Senin, 11 Juli 2016

Diktator Amerika dalam Selubung Demokrasi



(Foto: Hugo Chavez mengutip buku Noam Chomsky dalam pidato di PBB)

Jika merujuk pada tema-tema yang diangkat oleh Chomsky dalam bukunya yang bertajuk Hegemony or Survival itu, maka ada beberapa ‘aparatus ideologis’ yang digunakan oleh kelas berkuasa di Amerika Serikat untuk menanamkan hegemoni dan ideologi kelasnya pada seluruh warga negara Amerika Serikat sehingga nilai-nilai, pandangan hidup, dan sistem kapitalis diterima sebagai wajar dan normal.

Jalur pertama dari aparatus ideologis yang digunakan adalah pendidikan. Di Amerika, jauh dari gambaran demokratis yang selama ini dicitrakan, pendidikan digunakan sebagai media untuk menanamkan kesadaran palsu, dan diciptakan sebagai institusi-institusi yang bertanggung jawab untuk mengindoktrinasi anak-anak muda.

Hal ini dilakukan sejak bangkitnya gerakan-gerakan kerakyatan yang menentang imperialisme, menuntut hak-hak sipil-politik, dan perlindungan ekonomi serta ekologi pada tahun 60-70an.

Sebagai cara untuk membendung gerakan-gerakan rakyat itu, maka pemerintahan di AS mendirikan Komisi Trilateral yang berfungsi “untuk menanamkan kepatuhan, untuk menghalangi kemungkinan lahirnya pemikiran yang mandiri, dan (dengan demikian) sekolah memainkan suatu peran kepranataan (institutional role) dalam suatu sistem kontrol dan koersi”.

Komisi Trilateral itu, menurut Noam Chomksy, bertugas untuk mencari cara-cara yang efektif untuk mempertahankan hegemoni kapitalisme Barat dan dominasi elit-elit berkuasa sembari terus mengkondisikan agar kalangan kelas menengah yang terdiri atas ilmuwan, para profesional dan pakar, melalui suatu sistem penggajian terus-menerus mendakwahkan mitos tentang kebajikan nilai-nilai Amerika. Hasilnya, pendidikan di Amerika Serikat:

“Jauh dari pendidikan demokratik, apa yang sesungguhnya kita [Amerika Serikat] miliki ialah suatu model pendidikan kolonial yang dipercanggih yang dirancang terutama untuk mendidik guru-guru dengan cara-cara dimana dimensi intelektual pengajaran seringkali diabaikan.

Tujuan utama dari pendidikan kolonial ini ialah untuk semakin melenyapkan keterampilan guru-guru dan siswa-siswa dan membuat mereka semakin pandai mengikuti secara otomatis labirin prosedur dan teknik…”

Pendidikan yang berwatak penjajah ini tentu merupakan hal yang sangat dimusuhi oleh Noam Chomksy. Sebab menurutnya hakikat pendidikan mestinya adalah untuk menstimulasi ‘kesadaran kritis’ dan mengajarkan peserta didik untuk menemukan kebenaran bagi dirinya sendiri.

Noam Chomksy berpendapat bahwa hakikat pendidikan mestinya adalah bukan untuk menanamkan kepatuhan, melainkan untuk mendidik manusia dalam kemerdekaan, kesetaraan kebersamaan dan kerjasama, agar dapat mencapai tujuan-tujuan bersama yang telah disepakati secara demokratis. Dengan mengutip ungkapan indah Bertrand Russell, Chomsky menyatakan bahwa tujuan pendidikan yang sejati mestinya adalah:

“Untuk menghayati nilai-nilai selain dari dominasi, untuk menciptakan warga negara-warga negara dari suatu komunitas yang merdeka, untuk mendorong terciptanya suatu kombinasi antara kewarganegaraan yang bebas dan melahirkan kreativitas individual…”

Ada dua hal yang terjadi sebagai akibat dari pengingkaran atas pendidikan yang demokratis dan setara.

Pertama, kalangan kelas menengah dan terdidik di Amerika Serikat tidak membiasakan dirinya dengan model pendidikan kritis yang berupaya membongkar segala macam kekuasaan dan hegemoni. Dengan bertumpu pada kemampuan teknik, maka model pendidikan di Amerika Serikat tak diajarkan untuk membangun kesadaran kritis, membongkar kekuasaan, dan membangun kemanusiaan.

Kedua, dan sebagai akibat sampingannya, Amerika Serikat menjelmakan dirinya sendiri sebagai sebuah negara imperialis utama yang berhak untuk mendikte, mendisiplinkan dan ‘memperadabkan’ negara lain.

Model pendidikan doktriner dan tak demokratis yang bersenyawa dengan politik tiranik dan aristokratik yang telah tertancap-dalam pada dasarnya telah memiliki preseden yang lama dalam sekujur sejarah negeri itu.

Amerika Serikat, demikian menurut Noam Chomksy, didirikan di atas protes-protes kaum buruhnya, penindasan terhadap masyarakat kelas bawahnya, serta penggantian demokrasi dengan aristokrasi. Permbajakan demokrasi oleh elit oligarkhis dan kapitalis sebenarnya telah diingatkan oleh Thomas Jefferson yang membedakan antara “kaum demokrat” dengan ‘kaum aristokrat”.

Kaum demokrat, bagi Jefferson, “mengidentikkan dirinya dengan masyarakat, memercayai mereka, menghormati dan mendengarkan mereka sebagai pemangku kepentingan publik yang jujur dan bisa dipercaya”. Sementara kaum aristrokrat “mereka yang merasa takut dan tak percaya kepada masyarakat, dan ingin mengambil alih semua kekuasaan dari tangan mereka dan menyerahkannya ke tangan kelas-kelas atas” yang menjadi pendukung utama negara kapitalis.

Kultur politik di Amerika Serikat pada akhirnya memenangkan kaum aristokrat ini. Hal ini utamanya ditunjukkan oleh pandangan para elit dan teoretisi politiknya yang cenderung menghindari dan tidak menyukai gerakan-gerakan kerakyatan.

Alexander Hamilton misalnya menjuluki gerakan-gerakan rakyat sebagai “binatang buas yang banyak jumlahnya” (the great beast). Robert Lansing juga menyebut gerakan buruh sebagai “massa manusia bodoh dan tak cakap”, dan atau teoretisi demokrasi yang termasyhur Walter Lippman yang menyebut massa rakyat sebagai “gerombolan liar”. Sehingga fungsi mereka hanyalah diperlukan sejauh sebagai penonton yang bersemangat dalam setiap kehidupan publik, bukan sebagai partisipan aktif.

William Shepard lebih jelas mengartikulasikan hal ini dengan menyatakan bahwa pemerintahan mestinya berada di tangan aristokrasi akal dan kekuasaan, sementara gerakan-gerakan sosial dan massa-rakyat “yang bodoh, yang tak berpengetahuan dan anti-sosial” dilarang untuk terlibat dalam pengurusan politik dan pemerintahan.


Gabungan dari pendidikan yang doktriner dan politik tiranik itu pada akhirnya menghasilkan suatu tipe kultur sosial dan politik yang terjinakkan. Hal inilah yang memungkinkan ketiadaan perlawanan dari kalangan terdidik di Amerika Serikat. Malahan, tak mengherankan jika kalangan kelas terdidik ini justru berbondong-berbondong mendukung rejim kelas berkuasa yang secara rutin menyerukan demokrasi, hak asasi manusia, dan multilateralisme, dan bungkam seribu bahasa jika kelas berkuasa itu pula melakukan pelanggaran terhadap hak asasi manusia dan demokrasi. Top of Form


Selasa, 21 Juni 2016

Hempher, Kisah Sang Intelijen Inggris (Bagian Kedua)


Sembilan personel yang ditugasi, begitu pula aku, harus kembali ke London untuk memberikan laporan kepada kementerian tentang apa saja yang mereka peroleh, namun buruknya yang kembali hanya enam orang. Sedangkan empat yang tidak kembali, seorang dari mereka telah menjadi muslim dan tinggal di Mesir. Tetapi sekretaris nampak senang di wajahnya, karena ia tidak membuka rahasia negara. Yang satunya lagi kabur ke Rusia, karena ia berasal dari Rusia. Dan sekretaris sakit hati sekali dengannya, bukan karena ia kembali tanah airnya tetapi sekretaris menduga bahwa ia seorang mata-mata Rusia yang ditugasi oleh kementrian di sana. Dan ketika urusan dan kepentingannya selesai ia kembali ke negaranya.

Yang ketiga mati di ‘Imarah sebuah negeri sebelah Baghdad. Sekretaris memberitahu kami bahwa ia mati disebabkan penyakit menular yang mematikan. Adapun yang keempat, tidak diketahui jejaknya ketika kementrian menghubunginya ke San’a` di Yaman (sebuah negeri Arab). Sebelumnya ia selalu kontak dengan kementerian dalam waktu setahun, tapi setelah itu hubungan terputus. Setiap kementerian berusaha melacaknya tapi tidak menghasilkan apa-apa tentangnya.

Pihak kementerian rugi besar dan tertimpa duka berat atas kehilangan empat dari sepuluh personilnya, di mana menurut perhitungan kami tiap personelnya sangat berarti dan bernilai tinggi. Karena kami ini adalah bangsa yang sedikit jumlahnya, namun besar ambisinya. Kehilangan empat personel kami sangat menyedihkan hati kami.

Setelah sekretaris mendengarkan laporan-laporanku, ia kemudian menugasi kami (berenam) untuk membacakan laporan-laporan kami di sebuah pertemuan, di hadapan para pejabat tinggi dari kementrian yang dipimpin Perdana Mentri sendiri. Kawan-kawanku telah menyampaikan laporan-laporan penting mereka sesuai apa yang menjadi tugas mereka. Begitu pula aku dengan laporanku yang dicatat oleh dewan juri.

Perdana Mentri, sekretaris dan sebagian yang hadir memujiku atas kerjaku, tetapi dua kawanku lebih hebat dariku. Mereka adalah George Blacud yang menjadi terbaik pertama dan Henry Fans yang menjadi terbaik kedua, sedangkan aku terbaik yang ketiga.

Aku telah benar-benar berhasil bisa menguasai bahasa Turki, bahasa Arab, Al-Quran dan syari’at. Tapi belum berhasil dalam memberikan laporan kepada kementerian tentang sisi-sisi kelemahan pemerintahan Turki Utsmani. Usai pertemuan yang memakan enam jam, aku tunjukkan kepada sekretaris sebuah poin yang bisa melemahkan dengan mengatakan, “Target sementaraku ialah mempelajari bahasa, hukum Islam dan Al-Qur`an. Karena itu sulit sekali bagiku meluangkan waktu untuk mengerjakan apa yang harus kukerjakan selain ini, dan aku pastikan pada tugas mendatang –jika aku masih dipercaya- akan kuserahkan amanat yang Anda berikan”

Sekretaris berkata, Aku percaya karena kau berhasil, tapi aku berharap kau pertahankan keberhasilanmu ini untuk meraih yang lebih lagi.  Sesungguhnya tugas pentingmu Mr Hempher, untuk perjalanan mendatang, ada dua:
[1] Menemukan titik kelemahan kaum muslimin. Kita harus mampu menyusup ke dalam tubuh mereka dan mencerai beraikan akar-akar mereka. Inilah letak kemenangan kita yang mendasar atas musuh-musuh kita.

[2] Kau harus berterus terang kepada kami jika tidak mampu menemukan ‘titik kelemahan’, tapi jika kau merasa mampu menjalankannya mudah-mudahan kau akan menjadi yang terbaik dari yang terbaik, dan kau layak mendapatkan bintang jasa dari kementerian.

Aku tinggal di London selama enam bulan dan aku menikah dengan putri pamanku (Mary Shway). Ia lebih tua setahun dariku, saat itu umurku 22 tahun sedangkan ia berumur 23 tahun. Ia gadis biasa yang cerdas dan sangat cantik. Aku bahagia hidup dengannya dan dalam waktu enam bulan itu ia mengandung. Dengan penuh sabar aku menanti kelahiran buah hati, tiba-tiba aku diberi tugas dari kementerian supaya aku berangkat ke Iqlim (Iraq) negeri Arab yang dijajah sejak dari masa lampau.

Sungguh ini hal yang tidak menyenangkan bersamaan menunggu kelahiran anakku. Namun kepentingan negaraku dan cintaku kepada kawan-kawan melebihi perasaan cintaku kepada istri dan anakku. Karena itu aku terima tugas meskipun istriku memohon agar ditunda sampai anak lahir. Dan ketika perpisahanku dengannya kami menangis tersedu-sedu. Dan istriku berkata, “Sempatkan kirim surat tentang keadaanmu di sana, dan akan kukabarkan bila buah hati lahir dan tentang keadaanku di sini”. Kata-katanya begitu mengharukan sampai-sampai aku berniat batal berangkat, tetapi kukuasai diriku dari perasaan ini. Aku memeluknya, dan berangkat ke kementerian untuk mengambil pesan-pesan penting.

Enam bulan aku di Bashrah (Iraq), negeri ‘Asya’iri yang penduduknya adalah Muslim Sunni dan Islam Syi’ah, dua mazhab besar Islam. Dan sedikit sekali dari mereka yang beragama Nasrani. Mereka terdiri dari dua bangsa, Arab dan Persia.

Untuk pertama kalinya dalam hidupku aku mendapatkan Islam Syi’ah dan bangsa Persia. Syi’ah adalah sebuah mazhab dan golongan yang dinisbatkan kepada Ali bin Abi Thalib, sepupu Nabi Islam sekaligus menantu Nabi Islam atas putrinya Fatimah. Syi’ah meyakini bahwa Nabi mereka Muhammad telah memilih Ali sebagai khalifah setelahnya, dan menyatakan bahwa Ali dan anak keturunannya yang sebelas adalah khalifah secara berurutan.

Aku menduga bahwa kebenaran bersama Syi’ah (pengikut khalifah Ali, Hasan dan Husein). Sebab yang tetap dalam sejarah –menurut pengamatanku- Ali mempunyai sifat yang istimewa dan jiwa yang luhur yang layak menduduki kepemimpinan. Dan mendekati kebenarannya bahwa Nabi Muhammad pernah berkata bahwa Hasan dan Husein adalah dua imam. Ini pula tidak dipungkiri oleh Sunni, tetapi pada saat yang sama aku ragu, bahwa anak keturunan Husein yang sembilan juga telah dipilih oleh Rasul sebagai khulafâ-nya. Bagaimana Rasul bisa tahu masa mendatang? Sedangkan ia mati pada saat Husein masih kecil. Bagaimana ia bisa tahu bahwa Husein akan mempunyai anak keturunan yang mana secara silsilah mereka sampai sembilan?. Kalau memang Muhammad adalah seorang Rasul yang haq, maka ia mengetahui semua itu dari petunjuk Allah. Sebagaimana Al-Masih memberi kabar masa datang. Tetapi menurut kami sebagai kaum Nasrani, meragukan akan kenabian Muhammad.

Kaum muslimin mengatakan bahwa Al-Qur`an adalah dalil kenabian Muhammad, tetapi yang aku baca tiada satu pun dalilnya dalam Al-Qur`an. Memang tidak diragukan bahwa Al-Qur`an adalah kitab luhur, bahkan kedudukannya lebih luhur dari kitab Taurat dan Injil. Di dalam Al-Qur`an terdapat undang-undang, peraturan dan ajaran akhlak dan lain-lain. Tetapi apakah ini sudah cukup merupakan dalil bagi kebenaran Muhammad?  

Sesungguhnya aku bingung tentang pribadi Muhammad, bingung sekali. Ia seorang lelaki Badui, tidak bisa membaca dan tidak bisa menulis, bagaimana ia bisa datang dengan membawa kitab yang suci ini? (Karena Hempher memahami Rasul dari rujukan Sunni yang menganggap Rasul tak bisa membaca dan menulis). Ia adalah pribadi yang memiliki akhlak dan kecerdasan yang tiada seorang arabpun yang berpendidikan di masanya seperti dirinya. Lalu di satu sisi mungkinkah seorang Arab Badui yang tidak membaca dan menulis ini membawa kitab yang tinggi itu? Dan di sisi lain apakah ini cukup menjadi bukti bahwa ia seorang nabi?

Aku selalu mencari dan membaca untuk memecahkan hakikat ini. Pernah aku lontarkan masalah ini kepada seorang pendeta di London, tetapi jawaban yang diberikannya tidak memuaskan dan ia menjawab dengan kefanatikan dan keras kepala. Sama halnya dengan pribadi Syeikh Ahmad ketika aku tanyakan masalah ini, dan jawabannya masih mengambang. Tapi dengan jujur aku katakan, bila aku bicara terus terang dengan Syeikh, aku khawatir akan terbongkar rahasia diriku atau akan meragukan diriku.

Alhasil aku menilai bahwa Muhammad orang besar, dan tidak diragukan ia adalah semacam nabi Allah yang diberitakan oleh para nabi sebelumnya –sebagaimana yang aku baca- di dalam kitab-kitab. Hanya saja sampai sekarang aku masih belum puas dengan kenabiaannya. Andai kata ia bukan seorang nabi, tidak mungkin orang yang mendengarkan nuraninya meyakini bahwa ia seperti orang-orang yang dikagumi dan mencengangkan, bahkan tidak diragukan ia di atas mereka dan di atas orang-orang yang cerdas (jenius).

Adapun kaum Sunni meyakini bahwa setelah wafatnya, Abu Bakar kemudian Umar lalu Ustman lebih layak menjadi khlaifah (pengganti)nya ketimbang Ali. Karena itu mereka (kaum Sunni) melanggar perintah Rasul (Muhammad) dan memilih khulafa yang tiga (baru kemudian memilih Ali atas kondisi yang krisis dan sangat mendesak).

Perselisihan ini ada di setiap agama tak terkecuali agama Masehi (Kristen) dengan pandangan yang khusus. Tetapi aku tidak mengerti apa yang terbaik dari adanya perselisihan ini, Ali dan Umar telah mati dan kaum muslimin –jika mereka berpikir- seharusnya mereka memikirkan hari sekarang bukan hari yang telah lampau dan jauh. Pada suatu kesempatan pernah aku sampaikan kepada pejabat-pejabat di kementerian tentang adanya perselisihan historis antara Sunni dan Syi’ah. Aku katakan kepada mereka, “Jika mereka memahami kehidupan maka mereka tinggalkan perselisihan dan bersatu dalam satu kalimah!”.

Tiba-tiba Bapak kepala (kementerian) membentakku, “Yang harus Anda lakukan, ialah berusaha memperuncing perselisihan ini bukan berusaha mempersatukan muslimin!”.

Tentang perselisihan ini, di suatu pertemuan sebelum kepergianku ke Iraq, aku hadir bersama sekretaris dan ia mengatakan kepadaku, “Ketahuilah wahai Mr. Hempher! Bahwa perselisihan adalah fenomena yang alami antara umat manusia sejak Tuhan menciptakan Habil dan Qabil, dan perselisihan ini akan terus terjadi sampai Al-Masih kembali (ke dunia ini):

[1] Adanya perbedaan warna kulit.
[2] Adanya bermacam-macam suku.
[3] Adanya bermacam-macam negeri.
[4] Adanya bermacam-macam kaum.
[5] Adanya perbedaan agama.

Maka tugas penting di perjalananmu nanti yang harus kamu kuasai ialah tentang perselisihan dan perbedaan antara kaum muslimin dan titik rawan yang menimbulkan gejolak dari perselisihan tersebut. Kementerian akan memberimu arahan dan maklumat secara rinci tentang masalah ini, dan jika kamu mampu memancarkan api perselisihan ini maka kamu berada di puncak pengabdian bagi Britania Raya. 


Sabtu, 11 Juni 2016

Malik Al-Asytar, Super Jenderal dari Yaman



Imam Ali memilih orang-orang saleh untuk menjadi gubernur di kota-kota kekhalifahan Islam. Beliau menunjuk Malik Al-Asytar menjadi Gubernur Mosul, Sinjar, Nasibin, Hit, dan Anat. Itu adalah daerah-daerah di perbatasan Syam. Sementara itu, Muawwiyah yang rakus dan haus kuasa tidak mematuhi Khalifah Ali karramallahu wajhah. Ia pun menjadi diktator di Syam. Bahkan ia ingin melakukan pemberontakan terhadap Imam Ali dengan dalih menuntut balas atas kematian Utsman bin Affan, meski para pembunuh Utsman bin Affan sesungguhnya adalah patron dan kolega Muawwiyah itu sendiri. Imam Ali mencoba menempuh jalan damai.

Ketika itu Imam Ali mengajak Muawwiyah untuk mematuhi beliau. Imam Ali mengirim beberapa surat kepada Muawwiyah, dan mengirim beberapa utusan untuk berbicara kepadanya. Tetapi, semua usaha Imam Ali sia-sia. Muawwiyah tetap ingin melakukan pemberontakan. Oleh karena itu, tidak ada jalan lain bagi Imam Ali kecuali menghadapi pemberontakan Muawwiyah yang rakus dan haus kuasa tersebut. Imam Ali pun lalu membentuk pasukan dan menyerahkan komandonya kepada Malik Al-Asytar.

Pasukan pun maju menuju Syam. Ketika tiba di Kirkisya, terjadilah bentrokan dengan pasukan Muawiyyah yang dipimpin oleh Abi Al-Awar Al-Salmi. Malik Al-Asytar mencoba membujuk Abi Al-Awar Al-Salmi untuk mengakhiri pemberontakan dan mematuhi Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah. Tetap ia menolaknya. Malam harinya, pasukan Muawwiyah mengambil kesempatan dengan melancarkan sebuah serangan mendadak. Tindakan itu bertentangan dengan agama dan etika perang karena kedua kubu tersebut sedang dalam perundingan.

Pasukan Imam Ali melawan serangan mendadak itu. Mereka mengalahkan dan melukai banyak penyerang dan memaksa lainnya untuk mundur ke tempat asal mereka. Malik Al-Asytar menunjukkan lagi keberaniannya. Ia mengirim utusan untuk menemui Abi Al-Awar Al-Salmi untuk mengundangnya berduel dengan pedang. Utusan itu berkata, "Wahai Abi Al-Awar, Malik Al-Asytar mengundangmu untuk berduel dengannya!" Pemimpin pasukan Muawiyyah itu menjadi takut dan dengan perasaan kecut berkata, "Aku tidak ingin berduel dengannya!" Muawwiyyah memimpin sebuah pasukan besar untuk bergabung dengan pasukan Abi Al-Awar Al-Salmi. Kedua kubu bertemu di dataran Shiffin di tepi Sungai Eufrat.

Beberapa unit pasukan Muawwiyah berhasil menduduki tepi sungai dan mengepung sungai tersebut untuk mencegah pasukan Imam Ali mengambil air. Tindakan ini juga bertentangan dengan hukum Islam dan hukum perang. Lalu Imam Ali mengutus Sasa'ah bin Suhan, salah seorang sahabat Nabi Muhammad saw untuk berbicara kepada Muawwiyyah. Sasa'ah mendatangi kemah Muawwiyah dan berkata, "Hai Muawwiyah, Ali berpesan, 'Biarkan kami mengambil sedikit air. Lalu kami akan memutuskan selanjutnya antara kalian dan kami. Jika tidak, kalian dan kami akan bertempur hingga si pemenang yang akan minum." Muawwiyyah terdiam sejenak lalu berkata, "Aku akan menjawabnya nanti."

Utusan Imam Ali pun pergi, sedangkan Muawwiyah meminta saran dari beberapa orang. Al-Walid berkata dengan marah, "Cegah mereka dari meminum air untuk memaksa mereka menyerah." Mereka setuju dengan pendapat tersebut. Memang tak dapat diingkari, Muawwiyah mempekerjakan orang-orang yang terkenal menghalalkan segala cara di sekelilingnya. Mereka adalah pelanggar hukum-hukum Islam dan hak asasi manusia.

Saat itu Malik Al-Asytar mengamati gerakan pasukan yang ada di tepi sungai. Ia melihat perbekalan pasukan tersebut. Sehingga ia sadar bahwa Muawwiyah akan memperketat pengepungan sungai itu. Tentara Imam Ali pun menjadi haus. Tentu saja Malik pun demikian. Seorang tentara berkata padanya,  "Ada sedikit air dalam tempat minumku, minumlah." Malik menolaknya dan berkata, "Aku tak akan minum sebelum seluruh pasukanku minum!" Malik pergi menemui Imam Ali dan berkata, "Amirul Mukminin, pasukan kita kehausan. Tidak ada jalan lagi bagi kita selain bertempur." ImamAli menjawab, “Baiklah."

Imam Ali menyampaikan sebuah khutbah dan mendorong mereka untuk bertempur dengan berani. Ia maju ke tepi sungai Eufrat. Setelah pertempuran sengit terjadi, Malik dapat menguasai kembali tepi sungai dan memaksa pasukan Muawwiyah untuk menarik diri. Pasukan Muawwiyah menjadi jauh dari air. Sehingga mereka pun berpikir untuk membuat tipu muslihat demi menguasai kembali Sungai Eufrat tersebut.

Pada hari berikutnya, sebuah anak panah jatuh di antara pasukan Imam Ali. Di panah itu terikat sepucuk surat. Para tentara membaca surat itu dengan hati-hati. Mereka dengan cepat menceritakan pesan itu satu sama lain. Pesan itu berbunyi, "Dari seorang saudara setia di pasukan Syam (pasukan Muawwiyah), Muawwiyah akan membuka bendungan sungai itu untuk menenggelamkan kalian. Maka, berhati-hatilah!" Pasukan Imam Ali pun percaya pada berita itu dan mundur. Sehingga pasukan Syam mengambil kesempatan dari keadaan itu dan merebut kembali tepi sungai.

Namun pasukan Imam Ali kemudian melancarkan serangan dan mengusir pasukan Syam dari daerah itu. Muawwiyah merasa sangat khawatir, sehingga ia bertanya kepada Amr bin Ash, "Apakah menurutmu Ali akan mencegah kita meminum air?" Amr bin Ash menjawab, "Ali tak akan melakukan apa yang kamu lakukan. Karena ia bukan orang keji dan semua bangsa Arab mengakui keutamaan-keutamaannya" Pasukan Syam juga merasa khawatir. Namun, segera mereka mendengar bahwa Imam Ali mengizinkan mereka datang ke sungai dan minum air.

Beberapa orang Syam pun menyadari perbedaan kualitas diri Muawwiyah dan Imam Ali. Muawwiyah melakukan segala cara untuk memenangkan peperangan. Tetapi Imam Ali tidak berpikir untuk melakukan semua itu. Ia melakukan tindakan yang baik, terpuji, dan berperikemanusiaan. Oleh karena itu, beberapa tentara Syam meninggalkan kubu Muawwiyah dengan diam-diam di malam hari. Mereka bergabung dengan pasukan Imam Ali karena kubu Imam Ali selalu mewakili kebenaran dan kemanusiaan.

MUAWWIYAH
Muawwiyah merasa tidak senang kepada Malik Al-Asytar, karena keberaniannya membuat pasukan Imam Ali berperang dengan penuh semangat, dan pada saat yang sama mencemaskan pasukan Syam. Sehingga Muawwiyah memutuskan untuk membunuh Malik Al-Asytar melalui duel pedang. Ia memerintahkan Marwan untuk berduel dengan Malik. Tetapi Marwan takut pada Malik. Oleh karena itu, ia meminta maaf kepada Muawwiyah dan berkata, "Biarlah Amr bin Ash yang berduel dengannya karena ia adalah tangan kananmu." Kemudian Muawwiyah memerintahkan Amr bin Ash untuk berduel dengan Malik. Amr bin Ash dengan rasa enggan menyetujui rencana Muawwiyah tersebut. Amr lalu memanggil Malik untuk berduel dengannya. Malik maju ke arah Amr bin Ash dengan memegang tombaknya. Malik memukulnya dengan keras tepat pada wajah, sehingga Amr bin Ash pun melarikan diri ketakutan.

KESYAHIDAN AMMAR
Peperangan menjadi bertambah hebat. Ammar bin Yassir memimpin di sayap kiri. Meskipun ia sudah tua, namun ia bertempur dengan gagah berani. Ketika matahari hampir terbenam, Ammar bin Yasir meminta sedikit makanan untuk berbuka puasa. Seorang tentara membawakan untuknya secangkir penuh yoghurt (susu asam). Ammar menjadi gembira dan berkata, "Malam ini, aku mungkin syahid karena Rasulullah saw telah berkata padaku, 'Ammar, sekelompok orang zalim akan membunuhmu, dan makanan terakhirmu di dunia adalah secangkir yoghurt."

Sahabat besar itu pun berbuka puasa dan lalu maju ke medan pertempuran. Ia bertempur dengan gagah berani. Namun akhirnya ia pun jatuh ke tanah dan syahid. Imam Ali datang dan duduk di dekat kepala Ammar lalu berkata dengan sedih, "Semoga Allah merahmati Ammar di hari ia menjadi syahid. Semoga Allah merahmati Ammar di hari ia dibangkitkan dari kematian. Wahai Ammar nikmatilah surgamu."

Kesyahidan Ammar di pertempuran itu sangat mempengaruhi jalannya pertempuran. Pasukan Imam Ali berada dalam semangat yang tinggi. Sementara itu, pasukan Muawwiyah justru berada dalam semangat yang rendah. Semua kaum Muslim menjadi teringat pada sabda Rasulullah saw kepada Ammar bin Yassir. Hadis itu berbunyi, "Wahai Ammar, kelompok orang-orang zalim akan membunuhmu." Sehingga semua menjadi demikian jelas bahwa Muawwiyah dan tentaranya memang berada di posisi yang tidak sah, sementara Imam Ali dan sahabat-sahabatnya adalah berada di barisan benar dan legitimate. Oleh karena itu, pasukan Imam Ali semakin meningkatkan serangannya atas pasukan Muawwiyah, sementara di sisi lain Muawwiyah dan pasukannya bersiap untuk melarikan diri.

TIPUAN SANG POLITIKUS
Muawwiyah berpikir untuk memperdayai pasukan Imam Ali. Sehingga ia pun meminta saran kepada Amr bin Ash. Lalu Amr berkata, "Aku yakin kita dapat menipu mereka dengan Al-Qu’an." Muawwiyah gembira dengan siasat licik itu dan memerintahkan tentaranya untuk mengangkat Al-Quran dengan tombak-tombak mereka. Ketika pasukan Imam Ali melihat Al-Quran, mereka berpikir untuk menghentikan pertempuran. Siasat licik Muawiyah dan Amr bin Ash ini berhasil menipu beberapa tentara Imam Ali. Imam Ali lalu berkata, "Itu adalah tipuan! Akulah yang pertama mengajak mereka pada kitabullah. Dan akulah yang pertama mengimaninya. Meraka tidak mematuhi Allah dan melanggar ketetapan-Nya.”

Namun tetap saja 20 ribu tentara Imam Ali tidak mau mematuhi perintah beliau dan berkata, “Hentikan pertempuran dan perintahkan Al-Asytar untuk mundur!" Imam Ali akhirnya mengutus seorang tentara kepada Al-Asytar untuk menghentikan pertempuran. Malik Al-Asytar pun terpaksa mundur. Ia berkata, "Tidak ada kekuatan dan kekuasaan kecuali milik Allah.”

TAHKIM
Malik Al-Asythar mengetahui bahwa tindakan Muawwiyah itu hanyalah tipuan. Tetapi ia tetap mematuhi perintah Imam Ali agar tak ada bencana yang terjadi. Ia adalah seorang pemimpin yang pemberani dan prajurit yang patuh. Pertempuran pun berhenti. Dan kedua kubu menyetujui untuk bertahkim (memutuskan hukum) dengan Kitabullah. Muawwiyah mengirim Amr bin Ash untuk mewakilinya dalam negosiasi itu. Dan Imam Ali memilih seorang yang siaga dan bijaksana. Orang itu juga mesti memiliki pengetahuan yang baik tentang Kitabullah. Sehingga, beliau memilih Abdullah bin Abbas, seorang yang berpengetahuan tinggi tentang agama.

Tetapi kubu pasukan pemberontak yang tidak mematuhi Imam Ali menolaknya dan berkata, "Kami memilih Abu Musa Al-Asy'ari." Imam Ali menjawab, "Aku tidak setuju dengan pilihan kalian. Abdullah bin Abbas lebih baik darinya." Sekali lagi para pemberontak itu menolak keputusan Imam Ali. Sehingga, Imam Ali berkata, "Aku akan memilih Al-Asytar." Mereka juga menolak Al-Asytar. Mereka tetap kukuh memilih Abu Musa Al-Asy'ari. Akhirnya, demi menghindari terjadinya malapetaka, Imam Ali lalu berkata, "Lakukan apa yang kalian suka!"

Kemudian kedua wakil itu bertemu untuk berbicara. Amr bin Ash berpikir tentang sebuah rencana yang sekiranya dapat diterima oleh Al-Asy'ari. Amr berkata padanya, "Wahai Abu Musa, Muawwiyah dan Ali telah menyebabkan semua kesulitan ini. Sehingga, marilah kita tinggalkan mereka dan memilih orang lain." Abu Musa Al-Asy'ari kebetulan tidak menyukai Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib karena dengki dan cemburu dengan kebesaran dan keutamaan Imam Ali. Sehingga, ia pun setuju dengan rencana itu.

Ia lalu berkata di depan orang-orang, "Aku melepaskan Ali dari kekhalifahan sebagaimana aku melepaskan cincin dari jariku." Kemudian ia pun melepaskan cincinnya. Namun Amr bin Ash justru berkata dengan tegas, "Aku menempatkan Muawwiyah pada kekhalifahan sebagaimana aku menempatkan cincin ke jariku." Kemudian ia memakai cincinnya. Para tentara Imam Ali, yang telah membanggakannya tadi , menyesali perbuatan mereka yang salah itu. Saat itu mereka mendapat hikmah dan pelajaran bahwa Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah memang manusia paling utama setelah Rasulullah.

Minggu, 17 April 2016

Suharto - Jalan Darah Menuju Istana


Demi menyingkirkan Soekarno, Suharto menunggangi pergolakan di tanah air dan mengorganisir pembantaian jutaan pendukung PKI. Dia sebenarnya bisa mencegah peristiwa G30S, tetapi memilih diam, lalu memanfaatkannya.

Suharto banyak berurusan dengan pemberontakan Darul Islam selama meniti karir militernya. Pasca kemerdekaan ia juga aktif memberantas kelompok kiri di antara pasukannya. Tahun 1959, ia nyaris dipecat oleh Jendral Nasution dan diseret ke mahkamah militer oleh Kolonel Ahmad Yani karena meminta uang kepada perusahaan-perusahaan di Jawa Tengah. Namun karirnya diselamatkan oleh Jendral Gatot Subroto.

Seperti banyak prajurit yang lain, Suharto mencurigai kedekatan Soekarno dan pimpinan Partai Komunis Indonesia (dalam gambar D.N. Aidit). Terutama sejak pemberontakan komunis di Madiun 1948, eksistensi PKI sangat bergantung pada dukungan Soekarno. Tanpanya PKI akan lumat oleh tentara. Permusuhan ABRI dan PKI tidak cuma beraroma politis, melainkan juga dipenuhi unsur kebencian.

Suharto sibuk membenahi karir ketika permusuhan ABRI dan PKI mulai memanas. Buat mencegah PKI memenangkan pemilu dan menguasai pemerintahan, ABRI yang saat itu dipimpin duet Ahmad Yani dan A.H. Nasution mengajukan mosi menjadikan Soekarno sebagai presiden seumur hidup. Saat itu, konstelasi politik sudah mulai bergeser: Soekarno tidak lagi melihat ABRI sebagai sekutu utamanya, melainkan PKI.

Meniru gerakan kaum komunis di Tiongkok, PKI berupaya memperluas kuasa dengan niat mempersenjatai petani dan praktik land reform. Soekarno menyetujui yang kedua dengan mengesahkan UU Pokok Agraria 1960. Tiga tahun kemudian, PKI melakukan aksi sepihak dengan merebut tanah milik para Kyai di Jawa dan membagikannya pada petani miskin. Langkah itu menciptakan musuh baru buat PKI, yakni kelompok Islam.  

Enam jam sebelum peristiwa G30S, Kolonel Abdul Latief mendatangi Soeharto buat mengabarkan perihal rencana Cakrabirawa menculik tujuh Jendral. Latief saat itu mengira, Suharto adalah loyalis Soekarno dan akan memberikan dukungan. Kesaksian Latief menyebut, Suharto cuma berdiam diri. Setelah peristiwa penculikan jendral, Suharto yang menjabat Panglima Kostrad lalu mengambil alih komando ABRI.

Pada 30 September, pasukan pengamanan Presiden, Cakrabirawa, mengeksekusi tujuh dari 11 pimpinan ABRI yang diduga kuat ingin mengkudeta Soekarno. Suharto lalu memerintahkan pembubaran PKI dan penangkapan orang-orang yang terlibat. Letnan Kolonel Untung, komandan Cakrabirawa yang sebenarnya kenalan dekat Suharto dan ikut dalam operasi pembebasan Irian Barat, ditangkap, diadili dan dieksekusi.

Pergerakan Suharto setelah G30S semata-mata diniatkan demi melucuti kekuasaan Soekarno. Ia antara lain mengirimkan prajurit RPKAD buat menguasai Jakarta, termasuk Istana Negara. Panglima Kostrad itu juga lihai menunggangi sikap antipati mahasiswa terhadap Sukarno yang dimabuk kuasa. Saat Soekarno bimbang ihwal keterlibatan PKI dalam G30S, mahasiswa turun ke jalan menuntutnya mundur dari jabatan.

Di tengah aksi demonstrasi mahasiswa di Jakarta, ABRI memobilisasi kekuatan buat memusnahkan pendukung PKI di Jawa dan Bali. Dengan memanfaatkan kebencian kaum santri dan kelompok nasionalis, tentara mengorganisir pembunuhan massal. Jumlah korban hingga kini tidak jelas. Pakar sejarah menyebut antara 500.000 hingga tiga juta orang tewas. Tidak semuanya simpatisan PKI.

Selain menangkap dan mengeksekusi, massa dikerahkan menghancurkan toko-toko, kantor dan rumah milik mereka yang diduga pendukung komunis. Sebagian yang mampu, memilih untuk mengungsi ke luar negeri. Termasuk di antaranya Sobron, adik kandung pimpinan PKI D.N. Aidit yang hijrah ke Tiongkok dan lalu ke Perancis dan bermukim di sana hingga wafat tahun 2007.

Setelah peristiwa G30S, Suharto yang notabene telah menjadi orang nomor satu di kalangan militer, membiarkan Soekarno berada di jabatannya, sembari menata peralihan kekuasaan. Selama 18 bulan, Suharto menyingkirkan semua loyalis Soekarno dari tubuh ABRI, menggandeng parlemen, mahasiswa dan kekuatan Islam, serta mengakhiri konfrontasi Malaysia. Kekuasaan Soekarno berakhir resmi di tangan MPRS.