Oleh Kunawi Basyir*
Keberadaan manusia
memang sangat unik (sui generis)
di tengah-tengah peta eksistensi dunia ini. Dengan
ilustratif-hierarkial Schumacher, mengungkapkan bahwa manusia memiliki unsur
“penyadaran diri” (komponen “y”) sebagai instansi rohaniah
yang sangat spesifik yang tidak akan pernah dapat
disamai oleh makhluk selainnya. Dengan unsur ruhaniah
tersebut manusia pada akhirnya mampu mengadakan refleksi transendensi “keluar”
(dasein, menurut Heidegger) dari
dirinya sendiri serta mendudukkan dirinya sendiri sebagai obyek bagi
perenungan dirinya sendiri. Melalui proses ini ia menjadi “mungkin” untuk dapat
melihat kompleksitas yang terpendam secara potensialitas dalam kongkritnya.
Dengan cara demikian, manusia mampu mengadakan proses “reductio ad absurdum” (mengurai
diri) membentuk rentang jarak antara dirinya sendiri sebagai subyek (The I) dengan diri obyek-nya
(The Me).
Dengan melalui
proses yang demikian tersebut manusia menjadi “mungkin” dapat
mengenal dirinya sendiri. ”Gnothi seauthon”,
(kenalilah dirimu sendiri) sebuah kata magis yang dikutip oleh Socrates
dari dinding Philadelphia, seolah-olah memiliki “kekuatan” sakral yang mampu
membimbing manusia ke dalam renungan-renungan suci tentang dirinya sendiri. Ia
digambarkan sebagai titik Archimedes yang mampu menarik seluruh gravitasi
kesadaran diri manusia selaku “jagat” kecil dalam benua otonomi
eksistensialnya yang sangat misterius. Disanalah kisah
sebuah perjanjian agung tentang kodrat dasar manusia dipendam
dengan pesona misteri eksistensialitasnya.
Tidak mudah memang untuk
menyentuhnya apalagi merangkulnya, karena setiap upaya untuk memandangnya
dengan sendirinya akan melibatkan seluruh potensi reflektif
kesadaran manusia sedemikian rupa sehingga ia dapat
berdiferensi secara diametral dengan subyektifitasnya sendiri. Kesulitan untuk
menemukan “jalan” masuk di satu sisi dengan kompleksitas yang terpendam dalam
lautan misterinya di sisi yang lain inilah yang membuat “wujud” manusia selalu
menggoda untuk direnung-kan, dijadikan sebagai ajang spekulasi dan didudukkan
sebagai mata picu bagi pergulatan panjang sejarah pemikiran
manusia.
Persoalan yang hendak
dibahas disini adalah tentang pola-pola pendekatan terhadap masalah
yang berkaitan dengan realitas dasar wujud manusia itu?, serta tentang titik
tinjau pendekatan simbolik tentang wujud dasar manusia berikut perkembangannya.
Pendekatan Terhadap
Wujud Manusia
Selama ini memang telah
terdapat sejumlah pendekatan yang dapat dipergunakan sebagai “jalan”
untuk memasuki misteri wujud manusia. Keseluruhan pendekatan ini apabila kita
kristalisasikan akan bermuara kepada dua bentuk pendekatan yang sangat
fundamental, yakni pendekatan esensialistik dan pendekatan eksistensialistik.
Pendekatan esensialistik pada dasarnya bertolak pada asumsi
dasar bahwa manusia memiliki suatu substansialitas atau esensi wujud yang
diduga keras merupakan realitas fundamental bagi keberadaannya. Sementara
pendekatan eksistensialistik, pada dasarnya menolak asumsi tentang
adanya substansialitas atau esensi yang bersifat universal
dan umum pada wujud manusia.
Menurut pendekatan ini,
hakekat wujud manusia tidak dapat diabstraksikan melalui jalur induksi
untuk menemukan kesamaan-kesamaan substansial. Manusia hanya
bisa dibicarakan secara individual dan personal. Pengalaman setiap
individu sangat berbeda satu dengan lainnya, oleh karena itu tidak
akan pernah ada kesamaan hakiki dua orang sekalipun. Pengalaman tentang
subyektifitas dirinya inilah yang merupakan ciri khas yang terdapat pada setiap
manusia secara unik dan individual. Pengalaman tentang subyektifitas diri ini
hanya dapat diperoleh dan dihayati melalui gerak dalam ruang hidup seseorang
secara individual dan outentik. Proses “mengalami diri” inilah yang dinamakan
sebagai bereksis-tensi.
Dengan demikian, menurut
pendekatan ini eksistensi manusia mendahului esensi manusia. Pendekatan
esensialistik sendiri mempunyai beragam titik pijak
perspektifialnya. Aristoteles, berangkat dari perspektif biologisme
sampai pada kesimpulan bahwa manusia adalah hewan yang berakal (man is animal that rational). Perspektif
ini selain merupakan tinjauan yang tertua juga dianggap masih
sangat efektif dalam merepresentasikan wujud manusia. Tidak heran
jika kemudian perspektif ini sangat banyak dan cukup lama
mempengaruhi pemikiran para kaum cerdik pandai. Namun demikian penggunaan
tinjauan ini bukan berarti tidak tanpa kesulitan dan keberatan-keberatan
tersendiri. Kesulitan tersebut misalnya tampak dari pemikiran Rene
Descartes, yang dengan menggunakan pendekatan “rasional”-nya terpaksa gagal
menemukan simpul keterkaitan antara jiwa (kesadaran)
dengan badan.
Karena itu ia memberikan
rumusan yang bersifat tentatif terhadap keduanya sebagai dua
substansi yang hidup dalam satu sistem yang padu ibarat “hantu
dalam mesin” (ghost in the machine), suatu
pandangan yang kelak melahirkan madzhab dualisme dalam peta ontologis.
Mengingat terdapatnya banyak kesulitan yang dihadapi dalam menggunakan
pola pendekatan rasional esensialistik, maka dewasa ini banyak para filosof
maupun ilmuwan humaniora mulai menggunakan pola pendekatan esensialistik
lainnya, yakni pendekatan kemampuan simbolik dari manusia. Pendekatan inilah
yang dikenal sebagai pendekatan esensialisme simbolis.
Manusia Sebagai Animal Symbolicum
Pendekatan ini pertama
kali diperkenalkan oleh Ernst Cassirer sebagaimana termaktub didalam
bukunya yang cukup monumental, yakni “An Essay on Man”.
Pendekatan simbolis ini pada dasarnya juga bersandar pada perspektif biologis.
Cassirer sendiri sebagaimana diungkapkan didalam bukunya tersebut mengatakan
sangat terpengaruh oleh teori biologis Von Uexkull, seorang biolog Jerman, yang
berpandangan bahwa pada dasarnya organisme biologis manapun tidak dapat
dilepaskan ekosistem yang melingkupinya. Ekosistem ini sangat
bersifat khusus dan tepat bagi organisme yang bersangkutan. Setiap organisme
mempunyai pengalamannya sendiri dan karena itu memiliki dunianya sendiri.
Gejala-gejala
yang kita lihat dalam spesies biologis tertentu tidak dapat
diterapkan kepada spesies-spesies lainnya. Pengalaman-pengalaman –dan karena
itu juga realitas- dari dua organisme yang berlainan tidak dapat
dibanding-bandingkan satu sama lain. Dengan kata lain antara struktur
biologis suatu organisme dengan lingkungan yang dihadapinya sangatlah
sesuai dan tepat.
Berangkat dari
perspektif biologis gaya Von Uexkull inilah Ernst Cassirer meneliti pola
kehidupan yang secara khas manusiawi. Menurut Cassirer, dunia manusiawi
meskipun mengikuti hukum-hukum biologis sebagaimana semua kehidupan organisme
lainnya. Namun ia memiliki karakteristik baru yang menandai
ciri khas manusia. Lingkaran fungsi-onal manusia tidak
hanya berkembang secara kuatitatif, tetapi juga mengalami
perubahan-perubahan kualitatif. Manusia telah menemukan cara baru untuk
menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Diantara sistem reseptor
dan sistem efektor yang terdapat pada semua spesies
binatang, pada manusia terdapat mata rantai yang mungkin dapat kita
sebut sebagai sistem simbolis.
Dengan pencapaian baru
ini, maka kehidupan manusia segera mengalami perubahan yang sangat fundamental
sekali. Manusia benar-benar hidup dalam dimensi realitas yang baru. Manusia
tidak lagi hanya sekedar merespon lingkungannya secara instingtual dan langsung,
tetapi secara intelektif mampu mengendalikan refleks biologis menjadi
respons-respons interpretatif dan bahkan manipulatif. Dengan cara ini manusia
tidak semata-mata hidup dalam dunia fisik semata-mata, tetapi ia hidup
juga dalam suatu dunia simbolis.
Pemikiran simbolis
dan tingkah laku simbolis merupakan ciri khas yang betul-betul khas
manusiawi dan seluruh kemajuan kebudayaan manusia mendasarkan
diri pada kondisi-kondisi itu. Dari sinilah manusia menyusun realitas
kebudayaannya yang secara umum merupakan hasil dari proses simbolisasi
dalam hidup dan kehidupannya. Oleh karenanya apabila kita ingin
mengetahui realitas terdalam dari hidup dan kehidupan manusia hendaknya
kita telurusi dari kemampuan simbolisnya ini. Dari dasar pandangan ini Ernst
Cassirer kemudian merumuskan definisi baru terhadap hakekat manusia
yakni, Animal Symbolicum (hewan yang
bersimbol). Menurutnya, definisinya tersebut bukan bermaksud untuk
menggantikan definisi yang telah klasik, yakni animal rationale (hewan
yang berakal).
Tetapi dengan
definisi tersebut ia berusaha untuk mengoreksi dan memperluas dimensi
pengertian yang dikandungnya. Rasionalitas memang sifat yang melekat pada
seluruh aktifitas manusia, tetapi definisi ini banyak menyimpan kesulitan-kesulitan
tersendiri terutama dalam kaitannya dengan fakta-fakta kebudayaan manusia.
Fakta-fakta kehidupan manusia manusia terutama sekali kebudayaannya
tidaklah semata-mata bersifat rasional, tetapi kadangkala bersifat
irrasional dan emosional.
Realitas Simbolis Wujud Manusia
Dewasa ini penggunaan
pendekatan simbolis untuk membahas realitas manusia telah banyak
dilakukan dalam berbagai cabang keilmuan, baik ilmiah,
filsafat maupun theologi. Dalam bidang khusus kefilsafatan, mencari realitas
dasar manusia tidaklah sederhana, mengingat sudut pandang yang hendak
diberikannya harus bersifat mendalam, radiks dan sistematis. Melalui
prosedur analisis yang mendalam dan logis inilah filsafat hendak mengetahui
realitas dasar manusia yang benar-benar substansial dari unsur-unsur yang
hanya bersifat aksidental.
Dengan demikian
diperlukan suatu sistem pendekatan yang mampu mengabstraksikan
unsur-unsur yang bersifat substansial dari unsur-unsur
yang aksidental. Penggunaan pendekatan simbolis pada akhirnya banyak
dipilih oleh para pemikir, karena perbuatan dan tingkah laku simbolis
manusia merupakan fenomena yang bersifat universal dan khas pada diri
manusia. Adapun aspek yang paling umum ditinjau dari prilaku
simbolis manusia adalah perbuatan berbicara atau bahasa. Aspek ini
dipilih oleh para pemikir, karena memuat banyak kemudahan dan
manfaat yang dapat diperoleh dari kompleksitasnya.
Pertama, kemampuan
berbicara atau berbahasa adalah gejala yang sudah dikenal dengan baik dan
jelas, sehingga secara relatif mudah dipelajari oleh setiap orang
baik pada dirinya sendiri maupun pada orang-orang lain. Karena kemampuan
berbicara dan berbahasa merupakan ciri khas dan mengisi eksistensi manusia,
maka aspek ini menjadi tema yang paling banyak dipilih dan disukai
oleh para pemikiran kontemporer.
Santo Gregorius dari
Nizza (abad keempat) di dalam bukunya tentang penciptaan manusia,
ia menjelaskan bahwa oleh karena mansusia bisa berbicara dengan lidahnya
serta mengisyaratkan dengan tangannya, maka ia melebihi
binatang-binatang. Tangan, menurutnya, seperti juga kemampuan berbicara pada
manusia merupakan lambang serta alat dari roh, alat yang memungkinkannya untuk
mengukur segala benda dan mengisya-ratkan segala realitas. Descartes di dalam Discours de la methode, juga
menyinggung kemampuan berbicara manusia ,sedemikian
Marleau-Ponty di dalam buku-bukunya- Phenomenologie de la
Perception, Paul Ricour di dalam La Symbolique,
Sigmund Freud dan lain sebagainya. Ketiga, kemampuan berbicara atau berbahasa
menggambarkan keseluruhan manusia atau manusia secara menyeluruh. Andre
Marc, menyatakan didalam bukunya Psychology Reflexive
bahwa keuntungan yang dapat diperoleh dengan memulai suatu filsafat manusia melalui
suatu refleksi terhadap kemampuan bicara.
Selain gejala mampu
berbicara itu mudah dikonstatir dan bahwa hal itu memang memberikan corak khas
terhadap “ada”-nya manusia, keadaan itu memperbolehkan
kita untuk mengerti manusia dalam “kesatuannya” yang dinamis dan
sekaligus dalam kompleksitasnya sebagai suatu kesatuan yang hidup,
terbawa kearah dunia dan berhubungan dengan sesamanya.
Sedangkan manfaat yang
dapat diperoleh dengan menggunakan pendekatan simbolis dalam memahami
realitas dasar dari wujud manusia ialah karena perbuatan
berbicara atau berbahasa mengisyaratkan (meng-asumsikan) beberapa
hal yang sangat fundamental dalam struktur hakiki manusia,
yakni :
Pertama, dengan berbicara
atau berbahasa, maka mengisyaratkan bahwa manusia bersifat sadar dan
bebas. Tentu saja untuk kepentingan bahasan tersebut hendaklah diabaikan dulu
bahasa atau perbuatan meng-isyaratkan yang bersifat tidak sadar, afektif maupun
fiksasi psikologis. Yang dibicarakan dalam kaitan ini adalah perbuatan
berbicara atau berbahasa yang sadar, yakni bahasa yang digunakan untuk ekspresi
sesuatu secara “dipikirkan”
Kedua, dengan
berbicara atau berbahasa mengisyaratkan bahwa makhluk yang
berbicara dan mengisyaratkan harus memiliki sebuah kesatuan substansial dibawah
banyaknya perbuatan yang dilakukannya. Asumsi ini berangkat dari kenyataan
bahwa perbuatan berbicara atau berbahasa melibatkan perbuatan yang
bersifat banyak, maka perlulah pada waktu ia melakukan perbuatan-perbuatan itu,
ia tetap tinggal secara substansial; ia identik dengan dirinya. Sebab jika
tidak ia tidak akan dapat melanjutkan suatu percakapan yang paling kecil pun,
atau mungkin ia tidak akan mampu menyelesaikan sebuah kalimat yang paling
sederhana sekalipun.
Ketiga, dengan
berbicara atau berbahasa mengisyaratkan bahwa ia memiliki
eksistensi wujud yang bersifat eksterioritas . Hal ini terlihat
dari kemampuan dirinya yang sanggup mengarahkan dirinya secara terbuka terhadap
dunia dan kehadiran pada orang-orang lain. Berbicara menunjuk-kan orang hadir
dalam dunia dan tampil ditengah mereka yang mendiaminya. Orang selalu berbicara
tentang sesuatu kepada seseorang. Orang selalu mengucapkan dirinya dalam
suatu alam realitas inderawi, disitu semestinya terdapat mereka
yang berbicara dan mereka yang menulis, mereka yang menjadi lawan berbicara dan
mereka yang membaca.
Keempat, dengan
berbicara atau berbahasa mengisyaratkan bahwa ia memiliki
interioritas (ruang dalam jiwa). Hal ini dapat dilihat dari kemampuannya untuk
menerima dan memiliki kreativitas. Apa yang dikemukakannya tentang dunia, telah
lebih dulu, dipikirkannya dan terkandung dalam dirinya sendiri. Dengan
cara ini ia bisa meninjau kembali apa yang telah dikatakan atau ditulisnya
untuk memperjelas dan membetulkannya. Tentu saja hal ini tidak dapat dilakukan
kecuali melalui cahaya suatu pikiran yang secara
bagaimanapun, mendahului pengeks-presiannya.
Kelima dengan
berbicara atau berbahasa mengisyaratkan bahwa ia merupakan
suatu makhluk yang hidup. Dengan berbahasa manusia menempatkan diri ke dalam
dunia, menyesuaikan diri dengannya, berpar-tisipasi dengan eksistensinya,
memanfaatkan kemungkinan-kemung-kinannya dan menikmati kekayaannya. Pendek
kata, dengan berbicara manusia bersikap sebagai sesuatu yang hidup.
Keenam, dengan
berbicara atau berbahasa mengisyaratkan bahwa ia adalah
makhluk yang mampu mengetahui dan mempunyai afektivitas. Asumsi ini berangkat
dari realitas bahwa manusia selalu berbicara untuk mengemukakan apa yang telah
diketahuinya tentang dunia, atau untuk menjelaskan apa yang telah dapat
dimengertinya dari realitas, ataupun paling tidak untuk memberikan
informasi-informasi atau untuk mengajukan pendapat-pendapat. Selain itu, asumsi
ini berangkat dari kenyataan bahwa manusia memiliki afektivitas. Setiap orang
hampir hanya membicarakan apa yang menarik baginya, dan hanya berbicara panjang
lebar hal-hal yang dianggap tidak penting atau bukan pada tempatnya. Orang
tidak akan berbicara lama dengan orang lain yang nyata menunjukkan syak
wasangka. Bahkan, merupakan suatu cara untuk mengemukakan rasa tidak senang
atau rasa kurang menghargai, kalau seseorang menolak untuk mengadakan percakapan
dengan orang lain.
Ketujuh, dengan perbuatan
berbicara atau berbahasa mengisyarat-kan bahwa ia adalah makhluk yang
berdimensi rohani dan jasmani. Asumsi ini berangkat dari kenyataan bahwa
jasmani yang bersifat inderawiah diperlengkapi dengan anggota serta organ
yang memungkinkannya mengubah materi untuk membuatnya signifikasi. Dan unsur
rohanilah yang membuat segala hal menjadi signifikasi. Jasmani yang
hidup, mengeluarkan suara, melakukan gerakan isyarat dan mengubah
wajah bumi. Suatu roh yang menjiwai suara dan memberi makna
kepada gerakan. Sebuah jasmani dan ruhani yang hanya merupakan satu
makhluk saja, bagaimana sebuah tanda terdiri dari suatu unsur inderawi
dan suatu signifikasi. Sebuah badan yang dijiwai dan dispiritualisasikan,
sebuah roh yang dijelmakan dan disituasikan.
Demikian uraian singkat
tentang pola pendekatan simbolis dalam filsafat manusia. Pendekatan simbolis
ini memang menawarkan banyak nuansa yang cukup bervariatif sekali
terutama dalam kaitannya dengan lingkungan kebudayaannya. Sementara
hidup dan kehidupan manusia sendiri tidak dapat dilepaskan dari lingkup budaya
yang merupakan produk dari proses simbolisasinya. Maka, melalui
pendekatan simbolis ini diharapkan akan dapat tereksplisitasikan
kemampuan dan makna simbolis yang melingkupi hidup dan
kehidupannya tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar