Kamis, 04 September 2014

Imam Ali bin Abi Thalib as dan Ghadir Khum



Oleh Sayyid Mahdi Ayatullahi

Ghadir  Khum

Pada tahun 10 H, Rasulullah  Saw melaksanakan ibadah haji wada’.  Haji wada’ adalah haji terakhir dan merupakan haji perpisahan bagi beliau saw.  Beliau merasa sudah semakin dekat perjumpaannya dengan Allah Swt. Sejak awal masa risalah sering kali beliau menyampaikan tentang  seseorang yang bakal menjadi pengganti beliau sebagai khalifah bagi kaum muslimin.  Beliau senantiasa berfikir bagaimana caranya membuka jalan untuk kesuksesan khalifah dan wasyi Nabi, ‘Ali bin Abi Tâlib As.   Sudah sering kali para sahabat mendengar sabda beliau yang menegaskan bahwa, “Ali senantiasa bersama haq dan haq senantiasa bersama Ali”.  Dan juga sabdanya yang lain, “Aku adalah kota ilmu sedang Ali adalah pintunya”.

Jabir bin Abdillah Al-Ansari Ra pernah berkata, “Kami tidak dapat mengenali orang-orang munafik kecuali dengan mengetahui kedengkian mereka terhadap Ali As”. Para sahabat pernah mendengar wasiat Nabi yang menyatakan, Ayyuhannas, aku  berwasiat kepada kalian agar mencintai saudaraku, putra pamanku ‘Ali bin Abi Tâlib, karena sesungguhnya tidak ada yang mencintainya selain mu’min dan tidak ada yang mendengkinya selain munafik”.

Pada tanggal 18 bulan Dzul Hijjah Rasulullah Saw kembali dari melaksanakan haji wada’nya yang diikuti oleh lebih dari seratus ribu kaum Muslimin.  Saat itulah Jibril As turun membawa pesan langit untuk beliau.  Rasulullah Saw menghentikan perjalanannya di suatu tempat yang dikenal dengan nama Ghadir Khum. Beliau memerintahkan semua kaum muslimin agar menghentikan perjalanan mereka di tempat yang mulia dan bersejarah itu.  Di tengah padang pasir dan di tengah panas terik matahari yang membakar itu beliau menyampaikan khutbahnya di hadapan kaum muslimin dan seluruh para sahabatnya. Dalam khutbahnya itu beliau bersabda, Ayyuhannas, sesungguhnya aku ini sebentar lagi akan dipanggil oleh Tuhanku dan aku akan memenuhi panggilan-Nya itu.  Sesungguhnya aku akan dimintai tanggung jawab dan kalian pun demikian pula, maka apakah yang akan kalian katakan?”.  Kaum muslimin dengan serentak menjawab, “Sesungguhnya kami bersaksi  bahwa engkau telah menyampaikan risalah Tuhan dengan baik, engkau telah berjihad dan memberikan nasihat, semoga Allah akan membalasmu dengan kebaikan”.

Nabi Saw bersabda, “Bukankah kalian telah bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya? Sesungguhnya surga adalah hak, neraka adalah hak, kematian adalah hak, kebangkitan adalah hak, hari akhirat itu tidak diragukan lagi akan kejadiannya dan sesungguhnya Allah Swt akan  membangkitkan orang-orang yang berada di dalam kubur”. Kaum muslimin menjawab lagi dengan serempak, “Ya, kami bersaksi akan hal itu semua”.  Rasulullah Saw melanjutkan sabdanya, “Ya Allah saksikanlah kesaksian mereka itu!”. Kemudian beliau bersabda lagi, “Ayyuhannas sesungguhnya Allah Swt adalah pembimbingku sedang aku adalah pemimpin kaum mu’minin dan sesungguhnya aku lebih utama daripada diri-diri kalian. Maka barang siapa yang menjadikan aku sebagai pemimpinnya, maka inilah ‘Ali sebagai pemimpinnya. Ya Allah cintailah orang-orang yang mencintai ‘Ali dan musuhilah orang-orang yang memusuhinya. Dan sesungguhnya aku meninggalkan untuk kalian dua pusaka (tsaqalain) yang sangat berharga yaitu,  “Kitâbullah (Al-Qur’an)” dan  “Ithrati (Ahlu Baitku)”.

Ketika itu puluhan ribu kaum Muslimin melihat dan menyaksikan beliau mengangkat tangan ‘Ali bin Abi Tâlib As.  Seusai pengangkatan  ‘Ali As sebagai khalifah bagi seluruh kaum muslimin dan muslimat yang dilakukan oleh Rasulullah Saw sendiri, para sahabat Nabi Saw  yang kemudian diikuti oleh seluruh kaum muslimin dan muslimat melakukan bai’at dan mengucapkan selamat kepada Imam ‘Ali As seraya berucap, “Salam Sejahtera Bagimu Wahai Wali dan Pemimpin Kaum Mu’minin”.

Khilafah

Rasulullah Saw telah berangkat meninggalkan dunia yang fana ini untuk selamanya demi memenuhi panggilan dan undangan Tuhannya sebagaimana yang telah beliau katakan. Seluruh kaum muslimin merasa terkejut dengan kepergiannya itu. Di tengah-tengah duka dan  kesedihan yang mendalam, jauh di seberang sana ada sekelompok umat Islam yang tengah berkumpul untuk memilih seorang khalifah yang akan menggantikan kedudukan Rasul sebagai pemimpin umat. Mereka telah merampas khilafah dari pemiliknya yang sah. Mereka membiarkan Imam ‘Ali As sendirian.  Beliau lebih memilih berdiam-diri demi menjaga agama dan maslahat bagi seluruh kaum muslimin.

Setelah kemelut panjang  penuh keributan, akhirnya Abu Bakar dinyatakan terpilih sebagai khalifah pertama yang tidak sah bagi kaum muslimin, dan dilanjutkan dengan khalifah yang kedua  yaitu ‘Umar bin Khattab.  Ketika tiba saatnya kekuasaan jatuh di tangan khalifah yang ketiga, Utsman bin Affan, maka keluarga Bani Umayyah mulai ikut duduk di kursi kekuasaan tersebut. Mereka memegang kendali khilafah dengan penuh ketamakan dan kerakusan. Maka tersebarlah kerusakan di mana-mana. Keluarga Umayyah berlaku sewenang-wenang dan memerintah dengan penuh kezaliman.

Ketika kaum muslimin melihat bahwa Utsman hanya memilih dan mengutamakan keluarganya yang duduk dalam kursi kekuasaan itu dan bahkan menyingkirkan sebagian sahabat Nabi Saw yang terkemuka seperti Abu Dzar, bahkan lebih dari itu ia berani memecut  seorang sahabat Nabi Saw yang sangat dekat dan mukhlis terhadap beliau yaitu Ammar bin Yasir tanpa kesalahan yang jelas, maka mereka segera mengadakan demo dan unjuk rasa, mereka mendatangi kota Madinah untuk menuntut Utsman agar turun dari kursi khilafahnya.

Api amarah masyarakat Muslim terhadap Utsman semakin membara. Imam ‘Ali As berusaha untuk mendamaikan dan menentramkan mereka serta menasihati Khalifah Utsman agar segera bertaubat dan berbuat adil serta jangan menuruti bisikan dan bujuk rayu  orang-orang munafik seperti Marwan bin Hakam. Akan tetapi segala upaya Imam ‘Ali As tidak ia pedulikan.

Kemurkaan dan kedengkian kaum muslimin pun akhirnya mencapai puncaknya.  Mereka mengadakan pengepungan terhadap istana khilafah, nyawa Utsman terancam bahaya.  Mengetahui hal itu Imam ‘Ali As segera mengutus kedua puteranya Al-Hasan dan Al-Husain As ke istana khilafah dan memerintahkan kedua putranya itu agar berdiri di depan pintu untuk menjaga khalifah dari serangan orang-orang yang akan membunuhnya.

Dalam kondisi dan posisi yang sudah sangat genting seperti itu Khalifah Utsman tetap berkeras kepala pada pendirian dan politik kotornya, sementara kemarahan para demonstran sudah mencapai titik-didihnya. Puncak kemarahan tersebut meledak ketika sebagian mereka memanjat naik ke istana dan masuk lewat belakang dan akhirnya mereka berhasil mendekati Utsman. Tanpa menyia-nyiakan kesempatan, mereka segera menghabisi nyawa Utsman yang keras kepala itu.

Khalifah Utsman pergi meninggalkan dunia fana ini dalam keadaan yang sangat mengenaskan.  Dan kaum muslimin beramai-ramai pergi menuju  ke rumah Amirul Mu’minin ‘Ali As, mereka memohon kepada Imam Ali bin Abi Thalib As agar menerima kedudukan khilafah dan memimpin ummat Islam dengan penuh keadilan.  Pada awalnya Imam ‘Ali As menolak permohonan mereka itu, namun karena masyarakat Islam memaksa terus, akhirnya beliau terpaksa  menerima tawaran tersebut. Mulailah beliau As menjalankan roda khilafahnya dan mengatur negara berdasarkan keadilan dan undang-undang Islam. Panji kebenaran dan keadilan kembali berkibar di bawah kepemimpinan Imam ‘Ali As. Kaum muslimin pun kembali menikmati ketentraman setelah masa 25 tahun.

Pemerintahan ‘Ali As

Setelah masa jabatan dan khilafah ketiga orang itu berlalu (Abu Bakar, Umar dan Utsman), barulah Amirul Mu’minin ‘Ali Bin Abi Tâlib As mendapatkan kesempatan  untuk melaksanakan dan menjalankan amanat yang dibebankan oleh Allah Swt dan Rasul-Nya ke atas pundaknya yaitu memimpin dan membimbing segenap umat manusia, menuntun mereka ke jalan yang hak, menyelamatkan mereka dari kesesatan dan menegakkan keadilan serta menciptakan kedamaian.

Sejak masa awal khilafah dan imamahnya Imam ‘Ali As mengumumkan sistim politiknya yaitu menegakkan keadilan, menjalankan undang-undang Allah Swt dan menindak segala macam kezaliman dan kejahatan. Masyarakat muslim telah terbiasa menghadapi kezaliman dan ketidakadilan  pada masa-masa khalifah sebelumnya. Ketika itu mereka menyaksikan perlakuan khalifah yang tanpa didasari oleh hukum-hukum Allah Swt, mengistimewakan sebagian dan menghinakan sebagian lainnya, harta kekayaan negara hanya tercurah kepada keluarga Umayyah dan orang-orang yang setia kepada kekuasaannya saja. Sementara sebagian besar kaum muslimin  hidup dalam keadan miskin dan penuh dengan penderitaan.

Ketika Amirul Mu’minin ‘Ali bin Abi Tâlib As menjabat sebagai khalifah dan beliau berjanji akan menegakkan keadilan bagi kaum muslimin, terutama bagi yang keadaan ekonominya lemah, mereka menyambutnya dengan baik. Lain halnya dengan para jutawan dan orang-orang kaya yang biasa hidup mewah  dan suka berfoya-foya. Mereka sangat khawatir kekayaan, kemewahan, dan kepentingan mereka terusik dengan keadilan ‘Ali As. Orang-orang kaya dan orang-orang yang tidak suka dengan sistem hukumah Allah serta orang-orang munafik segera bergerak cepat membuat kelompok tandingan untuk menentang ‘Ali As.  Mereka mengobarkan api permusuhan dan peperangan di dalam negara antara sesama kaum muslimin. Maka terjadilah peperangan antara dua kelompok yang sama-sama menyembah Allah Swt dan Al-Qur’an,  Nabi serta  Ka’bahnya pun satu dan sama.  Perang Jamal adalah perang yang pertama yang meletus di kota Basrah, Irak. Kemudian selanjutnya perang Sifin dan berikutnya terjadi perang Nahrawan.

Syahadah  Imam ‘Ali  As

Setelah kaum Khawarij mengalami kekalahan telak dalam perang Nahrawan, tiga orang durjana berkumpul untuk mengambil mufakat demi membunuh beberapa orang yang mereka anggap sebagai musuh-musuh mereka dan sebagai penghalang dalam meluluskan tujuan-tujuan mereka.  Ketiga orang terkutuk itu adalah, Ibnu Muljam, Hajjaj bin Abdillah, dan Umar bin Bakar At-Tamimi.  Mereka bertiga telah sepakat dan bertekad untuk membunuh Muawiyah, Amr bin Ash, dan Imam ‘Ali As.  Sedang Ibnu Muljam bertekad untuk membunuh Imam ‘Ali As ketika beliau sedang shalat.

Ibnu Muljam telah menyiapkan diri dan pedangnya yang beracun jauh-jauh hari sebelumnya.  Maka pada tanggal 19 Ramadan 40 H ia berhasil membacokkan pedangnya yang beracun itu di bagian atas  kepala yang mulia ‘Ali As. Ketika itu Imam ‘Ali As sedang melakukan salat. Beliau memimpin salat subuh berjamaah bersama kaum Mu’minin di Masjid Kufah, Irak. Ketika itulah Ibnu Muljam terkutuk menghunuskan pedangnya, dengan sembunyi-sembunyi ia mendekati Imam Ali As yang sedang sujud kepada Tuhannya. Ketika beliau mengangkat kepalanya dari  sujud, Ibnu  Muljam melayangkan pedang beracunnya itu tepat di bagian kepala beliau As.  Darah suci  beliau pun muncrat dan berhamburan memerahi mihrab dan pakaian beliau As  Amirul Mu’minin As meratap dan berucap, “Fuztu wa Rabbil Ka’bah” (Demi Tuhan Ka’bah, sungguh aku telah berjaya).

Jamaah Shalat mendengar suara dari langit berucap: “Demi Allah, sungguh tonggak petunjuk telah roboh, orang yang paling takwa telah terbunuh, orang yang paling celaka telah membunuhnya”. Ibnu Muljam berusaha untuk melarikan diri dari kota Kufah, akan tetapi ia berhasil dibekuk. Ketika ia dibawa kehadapan Imam ‘Ali As, beliau berkata kepadanya:

“Bukankah aku selalu berbuat baik kepadamu?” Ia menjawab: “Ya betul”! Sebagian orang berusaha untuk melakukan balas dendam terhadap Ibnu Muljam yang terkutuk itu, akan tetapi beliau mencegahnya. Bahkan Imam ‘Ali As berpesan kepada putranya Al-Hasan As agar senantiasa berbuat baik kepadanya selama beliau As masih hidup. Ketika Imam ‘Ali As menjemput kesyahidannya dan mengucapkan selamat  tinggal kepada dunia yang fana ini, Imam Hasan As segera melaksanakan syari’at Islam terhadap pembunuh ayahnya itu.  Nyawa Ibnu muljam pun segera melesat cepat ke neraka jahannam yang paling bawah untuk menyusul para pendahulunya yang mendengki Ahlu Bait Nabi Saw.

Imam Ali As mencapai syahadah pada usia 63 tahun sama dengan usia Rasulullah Saw. Jenazah beliau dimakamkan di luar kota Kufah pada tengah malam karena khawatir akan kejahatan  orang-orang  munafik yang mempunyai dendam kesumat. Hanyalah beberapa orang tertentu yang sempat menyaksikan dan turut serta menghadiri pemakaman  beliau.

Kini “Haram” beliau tidak pernah sepi dan kosong dari para penziarah yang datang dari segenap penjuru dunia, baik orang-orang yang bermadzhab Sunni maupun orang-orang yang bermazhab Syi’ah. Wahai Imam yang agung dan mulia, janganlah engkau biarkan kami tenggelam dalam kesesatan dan kemaksiatan. Bimbinglah kami menuju jalan  yang hak dan kesempurnaan. Dan janganlah engkau haramkan kami untuk sedikit meneguk air syafa’atmu di alam barzakh dan alam akhirat kelak.

Mutiara Hadis Imam  ‘Ali As

“Janganlah engkau mencari kehidupan hanya sekedar untuk makan.  Akan tetapi carilah makan agar engkau dapat hidup”. “Sesuatu yang paling merata manfaatnya adalah kematian orang-orang jahat”. “Janganlah engkau mengecam Iblis secara terang-terangan, padahal engkau adalah temannya dalam kesunyian”. “Akal seorang penulis itu terletak pada penanya”. “Kawan sejati adalah belahan ruh, sedangkan saudara adalah belahan badan”. “Janganlah engkau mengucapkan sesuatu yang engkau sendiri tidak suka jika orang lain mengucapkannya atasmu”. “Biadab adalah penyebab segala keburukan”. “Galilah ilmu pengetahuan sejak kecil, pasti engkau akan beruntung ketika besar”. “Lebih baik engkau memilih kalah (mengalah) sedang engkau sebagai orang yang bijak daripada engkau memilih menang, akan tetapi engkau sebagai pelaku kezaliman”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar