Oleh
Asrori
Abstrak
Dinamika penafsiran
al-Qur’an tidak pernah mengalami kemendegan sejak kitab suci tersebut
diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW. Berbagai macam corak dan metode penafsiran telah ditawarkan oleh para mufassir, baik
klasik maupun modern. Aktivitas penafsiran bahkan tidak akan sampai pada titik
final, selama akal masih eksis
dalam diri manusia. Justru akan selalu membuka kemungkinan-kemungkinan
lahirnya wacana baru, yang mungkin bisa dianggap tidak pernah berhenti. Ketidakpuasaan terhadap prinsip, pendekatan, dan hasil
penafsiran seseorang merupakan bukti atas hal tersebut. Tafsir al-Mizan, karya
Allamah Thabathaba’i adalah satu dari sekian ribu kitab tafsir yang menawarkan pendekatan
lain—jika tidak bisa disebut baru—dalam
menafsirkan kitab suci al-Qur’an.
A. Pendahuluan
Tafsir al-Mîzân[1] karya Allamah Sayyid Muhammad Husein Thabathaba’i
tergolong tafsir yang modern dan memiliki model penedekatan yang baru, yaitu
menafsirkan “ayat dengan ayat al-Qur’an
lainya”. Bila diperhatikan secara
mendalam, kecenderungan Thabathaba’i dalam menafsirkan al-Quran secara umum
bisa dikategorikan sebagai tafsir yang multi-disiplin. Artinya, segala bidang
keilmuan hampir semua corak penafsiran dijelaskan dalam tafsir ini. Hanya saja
sebagian orang ada yang mengkategorikannya sebagai tafsir yang memiliki corak
filosofis, hal ini berangkat dari penguasaan Thabathaba’i dalam bidang filsafat
yang begitu mendalam.
Corak tafsir yang
filosofis menjadi ciri khas dari al-Mizan. Tak jarang Thabathaba’i menggunakan
dan mengulas pendapat-pendapat al-Farabi dan Ibn Sina, selama pendapat tersebut
sesuai dengan maksud dan ketentuan ayat
al-Qur’an. Hal ini dilakukan Thabathaba’i
hanya sebagai penjelasan tambahan saja. Meski begitu, terkadang Thabathaba’i menolak pendapat-pendapat
filsafat yang menurutnya sudah bertentangan dengan makna yang terkandung dalam
al-Qur’an. Dengan latar belakang
teologis yang dianutnya, yaitu Syi`ah, tentu saja Thabathaba’i berusaha
menyajikan penafsiran-penafsiran yang sejalan dengan paham Syi`ah Imamiyah
serta meninggalkan paham yang tidak sesuai dengan keyakinan teologisnya. Hal
demikian merupakan konsekuensi logis dari sikap teologi yang diyakininya. Meski begitu, tak
jarang Thabathaba’i mengutip dan mengambil pendapat ulama dari kalangan Sunni
yang tertuang dalam kitab-kitab tafsir mereka[2].
Bagi Thabathaba’i, al-Qur’an adalah kitab seluruh umat Islam yang dapat
dipahami dari dua sisi, yaitu yang tersurat atau lahir, dan yang tersirat atau
makna yang terdapat “di balik”teks ayat yang disebut aspek batin[3].الباطن هو الذي تحت الظاهر سواء كان واحدا أو
كثيرا أو قريبا منها أو بعيدا بينهما واسط . Demi mengetahui makna batin ayat,
Thabathaba’i menggunakan istilah ta’wil dalam kitab tafsirnya, dengan tujuan
mengarahkan kembali makna ayat pada permulaan atau asalnya. Dengan ta’wil berarti berusaha memahami rahasia batin
teks karena makna batinlah makna yang sesungguhnya dari al-Qur’an. Oleh karena
itu, ta’wil hanya bisa dilakukan oleh orang yang mempunyai otoritas dalam
menerjemahkan agama, menurut Thabathaba’i adalah Nabi dan para imam Ahl
al-Bayt.
B. Biografi dan Karya-Karyanya
Allamah[4] Sayyed Muhammad Husain at-Thabathaba’i lahir pada tahun 1903 M di Azerbaijani, sebutan dari kota
Tabriz, sebuah kawasan di sebelah barat laut Iran. Thabathaba’i dilahirkan dari
lingkungan keluarga religius dan pecinta ilmu. Ia telah menempuh proses
belajarnya di kota Najaf, di bawah pengajaran para guru besarnya seperti Mirza
‘Ali Qadi (dalam bidang Gnosis atau irfan), Mirza Muhammad Husain Na’ini dan
Syeikh Muhammad Husain Isfahani (dalam bidang fiqih dan syari’ah), Sayyed Abu
al-Qasim Khawansari (dalam ilmu matematik), sebagaimana ia juga belajar standar
teks pada buku as-Shifa karya Ibn Sina, The Asfar milik
Sadr al-Din Shirazi, dan kitab Tamhid al-Qawa’id milik ibn
Turkah, dengan Sayyid Husain Badkuba’i, dan ia sendiri adalah murid dari dua
guru kondang pada masa itu, Sayyid Abu al-Hasan Jilwah dan Aqa’ ‘Ali Mudarris
Zinuni.[5]
Sebagai seorang ulama yang intelek yang memiliki multi-disiplin ilmu
pengetahuan, Thabathaba’i banyak bergaul dengan berbagai kalangan, baik dari
kalangan Muslim maupun dengan para
sarjana Barat. Dalam karir kesarjanaanya, Thabathaba’i banyak bertukar pikirandengan Henry Corbin[6] dan Sayed Hosein
Nasr[7]. Mereka bukan hanya
telah mendiskusikan teks-teks klasik dari wahyu ke-Tuhan-an dan
gnosis, namun juga keseluruhan disiplin yang disebut oleh Nasr sebagai gnosis
komparatif, yang mana pada setiap satu sesi teks sakral dari agama-agama utama
mengandung ajaran mistik dan pengetahuan spiritual; seperti Tao Te
Ching, Upanishads (salah satu seri teks sakral
Hindu), Gospel of John, yang telah didiskusikan dan di komparasikan
dengan sufisme dan doktrin-doktrin pengetahuan Islam secara umum.
Thabathaba’i adalah seorang filosof, penulis yang produktif,
dan guru inspirator bagi para muridnya, yang telah mengabdikan sebagian besar
hidupnya untuk studi islam non-politik. Banyak dari muridnya yang diantaranya
menjadi penggagas ideologi di Republik Islam Iran, seperti Murthada Mutahhari, Dr. Beheshti, dan Dr. Muhammad Mofatteh.
Sementara yang lainnya, seperti Sayyed
Hosein Nasr dan Hasanzadeh Amuli masih tetap meneruskan studinya pada lingkup
intelektual non-politik.
Ketika berada di Najaf, Thabathaba’i mengembangkan kontribusi utamanya
dalam bidang tafsir (interpretation), filsafat, dan sejarah madzhab Shi’ah.
Dalam bidang filsafat, ia mempunyai sebuah karya penting, Usul-i falsafeh va
ravesh-e-realism (The Principles of Philosophy and The method of Realism), yang
mana telah diterbitkan dalam 5 jilid dengan catatan penjelas dan komentar oleh
Murtadha Motahhari. Deal-deal penerbitan tersebut dengan disertakannya islamic
outlook dunia, tidak hanya dihadapkan pada idealisme yang mengingkari realitas
wujud dunia, namun juga dihadapkan pada konsep materialisme dunia, dengan
mereduksi semua realitas menuju ambiguitas konsep mitos-mitos materialisme
serta pemalsuannya. Poin tersebut menjadi mapan ketika sudut pandang dunia
islam adalah realitas, sementara keduanya (pandangan idealistis dan
materialistis) adalah tidak realistis.
Karya utama lainnya dalam bidang filsafat adalah ulasan luasnya
terhadap Asfar al-Arba’ah, magnum opus karya Mulla Sadra, yang
merupakan seorang pemikir muslim besar Persia terakhir pada abad pertengahan.
Di samping itu dia juga menulis secara ekstensif seputar tema-tema dalam
filsafat. Pendekatannya secara humanis dapat terlihat dari ketiga karyanya; the
nature of man – before the world, in this world, and after this world.
Filsafatnya terfokus pada pendekatan sosiologis guna menemukan solusi atas
problem-problem kemanusiaan. Dua hasil karyanya yang lain adalah kitab Bidayat
al-Hikmah dan Nihayat al-Hikmah, yang terhitung sebagai karya besar dalam
bidang filsafat islam.
Beberapa pernyataan serta risalahnya seputar doktrin-doktrin dan sejarah
Shi’ah masih tetap tersimpan secara rapi. Satu dari beberapa risalahnya
tersebut meliputi klarifikasi serta eksposisinya tentang madzhab Shi’ah dalam
jawabannya atas pertanyaan yang dilemparkan oleh orientalis Perancis terkenal,
Henry Cobin. Bukunya yang lain dalam tema ini adalah Shi’ah dar Islam yang
telah diterjemahkan ke dalam bahasa inggris oleh Sayyed Husain Nasr dalam judul
Shi’ite Islam, yang dibantu oleh William Chittick sebagai sebuah proyek dari
Colgate University, Hamilton, New York, Amerika. Buku tersebut disajikan
sebagai ikhtiar baik untuk meluruskan miss-konsepsi populer seputar Shi’ah yang
juga dapat membuka jalan untuk memperbaiki pemahaman inter-sektarian antar
sekolah-sekolah Islam di Amerika.
Di antara karya Thabathaba’i yang paling terkemuka adalah al-Mizan
fi Tafsiri al-Qur’an yang lebih dikenal dengan Tafsir al-Mizan,
yang merupakan hasil dari kerja kerasnya yang cukup lama dalam ruang lingkup
studi Qur’an. Metode, gaya, serta pendekatannya yang unik sangat berbeda dengan
para mufassif besar lainnya. Tafsir al-Mizan pertama kali dicetak dalam bahasa
arab sebanyak 20 jilid. Edisi pertama al-Mizan dalam bahasa arab telah dicetak
di Iran dan selanjutnya dicetak pula di Bairut, Lebanon. Hingga sekarang, lebih
dari tiga edisinya dalam bahasa arab telah dicetak di Iran dan Beirut dalam
bentuk besar. Dalam kitab tafsir tersebut, untuk pertama kalinya dunia tafsir
dikenalkan dengan metodologi tafsir baru yaitu penafsiran ayat dengan ayat.
Allamah Thabathaba’i juga seorang penyair mahir. Dia telah menyusun
sebagian besar syair-syairnya dalam bahasa Persia, namun adakalanya pula dalam
bahasa arab yang indah. Di samping itu ia juga seorang penulis diberbagai
rubrik artikel dan essai. Secara keseluruhan, buku-buku hasil karya
tulisnya berkisar 44 judul. Tiga diantaranya adalah hasil kumpulan dari koleksi
makalah-makalahnya dalam berbagai aspek keislaman dan al-Qur’an. Pada
tanggal 15 November 1982 Allamah Sayyid Muhammad Husain Thabathaba’i meninggal
dunia dalam usianya yang ke-80. Demikianlah Allamah Thabathaba’i dikenal
sebagai ulama yang memberikan warna kesegaran dalam dunia pengajaran keagamaan
di hauzah ilmiah Iran.
C. Konteks Kehidupan Thabathaba’i
Bertalian dengan setting
kehidupan yang dialaminya, Thabathaba’i mengalami pergolakan intelektual dan
politik yang dahsyat. Dalam pergolakan inetelektual, ia mewarisi pertentangan
antara mazhab Akhbariyyah, sebagai sebuah kecenderungan tradisional dalam
yurisprudensi Syi’ah, dan mazhab ushuliyyah, sebuah mazhab hukum Syi’ah yang
bersandar pada serangkaian proses rasional. Meskipun kota Qum menjadi kubu awal
tradisionalis, tetapi kecenderungan rasional yang bertentangan denganya
mendominasi selama berabad-abad.
Dalam tataran keilmuan,
Iran menjadi symbol Filsafat Islam dengan porosnya berupa ajaran Isyraqiyyah
Mulla Shadra (w. 1640 M). Tak hanya ajaran Mulla Shadra saja yang menjadi
keganderungan orang Iran, ajaran Ibn Sina pun tak kalah menarik dan banyak yang
mendalaminya secara seksama. Thabathaba’i adalah salah satunya. Selama periode
Qajar, Teheran secara bertahap meningkat menjadi pusat studi filsafat Islam.
Untuk selanjutnya, Thabatahaba’i, juga mengambil
peranya tersendiri dalam penyebaran filsafat Islam, khususnya ajaran Mulla
Shadra, Ibn Sina, Ibn Arabi, dan Suhrawardhi.
Adapun dalam pergolakan
politik, Thabatabai mengalami dua peristiwa besar, yakni perang Dunia II dan
Revolusi Islam Iran 1997. Pada bulan September, 1941, tentara Inggris dan Rusia
menyerbu Iran. Hal ini memaksa munculnya paham-paham materialism dan
kapitalisme. Kenyataan ini, tentu saja sangat membahayakan bangsa Iran,
terutama generasi muda. John Esposito
menggambarkan peristiwa perang tersebut. Menurutnya, Perang Dunia II telah
memporak-porandakan sendi-sendi ekonomi dan kehidupan bangsa Iran. Namun,
secara politik, pada periode ini terjadi liberalisasi besar-besaran. Para
tahanan politik dibebaskan, pers lebih bebas membuat berita, dll. Di sampang
itu muncul pula partai-partai politik sebagai gejala kebebasan tadi.
Di masa tuanya,
Thabathaba’i mengalami peristiwa politik yang tak kalah menarik dan paling
dramatik, yang digambarkan oleh Montigomery Watt, sebagai revolusi yang paling
dramatis da spektakuler yang terjadi di dunia Islam pada abad ke-20, yaitu
Revolusi Islam Iran 1979. Revolusi ini tidak saja merubah tatanan social,
ekonomi, budaya, dan politik masyarakat Iran secara internal, tetapi juga
memberikan pengaruh yang besar pada masyarakat Islam internasional.
D. Penamaan Al-Mizan fi
Tafsir al-Qur’an
Nama al-Mizan menurut
al-Awsi, diberikan oleh sendiri, karena di dalam kitab tafsirnya itu
dikemukakan berbagai pandangan para mufassir, dan ia memberikan sikap kritis
serta menimbang-nimbang pandangan mereka baik untuk diterima maupun ditolaknya[8]. Meskipun tidak secara eksplisit memberikan nama ini,
namun pernyataan Thabathaba’i secara implisit memang mengarahkan pada
penamaan al-Mizan tersebut.
Dalam Al-Mizan,
Thabathaba’i mengelompokan empat golongan yang menafsirkan al-Qur’an, yaitu
teolog, filosof, sufi, dan ahli hadis. Setelah melakukan pengelompokan, Thabathaba’i mengulas model penafsiran
mereka, lalu kemudianmengkritisi
pandangan dan pendekatan mereka di dalam menafsirkan al-Qur’an.
Menurutnya, para ahli hadis di dalam menafsirkan
al-Qur’an hanya berdasarkanpada riwayat-riwayat
yang bersumber dari para pendahulunya saja, yakni para sahabat dan
tabi’in. Sehingga mereka fanatik dan hanya
berpegang teguh pada riwayat-riwayat pendahulunya tanpa mau melibatkan peran
akal sebagai proses penafsiran.[9]
Dalam hal ini mereka salah, kata Thabathaba’i. Sebab Allah tidak pernah
mengatakan dalam kitab-Nya bahwa akal tidak boleh digunakan sebagai hujjah dan
dalil. Bagaimana mungkin Allah
melarang menggunakan argument akal, sedangkan Dia sendiri menetapkan dalam
kitab-Nya;
afala ta’qilun, afala tatadabbarun, dll.
Dan di sisi lain, Allah tidak pernah memerintahkan menggunakan
pendapat-pendapat para sahabat dan tabi’in dan pandangan mereka yang
bertentangan dan tak dapat dipertanggungjawabkan, dan tidak memerintahkan
mengikuti pendapat-pendapat mereka yang saling bertentangan dan meniadakan satu
sama lain. Para teolog, kata
Thabatabai, dalam menafsirkan al-Qur’an mereka hanya lebih dimotivasi oleh
pendapat-pendapat mazhab mereka yang beraneka ragam, sehingga hal itu mewarnai
penafsiran mereka. Mereka menakwilkan apa-apa yang tidak sesuai dengan pendapat
mereka. Sistem dan pendapatnya lebih disebabkan oleh perbedaan pijakan teori
ilmiah atau hal yang lain seperti taklid dan fanatikkesukuan, sehingga usaha mereka dan metode kajianya jauh tidak dapat
dinamakan tafsir melainkan penyesuainya saja.[10] hal ini bisa
dibuktikan ketika para teolog menggunakan ayat tertentu hanya untuk
melegitimasi mazhab atau kelompoknya. Para filosof, mereka tidak
jauh berbeda dengan para mufassir dari kalangan teolog. Mereka berusaha
menyesuaikan ayat-ayat al-Qur’an ke dalam dasar-dasar filsafat Yunani Kuno
(yang terbagi ke dalam empat cabang; matematika, natural sains, ketuhanan, dan
subjek-subjek praktis termasuk hokum). Terutama filosof yang beraliran
paripatetik (al-Masyaiyyun), mereka menakwilkan ayat-ayat yang
berkenaan dengan realita-realita metafisik, ayat-ayat penciptaan langit
dan bumi, ayat-ayat tentang alam barzah dan ayat-ayat hari kiamat. Sehingga
tidak sedikit filosof muslim terperangkap dengan sistem filsafat tadi,
meninggalkan kajian-kajian yang berkenaan dengan astronomi.
Sementara kelompok sufi,
kata Thabathaba’i, mereka hanya sibuk dengan aspek-aspek esoterik penciptaan dan memperhatikan ayat-ayat al-Qur’an yang
berkaitan dengan kejiwaan tanpa memperhatikan alam realita dan ayat-ayat yang
berkenaan dengan astronomi. Pola mereka ini pada akhirnya akan membawa manusia
pada takwil dan penafsiran dalam ekspresi puitis. Begitu buruknya kondisi ini,
sehingga ayat-ayat al-Qur’an ditafsirkan berdasarkan jumlah angka-angka dari
kata-katanya; surat-suratnya dibagi berdasarkan cahaya dan kegelapan.[11]
E. Motivasi Penulisan
Menurut Razzaqi, ketika Thabathaba’i
datang dari Tabriz ke Qum, ia mempelajari dan melihat
adanya berbagai kebutuhan dalam diri masyarakat Islam berikut berbagai situasi
yang melingkupi lembaga Qum itu. Setelah itu ia sampai pada satu kesimpulan
bahwa lembaga tersebut membutuhkan satu tafsir atas al-Qur’an untuk mendapatkan sebuah pemahaman yang lebih baik dan instruksi
yang lebih efektif untuk sampai pada makna yang tersirat dalam teks yang paling
tinggi kedudukannya dalam Islam.[12]
Di sisi lain, karena
gagasan-gagasan materialistik telah sangat
mendominasi, ada kebutuhan besar akan wacana rasional dan filosofis yang akan
memungkinkan Hawzah tersebut mengelaborasikan prinsip-prinsip intelektual dan
doktrin dalam Islam dengan menggunakan argument-argumen rasional dalam rangka
mempertahankan posisi Islam. Karena itu, ia merasa berkewajiban memenuhi
kebutuhan tersebut. Dalam kuliah-kuliahnya, Thabathaba’i memberikan materi
tafsir yang lalu kemudian ia tuliskan. Selama diselenggarakanya kuliah yang
cerdas ini, kemungkinan ia telah menuslikan materinya dalam bentuk prosa yang
padat namun indah, yang belakangan diterbitkan dalam beberapa volume.[13]
Dan yang tak kalah penting
lagi adalah bahwa dengan keberadaan tafsir ini, sesungguhnya Thabathaba’i
sekaligus ingin membantah asumsi yang menyatakan bahwa Syi’ah memiliki al-Quran
tandingan, yang berbeda dengan al-Qur’an di dunia Sunni. Syi’ah telah dituduh
telah mendistorsi dan mereduksi al-Qur’an yang beredar sekarang ini.[14]
F. Metode Penulisan
Al-Mizan adalah karya
tafsir yang memiliki metode berbeda dari kitab tafsir lainya, klasik maupun
kontemporer. Karya ini lahir dari tangan orang yang tidak saja menguasai
ilmu-ilmu klasik, namun ia juga sangat akrab dengan filsafat serta ilmu-ilmu
kontemporer. Penulisnya juga telah bersentuhan secara luas dengan masyarakat
modern, walau tidak secara langsung. Seperti kitab-kitab klasik
yang ditulis untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam memahami al-Qur’an, maka
kehadiran tafsir ini adalah salah satunya untuk memenuhi dan mengisi ruangan
dan kebutuhan tersebut. Karya ini berusaha dengan segala kemampuan penulisnya,
menyuguhkan jawaban atas setiap permasalahan modern dengan tetap berpijak pada jalur
yang baku; al-Quran dan as-Sunnah. Sehingga mau
tidak mau penulisnya menggunakan metode modern dalam penulisanya. Di antara
metode yang dipergunakan oleh penulis tafsir ini adalah mengembalikan semua
inti permasalahan tersebut kepada al-Qur’an. Dengan ungkapan lain, penulisnya
dalam menguraikan suatu ayat selalu merujuk terlebih dahulu kepada al-Qura’an
dan menggali makna ayat yang sedang dikaji dari ayat lain. Ibn Taimiyyah mengatakan
bahwa sebaik-baik metode penafsiran al-Quran adalah dengan menafsirkan
al-Qur’an dengan al-Qur’an. Bila tidak ditemukan dalam satu ayat, akan
ditafsirkan oleh ayat lain, apa yang tidak ditemukan dalam ayat tersebut akan
diketengahkan di tempat lain.[15] Pernyataan ini sesungguhnya ingin menegaskan
sekaligus membuktikan bahwa al-Qur’an dengan ayat-ayat di dalamnya satu sama
lain saling terkait dan tak terpisahkan. Bila secara redaksional ada ayat
al-Qur’an terkesan saling bertentangan, dan satu sama lain saling bertolak
belakang, maka yang harus dilakukan kemudian adalah menguji kembali pemahaman
kita.
Menafsirkan al-Qur’an
dengan al-Qur’an atau ayat dengan ayat lainya, mengindikasikan bahwa al-Qur’an
memiliki pengertian yang lebih bila al-Qur’an dibiarkan berbicara sendiri.
Sehingga dengan begitu, al-Qur’an tidak dikebiri dengan mengikuti peradaban
Barat dan aliran sains modern, serta tidak terintervensi dengan berbagai
pemikiran penafsirnya sendiri. Ironisnya, yang terjadi justru sebaliknya,
pendapat penafsir lebih dominan dibandingkan memberikan kebebasan pada
al-Qur’an untuk membaca dirinya sendiri.
Karena al-Qur’an adalah
respon illahiyyah terhadap kondisi umat manusia yang diturunkan ke dalam qalbu
(kesadaran) Nabi Muhammad dengan latar belakang kondisi sosio-kultural-historis
bangsa Arab. Untuk itu, kata Thabathaba’i, al-Qur’an harus dipahami dari yang
diungkapkan oleh dirinya sendiri, bukan yang dipahami oleh masing-masing
penafsir. Ketika al-Qur’an ditafsirkan oleh dirinya sendiri, yaitu dengan
melibatkan ayat-ayat yang terkandung di dalamnya, maka, kata Thabathaba’i,
hasil tafsirnya akan lebih terhindar dari peran subjektif penafsir. Dengan
begitu akan lebih terhindar dari bisikan hawa nafsu dan kesalahan. Mengenai metode penafsiran
al-Qur'an, Thabathaba’i mengemukakan tiga cara yang bisa dilakukan untuk memahami
al-Qur'an. Pertama, menafsirkan suatu ayat dengan bantuan data
ilmiah dan non-ilmiah. Kedua, menafsirkan al-Qur'an dengan
hadis-hadis Nabi yang diriwayatkan dari imam-imam suci. Ketiga,
menafsirkan al-Qur'an dengan jalan memanfaatkan ayat-ayat lain yang berkaitan.
Di sini hadis dijadikan sebagai tambahan. Metode tafsir seperti ini adalah
metode Tahlili.
Meski memberikan rumusan
tentang cara-cara menafsirkan al-Qur'an seperti di atas, Thabathaba’i tidak menganggap kesemua cara
yang disebutkan tadi sebagai valid dan akurat. Cara yang pertama tidak boleh
diikuti karena menurutnya, cara itu menggunakan pendapat pribadi. Menafsirkan al-Qur’an
model ini lebih berpeluang pada kesalahan. Cara yang kedua dianggapnya tidak
cukup memadai, bukan saja karena sangat terbatasnya jumlah hadis Nabi yang bisa
dipertanggung-jawabkan validitasnya, namun hadis-hadis itu sendiri tidak cukup
memenuhi kebutuhan untuk menjawab berbagai persoalan tentang al-Qur'an yang
semakin berkembang. Menurut Thabathaba’i hanya cara ketiga, yakni menafsirkan
al-Qur'an dengan ayat-ayat lain yang berkaitan, yang bisa
dipertanggung-jawabkan sebagai cara untuk menafsirkan al-Qur'an. Dalam pandangan Thabathaba’i, menafsirkan al-Qur'an dengan
al-Qur'an ini, tidak termasuk ke dalam penafsiran dengan ra’yu sebagaimana yang
dilarang Nabi. Menafsirkan al-Qur'an
dengan cara mengaitkan satu ayat dengan ayat-ayat yang lain (yang kemudian
dikenal penafsiran al-Qur'an dengan al-Qur'an ) yang oleh Thabathaba’i dinilai
sebagai cara penafsiran yang paling valid ini pada dasarnya merupakan hal yang
umum di kalangan mufassir, meski dalam aplikasinya kemudian terjadi berbagai
perbedaan.
G. Sistematika
Penulisan
Dalam kitab tafsirnya
al-Mizan ini Thabathaba’i mengikuti sistematika tartib mushafi, yaitu menyusun kitab tafsir
berdasarkan susunan ayat-ayat dan surat-surat dalam mushaf al-Quran, yang
dimulai dari Surah al-Fatihah hingga berakhir pada Surah al-Nas. Meski menempuh
sistematika tartib mushafi, namun Thabathaba’idalam
penafsirannya membagi-baginya ke dalam beberapa tema. Sehingga dalam
menafsirkan al-Qur’an, Thabathaba’i tidak melakukannya secara ayat per ayat,
melainkan mengumpulkan beberapa ayat untuk kemudian baru diberikan
penafsirannya. Dalam kaitan ini, Thabathaba’i mengawalinya dengan tema penjelasan yang
meliputi kajian mufradat, I’rab, balagah, kemudian tema kajian riwayat yang di
dalamnya berisi pandangan berbagai riwayat yang disikapi Thabataba’i secara kritis, dilanjutkan kajian filsafat dan lain-lain.
Secara umum sistematika
yang dipakai Thabathaba’i dalam karya tafsirnya, pada dasarnya tidak jauh
berbeda dengan sistematika dalam karya-karya tafsir lainya. Ali al-Awsi
memetakan sistematika yang dipakai karyanya ini. Di antaranya yang bisa
disebutkan di sini adalah, Thabathaba’i dalam membicarakan satu topik,
membagi-bagi ayat dalam satu surah yang akan ditafsirkan menjadi kelompok
tersendiri. Terlepas dari ayat tersebut masuk dalam kelompok satu surat atau
tidak, sehingga terkadang dalam menafsirkan Thabathaba’i hanya menafsirkan satu
ayat[16] atau beberapa ayat[17] bahkan sebanyak sepuluh ayat atau lebih[18] dalam satu kelompok.
Dalam beberapa hal, ketika menafsirkan
Thabathaba’i mengikuti sistem yang dilalui oleh
mufassir terdahulu. Pada permulaan penafsiran di awal surat, Thabathaba’i telah
menetapkan paradigma yang dipergunakan untuk memotret makna ayat tersebut.
Dengan cara memadukan ayat-ayat tersebut dalam satu surat. Karena dalam pandanganya,
jika para mufassir modern, bahwa dalam satu surat tidak hanya membicarakan satu
topik saja, namun ada bermacam masalah yang dipaparkan oleh ayat-ayat dalam
surat tersebut[19] serta berbagai
solusi untuk setiap masalah yang terkandung di dalamnya. Begitu pula dalam
memaparkan riwayat, dalam satu surat terkadang Thabathaba’i menjelaskanya
terlalu jauh.
Tidak jarang Thabathaba’i menggunakan metode diskusi ketika menafsirkan
suatu ayat, sambil membeberkan pendapat ulama klasik pada ayat yang sedang
dikaji.[20] Selain itu ketika
mengutip pendapat para ulama terutama dalam bahasan riwaiy, terkadang dia
mengomentari riwayat tersebut, baik melemahkanya, menguatkanya, atau untuk
memperkokoh pendapatnya dalam menjelaskan pengertian sepertri dalam pembahasan
tentang sebab-sebab turun ayat.
Dalam karyanya ini, Thabathaba’i sesungguhnya ingin mengangkat isu yang
paling aktual, yang juga menjadi isu dunia Islam, yaitu mengangkat moral umat
manusia, khususnya Islam, untuk melepaskan diri dari setiap bentuk paganisme
karena terlalu bergantung pada hasil pemikiran sekularis. Akibatnya, dunia
Islam terlanjur dicermati oleh bermacam idiologi asing yang seringkali
mengganggu pikiran.
H. Sumber Penafsiran
Thabathaba’i
Sumber yang digunakan
Thabathaba’i dalam karya tafsirnya ini ada dua; yaitu al-Qur’an dan
sumber lainya. Sumber pertama merupakan sumber yang tidak bisa dilepaskan
darinya, karena ia merupakan pondasi dasar dalam menafsirkan setiap ayat.
Ketika mengambil sumber kedua penafsirnya selalu mendiskripsikan kepribadian
tokoh yang dijadikan sebagai sumber. Sumber kedua ini berupa kitab-kitab
tafsir, baik dari kalangan syi’ah Imamiyah atau Sunni, hadis-hadis Nabi, kamus
bahasa Arab, buku-buku suci agama lain, sumber-sumber sejarah, pengetahuan
umum, dan rasional, filsafat, Koran serta majalah. Namun terkadang di beberapa
tempat Thabathaba’i tidak menyebutkan sumber rujukanya secara eksplisit,
seperti sewaktu mengutip pendapat Ibn Abbas, Thabathaba’i berkata wa
nusiba ila Ibn Abbas wa mala ilaihi al-jumhur.[21] Sumber penafsiran berupa
atsar diambil oleh Thabathaba’i dari tafsir Ibn Abbas. Selain tafsir Ibn Abbas,
sumber lain yang dipakai oleh Thabathaba’i adalah kitab tafsir Jami
al-bayan fi tafsir al-Qur’an yang ditulis oleh al-Thabari. Dari tafsir
ini Thabathaba’i menukil qaul shahabah, thabiin, riwayat-riwayat tentang
sebab-sebab turun ayat.
Tafsir al-Mizân
sebagaimana pujian dari Ilyas Klantre dalam bukunya yang bertitel Dalîl
al-Mizân adalah bak sebuah ombak yang meninggi dari samudera ilmu-ilmu
al-Quran. Ilmu pengetahuan yang terdapat di dalamnya tak terhingga[22].Seperti yang tertera dalam buku-buku ulum al-Quran
bahwa sumber penafsiran terbagi menjadi dua; Bi al-Ra’yi dan Bi al-Ma’tsûr.[23] Sementara kitab tafsir al-Mizân karya
Thabâthabâ’î ini sebagaimana diakuinya sendiri adalah sebuah tafsir yang
menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an (baca; Bi al-Ma’tsûr). Klaim ini diamini
oleh oleh Ilyas Klantre dengan menuturkan, “Pengakuan Thabâthabâ’î sesuai
dengan bukti.”[24]
Meski demikian, dalam prakteknya ternyata sumber penafsiran kitab tafsir al-Mizân tidak hanya
berdasarkan Bi al-Ma’tsur. Sebab, sebagaimana yang terkandung di dalamnya,
Thabâthabâ’î juga menggunakan beberapa pendekatan lainnya dalam menafsirkan
teks al-Qur’an, seperti pendekatan lingusitik, filosofis, sejarah, teologi dan
sebagainya. Kemudian kami menggunakan
kajian-kajian falsafi, ilmiah, tarikh, sosial dan akhlaqi, jika hal ini
dibutuhkan dalam kajian. Dan kami mengisyaratkan dalam setiap kajian,
mukaddimah-mukaddimah yang mendasar dan menghindari kajian yang tak efektif.[25]
Di samping itu,
Thabâthabâ’î juga kerap mengutip pendapat-pendapat para mufassir sebelumnya,
baik klasik maupun kontemporer. Sebut saja seperti Ibnu Abbas, Tafsir Thabari,
Tafsir al-Kasyâf Zamakhsyari, Tafsir Mafâtîh al-Ghaib Fakhrurrazi, Tafsir
al-Manâr dan sejumlah tafsir lainnya.
Selain merujuk pada
tafsir-tafsir lain, Thabâthabâ’î juga menggunakan beberapa kitab gramatikal dan
kamus bahasa Arab, seperti Lisân al-Arab, Al-Muhith dan lainnya. Untuk
mengkomparatifkan kajian agama-agama, Thabâthabâ’î juga mengutip beberapa
kitab-kitab agama lain, seperti Taurat, Injil, Veda, dan lainnya.[26]
I. Corak Penafsiran
Mengenai corak
penafsiran Al-Mizan fi Tafsir Al-Qur’an, ada yang berpendapat
bahawa corak penafsirannya adalah Tafsir Falsafi. Karena di dalam tafsir
tersebut banyak dikemukakan filsafat yang dijadikan salah satu penunjang dalam
menafsirkan Al-Qur’an.
Pengertian tafsir falsafi
adalah upaya penafsiran al-Qur’an yang dikaitkan dengan persoalan-persoalan
filsafat. Ada juga yang mendefisnisikan tafsir falsafi sebagai penafsiran
ayat-ayat al-Qur’an dengan menggunakan teori-teori filsafat. Hal ini berarti
bahwa ayat-ayat al-Qur’an dapat ditafsirkan dengan menggunakan filsafat. Karena
ayat al-Qur’an bisa berkaitan dengan persoalan-persoalan filsafat atau
ditafsirkan dengan menggunakan teori-teori filsafat. Pada saat ilmu-ilmu agama
dan sain mengalami kemajuan, kebudayaan-kebudayaan Islam berkembang di
wilayah-wilayah kekuasaan Islam dan penerjemahan buku-buku asing ke dalam
bahasa Arab digalakkan pada masa khalifah Abbasiyah, diantara buku-buku yang
diterjemahkan adalah buku-buku karangan para filosof seperti Aristoteles dan
Plato. Pada perkembangan selanjutnya para ulama tafsir mencoba memahami
Al-Qur’an dengan metode filsafat tersebut, maka lahirlah metode falsafi.
Thaba’ Thaba’i dalam
tafsir al-Mizan fi tafsir al-Qur’an berpendapat bahwa para
filosof menggunakan pemikiran filsafat dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an.
Sesuai dengan kecenderungan dan keilmuannya, Diantara tokoh filosof Islam
adalah Al-Farabi, Ibnu-Shina. Thaba’ Thaba’i dalam tafsirnya memasukkan
pembahasan filsafat sebagai tambahan dalam menerangkan suatu ayat atau menolak
teori filsafat yang bertentangan dengan al-Qur’an. Ia menggunakan pembahasan
filsafat hanya pada bagian ayat tertentu saja.
Terkait dengan tafsir
falsafi ini, ulama Islam terbagi menjadi dua golongan yaitu sebagai berikut:
Pertama, Golongan yang menolok filsafat, karena mereka
menemukan adanya pertentangan antara filsafat dan agama. Kelompok ini secara radikal
menentang filsafat dan berusaha menjauhkan umat darinya. Tokoh pelopor kelompok
ini adalah Imam al-Ghazali, karena itu ia mengarang kitab al-Isyarat dan
kitab-kitab lain untuk menolak faham mereka. Demikian pula Fakhr al-Razi di
dalam kitab tafsirnya mengemukakan paham mereka dan membatalkan teori-teori
filsafat mereka karena dinilai bertentangan dengan agama dan al-Qur’an. Dia
membeberkan ide-ide filsafat yang dipandang bertentangan, khususnya dengan
al-Qur’an dan akhirnya ia menolak dengan tegas berdasarkan alasan dan dalil
yang ia anggap memadai.[27] Kedua, Golongan yang mengagumi dan menerima filsafat meskinya
didalamnya terdapat ide-ide yang bertengan dengan nash-nash syar’i. Kelompok
ini berupaya mengkompromikan antara filsafat dan agama serta berusaha untuk
menyingkapkan segala pertentangan tersebut, namun usaha mereka belum mencapai
titik temu secara final, melainkan masih berupaya memecahkan masalah secara
setengah-setengah, sebab penjelasan mereka tentang ayat-ayat al-Qur’an
semata-mata berangkat dari sudut pandang teori filsafat yang didalamnya banyak
hal tidak mungkin diterapkan dan dipaksakan terhadap nash-nash al-Qur’an.[28]
Di atas penjelasan itu
semua, ada juga yang menggolongkan model tafsir Thabathaba’i sebagai tafsir
Syi’i. Ini karena penulisnya beraliran Syi’ah. Karena itu, ketika Thabathaba’i
menafsirkan al-Qur’an sering merujuk pada paham Syi’ah dan ulama-ulama Syi’ah
yang ma’shum, khususnya perkataan atau ilham dari Imam dua belas. Meski begitu,
Thabathaba’i juga mengambil pendapat-pendapat Ahlu Sunnah Wal Jama’ah sebagai
penunjang dalam menafsirkan Al-Qur’an.
J. Ciri-Ciri Utama
Tafsir al-Mizan
Al-Mizan mempunya beberapa
macam segi; ilmiah, tekhnis, estetis, filosofis, historis, spiritual,
sosiologis, dan tradisional. Namun ada tiga segi yang paling menonjol dan
mengatasi segi-segi yang lainya.
1. Tafsir
al-Qur’an dengan al-Qur’an
Dalam komentarnya terhadap
al-Qur’an ini, Thabathaba’i memperlihatkan keaslianya dengan pertama-tama
menunjukan keterkaitan yang dekat antara satu ayat dengan ayat-ayat lainya
dalam al-Qur’an dan mendasarkan koordinasi inheren ini, ia membuktikan bahwa
ayat-ayat dalam al-Qur’an itu saling menjelaskan. Dengan kata lain,
Thabathaba’i menjelaskan fakta yang dinyatakan dalam ayat al-Qur’an yufassir
ba’dhuhu ba’adl (beberapa bagian al-Qur’an menjadi penjelas untuk bagian yang
lainya).
Menurut Thabathaba’i,
tafsiran sesungguhnya mengenai al-Qur’an hanya dimungkinkan dengan melalui
kontemplasi yang mendalam atas ayat-ayat al-Qur’an yang dihubungkan dengan
ayat-ayat lain yang berkaitan. Dengan kata lain, salah satu dari ketiga metode
berikut ini terbuka untuk mendapat penjelasan yang benar mengenai ayat-ayat
al-Qur’an.
v Penjelasan tentang ayat tanpa mengaitkanya
dengan ayat lain, dengan menggunakan bantuan premis-premis ilmiah dan non
ilmiah yang kita miliki.
v Penjelasan atas suatu ayat dengan memakai
bantuan dan penerapan hadis yang sampai kepada kita dari salah satu imam
ma’shum yang diucapkan dalam kontkes ayat yang tengah dibahas.
v Penjelasan atas suatau ayat dengan jalan merefleksikan
kata-kata dan makna ayat tersebut dengan bantuan sejumlah ayat lain yang
relevan, dan sebagai tambahan dengan merujuk kepada hadis-hadis sejauh hal
tersebut memang dibutuhkan[29].
Kekhususan al-Mizan ini
dinilai sebagai satu langkah penting yang diambil dalam melangkah menuju
pemahaman yang lebih baik atas kualitas luar biasa yang dimiliki al-Qur’an
berdasarkan pada kogerensi dan keterkaitan ayat-ayatnya[30].
Misalnya penafsiran
Thabathaba’i terhadap surat al-Nisa’ ayat 36 tentang larangan mengikuti hawa
nafsu dan menyembah selain Allah dan menyekutukan-Nya dengan sesuatu yang lain.
واعبدوا
الله ولا تشركوا به شيئا وبالوالدين احسانا وبذي القربى واليتامى والمساكين والجار
ذي القربى والجار الجنب والصاحب بالجنب وابن السبيل وما ملكت ايمانكم ان الله لا
يحب من كان مختالا فخورا
(Sembahlah Allah dan
janganlah kamu menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Dan berbuat baiklah
kepada dua orang ibu-bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin,
tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibn sabil dan hamba
sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan
membangga-banggakan diri).
Menurut Thabathaba’i larangan mengikuti hawa nafsu ini selanjutnya
djelaskan dalam surat Shad ayat 26, yang menyatakan bahwa dengan mengikuti hawa
nafsu ini akan menyesatkan dari jalan Allah.
يا داود
انا جعلناك خليفة في الأرض فاحكم بين الناس بالحق ولا تتبع الهوى فيضلك عن سبيل
الله ان الذين يضلون عن سبيل الله لهم عذاب شديد بما نسوا يوم الحساب
(Hai Daud, sesungguhnya Kami
menjadikan kamu khalifah di muka bumi. Maka berilah kepuusan/perkara di antara
manusia dengan adil dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu, karena ia akan
menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari
jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari
perhitungan)
Dengan analisis yang lain dikatakan bahwa tidak ada perbedaan antara
ketaatan pada diri sendiri dan ketaatan pada yang lain. Karena mengikuti hawa
nafsu merupakan satu bentuk penyembahan kepada selain Allah sebagaimana yang
terdapat dalam surat al-Jatsyah ayat 23.
أفرأيت
من اتخذ الهه هواه وأضله الله على علم وختم على سمعه وقلبه وجعل على بصره غشاوة
فمن يهديه من بعد الله أفلا تذكرون
(Maka pernahkan kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai
tuhanya, dan Allah memberikanya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah
mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakan tutupan atas penglihatanya?
Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah. Maka mengapa kamu
tidak mengambil pelajaran?)
2. Aspek Sosiologis
Kurang lebih semua komentar al-Qur’an memberikan perhatian pada aspek-aspek
sosiologis dan telah membahas mengenai isu-isu yang relevan. Penjelasan
sosiologis dalam tafsir al-Mizan, baik secara kualitatif maupun kuantitatif,
jauh di atas penjelasan yang diberikan oleh karya-karya lain dalam kelasnya.
Dengan pendekatan yang multi-dimensional serta pandangan yang luas terhap
berbagai masalah sosial, Thabatahabi berhasil dalam memproyeksikan isu-isu
tersebut dalam sorotan al-Qur’an. Ia berhasil mengetengahkan suatu cara pandang
baru terhadap masalah-masalah sosial dari sudut pandang al-Qur’an yang tetap
diperhatikan sampai sekarang, dan berhasil menggugah para pembaca yang
terilhami untuk semakin berusaha keras untuk menggali dimensi-dimensi baru di
samping berbagai dimensi luar biasa yang terdapat dalam al-Qur’an. Misalnya, penafsiran Thabathaba’i terhadap surat al-Nisa yang menjelaskan
beberapa persoalan sosiologis Islam yang membahas ihwal abad manusia, munculnya
manusia pertama, proses penciptaan dan evolusi, dan masalah-masalah yang
terkait lainya.[31]
Setelah itu terdapat pembahasan mengenai perkawinan ditinjau dari sudut
pandang ilmiah dan dibagi menjadi tiga bagian. Bagian ketiga membahas khusus poligami
dalam Islam dengan merujuk kepada pertanyaan mengenai jumlah istri Nabi.[32]
3. Aspek Filosofis
Thabathaba’i yang sekaligus salah seorang dari sedikit filosof yang
memiliki pandangan-pandangan yang jernih dan orsinil, telah
memberikan sumbangan yang tidak ternilai dalam bidang tafsir dengan
mengelaborasikan metafisika al-Qur’an yang akan memebrikan kepada kita
pandangan berharga dan benar mengenai hakikat hidup yang sesungguhnya dari
kerangka metafisika. Ia menyangkal semua salah kaprah yang tidak berdasarkan
yang dinisbatkan kepada al-Qur’an.
Menurut Thabathaba’i, metafisika Islam mempuanya dasar-dasar yang
terkandung di dalam al-Qur’an dan itu tidak lain berupa elaborasi gagasan
al-Quran mengenai Tuhan, manusia, dan alam semesta. Dengan kata lain,
Thabathaba’i menunjukan bahwa faktor utama yang bertanggungjawab atas
terjadinya kesalahan umum yang berkaitan dengan masalah metafisika adalah
karena kurangnya pemahaman yang tepat dan informasi yang benar mengenai masalah
ini.
Misalnya penafsiran Thabathaba’i terhadap surat al-Fatihah. Thabathaba’i
memulai penjelasan dengen memberi komentar singkat ayat 1. Kemudian memberikan
penjelasan tentang pengertian kata al-hamd (pujian) dalam
konteks ketuhanan, Yang Maha Suci.[33]
L. Kesimpulan
Thabathaba’i adalah
seorang cendikiawan yang pernah dimiliki Iran. Yang di dalam dirinya tergabung
berbagai ilmu pengetahuan seperti fiqih, kalam, tasawuf, filsafat dan ilmu
eksaks. Penguasaan terhadap berbagai ilmu yang multi-disiplin inilah kemudian
berpengaruh pada penafsiran al-Qur’an seperti yang tertuang dalam tafsir
al-Mizan. Meski begitu, corak filosofis lebih kental dalam tafsirnya.
Dengan latar belakang
teologis yang dipegangnya, yaitu Syi`ah, tentu saja Thabathaba’i berusaha
menyajikan penafsiran-penafsiran yang sejalan dengan paham Syi`ah Imamiyah
serta meninggalkan paham yang tidak sesuai dengan keyakinan teologisnya. Hal
demikian merupakan konsekuensi logis dari sikap teologi yang diyakininya. Meski demikian, tak
jarang Thabathaba’i mengutip dan mengambil pendapat ulama dari kalangan Sunni sebagai bentuk komparasi ide dan gagasan.
Al-Mizan disinyalir memiliki tipikalitas tersendiri, di antaranya adalah
mengkombinasikan khazanah tafsir klasik Syi’ah dengan khazanah kontemporer yang
dimiliki Thabathaba’i sendiri. Khazanah
kontemporer yang dimaksud adalah keterpengaruhanya oleh modernisasi tafsir yang
dicanangkan Muhammad Abduh.
Selain kitab-kitab tafsir Syi’ah yang dijadikan rujukan Thabathaba’i, ada
juga beberapa kitab tafsir Sunni
yang dijadikan rujukannya. Untuk menyebut kitab-kitab tafsir Sunni itu
adalah Al-Durr Al-Mantsur ditulis oleh Jalal Al-Din Al-Suyuthi
(849-911 H/1505), Jami’ Al-Bayan fi tafsir Al-Qur’an karya
Jarir Al-Thabari (224-310 H/839-922 M), Al-Mufradat fi Gharib Al-Qur’an karya
Abu Al-Qasim Al-Husain ibn Muhammad yang dikenal dengan nama Raghib
Al-Ashfhahani (w. 502 H/1108 M), Anwar Al-Tanzil wa Asrar Al-Ta’wil karya
Nashir Al-Din ‘Abdullah ibn ‘Umar Muhammad ibn ‘Ali Al-Baidhawi (w. 691 H/1292
M), Ruh Al-Ma’ani fi Tafsir Al-Qur’an karya Syihab Al-Din
Al-Sayyid Mahmud Al-Alusi (w. 1270 H/1853 M), dan Al-Jawahir fi Tafsir
Al-Qur’an karya Syaikh Thanthawi Jauhari.
Daftar Pustaka
§ al-Awsi, Ali, At-Thabathaba’i wa
Manhajuhu fi Tafsiruhu al-Mizan, (Teheran: Mu’awaniyah al-Riasah lil’alaqat
al-Daulah, 1985)
§ Al-Dzhabi, Muhammad Husein, At-Tafsir
wa Al-Mufassirun, (Bairut: Dar al-Fikri, 1995)
§ Al-Zarânî, Muhammad ‘Abd
al-‘Azhim, Manâhil al-Irfân Fi ‘Ulûm
al-Qur’an, (Beirut; Dâr al-Fikr, tt)
§ At-Thabathaba’i, Muhammad Husein, Al-Quran
fi Al-Islam, (Teheran: Sajehhar 1985)
§ --------------------------, Al-Mizan fi
Tafsir al-Qur’an, (Beirut: Mu’assasah al-A’la li Mathbuat, 1991)
§ Ibn Taimiyyah, Muqoddimah fiqh
Ushul al-Tafsir, (Beirut: t.pn, 1392)
§ Ilyas Klantre, Dalîl al-Mizân dialihbahasakan
ke dalam bahasa Arab oleh Abbas Tarjuman (Libanon; Mu’assasah al-A’lâmî Li
al-Mathbû’at, 1985)
§ Ja’far, Khudhair, Tafsir al-Qur’an
bi al-Qur’an Inda al-Allamah al-Thabathaba’i, (Qum: Dar al-Qur’an al-Karim,
1411 H)
§ Razzaqi, Abu al-Qasim, Pengantar
pada Tafisr al-Mizan, Penerjemah Nurul Agustina dalam Al-Hikmah No.
8 Rajab-Ramadhan 1413 H
Catatan
[1] Tafsir
Al-Mizan, menurut Abu al-Qasim Razzaqi dalam “Ba ‘Allamah Thabathaba’i
dar al-Mizan”, menduduki posisi yang sangat penting karena kualitasnya
yang istimewa, tidak hanya di antara buku-buku sejenis, tetapi juga
di antara berbagai jenis buku keislaman baik agama, ilmu, filsafat dan terlebih
lagi dalam bidang tafsir yang pernah ditulis sarjana Sunni maupun Syi’ah.
Moojan Momen dalam “An Introduction to Shi’i”, menyamakan
tafsir ini sejajar dengan Tafsir al-Qummi karya Al-Qummi, Tafsir ‘Ayyasyi karya
Al-‘Ayyasyi, Al-Tibyan karya Al-Thusi, dan Majma’ al-Bayan karya Al-Thabrasi.
[2] Kitab-kitab
tafsir Sunni yang menjadi rujukan Thabathaba’i adalah Al-Durr
Al-Mantsur ditulis oleh Jalal Al-Din Al-Suyuthi (849-911
H/1505), Jami’ Al-Bayan fi tafsir Al-Qur’an karya Jarir
Al-Thabari (224-310 H/839-922 M), Al-Mufradat fi Gharib Al-Qur’an karya
Abu Al-Qasim Al-Husain ibn Muhammad yang dikenal dengan nama Raghib
Al-Ashfhahani (w. 502 H/1108 M), Anwar Al-Tanzil wa Asrar Al-Ta’wil karya
Nashir Al-Din ‘Abdullah ibn ‘Umar Muhammad ibn ‘Ali Al-Baidhawi (w. 691 H/1292
M), Ruh Al-Ma’ani fi Tafsir Al-Qur’an karya Syihab Al-Din
Al-Sayyid Mahmud Al-Alusi (w. 1270 H/1853 M), dan Al-Jawahir fi Tafsir
Al-Qur’an karya Syaikh Thanthawi Jauhari.
[3] Muhammad Husein Thabathaba’i, Al-Mizan fi
Tafsir al-Qur’an, (Beirut: Mu’assasah al-A’la li Mathbuat, 1991), jilid
III, 86
[4] Allamah
adalah ungkapan penghormatan dalam bahasa Arab, Persia, dan
bahasa-bahasa Islam lainya, yang berarti “sangat terpelajar”.
Ungkapan penghormatan ini biasanya diberikan kepada seseorang yang dinilai
memiliki tingkat spiritual dan intelektualitas yang tinggi, dan secara sosial
memberi pengaruh pada kehidupan manusia.
[5] Ali
al-Awsi, At-Thabathaba’i wa Manhajuhu fi Tafsiruhu al-Mizan,
(Teheran: Mu’awaniyah al-Riasah lil’alaqat al-Daulah, 1985), 44. Lihat juga
Khudhair Ja’far, Tafsir al-Qur’an bi al-Qur’an Inda al-Allamah
al-Thabathaba’i, (Qum: Dar al-Qur’an al-Karim, 1411 H), 10
[6] Henry
Corbin adalah orientalis asal Prancis yang menekuni kajian keislaman, di
antaranya adalah tasawus, filsafat Islam, dan juga ajaran-ajaran Syi’ah. Kepada
Corbin inilah Thabatabai sering mendiskusikan tema-tema filsafat yang meliputi
penyangkalanya terhadap dialektika Marxis atas dasar filsafat Islam
tradisional. Diskusi antara keduanya dilakukan dalam sesi-sesi mingguan di
Teheran selama musim gugur antara 1958 dan 1977.
[7] Sayed
Hosein Nasr adalah aktor yang menyebarluaskan diskusi mingguan Thabathaba’i
dengan Corbin. Nasr lah yang telah menterjemahkan dan member komentar terhadap
hasil diskusi tersebut.
[12] Abu
al-Qasim Razzaqi, Pengantar pada Tafisr al-Mizan, Penerjemah Nurul
Agustina dalam Al-Hikmah No. 8 Rajab-Ramadhan 1413, 6
[14] Lihat
bantahan Thabathaba’i dalam masalah ini dalam Muhammad Husein
at-Thabathaba’i, Al-Quran fi Al-Islam, (Teheran: Sajehhar, 1985),
h. 13-28
[16] Misalnya
penafsiran Thabathaba’i terhadap surat al-Baqarah ayat 34. Di sini Thabathaba’i
hanya menafsirkan satu ayat saja. Lihat Muhammad Husain at-Thabathaba’i, Al-Mizan
fi Tafsir al-Qur’an, jilid I, 123
[17] Misalnya
penafsiran Thabathaba’i terhadap surat al-Ankabut ayat 56-60. Penafsiran
Thabathaba’i terhadap enam ayat ini terdapat dalam satu kelompok. Lihat
Muhammad Husain at-Thabathaba’i, Al-Mizan, jilid XVI, 149
[18] Misalnya
penafsiran Thabathaba’i terhadap surat al-Baqarah ayat 228-242. Penafsiran
Thabathaba’i terhadap 15 ayat ini terdapat dalam satu kelompok. Lihat Muhammad
Husain at-Thabathaba’i, Al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, jilid II,
233-234
[19] Misalnya penafsiran Thabathaba’i terhadap surat
al-Fatihah ayat 1-5. Ayat 1 menurut Thabathaba’i menjelaskan tentang keharusan
membaca basmallah di setiap awal perbuatan. Tentang
pengertian hamdallah dan lain sebagainya, lihat Thabathaba’i,
Al-Mizan, Jilid I, 17
[20] Misalnya penafsiran Thabathaba’i terhadap surat
an-Nahl ayat 115 tentang keharaman memakan bangkai, darah, daging babi, dan
binatang yang disembelih bukan dengan menyebut nama Allah. Lihat Thabathaba’i,
al-Mizan, jilid XII, 364-366
[22] Ilyas Klantre, Dalîl al-Mizân dialihbahasakan
ke dalam bahasa Arab oleh Abbas Tarjuman (Libanon; Mu’assasah al-A’lâmî Li
al-Mathbû’at, 1985) cet 1, 7
[23] Muhammad ‘Abd al-‘Azhim al-Zarânî, Manâhil
al-Irfân Fi ‘Ulûm al-Qur’an(Beirut; Dâr al-Fikr, tt) vol 2, 10-69
[26] Mengenai rujukan-rujukan Thabâthabâ’î
terhadap kitab tafsir, kamus, hadis, kitab-kitab agama lainnya, lihat ‘Ali
al-Awsiy, Al-Thabâtabâ'î Wa Manhajuhu fi Tafsîrihi al-Mîzân, 49-70
[27] Muhammad
Husein al-Dzhabi, At-Tafsir wa Al-Mufassirun, (Bairut: Dar
al-Fikri, 1995), Juz III, 83
Tidak ada komentar:
Posting Komentar