Edward
W. Said, seorang cendekiawan Kristen Palestina yang dikenal luas karena
aktifitasnya dalam mempromosikan perdamaian sekaligus menentang pendudukan
Zionisme di tanah Palestina, pernah mengungkapkan cara-cara kampungan yang
digunakan oleh musuh-musuh politiknya untuk mendiskreditkan namanya.
Dikisahkan, pada akhir bulan Juni sampai awal Juli tahun 2000, ia mengadakan
kunjungan keluarga pribadi ke Lebanon, sekalian memberikan dua kuliah umum di
sana. Ia dan keluarganya merasa amat tertarik untuk mengunjungi daerah di
Lebanon Selatan yang ketika itu baru saja dikosongkan setelah selama 22 tahun
diduduki secara militer oleh kaum Zionis. Tidak banyak yang tahu bahwa tentara
negara Yahudi telah berhasil diusir keluar dari sana tanpa banyak gembar-gembor
oleh perlawanan rakyat Lebanon. Ini adalah hasil kerja tipikal dari jaringan
pemberitaan internasional yang dikuasai oleh kaum Zionis. Said
dan keluarga menyempatkan diri pula mengunjungi bekas penjara Khaim yang
terkenal karena kekejamannya, tempat 8.000 lebih manusia dipenjarakan dan
disiksa karena menentang pendudukan. Setelah itu mereka menyempatkan pula
berkunjung ke bekas pos perbatasan yang kini sudah ditinggalkan oleh pasukan
Zionis, tempat orang-orang biasa melempar batu-batu kecil sebagai bentuk
perayaan kebebasan ke arah seberang perbatasan yang masih dibentengi tembok
tebal.
Dalam
kunjungannya yang hanya kurang lebih 10 menit itulah Said mengikuti sebuah
‘kompetisi’ tak berhadiah dengan anak-anak muda di sana dengan melempar batu ke
arah puing-puing. Tentu saja tak ada orang yang terluka, apalagi Yahudi yang
sudah jauh-jauh menyingkir. Kurang lebih sama dengan bangsa Indonesia yang
mempersiapkan bambu runcing sebagai upaya seremonial dalam mengenang perjuangan
mengusir penjajah. Tidak ada yang boleh memberi cap ekstremis pada orang
Indonesia yang membuat bambu runcing untuk hiasan pada perayaan tujuh belasan,
sebagaimana juga tidak ada yang pantas memberi cap jelek pada orang Palestina
atau Lebanon yang melempar batu-batu kecil ke arah dinding-dinding bekas
benteng Zionis yang telah ditinggalkan. Akan tetapi, justru momen beberapa
menit itulah yang tertangkap oleh kamera seorang wartawan, dan akhirnya
dipergunakannya dengan cara yang amat tidak ksatria. Dua
hari kemudian, foto-foto Edward W. Said yang sedang melempar batu ke
puing-puing yang tak ada penduduk dalam jarak bermil-mil itu muncul di
koran-koran Zionis dan di seluruh dunia Barat.Said diberi gelar teroris
penyambit batu, pria yang gila kekerasan, dan berbagai predikat lainnya yang
tidak kalah menakjubkan.
Simaklah
sekelumit kata-kata Edward W. Said sebagaimana dirangkum dalam buku
“Bukan-Eropa : Freud dan Politik Identitas Timur Tengah” yang di Indonesia
dipublikasikan oleh penerbit Marjin Kiri di bawah ini:
Mengesampingkan
22 tahun pengrusakan Israel atas Lebanon Selatan, penghancurannya atas seisi
desa, pembunuhan ratusan warga sipil, pemakaian tentara bayaran untuk menjarah
dan menghukum, penerapan metode-metode penahanan dan penyiksaan paling tak
manusiawi di Khiam dan manapun yang patut dicela – mengesampingkan itu semua,
propaganda Israel (dibantu dan bersekongkol dengan media Barat yang korup)
memilih untuk menyoroti tindakan saya yang tak berbahaya, menggelembungkannya
sampai ke proporsi yang teramat absurd dengan menggambarkan saya sebagai
fanatikus keji yang bermaksud membunuhi Yahudi. Konteksnya dicabut, begitu pula
situasinya, yakni bahwa saya cuma melempar kerikil, bahwa tak ada orang Israel
satupun hadir, bahwa tak ada ancaman keselamatan atau luka fisik bagi siapapun.
Yang lebih aneh lagi, kampanye bulat-bulat yang lagi-lagi hasil rekayasa
digalang untuk mencoba membuat saya didepak dari universitas tempat saya
mengajar selama 38 tahun. Artikel-artikel pers, komentar, surat makian, dan
ancaman pembunuhan semuanya dipakai untuk mengintimidasi atau membungkam saya,
termasuk oleh kolega-kolega saya yang mendadak jadi setia pada negara Israel.
Dua
tahun sebelum itu, orang-orang pro-Zionis juga menyewa seorang pengacara
Amerika-Israel untuk melakukan ‘riset’ sepuluh tahun pertama dalam kehidupan
Said untuk ‘membuktikan’ bahwa meskipun ia lahir di Yerusalem, namun ia tak
pernah benar-benar berada di sana. Ia berusaha membuktikan bahwa semua orang
Palestina adalah pendusta dan tidak bisa dipercaya jika mengklaim tanah
sengketa itu sebagai miliknya. Bagaimana pun, hanya satu sekian banyak jurnal
yang ia dekati mau mempublikasikan artikelnya. Redaktur jurnal itu bahkan
secara blak-blakan menyatakan bahwa ia mau mencetak sampah murahan bikinan
preman sewaan ini semata-mata karena ingin mendiskreditkannya lantaran Said
punya banyak sidang pembaca. Pada
kesempatan yang sama, Said juga menceritakan betapa kejinya kekuatan Zionisme
Internasional mengadakan pencekalan terhadap kegiatan akademisnya. Pada akhir
Juli 2000, ia dihubungi oleh Direktur Institut dan Museum Freud di Wina dan
ditanya kesediannya untuk mengisi ceramah di sana pada bulan Mei 2001, dan Said
langsung mengiyakan. Pada bulan Agustus 2000, ia menerima undangan secara resmi
untuk acara tersebut. Perlu diingat bahwa Said adalah satu dari sekian banyak
cendekiawan yang sudah lama meneliti pemikiran dan kehidupan Sigmund Freud,
tokoh psikologi yang beragama Yahudi yang pada awalnya anti-Zionis, namun pada
akhir hayatnya berubah pikiran karena melihatnya sebagai sebuah solusi masuk
akal untuk melarikan diri dari gerakan-gerakan pemusnahan kaum Yahudi di Eropa
(lagi-lagi sebuah indikasi bahwa gerakan anti-Yahudi sebenarnya tidak lain dari
rekayasa kaum Zionis itu sendiri).
Pada
tanggal 8 Februari, Said menerima surat dari Kepala Institut, yaitu seorang
sosiolog Wina bernama Schulein, yang mengatakan bahwa dewan memutuskan untuk
membatalkan ceramahnya lantara kondisi politik Timur Tengah dan
‘konsekuensinya’. Said langsung merespon surat tersebut dengan sebuah surat
yang hanya berisikan satu baris berisikan pertanyaan; bagaimana bisa sebuah
ceramah tentang Freud di Wina ada kaitannya dengan kondisi politik di Timur
Tengah? Schulein
tidak pernah menjawab pertanyaan Said, namun ia berani mengungkit-ungkit suatu
hal yang tidak berani dikatakannya pada Said, yaitu dalam sebuah wawancara
dengan majalah Times.Dalam wawancara tersebut, Schulein menyoroti foto
tersohor Said ketika berkunjung ke Lebanon Selatan tersebut, seraya mengatakan
bahwa foto itulah (bersama dengan kecaman Said yang terus-menerus atas
pendudukan Zionisme) sebagai alasan pembatalan ceramahnya. Komentar Said dalam
hal ini cukup gamblang: Bahwa seorang akademisi terhormat bisa mengucapkan
omong kosong macam itu, hal ini membutuhkan imajinasi. Tapi bahwa ia
mengatakannya sekalipun Israel sedang mengepung dan tanpa ampun membunuhi
rakyat Palestina saban harinya – ini tidak lain adalah kecelakaan.(Dikutip
dari buku “Bukan-Eropa: Freud dan Politik Identitas Timur Tengah).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar