernyataan-pernyataan
Marx tidak ditangkap dalam kekakuan akademis, tetapi dalam penerapan penafsiran
mengenai kekuasaan. Michel Foucault mencoba memecahkan masalah kekuasaan dengan
menentang gagasan yang disistematisasi dalam “freudo-marxisme” kontemporer: Satu, implikasi saling terkait
dengan represi seksual dan eksploitasi tenaga kerja dalam masyarakat kapitais.
Jawabannya adalah pembebasan seksual sebagai bagian dari revolusi politik dan
sosial. Dua, persekongkolan
antara sensor moral, pengawasan terhadap pernyataan-pernyataan dan reproduksi
hubungan ekonomi di bawah dominasi tatanan politik yang sama.
Tiga, kesamaan tatanan borjuis global,
otoritas keluarga, dan pendidikan di bawah tokoh seorang ayah. Empat, enerji alamiah yang
diarahkan pada pencarian kenikmatan dan tatanan yang dibuat lembaga-lembaga,
larangan incest dalam keluarga monogami dan dalam negara. Lima, dari kemunafikan seksual
kelas penguasa, memuncak pada fiksi tentang prinsip realitas yang bertentangan
dengan represi, subversi global nilai-nilai diciptakan dari kebohongan.
Dalam
freudo-marxisme itu terkait berbagai disiplin: wacana filsafat, ilmiah dan
sastra, praktik-praktik militan baik teoritis maupun estetis, alternatif
ilmu-ilmu itu mengarah ke freudo-marxisme. Michel Foucault mempertanyakan
seberapa jauh perjuangan itu mampu memisahkan diri dari wacana yang
ditentangnya. Michel Foucault ingin mempertanyakan efektivitas ideology kekiri-kirian
dan utopisme revolusioner. Michel Foucault mengkritik freudo-marxisme dengan
memperlihatkan keduanya merupakan bagian bidang pengetahuan yang sama, atau
setidaknya berasal dari prakonsepsi yang sama: kekuasaan dilaksanakan melalui
represi.
Michel
Foucault mengkritik freudo-marxisme berdasarkan dua argumen: Pertama, kekeliruan sejarah.
Secara material, keliru bahwa masyarakat yang berkembang mulai Abad ke-18 yang
disebut borjuis, kapitalis, atau industrial, menentang sensor yang
dilakukannya. Kedua, ada
ketergantungan pada model kekuasaan yang yuridis, yang memusatkan diri pada
representasi otoritas dan hukum.
Apa
urgensinya pemikiran-pemikiran Michel Foucault bagi kita? Banyak yang bisa
diambil, di antaranya manfaat analisis arkeologis-genealogis dengan metode
dekontruksi untuk memahami realitas social-keagamaan; sejauh mana relasi-relasi
kuasa beroperasi dalam kehidupan umat Islam, sehingga bisa ditemukan mereka
‘yang lain’, mereka yang ditolak, namun sebenarnya adalah bagian dari umat yang
membentuk suatu gestalt. Bukan untuk menemukan kesatuan diskursus umat
Islam, tapi untuk menemukan keragaman pemahaman dan kebenaran. Sehingga terjadi
proses decentering yang berarti keterbukaan terhadap yang lain; yang juga
berarti runtuhnya dominasi dalam interpretasi maupun klaim-klaim kebenaran.
Selanjutnya
akan tercipta iklim yang inklusif.
Sumber:
Etienne
Balibar, “Konfrontasi Michel Foucault dan Marx: Kritik terhadap Hipotesis
Represi, Praksis, dan Struktur Konflik”, BASIS Nomor 01-02, Tahun ke-51,
Januari-Februari 2002, hlm. 58-60.
Basis,
Konfrontasi Faucault dan Mark, Basis no. 01-02 th. Ke-51.,
Januari-Februari, 2002, hlm. 15.
Haryatmoko,
“Kekuasaan Melahirkan anti-Kekuasaan: Menelanjangi Mekanisme dan Teknik
Berkuasa bersama Michel Foucault”, BASIS Nomor 01-02, Tahun ke-51,
Januari-Februari 2002, hlm. 10.
Michel
Foucault, Disiplin Tubuh (diterj. Dari Discipline of Punish), LkiS,
Yogyakarta, 1997.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar