Kamis, 20 November 2014

Ali Syari’ati –dari Filsafat, Sastra, Hingga Revolusi Islam




Nama lengkap Shariati adalah Ali bin Muhammad Taqi Shariati. Dia lahir di Mazinan, desa di provinsi Khurasan, pada 1312 H. bertepatan dengan Desember 1933 M.

Ibrahim Dasuki Shata, dosen Fakultas Sastra Universitas Kairo, mengatakan bahwa ketika Shah Iran mendeklarasikan "Peradaban Persia Raya" Syariati menyatakan bahwa Iran tidak memiliki peradaban apa-apa selain Islam. Tidak ada ulama, tidak ada filsuf, tidak ada pujangga di Iran kecuali ulama, filsuf, dan pujangga yang berafiliasi pada Islam. Penguasa menganggap professor muda ini bikin kekacauan. Mereka pun memutasinya menjadi guru sekolah dasar di desa terpencil. Itu tidak jadi masalah. Murid-muridnya rela memblusuk untuk mendengar ajarannya. Penguasa memutasinya lagi ke Teheran. Mereka pikir, jika Shariati ada di ibukota, agen-agen mereka tidak perlu susah-susah untuk mengawasinya.

Pada 1973 Syariati dan ayahnya ditangkap dan dipenjara oleh penguasa selama 18 bulan. Berkat campur tangan penguasa Aljazair, pada 1975 dia dibebaskan menjadi tahanan kota. Pada 1977 dia diizinkan keluar dari Iran. Lalu, dia pun pergi ke London. Beberapa bulan setelah tinggal di London, dia ditemukan dalam keadaan meninggal dengan penyebab yang tidak diketahui. Penguasa tidak mengizinkan jenazah Syariati dimakamkan di Iran, hingga dia dimakamkan di Masjid Zainab di Damaskus.

Syariati adalah salah seorang tokoh yang membantu perjuangan Ayatullah Khomeini dalam menjatuhkan rezim Syah Iran yang lalim. Doktor sastra lulusan Universitas Sorbonne Prancis ini berjuang tak kenal lelah dan takut. Selama hidupnya, ia mengabdikan dirinya untuk membangunkan masyarakat Islam Iran dari belenggu kezaliman. Pikiran-pikiran dalam ceramahnya telah membuat para pemuda dan mahasiswa Iran tergugah semangatnya untuk memperjuangkan kebenaran dan keadilan.

Syariati, anak pertama Muhammad Taqi dan Zahra, lahir pada 24 November 1933, bertepatan dengan periode ketika ayahnya menyelesaikan studi keagamaan dasarnya dan mulai mengajar di sebuah sekolah dasar, Syerafat. Ali Syari’ati lahir dalam keluarga terhormat. Dalam keluarga ini, ritual dan ritus keagamaan ditunaikan dengan seksama.

Pada masa kanak-kanak, ketika teman-temannya asik bermain, Syariati asik membaca buku-buku sastra seperti Les Miserables karya Victor Hugo. Kegemaran ini terus berlanjut hingga masa remajanya. Sejak tahun pertamanya di sekolah menengah atas, ia senang membaca buku-buku filsafat, sastra –utamanya puisi dan novel, ilmu sosial, dan studi keagamaan di perpustakaan pribadi ayahnya yang memiliki koleksi 2000 buku. Kegemarannya inilah yang membuat ia jarang bermain dengan teman-teman sebayanya.

Pada 1955, Syariati masuk Fakultas Sastra Universitas Masyhad yang baru saja diresmikan. Selama di universitas, sekalipun menghadapi persoalan administratif akibat pekerjaan resminya sebagai guru full-time, Syariati paling tinggi peringkatnya di kelas. Bakat, pengetahuan, dan kegemarannya kepada sastra menjadikannya populer di kalangan mahasiswa.

Di universitas, Syariati bertemu Puran-e Syariat Razavi, yang kemudian menjadi istrinya. Karena prestasi akademisnya di universitas itu, dia mendapat beasiswa untuk melanjutkan studi ke luar negeri. Pada April 1959, Syariati pergi ke Paris sendirian. Istri dan putranya yang baru lahir, bernama Ehsan, menyusulnya setahun kemudian.

Selama di Paris, Syariati berkenalan dengan karya-karya dan gagasan-gagasan baru yang mencerahkan, yang mempengaruhi pandangan hidup dan wawasannya mengenai dunia. Dia mengikuti kuliah-kuliah para akademisi, filsuf, penyair, militan, dan membaca karya-karya mereka, terkadang bertukar pikiran dengan mereka, serta mengamati karya-karya seniman dan pemahat. Dari masing-masing mereka, Syariati mendapat sesuatu, dan kemudian mengaku berutang budi kepada mereka. Di sinilah Syariati berkenalan dengan banyak tokoh intelektual Barat, antara lain Louis Massignon yang begitu dihormatinya, Frantz Fanon, Jacques Berque, dan lain-lain.

Pribadi Syariati penuh dengan semangat perjuangan menegakkan kebenaran dan keadilan. Bahkan ketika ia tidak berada di Iran, ia tetap berjuang menentang rezim Syah Reza Pahlevi yang disokong Amerika dan Israel. Antara 1962 dan 1963, waktu Syariati tampaknya habis tersita untuk aktivitas politik dan jurnalistiknya.

Setelah meraih gelar doktornya pada 1963, setahun kemudian Syariati dan keluarganya kembali ke Masyhad, Iran. Di sini, ia mengajar di sekolah menengah atas. Pada 1965, dia bekerja di Pusat Penelitian Kementerian Pendidikan di Teheran. Kemudian pada 1967, Ali Syariati mulai mengajar di Universitas Masyhad. Inilah awal kontaknya dengan mahasiswa-mahasiswa Iran. Universitas Masyhad yang relatif tenang dan teduh, segera saja semarak. Kelas Syariati tak lama kemudian menjadi kelas favorit. Gaya oratoris Syariati yang memukau, memikat audiens, memperkuat isi kuliahnya yang membangkitkan orang untuk berpikir.

Sejak juni 1971, Syariati meninggalkan pekerjaan mengajarnya di Universitas Masyhad, lalu dikirim ke Teheran. Ia bekerja keras untuk menjadikan Hosseiniyeh Ersyad menjadi sebuah “Universitas Islam” radikal yang modernis. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar