Oleh
Sayyid Mahdi Ayatullahi
Ghadir Khum
Pada tahun 10 H,
Rasulullah Saw melaksanakan ibadah haji wada’. Haji wada’ adalah
haji terakhir dan merupakan haji perpisahan bagi beliau saw. Beliau
merasa sudah semakin dekat perjumpaannya dengan Allah Swt. Sejak awal masa
risalah sering kali beliau menyampaikan tentang seseorang yang bakal
menjadi pengganti beliau sebagai khalifah bagi kaum muslimin. Beliau
senantiasa berfikir bagaimana caranya membuka jalan untuk kesuksesan khalifah
dan wasyi Nabi, ‘Ali bin Abi Tâlib
As. Sudah sering kali para sahabat mendengar sabda beliau yang
menegaskan bahwa, “Ali senantiasa bersama haq dan haq senantiasa bersama
Ali”. Dan juga sabdanya yang lain, “Aku adalah kota ilmu sedang Ali
adalah pintunya”.
Jabir bin Abdillah
Al-Ansari Ra pernah berkata, “Kami tidak dapat mengenali orang-orang
munafik kecuali dengan mengetahui kedengkian mereka terhadap Ali As”. Para
sahabat pernah mendengar wasiat Nabi yang menyatakan, “Ayyuhannas, aku berwasiat
kepada kalian agar mencintai saudaraku, putra pamanku ‘Ali bin Abi Tâlib,
karena sesungguhnya tidak ada yang mencintainya selain mu’min dan tidak ada
yang mendengkinya selain munafik”.
Pada tanggal 18 bulan Dzul
Hijjah Rasulullah Saw kembali dari melaksanakan haji wada’nya yang diikuti oleh
lebih dari seratus ribu kaum Muslimin. Saat itulah Jibril As turun
membawa pesan langit untuk beliau. Rasulullah Saw menghentikan
perjalanannya di suatu tempat yang dikenal dengan nama Ghadir Khum. Beliau
memerintahkan semua kaum muslimin agar menghentikan perjalanan mereka di tempat
yang mulia dan bersejarah itu. Di tengah padang pasir dan di tengah panas
terik matahari yang membakar itu beliau menyampaikan khutbahnya di hadapan kaum
muslimin dan seluruh para sahabatnya. Dalam khutbahnya itu beliau bersabda, “Ayyuhannas,
sesungguhnya aku ini sebentar lagi akan dipanggil oleh Tuhanku dan aku akan
memenuhi panggilan-Nya itu. Sesungguhnya aku akan dimintai tanggung jawab
dan kalian pun demikian pula, maka apakah yang akan kalian katakan?”.
Kaum muslimin dengan serentak menjawab, “Sesungguhnya kami bersaksi bahwa
engkau telah menyampaikan risalah Tuhan dengan baik, engkau telah berjihad dan
memberikan nasihat, semoga Allah akan membalasmu dengan kebaikan”.
Nabi Saw bersabda,
“Bukankah kalian telah bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa
Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya? Sesungguhnya surga adalah hak, neraka
adalah hak, kematian adalah hak, kebangkitan adalah hak, hari akhirat itu tidak
diragukan lagi akan kejadiannya dan sesungguhnya Allah Swt akan
membangkitkan orang-orang yang berada di dalam kubur”. Kaum muslimin menjawab
lagi dengan serempak, “Ya, kami bersaksi akan hal itu semua”. Rasulullah
Saw melanjutkan sabdanya, “Ya Allah saksikanlah kesaksian mereka itu!”.
Kemudian beliau bersabda lagi, “Ayyuhannas sesungguhnya
Allah Swt adalah pembimbingku sedang aku adalah pemimpin kaum mu’minin dan
sesungguhnya aku lebih utama daripada diri-diri kalian. Maka barang siapa yang menjadikan
aku sebagai pemimpinnya, maka inilah ‘Ali sebagai pemimpinnya. Ya Allah
cintailah orang-orang yang mencintai ‘Ali dan musuhilah orang-orang yang
memusuhinya. Dan sesungguhnya aku meninggalkan untuk kalian dua pusaka (tsaqalain) yang sangat berharga
yaitu, “Kitâbullah (Al-Qur’an)” dan “Ithrati (Ahlu Baitku)”.
Ketika itu puluhan ribu
kaum Muslimin melihat dan menyaksikan beliau mengangkat tangan ‘Ali bin Abi Tâlib
As. Seusai pengangkatan ‘Ali As sebagai khalifah bagi seluruh kaum
muslimin dan muslimat yang dilakukan oleh Rasulullah Saw sendiri, para sahabat
Nabi Saw yang kemudian diikuti oleh seluruh kaum muslimin dan muslimat
melakukan bai’at dan mengucapkan selamat
kepada Imam ‘Ali As seraya berucap, “Salam Sejahtera Bagimu Wahai Wali dan
Pemimpin Kaum Mu’minin”.
Khilafah
Rasulullah Saw telah
berangkat meninggalkan dunia yang fana ini untuk selamanya demi memenuhi
panggilan dan undangan Tuhannya sebagaimana yang telah beliau katakan. Seluruh
kaum muslimin merasa terkejut dengan kepergiannya itu. Di tengah-tengah duka
dan kesedihan yang mendalam, jauh di seberang sana ada sekelompok umat
Islam yang tengah berkumpul untuk memilih seorang khalifah yang akan
menggantikan kedudukan Rasul sebagai pemimpin umat. Mereka telah merampas khilafah
dari pemiliknya yang sah. Mereka membiarkan Imam ‘Ali As sendirian.
Beliau lebih memilih berdiam-diri demi menjaga agama dan maslahat bagi seluruh
kaum muslimin.
Setelah kemelut
panjang penuh keributan, akhirnya Abu Bakar dinyatakan terpilih sebagai
khalifah pertama yang tidak sah bagi kaum muslimin, dan dilanjutkan dengan
khalifah yang kedua yaitu ‘Umar bin Khattab. Ketika tiba saatnya
kekuasaan jatuh di tangan khalifah yang ketiga, Utsman bin Affan, maka keluarga
Bani Umayyah mulai ikut duduk di kursi kekuasaan tersebut. Mereka memegang
kendali khilafah dengan penuh ketamakan dan kerakusan. Maka tersebarlah
kerusakan di mana-mana. Keluarga Umayyah berlaku sewenang-wenang dan memerintah
dengan penuh kezaliman.
Ketika kaum muslimin
melihat bahwa Utsman hanya memilih dan mengutamakan keluarganya yang duduk
dalam kursi kekuasaan itu dan bahkan menyingkirkan sebagian sahabat Nabi Saw
yang terkemuka seperti Abu Dzar, bahkan lebih dari itu ia berani memecut
seorang sahabat Nabi Saw yang sangat dekat dan mukhlis terhadap beliau yaitu
Ammar bin Yasir tanpa kesalahan yang jelas, maka mereka segera mengadakan demo
dan unjuk rasa, mereka mendatangi kota Madinah untuk menuntut Utsman agar turun
dari kursi khilafahnya.
Api amarah masyarakat
Muslim terhadap Utsman semakin membara. Imam ‘Ali As berusaha untuk mendamaikan
dan menentramkan mereka serta menasihati Khalifah Utsman agar segera bertaubat
dan berbuat adil serta jangan menuruti bisikan dan bujuk rayu orang-orang
munafik seperti Marwan bin Hakam. Akan tetapi segala upaya Imam ‘Ali As tidak
ia pedulikan.
Kemurkaan dan kedengkian
kaum muslimin pun akhirnya mencapai puncaknya. Mereka mengadakan
pengepungan terhadap istana khilafah, nyawa Utsman terancam bahaya.
Mengetahui hal itu Imam ‘Ali As segera mengutus kedua puteranya Al-Hasan
dan Al-Husain As ke istana khilafah dan memerintahkan kedua putranya itu
agar berdiri di depan pintu untuk menjaga khalifah dari serangan orang-orang
yang akan membunuhnya.
Dalam kondisi dan posisi
yang sudah sangat genting seperti itu Khalifah Utsman tetap berkeras kepala
pada pendirian dan politik kotornya, sementara kemarahan para demonstran sudah
mencapai titik-didihnya. Puncak kemarahan tersebut meledak ketika sebagian
mereka memanjat naik ke istana dan masuk lewat belakang dan akhirnya mereka
berhasil mendekati Utsman. Tanpa menyia-nyiakan kesempatan, mereka segera
menghabisi nyawa Utsman yang keras kepala itu.
Khalifah Utsman pergi
meninggalkan dunia fana ini dalam keadaan yang sangat mengenaskan. Dan
kaum muslimin beramai-ramai pergi menuju ke rumah Amirul Mu’minin ‘Ali As,
mereka memohon kepada Imam Ali bin Abi Thalib As agar menerima kedudukan
khilafah dan memimpin ummat Islam dengan penuh keadilan. Pada awalnya
Imam ‘Ali As menolak permohonan mereka itu, namun karena masyarakat Islam
memaksa terus, akhirnya beliau terpaksa menerima tawaran tersebut. Mulailah
beliau As menjalankan roda khilafahnya dan mengatur negara berdasarkan keadilan
dan undang-undang Islam. Panji kebenaran dan keadilan kembali berkibar di bawah
kepemimpinan Imam ‘Ali As. Kaum muslimin pun kembali menikmati ketentraman
setelah masa 25 tahun.
Pemerintahan ‘Ali As
Setelah masa jabatan dan
khilafah ketiga orang itu berlalu (Abu Bakar, Umar dan Utsman), barulah Amirul
Mu’minin ‘Ali Bin Abi Tâlib As mendapatkan kesempatan untuk
melaksanakan dan menjalankan amanat yang dibebankan oleh Allah Swt dan
Rasul-Nya ke atas pundaknya yaitu memimpin dan membimbing segenap umat manusia,
menuntun mereka ke jalan yang hak, menyelamatkan mereka dari kesesatan dan
menegakkan keadilan serta menciptakan kedamaian.
Sejak masa awal khilafah
dan imamahnya Imam ‘Ali As mengumumkan sistim politiknya yaitu menegakkan
keadilan, menjalankan undang-undang Allah Swt dan menindak segala macam
kezaliman dan kejahatan. Masyarakat muslim telah terbiasa menghadapi kezaliman
dan ketidakadilan pada masa-masa khalifah sebelumnya. Ketika itu mereka
menyaksikan perlakuan khalifah yang tanpa didasari oleh hukum-hukum Allah Swt,
mengistimewakan sebagian dan menghinakan sebagian lainnya, harta kekayaan
negara hanya tercurah kepada keluarga Umayyah dan orang-orang yang setia kepada
kekuasaannya saja. Sementara sebagian besar kaum muslimin hidup dalam
keadan miskin dan penuh dengan penderitaan.
Ketika Amirul Mu’minin
‘Ali bin Abi Tâlib As menjabat sebagai khalifah dan beliau berjanji akan
menegakkan keadilan bagi kaum muslimin, terutama bagi yang keadaan ekonominya
lemah, mereka menyambutnya dengan baik. Lain halnya dengan para jutawan dan
orang-orang kaya yang biasa hidup mewah dan suka berfoya-foya. Mereka
sangat khawatir kekayaan, kemewahan, dan kepentingan mereka terusik dengan
keadilan ‘Ali As. Orang-orang kaya dan orang-orang yang tidak suka dengan
sistem hukumah Allah serta orang-orang munafik segera bergerak cepat membuat
kelompok tandingan untuk menentang ‘Ali As. Mereka mengobarkan api
permusuhan dan peperangan di dalam negara antara sesama kaum muslimin. Maka
terjadilah peperangan antara dua kelompok yang sama-sama menyembah Allah Swt
dan Al-Qur’an, Nabi serta Ka’bahnya pun satu dan sama. Perang
Jamal adalah perang yang pertama yang meletus di kota Basrah, Irak.
Kemudian selanjutnya perang Sifin dan berikutnya terjadi perang Nahrawan.
Syahadah Imam ‘Ali
As
Setelah kaum Khawarij
mengalami kekalahan telak dalam perang Nahrawan, tiga orang durjana berkumpul
untuk mengambil mufakat demi membunuh beberapa orang yang mereka anggap sebagai
musuh-musuh mereka dan sebagai penghalang dalam meluluskan tujuan-tujuan
mereka. Ketiga orang terkutuk itu adalah, Ibnu Muljam, Hajjaj bin
Abdillah, dan Umar bin Bakar At-Tamimi. Mereka bertiga telah sepakat dan
bertekad untuk membunuh Muawiyah, Amr bin Ash, dan Imam ‘Ali As. Sedang
Ibnu Muljam bertekad untuk membunuh Imam ‘Ali As ketika beliau sedang shalat.
Ibnu Muljam telah
menyiapkan diri dan pedangnya yang beracun jauh-jauh hari sebelumnya.
Maka pada tanggal 19 Ramadan 40 H ia berhasil membacokkan pedangnya yang
beracun itu di bagian atas kepala yang mulia ‘Ali As. Ketika itu Imam
‘Ali As sedang melakukan salat. Beliau memimpin salat subuh berjamaah bersama
kaum Mu’minin di Masjid Kufah, Irak. Ketika itulah Ibnu Muljam terkutuk
menghunuskan pedangnya, dengan sembunyi-sembunyi ia mendekati Imam Ali As yang
sedang sujud kepada Tuhannya. Ketika beliau mengangkat kepalanya dari
sujud, Ibnu Muljam melayangkan pedang beracunnya itu tepat di bagian
kepala beliau As. Darah suci beliau pun muncrat dan berhamburan
memerahi mihrab dan pakaian beliau As Amirul Mu’minin As meratap dan
berucap, “Fuztu wa Rabbil Ka’bah” (Demi Tuhan
Ka’bah, sungguh aku telah berjaya).
Jamaah Shalat mendengar
suara dari langit berucap: “Demi Allah,
sungguh tonggak petunjuk telah roboh, orang yang paling takwa telah terbunuh,
orang yang paling celaka telah membunuhnya”. Ibnu Muljam berusaha untuk melarikan
diri dari kota Kufah, akan tetapi ia berhasil dibekuk. Ketika ia dibawa
kehadapan Imam ‘Ali As, beliau berkata kepadanya:
“Bukankah aku selalu berbuat
baik kepadamu?” Ia menjawab: “Ya betul”! Sebagian orang berusaha untuk
melakukan balas dendam terhadap Ibnu Muljam yang terkutuk itu, akan tetapi
beliau mencegahnya. Bahkan Imam ‘Ali As berpesan kepada putranya Al-Hasan
As agar senantiasa berbuat baik kepadanya selama beliau As masih hidup. Ketika
Imam ‘Ali As menjemput kesyahidannya dan mengucapkan selamat tinggal
kepada dunia yang fana ini, Imam Hasan As segera melaksanakan syari’at Islam
terhadap pembunuh ayahnya itu. Nyawa Ibnu muljam pun segera melesat cepat
ke neraka jahannam yang paling bawah untuk menyusul para pendahulunya yang
mendengki Ahlu Bait Nabi Saw.
Imam Ali As mencapai syahadah pada usia 63 tahun sama
dengan usia Rasulullah Saw. Jenazah beliau dimakamkan di luar kota Kufah pada
tengah malam karena khawatir akan kejahatan orang-orang munafik
yang mempunyai dendam kesumat. Hanyalah beberapa orang tertentu yang sempat
menyaksikan dan turut serta menghadiri pemakaman beliau.
Kini “Haram” beliau tidak
pernah sepi dan kosong dari para penziarah yang datang dari segenap penjuru
dunia, baik orang-orang yang bermadzhab Sunni maupun orang-orang yang bermazhab
Syi’ah. Wahai Imam yang agung dan mulia, janganlah engkau biarkan kami
tenggelam dalam kesesatan dan kemaksiatan. Bimbinglah kami menuju jalan
yang hak dan kesempurnaan. Dan janganlah engkau haramkan kami untuk
sedikit meneguk air syafa’atmu di alam barzakh dan alam
akhirat kelak.
Mutiara Hadis Imam ‘Ali As
“Janganlah engkau mencari
kehidupan hanya sekedar untuk makan. Akan tetapi carilah makan agar
engkau dapat hidup”. “Sesuatu yang paling merata manfaatnya adalah kematian
orang-orang jahat”. “Janganlah engkau mengecam Iblis secara terang-terangan,
padahal engkau adalah temannya dalam kesunyian”. “Akal seorang penulis itu
terletak pada penanya”. “Kawan sejati adalah belahan ruh, sedangkan saudara
adalah belahan badan”. “Janganlah engkau mengucapkan sesuatu yang engkau
sendiri tidak suka jika orang lain mengucapkannya atasmu”. “Biadab adalah
penyebab segala keburukan”. “Galilah ilmu pengetahuan sejak kecil, pasti engkau
akan beruntung ketika besar”. “Lebih baik engkau memilih kalah (mengalah)
sedang engkau sebagai orang yang bijak daripada engkau memilih menang, akan
tetapi engkau sebagai pelaku kezaliman”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar