Sabtu, 17 Mei 2014

Episode Pendiskreditan Edward W. Said




Edward W. Said, seorang cendekiawan Kristen Palestina yang dikenal luas karena aktifitasnya dalam mempromosikan perdamaian sekaligus menentang pendudukan Zionisme di tanah Palestina, pernah mengungkapkan cara-cara kampungan yang digunakan oleh musuh-musuh politiknya untuk mendiskreditkan namanya. Dikisahkan, pada akhir bulan Juni sampai awal Juli tahun 2000, ia mengadakan kunjungan keluarga pribadi ke Lebanon, sekalian memberikan dua kuliah umum di sana. Ia dan keluarganya merasa amat tertarik untuk mengunjungi daerah di Lebanon Selatan yang ketika itu baru saja dikosongkan setelah selama 22 tahun diduduki secara militer oleh kaum Zionis. Tidak banyak yang tahu bahwa tentara negara Yahudi telah berhasil diusir keluar dari sana tanpa banyak gembar-gembor oleh perlawanan rakyat Lebanon. Ini adalah hasil kerja tipikal dari jaringan pemberitaan internasional yang dikuasai oleh kaum Zionis. Said dan keluarga menyempatkan diri pula mengunjungi bekas penjara Khaim yang terkenal karena kekejamannya, tempat 8.000 lebih manusia dipenjarakan dan disiksa karena menentang pendudukan. Setelah itu mereka menyempatkan pula berkunjung ke bekas pos perbatasan yang kini sudah ditinggalkan oleh pasukan Zionis, tempat orang-orang biasa melempar batu-batu kecil sebagai bentuk perayaan kebebasan ke arah seberang perbatasan yang masih dibentengi tembok tebal.

Dalam kunjungannya yang hanya kurang lebih 10 menit itulah Said mengikuti sebuah ‘kompetisi’ tak berhadiah dengan anak-anak muda di sana dengan melempar batu ke arah puing-puing. Tentu saja tak ada orang yang terluka, apalagi Yahudi yang sudah jauh-jauh menyingkir. Kurang lebih sama dengan bangsa Indonesia yang mempersiapkan bambu runcing sebagai upaya seremonial dalam mengenang perjuangan mengusir penjajah. Tidak ada yang boleh memberi cap ekstremis pada orang Indonesia yang membuat bambu runcing untuk hiasan pada perayaan tujuh belasan, sebagaimana juga tidak ada yang pantas memberi cap jelek pada orang Palestina atau Lebanon yang melempar batu-batu kecil ke arah dinding-dinding bekas benteng Zionis yang telah ditinggalkan. Akan tetapi, justru momen beberapa menit itulah yang tertangkap oleh kamera seorang wartawan, dan akhirnya dipergunakannya dengan cara yang amat tidak ksatria. Dua hari kemudian, foto-foto Edward W. Said yang sedang melempar batu ke puing-puing yang tak ada penduduk dalam jarak bermil-mil itu muncul di koran-koran Zionis dan di seluruh dunia Barat.Said diberi gelar teroris penyambit batu, pria yang gila kekerasan, dan berbagai predikat lainnya yang tidak kalah menakjubkan.

Simaklah sekelumit kata-kata Edward W. Said sebagaimana dirangkum dalam buku “Bukan-Eropa : Freud dan Politik Identitas Timur Tengah” yang di Indonesia dipublikasikan oleh penerbit Marjin Kiri di bawah ini:

Mengesampingkan 22 tahun pengrusakan Israel atas Lebanon Selatan, penghancurannya atas seisi desa, pembunuhan ratusan warga sipil, pemakaian tentara bayaran untuk menjarah dan menghukum, penerapan metode-metode penahanan dan penyiksaan paling tak manusiawi di Khiam dan manapun yang patut dicela – mengesampingkan itu semua, propaganda Israel (dibantu dan bersekongkol dengan media Barat yang korup) memilih untuk menyoroti tindakan saya yang tak berbahaya, menggelembungkannya sampai ke proporsi yang teramat absurd dengan menggambarkan saya sebagai fanatikus keji yang bermaksud membunuhi Yahudi. Konteksnya dicabut, begitu pula situasinya, yakni bahwa saya cuma melempar kerikil, bahwa tak ada orang Israel satupun hadir, bahwa tak ada ancaman keselamatan atau luka fisik bagi siapapun. Yang lebih aneh lagi, kampanye bulat-bulat yang lagi-lagi hasil rekayasa digalang untuk mencoba membuat saya didepak dari universitas tempat saya mengajar selama 38 tahun. Artikel-artikel pers, komentar, surat makian, dan ancaman pembunuhan semuanya dipakai untuk mengintimidasi atau membungkam saya, termasuk oleh kolega-kolega saya yang mendadak jadi setia pada negara Israel.

Dua tahun sebelum itu, orang-orang pro-Zionis juga menyewa seorang pengacara Amerika-Israel untuk melakukan ‘riset’ sepuluh tahun pertama dalam kehidupan Said untuk ‘membuktikan’ bahwa meskipun ia lahir di Yerusalem, namun ia tak pernah benar-benar berada di sana. Ia berusaha membuktikan bahwa semua orang Palestina adalah pendusta dan tidak bisa dipercaya jika mengklaim tanah sengketa itu sebagai miliknya. Bagaimana pun, hanya satu sekian banyak jurnal yang ia dekati mau mempublikasikan artikelnya. Redaktur jurnal itu bahkan secara blak-blakan menyatakan bahwa ia mau mencetak sampah murahan bikinan preman sewaan ini semata-mata karena ingin mendiskreditkannya lantaran Said punya banyak sidang pembaca. Pada kesempatan yang sama, Said juga menceritakan betapa kejinya kekuatan Zionisme Internasional mengadakan pencekalan terhadap kegiatan akademisnya. Pada akhir Juli 2000, ia dihubungi oleh Direktur Institut dan Museum Freud di Wina dan ditanya kesediannya untuk mengisi ceramah di sana pada bulan Mei 2001, dan Said langsung mengiyakan. Pada bulan Agustus 2000, ia menerima undangan secara resmi untuk acara tersebut. Perlu diingat bahwa Said adalah satu dari sekian banyak cendekiawan yang sudah lama meneliti pemikiran dan kehidupan Sigmund Freud, tokoh psikologi yang beragama Yahudi yang pada awalnya anti-Zionis, namun pada akhir hayatnya berubah pikiran karena melihatnya sebagai sebuah solusi masuk akal untuk melarikan diri dari gerakan-gerakan pemusnahan kaum Yahudi di Eropa (lagi-lagi sebuah indikasi bahwa gerakan anti-Yahudi sebenarnya tidak lain dari rekayasa kaum Zionis itu sendiri).

Pada tanggal 8 Februari, Said menerima surat dari Kepala Institut, yaitu seorang sosiolog Wina bernama Schulein, yang mengatakan bahwa dewan memutuskan untuk membatalkan ceramahnya lantara kondisi politik Timur Tengah dan ‘konsekuensinya’. Said langsung merespon surat tersebut dengan sebuah surat yang hanya berisikan satu baris berisikan pertanyaan; bagaimana bisa sebuah ceramah tentang Freud di Wina ada kaitannya dengan kondisi politik di Timur Tengah? Schulein tidak pernah menjawab pertanyaan Said, namun ia berani mengungkit-ungkit suatu hal yang tidak berani dikatakannya pada Said, yaitu dalam sebuah wawancara dengan majalah Times.Dalam wawancara tersebut, Schulein menyoroti foto tersohor Said ketika berkunjung ke Lebanon Selatan tersebut, seraya mengatakan bahwa foto itulah (bersama dengan kecaman Said yang terus-menerus atas pendudukan Zionisme) sebagai alasan pembatalan ceramahnya. Komentar Said dalam hal ini cukup gamblang: Bahwa seorang akademisi terhormat bisa mengucapkan omong kosong macam itu, hal ini membutuhkan imajinasi. Tapi bahwa ia mengatakannya sekalipun Israel sedang mengepung dan tanpa ampun membunuhi rakyat Palestina saban harinya – ini tidak lain adalah kecelakaan.(Dikutip dari buku “Bukan-Eropa: Freud dan Politik Identitas Timur Tengah).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar