Sabtu, 30 Mei 2020

Agama Orang Biasa

oleh Sulaiman Djaya, esais & penyair

Kemusliman saya mulanya karena saya lahir di keluarga muslim: karena tradisi dan pewarisan, di mana ‘pewarisan’ itu sudah dimulai sejak balita ketika saya mulai diajari membaca Quran dan melafalkan beberapa sholawat oleh ibu saya sendiri. Belakangan baru saya tahu, setelah memasuki pesantren, bahwa Islam yang dipraktikkan oleh ibu saya sendiri dan tradisi yang hidup di kampung saya adalah ‘Tradisi Islam’ yang disebarkan dan dimapankan oleh para ‘ulama, ustad, kyai dari gerakan tarekat Qadiri-Naqshabandi yang mempraktikkan marhabanan, dalailan, maulidan, pembuatan bubur Syuro pada 10 Muharram (bubur merah dan bubur putih) dan yang lainnya.

Orang tua saya juga berpesan di waktu saya masih remaja itu agar tak sampai terbawa pemahaman Muhammadiyah dan PERSIS yang menurut mereka suka ‘usil’ dan acapkali mengkritik tradisi-tradisi seperti ngariung, tahlilan, haulan bahkan peringatan maulid Nabi.

Kemusliman saya yang karena tradisi dan pewarisan itu memang adalah fondasi pertama yang sesungguhnya diletakkan bukan oleh saya sendiri, tapi oleh orang lain, sebelum akhirnya saya mengalami pergulatan dan peziarahan yang sifatnya intelektual secara personal dalam dunia teks dan buku-buku.

Sejalan dengan itulah, saya pun kemudian menjadi paham dengan pesan orang tua saya agar tidak ikut-ikutan PERSIS dan Muhammadiyah, karena setelah berkenalan dengan literature (buku-buku) politik dan sejarah Islam, dua organisasi itu yang paling terpengaruh doktrin, pemikiran dan gerakan Wahabi sejak tahun 80-an hingga 90-an.

Ternyata yang dikhawatirkan orang tua saya adalah Wahabi yang memang di jaman itu menganggap syirik orang yang berziarah ke makam para ulama dan wali, menganggap syirik orang yang mencium pagar makam Kanjeng Nabi, dan bahkan seorang ustadz di kampung saya kemudian memberitahu saya bahwa dalam segi akidah, Wahabi mempercayai Tuhan punya wajah dan tangan serta bertempat, padahal menurutnya Tuhan itu mukhalafatu lil hawaditsi (tak serupa dengan makhluk) dan jika bertempat maka tempat itu lebih besar dibanding Tuhan itu sendiri.

Namun tentu saja saat ini keadaannya tak lagi sama. Sebagai contoh saat Muhammadiyah dipimpin Syafii Ma’arif dan kemudian Din Syamsuddin, banyak anggotanya yang cenderung moderat dan tak memiliki kecendrungan takfiri di mana kecendrungan takfiri ini sempat digantikan posisinya oleh banyak oknum PKS (yang mana partai ini sesungguhnya masih dicurigai berciri dan berideologi keagamaan Wahabi). Begitu pun PERSIS, barangkali sudah tak lagi sama dengan PERSIS yang dulu.

Lalu seterusnya, kemusliman saya (setelah karena pewarisan dan tradisi), membuat saya ingin mengetahui dan membaca lebih banyak, karena berdasarkan pengalaman yang sedikit itu saja sudah memberi tahu saya bahwa Islam sejak kehadirannya di abad ke-7 Masehi sampai ketika saya mengenalnya telah berjalan dan berlangsung belasan abad sehingga mustahil tak terjadi apa-apa selama perjalanannya yang lama dan sangat panjang itu.

Beruntungnya, setelah lulus pesantren, saya diterima di IAIN Banten dan di IAIN Jakarta (yang kini keduanya telah menjadi UIN) ketika mendaftar di dua perguruan tinggi Islam itu, dan entah atas pertimbangan dan motivasi apa, saya memilih IAIN (UIN) Jakarta.

Di Jurusan Perbandingan Agama Fakultas Ushuluddin itu melalui sejumlah buku yang saya baca di perpustakaan Fakultas dan Perpustakaan Kampus, saya jadi mengetahui aliran-aliran (mazhab-mazhab dalam Islam) seperti Murjiah, Mu’tazilah, Asy’ariyah, Maturidiyah, Jabariah, dan Syi’ah. Beberapa buku yang saya baca itu cenderung menilai minus Murjiah, Mu’tazilah, dan Syi’ah yang justru membuat saya bertanya benarkah beberapa buku yang saya baca itu objektif dan justru membuat saya ingin mengetahui lebih jauh.

Adalah sebuah kebetulan, yang barangkali juga takdir, kemudian saya membaca buku-buku yang ditulis Ali Syari’ati dan Murtadha Muthahhari serta buku-buku lain yang ditulis para penulis yang menganut Mazhab Ahlulbait (Syi’ah 12 Imam Itrah Rasul) yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dan ada di perpustakaan Kampus dan Perpustakaan Iman Jama’ di kawasan Jakarta Selatan. Saya pun jadi tahu Syi’ah yang dianggap buruk dan sesat oleh banyak orang di Indonesia itu dari para penulis Syi’ah sendiri yang justru sangat cemerlang dan sangat rasional dan meyakinkan. Sejak itulah saya percaya kebenaran tetap kebenaran meski pengikutnya minoritas.

Kebetulan lainnya ketika itu pamor dan aura Revolusi Islam Iran masih sangat kuat di kalangan akademisi dan politisi. Sebenarnya, ketika saya membaca buku-buku Mazhab Ahlulbait itu kemudian saya pun jadi tahu bahwa ada penganut Mazhab Ahlulbait di Indonesia yang sebelumnya tidak saya ketahui.

Berkat perjumpaan-perjumpaan dan peziarahan-peziarahan dengan dunia teks dan dunia buku itu, saya pun kemudian memandang positif Mu’tazilah yang dipandang negatif Asy’ariyah (teologinya kaum Sunni) sebagai kaum rasionalis Islam yang berusaha memberikan pencerahan kaum beragama dalam domain intelektual dan pemikiran yang menjadi konsen mereka dan saya pun dengan mantap 100 % menolak Jabariah yang berpandangan bahwa segala perbuatan dan tindakan manusia ditentukan Tuhan. Sebab jika segala perbuatan dan tindakan manusia telah ditentukan Tuhan, berarti manusia tak berhak masuk surga atau neraka, tetapi mestinya Tuhan itu sendiri.

Kaum Jabariah dengan kedunguan mereka yang luar biasa mengingkari bahwa setelah Tuhan memberikan petunjuk dan penerangan yang diantaranya lewat pengutusan para Nabi dan para Rasul, di saat itulah manusia bebas untuk menentukan sendiri apakah ia akan melakukan kebajikan atau keburukan, yang bahkan bagi segelintir orang Mu’tazilah bahwa ketika manusia dianugerahi akal pada saat itu manusia mestinya sanggup membedakan mana yang bajik dan mana yang buruk.

Sebenarnya sebelum berjumpa dengan tulisan-tulisan dan buku-buku yang ditulis para filsuf Syi’ah, saya telah menjadi ateis untuk hampir dua tahun sejalan dengan keakraban saya pada buku-buku kaum liberal yang membuat saya ragu dengan otentisitas Islam dan kema’shuman Kanjeng Nabi karena menurut kaum liberal dan sejumlah kaum Sunni Kkanjeng Nabi tak luput dari salah. 

Hal itu berlanjut dengan meragukan agama dan Tuhan sejalan dengan keintiman saya dengan tulisan-tulisan dan buku-buku kaum atheis dan kaum materialis-positivis dari Eropa dan Amerika.

Beruntunglah saya berjumpa dengan akidah Syi’ah yang memberi saya kepuasan batin sekaligus kepuasan intelektual karena kekuatan padunya yang menyeimbangkan dan memadukan rasionalitas dan spiritualitas.

Dalam narasi kaum Liberal, Sunni dan Wahabi misalnya ada kisah dan dongeng bahwa wahyu membenarkan Umar dan menyalahkan Kanjeng Nabi. Saat membaca narasi yang demikian, saya berkesimpulan jika seorang rasul tidak terjaga dari kesalahan, betapa rentan ia dari subjektivitas dan kontaminasi sebagai pengemban risalah suci, sebagaimana air yang suci bersih akan menjadi kotor jika ditempatkan di wadah yang kotor.

Padahal di saat kemudian saya tahu, kenyataan sejarah Islam menunjukkan Umar tak pernah sanggup menjawab polemik dan pertanyaan-pertanyaan sangat sulit yang diajukan Kaum Yahudi dan Kaisar Bizantium yang menunjukkan bahwa Umar bukan orang cerdas seperti yang didongengkan itu, sehingga dalam keadaan demikian, beberapa sahabat semisal Salman, Ibn Abbas, Abu Dzar, dan lainnya acapkali harus menghadapkan Kaum Yahudi itu ke Sayidina Ali atau memanggil Sayyidina Ali yang memang sanggup menjawab dan membuat heran Kaum Yahudi yang dengan demikian Sayydina Ali telah menyelamatkan wibawa Islam.

Umar juga dianggap oleh kaum Sunni dan Wahabi sebagai jawara hebat. Hal lucu lainnya. Karena kenyataan sejarah menunjukkan Umar kabur dalam beberapa perang seperti dalam Perang Hunain dan Perang Uhud dan hanya Sayyidina Ali yang tak pernah kabur dalam perang, bahkan Sayyidina Ali selalu menang ketika menjadi komandan seperti saat menjadi komandan di Badar. Jawara-jawara Arab yang tak terkalahkan juga bukan dikalahkan oleh Umar, tapi oleh Sayyidina Ali seperti Amr bin Abdul Wudd dari kalangan oligarkhi Qurays dan Harits sang jawara Yahudi di Khaibar.

Barangkali Umar, ini hanya barangkali saja dan boleh ditolak secara gamblang jika Anda tidak setuju, memang prototipe atau ‘percontohan’ watak dan karakter kaum Liberal dan Wahabi yang pengetahuan Islamnya tidak mendalam tapi sering protes dan gandrung menafsirkan sendiri agama. Catatan sejarah Islam menunjukkan Umar pernah meragukan kerasulan Kanjeng Nabi kepada Abu Bakar dan segera saja Abu Bakar menepisnya. Hal itu berbeda dengan Sayyidina Ali sebagai pewaris Islam otentik Kanjeng Nabi karena Sayyidina Ali adalah anggota rumah-tangga Kanjeng Nabi (Ahlulbait) yang Kanjeng Nabi selalu meminta Sayyidina Ali untuk menuliskan wahyu saat turun dan disampaikan kepada Kanjeng Nabi dan mengajarkan makna lahir-bathinnya.

Yang lainnya lagi, sebagai contoh kelucuan pula, dalam narasi Islam-nya Fazlur Rahman dan Karen Armstrong Kanjeng Nabi digambarkan dan dikutipkan sebagai ‘ayan dan ketakutan saat menerima wahyu. Jika Kanjeng Nabi ‘ayan sungguh berbahaya sekali bagi kesehatan ruhaniahnya sebagai seorang utusan, dan jika Kanjeng Nabi ketakutan, berarti saat beliau menerima wahyu bukan atas dasar kesadaran.

Kang Jalal (Dr. KH. Jalaluddin Rakhmat) yang tulisan dan orasinya selalu enak disimak itu, mengkritisi hal-hal di atas. Dan secara umum, akidah Syi’ah meyakini Kanjeng Nabi itu ma’shum, terjaga dari salah dan dosa. Jangankan berbuat ma’shiyat, niat berbuat ma’shiyat saja tidak. Dan tentu saja, Kanjeng Nabi itu bukan orang bodoh, melainkan sangat jenius. Syi’ah menggambarkan Kanjeng Nabi sebagai Insan Kamil (manusia paripurna). Di saat non-Syi’ah menganggap Kanjeng Nabi bisa salah dan lupa. Sungguh aneh tapi nyata adanya di kalangan sebagian muslim.

Lalu kemudian ada pula dongeng di kalangan masyarakat yang fanatik kepada Syekh Abdul Qadir Jilani bahwa Kanjeng Nabi bisa sampai di puncak mi’raj berkat bantuan (ruh) Syekh Abdul Qadir Jilani (sebelum dilahirkan ke dunia). Sebuah dongeng yang mencerminkan kedunguan yang luar biasa karena dengan dongeng dan takhayul-khurafat itu seakan-akan Syekh Abdul Qadir Jilani lebih hebat dibanding Kanjeng Nabi. Sebuah dongeng yang mencerminkan Islam sebagai agama takhayul dan khurafat bukannya agama yang mencerahkan dan mencerdaskan.

Pemitosan dan takhayul yang berlebihan kepada figur-figur selain Kanjeng Nabi yang tak sesuai kenyataan itu karena memang ada sejumlah narasi yang merendahkan Kanjeng Nabi. Wajar jika kaum orientalis kemudian mengutipnya karena tradisi Islam menyediakannya. Misalnya ada hadits (riwayat) palsu yang menarasikan Kanjeng Nabi bermimpi tidur di pangkuan istri sahabat dan menggendong Aisyah untuk menonton Sirkus Sudan. Sungguh terlalu!

Masih banyak narasi lainnya yang bertendensi merendahkan Kanjeng Nabi dalam tradisi Sunni. Semisal narasi yang ditulis sejarahwan Sunni yang kemudian dikutip Martin Lings (muallaf Sunni) dalam buku Muhammad-nya bahwa Kanjeng Nabi dibelah dadanya oleh Jibril untuk disucikan karena hatinya pernah disentuh Setan dan hanya Nabi Isa, demikian dinarasikan buku Muhammad-nya Martin Lings itu yang hatinya tidak disentuh Setan. Narasi yang demikian tentu saja secara jelas menyatakan bahwa Nabi Isa lebih mulia ketimbang penghulu para Rasul, yaitu Kanjeng Nabi.

Narasi lucu lainnya dalam tradisi dan narasi Sunni misalnya dikisahkan bahwa saat Kanjeng Nabi mi’raj, ia diminta Nabi Musa untuk bernegosiasi dengan Tuhan untuk mengurangi jumlah rakaat sholat. Dan Kanjeng Nabi pun harus bolak-balik beberapa kali. Padahal, saat mi’raj Kanjeng Nabi langsung mendapatkan perintah sesuai dengan jumlah waktu dan rakaatnya dan tak ada negosiasi bolak-balik seperti yang sering disampaikan para penceramah Sunni saat peringatan Isra Mi’raj.

Kedunguan lainnya adalah diterimanya narasi Jabariah ciptaan tiran Ummawi di kalangan muslim non-Syi’ah, semisal bahwa Zulkarnain atas Kehendak Tuhan sanggup mengikatkan tunggangannya ke langit. Sebuah kedunguan lain yang luar biasa!

Hal-hal yang demikian bila kita teliti dan telaah literatur, sejarah dan tradisi Islam, akan memberikan kedewasaan ilmiah bagi ummat Islam. Sehingga hal memperihatinkan semisal banyak orang-orang awam berani menuduh sesat sesama muslim karena terhasut ceramah-ceramah ustadz-ustadz takfiri dan propaganda politis atas dasar kepentingan politik global Barat (Amerika dkk) yang belakangan ini merasa memiliki kepentingan untuk menyerang Islam Syi’ah, dapat dikurangi. Sebab pengaruh Islam Syi’ah dari Negara tertentu bisa menghidupkan kesadaran perlawanan terhadap hegemoni global Barat (Amerika dkk).

Bisa dikatakan, mayoritas muslim di Indonesia adalah mereka yang buta pada konstelasi dan kompetisi politik global. Sehingga mereka rentan dan mudah sekali terhasut propaganda yang disebarkan melalui ustad-ustadz dan media-media yang bekerja sesuai dengan selera dan kepentingan Barat.  

Tapi sesungguhnya saya memiliki spekulasi lain: kenapa mayoritas muslim di Indonesia lebih cenderung menyukai ustadz-ustadz yang mirip pelawak dan abal-abal seperti Abdul Somad yang menyatakan bahwa virus Corona adalah tentara Allah, Adi Hidayat yang menyatakan diri bisa memasukan Prabowo ke Surga, Bachtiar Nasir yang promosi dan meminun air kencing unta, Felix Siauw sang promotor khilafah, Irene Handono yang jualan dengan cara menjelek-jelekkan agama yang dulu dianutnya dan yang sejenis mereka itu seperti Teungku Zulkarnain, AA Gym, dan Haikal Hassan, mungkin karena mayoritas muslim Indonesia yang banyak kurang sejahtera lebih membutuhkan hiburan ketimbang agama dan kurang bisa memaksimalkan nalar mereka karena mereka masih terlalu bermasalah dengan perut mereka. Dan spekulasi ini tentu saja bisa salah.

Perebutan Kekuasaan Paska Wafatnya Kanjeng Nabi

Di perpustakaan Forum Mahasiswa Ciputat (FORMACI), sewaktu saya masih aktif mengikuti darsah dan kajiannya bersama teman-teman mahasiswa yang lain, saya menemukan buku Saqifah yang ditulis oleh O. Hashem. Buku itu mencuri minat dan perhatian saya karena sub-judulnya: Awal Perselisihan Umat. Segera saja buku yang mulai kusam itu saya baca, dan segera saya pun jadi tahu kemelut perebutan kekuasaan di saat Kanjeng Nabi Wafat, meski Kanjeng Nabi telah menetapkan Sayidina Ali sebagai pemimpin penggantinya berdasarkan perintah wahyu ayat 67 Surah Al-Maidah yang turun di Ghadir Khum saat Haji Wada’ yang beliau umumkan di hadapan jamaah haji saat itu.

Peristiwa Saqifah adalah kudeta pertama dalam sejarah Islam, ketika Umar dkk mengkudeta Sayidina Ali di saat Sayidina Ali, Sayidah Fatimah, Imam Hasan, Imam Husain dan lainnya sedang sibuk mengurus jenazah Kanjeng Nabi. Sungguh luar biasa! Di saat Kanjeng Nabi wafat, mereka malah mengadakan konferensi Saqifah untuk mendirikan kekhilafahan bukannya mengurus jenazah Kanjeng Nabi.

Sayidah Fatimah dan sejumlah sahabat yang pro Sayidina Ali tentu saja menolak khalifah hasil Konferensi Saqifah, semisal Salman, Abu Dzar, Malik Asytar, Bilal dan yang lainnya dan mereka mengusulkan untuk memerangi kelompok Saqifah namun dicegah dan dilarang oleh Sayidina Ali karena hanya akan menciptakan perang saudara. Tapi apa lacur. Umar, Khalid bin Walid dkk memaksa ba’iat Sayidah Fatimah sampai-sampai mereka membakar dan mendobrak pintu rumah Sayidah Fatimah hingga menyebabkan luka, yaitu patahnya tulang rusuk Sayidah Fatimah, yang harus ditanggung oleh Sayidah Fatimah dengan rasa sakit selama 75 hari sisa hidupnya sebelum wafat paska wafatnya Kanjeng Nabi.

Buku yang ditulis oleh O. Hashem itu membuat saya ingin melakukan kajian pustaka yang lainnya: apakah peristiwa Saqifah dicatat oleh buku-buku lain. Dan ternyata sejumlah buku Sejarah Islam membenarkan peristiwa Saqifah tersebut. Tradisi Sunni atau Kaum Asy’ariyah-Maturidiyah menutupi sejarah Islam ini. Saya tidak tahu alasannya. Tapi yang pasti, setelah saya tahu dan kemudian melakukan kajian pustaka lanjutan, banyak penulis, perawi dan sejarahwan Sunni sendiri sebenarnya mencatat peristiwa tersebut dalam kitab-kitab mereka, tapi secara tradisi sejarah tersebut tidak diinformasikan di kalangan umat.

Peristiwa tersebut membuat saya kemudian meragukan klaim kaum Asy’ariyah-Maturidiyah (Sunni) bahwa semua sahabat itu ‘adil. Klaim yang tidak logis dan menentang fitrah memang. Karena manusia dari dulu sampai sekarang tak pernah sama maqom dan derajatnya karena ikhtiar dan kapasitasnya pun tidak-lah sama.

Kaum Sunni memiliki suatu pandangan bahwa seluruh sahabat Kanjeng Nabi Muhammad Al-Mustafa (tanpa kecuali) adalah contoh-contoh dan suri teladan yang patut kita teladani dan mereka itu pada masa hidupnya tak tersentuh oleh nafsu duniawi, mereka bersih dari dosa, mereka tidak serakah dan senantiasa berbuat baik. Mereka juga memiliki pandangan bahwa semua sahabat itu saling mencintai satu sama lainnya, mereka bekerja sama untuk menuju cita-cita Islam, mereka jauh dari saling membenci dan saling iri hati satu sama lainnya. Akan tetapi pandangan itu ternyata jauh panggang dari api. Sebuah klaim ahistoris yang tak mendidik.

Pandangan itu tidak sesuai dengan kenyataan sejarah. Memang, kita sebenarnya berharap bahwa hal itu benar, akan tetapi fakta-fakta dan bukti-bukti sejarah malah tidak mendukung sama sekali apa yang sudah diyakini sebagai kebenaran –yang ternyata politis ini. Fakta-fakta sejarah yang kejam merobek-robek pandangan-pandangan itu, sehingga orang-orang yang mengagumi para sahabat akan terhenyak di kursinya apabila kenyataan sejarah yang sebenarnya sampai pada mereka semua.

Mereka hampir-hampir semuanya tidak sanggup menerima kenyataan bahwa keutamaan-keutamaan para sahabat yang mereka kagumi hanyalah mitos belaka. Seorang pengagum yang paling fanatik pun tidak bisa menyangkal bahwa ada pergulatan kekuasaan diantara para sahabat yang memuncak bahkan sebelum Rasulullah dikebumikan sekalipun. Mereka tidak bisa menyangkal sedikitpun bahwa pergulatan politik seperti itu memang ada dan pernah terjadi.

Oleh karena itu, bukti-bukti sejarah yang melimpah yang tertulis dalam berbagai buku sejarah Islam yang standar itu bisa kita pakai untuk merekonstruksi sejarah, merekonstruksi pandangan kita terhadap para sahabat, merekonstruksi keyakinan kita akan Islam karena dari para sahabatlah kita mendapatkan Islam. Sedangkan para sahabat itu tidak semua bisa kita percayai sesuai dengan apa yang kita lihat dalam sejarah. 

Tidak masuk akal sehat kita apabila para sahabat itu sama semua dari segala aspeknya termasuk aspek keimanan dan ketakwaan. Bahkan para Nabi pun memiliki berbagai tingkatan ruhaniah, apalagi para sahabat yang hanya manusia biasa. Tidak ada dua orang yang memiliki semua tingkat keimanan dan ketakwaan yang serupa.

Ketika mereka menerima Islam sebagai agama mereka, para sahabat Nabi itu adalah manusia biasa dan mereka memiliki preferensi yang berbeda-beda terhadap Islam. Masyarakat Islam yang ada pada waktu itu sama saja dengan yang ada pada hari ini. Masyarakat Islam pada waktu itu terdiri dari berbagai umat manusia dengan setiap karakter yang berbeda-beda.

Setelah memeluk Islam, beberapa dari mereka sanggup mencapai derajat keIslaman yang tinggi bahkan mencapai ke-ma’shuman seperti contohnya Sayidina Ali, sedangkan yang lainnya tetap sama—keadaan sebelum dan sesudah masuk Islam sama saja. Adapun penolakan Kaum Sunni terhadap Ghadir Khum dan pengangkatan Sayidina Ali sebagai pemimpin pengganti Kanjeng Nabi, contohnya disindir oleh Ayatullah Montazeri:

Ada seorang alim Syiah melewati kelompok Sunni. Mereka meminta agar alim Syiah itu bermalam di rumah mereka. Ia menyatakan kesediaannya dengan syarat tidak terjadi diskusi mazhab. Usai makan malam, berkatalah salah seorang ulama Sunni, “Bagaimana pendapatmu tentang Abu Bakar?” Ia menjawab, “Abu Bakar adalah muslim yang utama, salat, saum, haji, bersedekah, dan menyertai Nabi saw.” Kata alim Sunni, “Bagus, teruskan.” Alim Syiah itu berkata, “Secara singkat, Abu Bakar itu lebih utama dan lebih cerdas dari Rasulullah saw.” Orang yang hadir takjub mendengar itu dan berkata, “Mengapa engkau berkata seperti ini?” Orang Syiah itu berkata, “Rasulullah saw memerintah kaum muslimin selama 23 tahun tetapi ia tidak pernah memikirkan wajibnya dan pentingnya mengangkat khalifah. Abu Bakar hanya memerintah kurang dari tiga tahun tetapi ia mengerti dan memahami pentingnya seorang khalifah. Dengan begitu, niscaya Abu Bakar lebih cerdas dari Nabi saw.”

Sindiran itu hanya ingin mengatakan betapa mustahil dan tidak mungkinnya bila Kanjeng Nabi tak memikirkan masa depan ummatnya sehingga ia tidak menyiapkan pemimpin penggantinya yang sangat layak dan utama. Orang yang memang dalam kenyataan sejarah lebih utama daripada para sahabat lainnya.

Sementara itu, dalam sejarah Islam awal, Umar bin Khattab dkk dikenal sebagai kaum dan kelompok yang menciptakan permusuhan dan perpecahan di kalangan ummat Islam. Ada bahkan yang menyebut mereka sebagai kaum penyerobot. Sebenarnya pembangkangan Umar bin Khattab, sebagaimana dicatat Ibn Abbas dan para sahabat lainnya, sudah ia demonstrasikan saat menentang permintaan Kanjeng Nabi kala sakitnya di pembaringan untuk didatangkan kertas dan pena di mana Kanjeng Nabi akan menulis wasiat dengan kertas dan pena itu. Saat itu Umar bin Khattab berkata, “Orang ini meracau….Kitab Allah adalah cukup bagi kita…” Perkataan Umar bin Khattab itu pun menimbulkan kegaduhan dan perpecahan di kalangan para sahabat yang ada kala itu dan contoh sikap kurang ajar sehingga Kanjeng Nabi mengusir Umar dan kelompoknya dari rumah Kanjeng Nabi.

Selain itu, perkataan Umar bin Khattab itu dengan jelas telah memisahkan Kitab Allah dengan Nabi SAW ketika dia berkata di hadapan Kanjeng Nabi Saw:  “Kitab Allah adalah cukup bagi kita”. Kata-kata Umar itu secara langsung merendahkan martabat Kanjeng Nabi Saw. 


Rabu, 29 April 2020

Mafia Berkeley Sebagai Kuda Troya Amerika untuk Indonesia



oleh David Ransom

“Kejadian di Indonesia tahun 1965 merupakan kejadian terbaik bagi kepentingan Amerika sejak perang dunia kedua”, demikian kata seorang pejabat Bank Dunia. Sebagaimana dapat diikuti dalam cerita-cerita tentang Indonesia di masa lalu, Indonesia adalah kawasan yang paling menggoda bagi para petualang dan pencari kekayaan. Mereka menganggap Indonesia sebagai “hadiah terbesar” bagi penjajah di dunia. Presiden Amerika Richard Nixon pada tahun 1967 mengatakan bahwa Indonesia adalah “hadiah terbesar” di wilayah Asia Tenggara.

Pada awal tahun 1960-an, Amerika merasa kehilangan kekayaan yang tak ternilai karena pada waktu itu Indonesia berada di bawah kekuasaan seorang nasionalis progressif, yaitu Soekarno, yang dicap Amerika sebagai berorientasi Peking dan didukung oleh Partai Komunis Indonesia dengan 3.000.000 lebih massa anggotanya yang siap-siap menunggu kesempatan berkuasa.

Pada bulan Oktober 1965 terjadilah kudeta yang dilakukan seorang kolonel. Pada saat itu beberapa jenderal Indonesia segera bertindak menggagalkan kudeta tersebut, dan secara bersamaan membuka pintu bagi perusahaan-perusahaan Amerika untuk mengeruk kekayaan alam Indonesia yang luar biasa besarnya dengan melumpuhkan kekuasaan kepala negara pada saat itu, yaitu Presiden Soekarno.

Para penguasa militer pada saat itu juga membiarkan terjadinya pembunuhan massal yang terbesar dalam sejarah modern negeri ini, di mana kurang lebih antara 500.000 hingga 1.000.000 orang yang dianggap komunis atau anggota Partai Komunis Indonesia yang tidak bersenjata, juga petani-petani yang dianggap simpatisan PKI, dibunuh secara keji oleh militer Indonesia. Setelah pembantaian tersebut, lenyaplah semangat nasionalisme yang berkobar-kobar sebelumnya, yang telah dikobarkan selama sepuluh tahun sebelumnya.

Dengan jatuhnya Soekarno yang memiliki nasionalisme tinggi itu, pemerintah baru (Orde Baru Soeharto) berkesempatan membuka lebar-lebar kekayaan alam Indonesia yang luas dan besar itu bagi perusahaan-perusahaan Amerika. Untuk memuluskan masuknya perusahaan-perusahaan Amerika tersebut, dibentuk “tim istimewa” dalam pemerintahan Indonesia yang terdiri dari menteri-menteri yang menguasai bidang perekonomian, yang oleh orang-orang Indonesia sendiri dikenal sebagai para “Mafia Berkeley”.

Para ahli dan sarjana lulusan Universitas California, yang kelak dikenal sebagai Mafia Berkeley itu, berfungsi sebagai kelompok yang duduk di dewan penguasa (Orde Baru Soeharto). Orang-orang inilah (yang sadar atau tanpa sadar menjadi Kuda Troya bagi kepentingan ekonomi dan politik Amerika) yang kemudian membentuk politik nasional baru Indonesia di masa rezim Orde Baru Soeharto.

Pertanyaannya adalah: mengapa hal yang demikian bisa terjadi? Untuk memahami masalah ini secara baik, kita harus menoleh ke jaman kekuasaan Soekarno kala itu dan apa yang berlangsung di dalamnya –tetapi tidak tampak dari luar. Di balik kekuasaan Soekarno yang menonjol kala itu, di dalamnya sesungguhnya berlangsung suatu perang intrik intelektual internasional, suatu rencana perebutan kekuasaan terselubung, yang bahkan barangkali melampaui khayalan Cecil Rhodes, bersembunyi di balik proyek kemanusiaan dan universitas. Mereka ini terdiri dari para jenderal, mahasiswa, dosen, dekan, dan tentu saja, politisi.

Begitu Jepang keok dalam perang dunia kedua, terjadilah gerakan-gerakan revolusioner di Asia, dari India di Barat hingga Korea di Timur, serta dari Cina di Utara sampai Filipina di Selatan. Gerakan-gerakan tersebut merupakan ancaman bagi rencana Amerika untuk membentuk Pan-Pasifik. Indonesia, meskipun sebelumnya dengan gigih berperang melawan Belanda, tetapi kemerdekaannya tidak diperoleh melalui perjuangan besar seluruh rakyat, melainkan melalui kesepakatan para pemimpinnya.

Saat itu, para pemimpin yang dekat dengan Barat “mengatur” kemerdekaan Indonesia di gedung-gedung mewah di Washington dan New York. Di antara orang-orang Indonesia yang menjalankan manuver-manuver diplomatik pada saat itu adalah: [1] Soedjatmoko yang akrab dipanggil Koko, dan [2] Soemitro Djojohadikusumo, seorang doktor ekonomi dan diplomat (kesayangan Amerika).

Dua orang tersebut adalah anggota Partai Sosialis Indonesia (PSI), sebuah partai kecil yang berorientasi ke Barat (Amerika), di antara sekian banyak partai di Indonesia. Di New York, dua orang ini namanya dibesarkan oleh suatu elit yang berhubungan erat dengan yang biasa dikenal sebagai “Vietnam Lobby”, yang tidak lama kemudian menempatkan Ngo Dinh Diem sebagai kepala negara Vietnam yang sesuai dengan selera politik Amerika. Golongan elit itu, yang di dalamnya juga termasuk Norman Thomas, terdiri dari anggota-anggota komite kemerdekaan untuk Vietnam dan Liga India. Mereka adalah pelopor kaum SOSKA (Sosialis Kanan).

“Kita harus berusaha, agar usaha-usaha dan kegiatan Amerika untuk membentuk pemerintahan non-komunis di Asia setelah perang dunia kedua jangan sampai ketahuan”, demikian ditegaskan Robert Delson, salah-seorang anggota Liga yang menjadi pengacara di Park Avenue, dan menjadi penasehat hukum bagi Indonesia di Amerika.

Robert Delson selalu menemani dan membawa Soemitro Djojohadikusumo dan Soedjatmoko dari kota yang satu ke kota yang lainnya, dan memperkenalkannya kepada kolega-koleganya di American for Democratic Action (ADA) –sebuah institusi kumpulan orang-orang Amerika untuk Aksi-aksi Demokratis, dan pemimpin-pemimpin tinggi buruh yang anti-komunis.

Mereka juga bergerak di kalangan anggota-anggota dari Lembaga Urusan Luar Negeri, Council of Foreign Relations atau CFR (suatu badan yang dibiayai yayasan), yaitu suatu badan yang sangat berpengaruh dalam merumuskan politik Amerika

Karena tidak suka kepada Soekarno (yang visi nasionalisnya merugikan Amerika) dan kuatnya golongan kiri dari para pejuang kemerdekaan Indonesia, para elit Amerika melihat “nasionalisme” ala Soedjatmoko dan Soemitro Djojohadikusumo merupakan alternatif yang paling cocok bagi (kepentingan) Amerika. Kala itu, menurut Soedjatmoko yang bicara di hadapan para elit Amerika di New York, strategi Marshall Plan di Eropa sangat bergantung pada ketersediaan “sumber-sumber daya di Asia”, dan ia (Soedjatmoko) menawarkan kerjasama yang menguntungkan dengan Amerika.

Sementara itu, di awal tahun 1949 yang bertempat di sekolah untuk kajian internasional terkini (School of Advanced International Studies) yang dibiayai oleh Ford Foundation, Soemitro Djojohadikusumo menyatakan bahwa sosialisme yang diyakininya termasuk “akses seluas-luasnya” bagi Amerika ke berbagai sumber daya alam Indonesia dan insentif yang cukup bagi perusahaan-perusahaan asing (utamanya perusahaan-perusahaan Amerika).

Sedangkan dalam pembicaraan-pembicaraan di dewan urusan hubungan luar negeri, kedua orang Indonesia (yang menjual bangsanya) itu menunjukkan minatnya yang sungguh-sungguh untuk memodernisasi Indonesia (sesuai kehendak Amerika), dan bukan untuk merevolusionerkannya (sebagaimana yang diperjuangan Soekarno).

Setelah pengakuan kedaulatan tahun 1949, Soemitro Djojohadikusumo kembali ke Jakarta dan diangkat menjadi Menteri Perdagangan dan Industri dalam suatu pemerintahan koalisi (dan Menteri Keuangan dalam beberapa kabinet berikutnya serta Dekan Fakultas Ekonomi). Sebagai menteri, Soemitro Djojohadikusumo kala itu berenang melawan arus. Sebab saat itu, PNI-nya Soekarno, NU, PKI, kecuali PSI dan Masyumi, sedang bergelora semangat nasionalismenya setelah perang.

Hasilnya, pada Pemilihan Umum 1955 –pemilihan umum yang pertama dan terakhir di Indonesia di era Orde Lama itu, PSI hanya meraup suara yang sangat sedikit dan hanya menduduki tempat kelima. Bahkan lebih tragis lagi, PSI kalah telak dalam pemilihan lokal untuk melilih anggota-anggota DPRD, di mana yang meraih suara tertinggi dan terkuat adalah PKI.

Soemitro Djojohadikusumo pun menentang upaya nasionalisasi perusahaan-perusahaan dan aset-aset milik Belanda yang dilakukan Soekarno pada tahun 1957, di mana ia bersama para pemimpin Partai Masyumi serta sejumlah komandan tentara melakukan pemberontakan di luar Jawa. Pemberontakan ini didukung oleh CIA, namun tak sanggup bertahan lama dan gagal total. Karena kegagalan pemberontakan di Sumatra dan Sulawesi (PRRI/PERMESTA) ini, Soemitro Djojohadikusumo mengasingkan diri ke luar negeri dan menjadi konsultan usaha dan pemerintah di Singapura. Sementara itu, oleh Bung Karno, setelah tahu bahwa pemberontakan itu ditukangi PSI dan Masyumi bersama CIA, Masyumi dan PSI dinyatakan sebagai partai terlarang (pengkhianat).

Kelompok-kelompok di Indonesia yang menjadi sekutu (jongos) Amerika ini telah mengadakan persekongkolan dengan kekuatan imperialis (Amerika) untuk menggulingkan pemerintahan nasionalis populer hasil pemilihan rakyat, yang dipimpin oleh seorang yang dianggap sebagai George Washington-nya Indonesia, yaitu Soekarno, dan mereka kalah. Reputasi mereka hancur, sehingga hanya keajaiban saja yang bisa membawa mereka kembali.

Dan memang, keajaiban itu terjadi 10 tahun kemudian, bukan dengan manuver diplomatik, peran partai politik atau invasi militer Amerika. Sebab cara-cara itu sudah terbukti gagal di Indonesia (ketika menghadapi kelihaian Soekarno kala itu). Keajaiban itu datang melalui dunia pendidikan, dengan bantuan kebaikan para filantropis (untuk mengkader mereka yang kelak akan menjadi kaki tangan kepentingan Amerika) melalui pendidikan dan indoktrinasi ideologi ekonomi-politik. Di situlah Ford Foundation bersama dengan Soemitro Djojohadikusumo bekerja-keras menjalankan misinya.

Jumat, 06 Maret 2020

Mengoreksi Diskursus Studi Islam di Amerika


Diskusi Wanda R. Taylor dan Seyyed Hossein Nasr

(Wawancara Wanda Romer Taylor, redaktur majalah Voice Acros Boundaries, dengan Doktor Seyyed Hossein Nasr, filsuf terkenal Iran dan dosen di berbagai universitas di Amerika ini berkisar tentang sejarah kekerasan Islam dan Kristen juga seputar Osama bin Laden dan hipokritas Barat-Amerika yang diterjemahkan oleh Nasir Dimyati)

WRTMengenai agama Islam, harus kita katakan bahwa agama ini juga sama dengan agama Yahudi; bersumber dari budaya perang dan kekerasan. Tapi setelah perkembangan awal Islam, muncullah periode-periode panjang perdamaian dan kedewasaan ilmiah-kultural serta toleransi agama. Apakah fenomena-fenomena historis ini betul-betul terpisah antara satu dengan yang lain? Sudikah Anda menjelaskan kronologi dan pengaruh kondisi nyata sejarah dasar-dasar Islam terhadap terbentuknya agama?

SHN: Sebelumnya perkenankan saya untuk mengoreksi kata-kata Anda. Dasar-dasar Islam tidak punya ruang di dalam budaya perang dan permusuhan, melainkan bersumber dari Tuhan, agama Islam muncul di Arab dan di tengah kabilah-kabilah yang saling bermusuhan. Agama ini turun dari sisi Tuhan untuk mengakhiri permusuhan antar kabilah. Sejarah peradaban manusia senantiasa sarat dengan peperangan, dan Islam bukanlah pengecualian dalam hal ini.

Dibandingkan dengan Kristen dan Yahudi, Islam tidak punya perang yang lebih banyak. Nabi saw. terpaksa berhijrah dari Mekah ketika kehidupannya terancam bahaya besar di sana. Beliau terpaksa melakukan perang pertahanan di Madinah. Tapi ketika beliau kembali ke Mekah, beliau ciptakan perdamaian tanpa menumpahkan setetes pun darah. Begitu pula halnya setelah beliau wafat, pada masa empat khalifah yang pertama telah terjadi perang sektarianis, setelah itu adalah periode panjang penuh damai dan kedewasaan kultural di semua bidang religius dan budaya. Dibandingkan dengan mayoritas agama yang lain, bahkan agama Hindu yang terkenal dengan toleransinya, ternyata Islam lebih memiliki toleransi agama daripada yang lain. Fakta membuktikan bahwa Nabi saw. menghormati sekali orang-orang Yahudi dan Kristen dan menyebut mereka sebagai Ahlikitab.

Peperangan beliau melawan kelompok Yahudi di Madinah sama sekali bukan karena ke-Yahudian mereka, melainkan karena persekongkolan mereka dengan musuh-musuh Islam di Mekah dan pengkhianatan mereka, pelanggaran itulah yang menyebabkan sebagian orang Yahudi terbunuh. Adapun orang-orang Yahudi dan Kristen lainnya, hidup di bawah naungan perlindungan muslimin dan hidup dengan tenang serta damai di antara mereka.

WRTApa pendapat Anda tentang sentimen anti-Yahudi dan anti-Israel yang populer di kalangan umat Islam?

SHN: Ini adalah fenomena baru yang merupakan reaksi dari kemunculan Zionisme sebagai sebuah ideologi non agamis di kawasan dan pendudukan bumi Palestina serta penganiayaan terhadap penduduk sana. Kapan saja persoalan antara dua belah pihak Zionis dan Arab diselesaikan secara adil maka mayoritas sentimen anti-Yahudi ini pasti tersingkirkan. Secara historis, kaum Kristen dan Yahudi menjalani hidup di sebagian besar negara Islam tanpa menghadapi problem besar. Kehidupan kaum Yahudi di tengah masyarakat muslim jauh lebih tentram dibandingkan kehidupan mereka di tengah negera-negara Eropa. Setelah kaum Yahudi bersama muslimin diusir dari Spanyol pada abad kelimabelas, mereka tinggal di Afrika Utara dan Turki, mereka di sana hidup tentram dan terhormat. Bahkan, ketika Amerika membombardir kota Baghdad pada tahun 1991, tidak ada seorang Kristen pun yang diganggu oleh orang-orang muslim Irak.

WRTSeperti halnya kitab suci Yahudi dan Kristen, Al-Qur’an juga mengandung ayat-ayat pembelaan terhadap tindakan damai dan juga kekerasan. Sudikah Anda menerangkan aneka ragam penafsiran tentang ayat-ayat Al-Qur’an yang berkenaan dengan kekerasan? Apa penjelasan Al-Qur’an tentang konsep perang?

SHN: Ayat tentang perang di dalam Al-Qur’an bisa dihitung dengan jari-jari, tapi sayang sebagian orang di Barat selalu menarik ayat-ayat itu lalu mengkritiknya seolah-olah mereka lupa bahwa jumlah ayat peperangan di dalam Taurat lebih banyak. Perang, menurut Al-Qur’an, hanya diperbolehkan sebagai bentuk aksi pertahanan, dan tidak boleh hukumnya membunuh penduduk sipil, wanita, dan anak-anak. Adapun mengenai istilah ‘jihad’ yang biasanya di Barat diungkapkan secara menyimpang, saya katakan bahwa ‘jihad’ berarti ‘usaha di jalan Tuhan’ dan maknanya yang paling dalam adalah perjalanan pribadi dalam diri dan bukan perang suci. Meskipun demikian, ‘jihad’ juga terkadang berarti sebuah operasi pertahanan yang dibutuhkan dalam rangka melindungi masyarakat muslim.

WRTInilah letak perbedaan antara jihad akbar dan jihad asghar. Tolong beri kami keterangan yang lebih tentang persoalan ini?

SHN: Memang benar, jihad besar berarti usaha pribadi dalam diri untuk menaklukkan hawa nafsu dan jiwa materialnya. Jihad kecil berarti perang pertahanan luar diri. Setelah perang pertama melawan musuh-musuh dari Mekah, Nabi saw. mengucapkan selamat kepada para pengikutnya dan kemudian memperingatkan mereka dengan sabdanya, “Kalian baru saja selesai dari jihad luar diri dan sekarang konsentrasilah untuk jihad dalam diri.” Beliau memperingatkan mereka bahwa jihad dalam diri melawan hawa nafsu dan kemauan-kemauan material lebih penting dan lebih besar daripada jihad luar diri.

WRTPerang dalam bahasa Arab adalah ‘harb’, apa bedanya konsep ‘harb’ dengan ‘jihâd’? Kenapa kata jihad lebih populer dalam kajian-kajian Islam kontemporer?

SHN: ‘Harb’ berarti perang, dan Islam telah menetapkan berbagai undang-undang yang jelas untuk itu. Sebagaimana kata jihad memiliki makna tersendiri menurut agama dan berarti usaha demi Tuhan di jalur persambungan dengan-Nya, akan tetapi kata ini juga telah digunakan untuk maksud yang lain. Sebagai contoh, coba perhatikan kata masehi ‘crusade’ pada perang salib, di abad kesebelas dan tepatnya ketika terjadi peperangan melawan Islam, Paulus Urban menggunakan kata ini dalam arti perang suci, begitu pula di abad keduapuluh; presiden Johnson menggunakan kata ini dalam arti perang melawan kemiskinan. Oleh karena itu pula kata jihad terkadang digunakan dalam artinya yang hakiki dan terkadang digunakan dalam artinya yang majasi, dan sebagaimana dalam masyarakat yang lain; sebagian waktu, perang digelar atas nama-nama bohong. Di sepanjang sejarah, senantiasa ada sultan atau penguasa yang mengumumkan ‘jihad’, padahal apa yang sedang terlintas di dalam benak mereka tidak lain adalah ‘harb’ atau perang. Mereka bermaksud untuk menduduki kawasan tertentu atau mengalahkan musuh, maksud itu mendorong mereka untuk menggunakan slogan religius ‘jihad’ demi memberikan pengesahan terhadap tindakan dan politik mereka. Permainan politik seperti ini, baik secara hukum maupun secara teologis, sama sekali bukan jihad. Jihad hanya berhak diumumkan oleh pemimpin pemerintahan Islam setelah bermusyawarah dengan ulama agama. Presiden Mesir, contohnya, tidak berhak mengumumkan jihad, karena dia presiden non-Islami sebuah negara.

Islam adalah agama yang kandungannya betul-betul politis, dan secara historis sebagian reformis agama dan politik menggunakan sarana kekerasan untuk mencapai tujuan mereka. Beda halnya dengan agama Kristen; di sana Almasih berkata kepada para pengikutnya, “Serahkan kepada Tuhan apa saja yang milik Tuhan, dan serahkan kepada Kaisar apa saja yang milik Kaisar.” Menurut Islam, segala sesuatu milik Tuhan. Undang-undang dan syariat Islam berdiri di atas dua fondasi, yang pertama adalah wahyu yang sampai kepada Nabi saw. berupa Al-Qur’an, dan yang kedua adalah hadis atau sunnah dan riwayat tindakan Nabi saw. Undang-undang suci Islam (syariat) berlandaskan pada dua sumber asli yang paling mendasar ini. Di samping itu, berlandaskan juga pada prinsip-prinsip lain seperti ijmak dan kias. Adapun agama Kristen tidak punya undang-undang yang jelas di dalam kitab Injil. Beda halnya dengan Musa dan Nabi Muhammad saw., Almasih tidak membangun undang-undang tertentu, itulah sebabnya masyarakat-masyarakat Kristen terpaksa menggunakan undang-undang yang ada dalam budaya-budaya lokal. Sedangkan di dalam agama Islam, syariat bersetubuh lekat dengan agama dan tak terpisahkan satu sama yang lainnya.

Selama dua abad setelah kemunculan Islam ada gelombang kuat penelitian di tengah masyarakat muslim, karena itulah disiplin ilmu fikih atau undang-undang Islam berkembang pesat pada waktu itu. Para fakih terdahulu bermaksud untuk menegakkan norma-norma hukum tertentu sekiranya mencakup tuntunan-tuntunan Al-Qur’an tentang pembangunan masyarakat yang bertakwa, sejajar dan adil. Para sultan dan khalifah sepatutnya memerintah dan melindungi rakyat sipil sesuai asas syariat. Namun, seperti halnya dalam masyarakat-masyarakat yang lain; sebagian pemimpinnya lebih baik daripada yang lain, sebagiannya lagi gemar membunuh dan menganiaya rakyat sehingga biasanya orang-orang yang tertindas berlindung pada ulama dan pimpinan spiritual. Di berbagai kesempatan, sebagian kelompok merasa bahwa pemimpin tiran jauh keluar dari jalur syariat dan menyimpang dari jalan utama Islam yang berasaskan pada keadilan dan kesejajaran di hadapan undang-undang, oleh karena itu mereka bertekad untuk melakukan gerakan politik dan reformis yang menentang pemimpin-pemimpin tersebut. Dalam kondisi seperti ini biasanya muncul aksi kekerasan. Pada kenyataannya, berhadapan dengan masalah kekerasan adalah sebuah kenyataan dalam kehidupan sosial manusia. Islam tidak melupakan kenyataan ini, melainkan ingin membatasi perang dan kekerasan sebisa mungkin serta melarang aksi kekerasan terhadap rakyat sipil yang tak berdosa, khususnya orang-orang tua, wanita, dan anak-anak kecil. Bagaimana pun juga sejarah Islam jika dibandingkan dengan sejarah Kristen tidak menunjukkan kekerasan yang lebih banyak.


WRTDi Barat, kita sering melupakan kenyataan bahwa perkembangan ilmiah, kultural, dan filosofis dunia Islam di abad-abad pertengahan yang banyak membantu Eropa untuk memasuki masa Renaisans dan Era Pencerahan. Dan pada abad ke-18 serta 19 ekonomi ekspansionis Eropa merusak keseimbangan kekuasaan dan berusaha untuk menjajah berbagai masyarakat yang pada umumnya petani di Timur Tengah, Afrika dan Asia. Sudikah Anda menerangkan dampak perubahan keseimbangan kekuasaan dalam Islam?

SHN: Perkembangan Eropa bahkan telah mulai dari awal abad ke-16. Mungkin Islam pada waktu itu merupakan peradaban yang paling penting, dan Barat sampai batas-batas yang jauh berhutang budi pada peradaban besar ini. Ilmu pengetahuan Barat telah dibangun di atas ilmu pengetahuan Islami. Galileo Galilei tidak mungkin muncul tanpa tokoh-tokoh terkemuka seperti Abu Ali Sina (Ibnu Sina) dan astronomer-astronomer muslim lainnya. Meskipun ilmu pengetahuan Galileo dan ilmuan modern lainnya yang berkembang terbangun di atas pandangan dunia yang berbeda dengan ilmu-ilmu Islami, akan tetapi secara historis dunia Islam telah melakukan sebuah kesalahan yang penting sekali. Dalam kapasitasnya sebagai peradaban yang aktif dan dinamis, dunia Islam pada abad ke-16 dan 17 disibukkan dengan persoalan-persoalan internal dan lalai terhadap kemajuan gradual Eropa dan pembentukan sebuah kekuasaan yang dominan.

Muslimin pada waktu itu memandang penduduk Eropa sebagai orang-orang yang hobi perang dan tidak teratur, tapi kuat. Praktis, transaksi pada waktu itu terjadi hanya sepihak. Eropalah yang ketika itu paling banyak berhutang budi pada dunia Islam. Kekuasaan Islam kala itu terpusat di India Mongol, Iran Safawi, dan Imperatur Islami. Ketika penduduk Eropa menduduki beberapa kawasan di Asia yang jauh, kejadian ini tidak terhitung besar. Tapi baru ketika Napoleon menduduki Mesir pada tahun 1798, dunia Islam terjaga dari tidurnya dan sadar. Mesir terletak di jantung dunia Islam, dan meskipun berada di bawah tindasan Dinasti Utsmani dan pemerintahan Mamluk, akan tetapi pemerintahan Mamluk itu merupakan satu-satunya silsilah sultan muslim yang berhasil mencegah kehancuran Mesir secara total akibat serangan pasukan Mongol dan mengalahkan mereka. Oleh karena itu, kemenangan Napoleon terhadap Mesir adalah guncangan yang kuat sekali. Eropa berubah menjadi kekuasaan yang dominan, karena kekuasaan itu menjadi sekuler. Mungkin saja sebagian orang mengatakan bahwa Eropa pasca abad-abad pertengahan telah menjual spiritualitas dan ruhnya dalam transaksi Faustian demi meraih kekuasaan duniawi. Saya selalu mengatakan bahwa seandainya Islam juga mau mengerahkan seluruh energinya untuk merenggut kekuasaan dunia dan tidak menggunakannya untuk penemuan serta penelitian filosofis, agamis dan irfani, niscaya Islam juga bisa mendapatkan sarana yang mampu menaklukkan dunia.

WRTDewasa ini, ada sejumlah besar orang muslim yang hidup di Barat, begitu pula sebaliknya; ada sejumlah besar orang Barat yang hidup di tengah berbagai masyarakat muslim. Fenomena ini mungkin telah mengobrak-abrik pembatasan antara apa yang secara tradisional disebut oleh muslimin sebagai Darus Salam atau kawasan mayoritas muslim dengan tempat-tempat yang lain. Tolong jelaskan tentang reaksi muslimin Darus Salam terhadap Barat?

SHN: Kita harus kembali lagi ke periode Napoleon. Sewaktu dia menduduki Mesir, jantung dunia Islam, muslimin terguncang dan tercengang. Sebaliknya dari sejarah Yahudi, sejarah Islam adalah sejarah penaklukan dan kemenangan. Sebuah ayat di dalam Al-Qur’an mengatakan, “Apabila Tuhan menolong maka tidak ada seorang pun yang dapat mengalahkan kalian.” Muslimin berkeyakinan bahwa selama mereka mengikuti agama Allah maka pasti mereka menang. Tapi nyatanya sekarang Islam tengah menghadapi krisis spiritual, agama, dan politik yang sangat dalam, mereka bertanya-tanya pada diri mereka sendiri, mana letak kesalahan yang telah mereka perbuat?

Ada tiga pandangan yang menjawab pertanyaan ini; yang pertama mengatakan kekalahan besar ini adalah tanda nyata akhir dunia dan kemunculan Mahdi atau penyelamat dunia; pandangan kedua mengatakan muslimin tidak mematuhi ajaran-ajaran Islam sebagaimana mestinya, dan seyogianya mereka kembali pada kepatuhan yang sesungguhnya terhadap agama; pandangan ketiga mengatakan pesan Islam harus disesuaikan dengan dunia modern agar dapat serasi dengan Barat yang dominan. Masing-masing dari jawaban itu mempunyai pendukung tersendiri, sehingga terdapat tiga macam gerakan pemikiran dalam menghadapi Barat yang modern pada abad ke-19.

Tiga gerakan ini mencakup Mahdiisme atau gerakan-gerakan messianic, fundamentalisme minus intelektual seperti Wahabisme di Saudi Arabia, dan gerakan-gerakan modern seperti Turk Muda (Young Turks/ Jön Türkler/ Jeunes Turcs) dan Libralisme Arab. Gerakan-gerakan ini muncul dalam dua tahap. Pertama pada abad ke-19 dan permulaan abad ke-20 serta periode pasca perang dunia kedua. Gerakan tahap kedua berbeda dengan tahap pertama, meskipun dia mencakup berbagai gerakan Mahdiisme, Reformisme dan Fundamentalisme. Gerakan ini juga akhirnya menimbulkan sesuatu yang disebut oleh Barat dengan nama Islam Tradisional. Pada saat yang sama, kondisi baru yang muncul di Barat telah menciptakan hubungan yang paling keruh antara dia dan Islam. Setelah perang dunia kedua, muslimin menyadari keputus-asaan penduduk Barat terhadap modernitasnya.

Kala itu, keadaan ini tertuangkan dalam puisi-puisi T. S. Eliot atau dalam karya René Guénon tentang krisis dunia modern, begitu pula dalam karya-karya lain yang semua itu kemudian diterjemahkan dan tersebar di dunia Islam. Selain itu, kekayaan yang mengucur ke dunia Islam telah mempercepat laju perindustrian dan modernisasi serta menambah ketegangan antara Islam dan pengaruh Barat di dalam negara-negara Islam. Mayoritas dunia Islam telah mencapai kemerdekaan politik dan mereka ingin sekali mencapai kemerdekaan kultur dan sosial di samping itu. Sampai saat itu agama masih mempunyai kekuatan yang tinggi di tengah masyarakat-masyarakat muslim. Oleh karena itu, mayoritas muslimin sangat berharap untuk menghidupkan kembali masyarakat Islam dan mendominasikan lagi budaya dan hukum Islam yang sempat dihentikan oleh kekuasaan imperialis. Walau demikian, muslimin mendapati diri mereka masih tergantung pada kekuatan ekonomi dan teknologi Barat, dan secara politik juga masih berada di bawah dominasi kelompok tertentu yang terdidik oleh Barat dan mempunyai kecenderungan kepada Barat serta menduduki posisi strategis karena dukungan Barat. Siapa saja yang mengenal dunia Islam pasti tahu bahwa ketegangan-ketegangan ini pada akhirnya menimbulkan berbagai reaksi. Saya termasuk orang muslim pertama yang membicarakan topik ini pada dekade lima puluh.

WRTAnda tadi menggunakan dua istilah Fundamentalisme dan Tradisionalisme, tolong jelaskan apa perbedaan antara dua kelompok Islam itu?

Iya, dua kelompok itu berbeda sekali. Fundamentalisme adalah konsep Barat yang berasal dari Protestanisme Amerika dan pertama kali digunakan oleh Barat untuk Islam ketika revolusi Islam pada tahun 1979 terjadi di Iran. Ini istilah fallacious yang menyesatkan dan mengandung berbagai unsur yang tidak serasi. Contoh Fundamentalisme yang paling masyhur adalah Wahabisme di Saudi Arabia. Hal-hal yang disepakati oleh seluruh fundamentalis adalah kebencian dan ketidakpercayaan terhadap Barat dan budayanya serta kecintaan terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi Barat. Mereka juga punya kecenderungan pada gerakan aktif dan pada umumnya menentang dimensi-dimensi internal Islam seperti irfan, filsafat dan seni.

Mereka lebih mendukung pemahaman kulit (lahiriah) dan semi-ilmiah terhadap Al-Qur’an. Pada kenyataannya, kecenderungan awam yang bisa juga disebut dengan Aliran Salafi ini tidak sepenuhnya berada dalam kategori pandangan yang sejati dan resmi, melainkan berada dalam kategori pinggiran Islam Ortodoks (Islam yang mungkin sekali justru menyimpang). Fundamentalisme adalah wajah lain dari satu logam Modernisme.

Dalam bentuknya yang terkini, Fundamentalisme tidak mungkin ada tanpa Modernisme yang sekiranya dia menuntut teknologi modern sekaligus menolak peradaban modern. Daya tarik ajakan kelompok fundamentalis kuat sekali, karena sejak perang dunia kedua sampai selanjutnya identitas Islam berada dalam bahaya yang besar. Namun walau demikian, mayoritas muslimin bukan fundamentalis, melainkan tradisionalis. Mereka (tradisionalis) ingin membangun kehidupan atas dasar pokok-pokok tradisi Islam yang sekiranya mewarisi ilmu pengetahuan, seni, budaya dan spiritual Islam yang kaya raya. Sedangkan Fundamentalisme adalah kelompok yang menepis warisan itu. Kelompok fundamentalis menyukai tampilan luar dan kulit agama, sedangkan kelompok tradisionalis menyukai dimensi-dimenasi internal, filsafat, spiritual dan kualitas agama. Orang-orang tradisionalis selalu ada, tapi Barat tidak pernah mau melihat kenyataan itu dan memandang keberadaan mereka. Para ilmuwan Barat terpikat dengan perubahan, mereka bisa melihat reformasi dan perubahan tapi tidak bisa melihat unsur-unsur yang konstan dan senantiasa tetap. Sewaktu pergi ke Himalia, Anda bisa menghabiskan waktu Anda hanya untuk memperhatikan longsornya dataran gunung atau batu-batu yang berjatuhan dan berpindah tempat, tapi apabila Anda hanya memperhatikan hal itu maka Anda akan tetap lalai akan gunung besar itu sendiri yang berdiri tegak di hadapan Anda.

WRTBagaimana sosok seperti Osama bin Laden dapat digambarkan di sini? Di samping itu, apa menurut Anda tentang penduduk Palestina yang melakukan operasi –bom– bunuh diri?

SHN: Ada dua hal yang berbeda di sini, dan masing-masing harus dipisahkan. Osama bin Laden adalah produk Wahabi Saudi Arabia dan Barat yang tak beragama. Ketika Uni Soviet menyerang Afganistan, Amerika pada awalnya tidak menunjukkan reaksi yang cepat. Duta besar Amerika di Afganistan pada waktu itu adalah teman saya. Dia berkali-kali mengirimkan pesan kepada pemerintah Amerika yang memberitahukan bahaya dan kondisi Afganistan. Dan ketika pada akhirnya pemerintah Amerika mau mendengar pesan-pesan itu, mereka mengarah kepada sekutu mereka di Saudi Arabia dengan maksud mencari dukungan finansial untuk melancarkan serangan militer. Osama bin Laden adalah delegasi yang dikirim ke Afganistan. Dia besar di tengah keluarga kaya raya Saudi Arabia, ayahnya mempunyai hubungan erat dengan kerajaan. Dia adalah orang yang hidup sederhana di antara keluarganya dan dia memiliki masa depan yang cerah. Pihak Amerika mendidik dia dengan dana dari Saudi, tapi Osama bin Laden adalah orang yang tumbuh besar dengan kebencian terhadap kemerosotan masyarakat-masyarakat muslim yang terus bertambah parah dan menurutnya hal itu disebabkan oleh Sekularisme Barat. Dia membenci kehadiran Amerika di Saudi Arabia, khususnya keberadaan tentara-tentara Amerika di tanah suci, dan sayang kebencian itu membuat dia melakukan perbuatan-perbuatan yang menyedihkan sekali. Dia adalah seorang garis keras yang bahkan bangkit melawan kekuasaan Wahabi. Seandainya duapuluh tahun yang lalu Amerika pergi ke Afganistan tanpa bantuan Saudi Arabia maka tidak akan terjadi tragedi 11 September.

Berdasarkan definisi yang Anda sampaikan, Bin Laden termasuk fundamentalis yang menjadi reformis dan secara sangat disayangkan telah menggunakan teknologi serta pendidikan modern untuk melawan sekularisme modern.

Memang benar. Dia menolak Barat tanpa mengerti apa itu Barat atau tanpa mengerti apa sebenarnya yang sedang dia tolak.

Adapun operasi bunuh diri adalah sebuah cerita yang tersendiri. Seandainya penduduk Palestina memiliki senjata M-16 dan helikopter Apache niscaya mereka tidak akan menjadikan tubuh mereka sebagai senjata perang. Ini satu-satunya yang tersisa untuk mereka. Dan tentunya sampai batas-batas tertentu tindakan mereka merupakan balasan terhadap perlakuan orang lain atas diri mereka. Satu contoh, andaikan Anda kembali pada tahun 1967 dan menyerahkan Baitul Maqdis bagian timur kepada mereka sebagai ibu kota dan memberikan ganti rugi finansial, seperti ganti rugi yang pernah diterima oleh orang-orang Yahudi setelah perang dunia kedua –meskipun sepertinya tidak mungkin memberikan pelayanan kepada semua orang palestina yang pulang ke sana–, niscaya –menurut keyakinan saya– sentimen-sentimen itu akan pupus. Tentunya, ini bukan pertama kalinya kita saksikan dalam sejarah, operasi bunuh diri pernah terjadi di tempat-tempat lain seperti di antara orang-orang Shinto Jepang dan orang-orang Hindu India.

WRTSebagai pertanyaan terakhir, Anda terkenal dengan ide yang menegaskan bahwa perpisahan sejati bukan antara Islam dan tradisi-tradisi lain, akan tetapi antara agama dan Sekularisme.

SHN: Iya, memang benar; ketegangan terbesar tidak terjadi antara Islam dan Barat, melainkan antara agama dan Sekularisme. Pada saat ini, Sekularisme adalah sebuah ideologi tertutup yang paling dogmatis, paling anti selainnya dan sama sekali tidak toleran. Dia menggilas segala sesuatu yang ada di hadapannya. Tantangan terbesar Islam adalah cara menghadapi atau pola hidup bersama dengan Sekularisme. Islam, sampai batas-batas tertentu telah hidup damai dengan agama-agama yang lain, sedangkan Sekularisme sama sekali tidak memberikan tempat kepada tradisi agamis apapun. Bahkan sebetulnya ini merupakan tantangan bagi Barat juga. Anda punya dua pola pandang terhadap dunia, yang pertama meyakini alam metafisik di balik alam materi, sedangkan yang kedua hanya meyakini materi. Hubungan antara dua ini sangat pelik dan samar, dan bagaimana caranya mendamaikan antara dua pandangan itu adalah tantangan terbesar yang dihadapi oleh dunia masa kini. 
(Seyyed Hossein Nasr)

Minggu, 01 Maret 2020

Kota Serang, Kota Kecil yang Memang Kecil



oleh Sulaiman Djaya (esais & penyair)

Dari mulai memasuki kawasan Ciceri hingga alun-alun kota, berjejer barisan asmaul husna (99 nama Tuhan) sebagai penanda bahwa kota ini adalah kota muslim di sebuah provinsi yang mottonya iman-taqwa, meski seringkali para elitenya terjerat kasus korupsi dan manajemen sampahnya masih belum sepenuhnya tertata. Kota Serang benar-benar kota kecil, sebuah kota yang tak punya gedung teater atau gedung pertunjukkan dan museum seni seperti laiknya yang terdapat di kota-kota di Negara-negara lain. Di kota ini, toko buku sudah terbukti minim pembeli dan bangkrut.

Dan lucunya, pusat perbelanjaan Ramayana ada di samping alun-alun kota yang membuat Kota Serang kehilangan keindahan dan buruk dari segi tata-kota. Tak cuma itu, mall Ramayana yang berdekatan dengan alun-alun itu juga menyebabkan kemacetan. Keberadaan pusat perbelanjaan itu sejak Kota Serang masih termasuk Kabupaten Serang (sebelum pemekaran) dibawah pimpinan Taufik Nuriman yang diusung PKS dan populer karena bisnis pengerukan pasirnya. Jadi, jangan berharap anda akan mendapatkan wahana berbudaya di kota yang ingin menampilkan dirinya religius secara permukaan ini.

Jika tak ada komunitas-komunitas seni dan edukasi yang didirikan dan digerakkan secara sukarela oleh mereka yang mencintai kerja kebudayaan, jangan harap anda akan menemukan kebudayaan di kota kecil yang secara keagamaan sangat kurang mengapresiasi kecerdasan estetik ini. Anda harus menjadi ‘penggerak’ dan ‘pejuang’ untuk membuat kehidupan intelektual dan kebudayaan tetap ada. Seperti yang dilakukan oleh komunitas-komunitas sastra dan mereka yang mengadakan pameran-pameran kesenian serta mereka yang mengadakan panggung dan pementasan.

Secara arsitektural, memang masih terdapat banyak bangunan dan gedung-gedung peninggalan Belanda, semisal kawasan Museum Negeri Banten, Polres Serang Kota, dan yang lainnya, sementara yang lainnya merupakan kawasan dan gedung-gedung yang jauh lebih tua seperti kawasan-kawasan yang dihuni orang-orang Cina yang sudah ada sejak era Kesultanan Banten. Pusat perbelanjaan tradisional yang terkenal di kota ini ada tiga: Kawasan Royal, Pasar Rau, dan Pasar Lama yang juga populer sebagai pusat kelapa.

Di sisi lain kota tentu ada pusat-pusat belanja seperti Carrefour di Ciceri, Mall of Serang di Kemang, dan Ramayana seperti yang telah disebutkan yang gedungnya dulunya adalah markas komando militer. Tak lupa pula, dua universitas ternama di Banten pun ada di kota ini: Universitas Sultan Ageng Tirtayasa di Pakupatan yang bersebelahan dengan Terminal Pakupatan dan Universitas Islam Negeri Sultan Maulana Hasanuddin Banten di Ciceri yang bersebelahan dengan Carrefour yang berhadapan dengan McDonald di seberangnya.

Tak lupa juga, di kota ini Kawasan Pusat Pemerintahan Provinsi Banten (KP3B) berada sebagai kawasan khusus tersendiri yang sepertinya dalam rangka mengembangkan kawasan baru sebagai perluasan area perkotaan dan sebagai ikon Banten kedua setelah kawasan Kesultanan Banten yang merupakan kawasan wisata dan ikon sejarah kebanggaan Banten yang telah direnovasi dan diperbarui sejak terpilihnya Wahidin Halim sebagai Gubernur Banten menggantikan gubernur sebelumnya, Rano Karno.

Sebagai apresiator dan penikmat seni dan hidup-kerja intelektual dan kebudayaan, saya tergelitik untuk mengajukan pertanyaan: Bagaimana hidup di kota kecil seperti Kota Serang? Jika anda seorang apresiator atau penikmat seni dan kerja-kerja kebudayaan, maka anda takkan mendapatkan apa yang anda inginkan karena apa yang anda harapkan itu jarang ada. Apalagi yang diadakan oleh pemerintah kota atau pemerintah provinsi. Mungkin karena hal itu pula, kunjungan wisata dari pelancong mancanegara di Kota Serang sangat rendah untuk dikatakan tidak ada. Yah karena itu tadi, tak ada kehidupan kebudayaan selain tak ada pilihan menarik selainnya bagi mereka yang ingin mendapatkan suasana berbeda dari tanah air mereka.

Tersiar kabar pula bahwa Gubernur Banten pengganti Rano Karno, yaitu Wahidin Halim, kurang memiliki respek dan apresiasi pada kehidupan dan kerja yang sifatnya estetik dan gerak kebudayaan. Teman saya bahkan menilainya seorang ‘puritan’. Sementara bagi para penghuninya sendiri, bagaimana mungkin sebuah kota menjadi menarik ketika sebuah kota tak sanggup memenuhi kebutuhan ruhaniah warganya? Ketersediaan ruang publik juga sangat minim, seperti tidak adanya taman dan area hijau yang dapat menjadi wahana bermain dan rekreasi warga atau penduduk sebuah kota.

Tapi anda tak perlu khawatir dan tak harus terlalu kecewa. Panggung dan pertunjukkan seni kadang-kadang disediakan dan diadakan di kafe-kafe kopi dan di area tongkrongan anak-anak muda. Biasanya yang menyelenggarakan dan mengadakan adalah anak-anak muda dari komunitas sastra, para pegiat teater, dan para pekerja budaya lainnya seperti grup-grup musik lokal. Saya katakan kadang-kadang karena memang belum bisa dikatakan rutin dan sering. Tapi untung loh masih ada dibanding tak ada sama sekali.

Sesekali, perhelatan dan pertunjukan seni diadakan di alun-alun kota, meski alun-alun itu lebih sering digunakan untuk panggung musik pop serta dangdut dan untuk tabligh akbar atau acara-acara partai politik. Yah boleh dibilang, seperti lazimnya, penguasa kota tentu-lah adalah mereka yang menjadi penguasa kapital. Karena itu wajar saja jika yang paling sering menggunakan fasilitas alun-alun kota adalah para penguasa dan pelaku industri kebudayaan pop. Ada pun mereka yang bergelut dalam kerja estetik dan literer kebudayaan biasanya mengadakan hajatnya di markas-markas komunitas-komunitas mereka atau di kafe-kafe kopi.