Nama
lengkap Shariati adalah Ali bin Muhammad Taqi Shariati. Dia lahir di Mazinan,
desa di provinsi Khurasan, pada 1312 H. bertepatan dengan Desember 1933 M.
Ibrahim
Dasuki Shata, dosen Fakultas Sastra Universitas Kairo, mengatakan bahwa ketika
Shah Iran
mendeklarasikan "Peradaban Persia Raya" Syariati menyatakan bahwa
Iran tidak memiliki peradaban apa-apa selain Islam. Tidak ada ulama, tidak ada
filsuf, tidak ada pujangga di Iran kecuali ulama, filsuf, dan pujangga yang
berafiliasi pada Islam. Penguasa menganggap professor muda ini bikin kekacauan.
Mereka pun memutasinya menjadi guru sekolah dasar di desa terpencil. Itu tidak
jadi masalah. Murid-muridnya rela memblusuk untuk mendengar ajarannya. Penguasa
memutasinya lagi ke Teheran. Mereka pikir, jika Shariati ada di ibukota,
agen-agen mereka tidak perlu susah-susah untuk mengawasinya.
Pada 1973 Syariati dan ayahnya ditangkap dan dipenjara oleh penguasa selama 18 bulan. Berkat campur tangan penguasa Aljazair, pada 1975 dia dibebaskan menjadi tahanan kota. Pada 1977 dia diizinkan keluar dari Iran. Lalu, dia pun pergi ke London. Beberapa bulan setelah tinggal di London, dia ditemukan dalam keadaan meninggal dengan penyebab yang tidak diketahui. Penguasa tidak mengizinkan jenazah Syariati dimakamkan di Iran, hingga dia dimakamkan di Masjid Zainab di Damaskus.
Syariati adalah salah
seorang tokoh yang membantu perjuangan Ayatullah Khomeini dalam menjatuhkan
rezim Syah Iran yang lalim. Doktor sastra lulusan Universitas Sorbonne Prancis
ini berjuang tak kenal lelah dan takut. Selama hidupnya, ia mengabdikan dirinya
untuk membangunkan masyarakat Islam Iran dari belenggu kezaliman.
Pikiran-pikiran dalam ceramahnya telah membuat para pemuda dan mahasiswa Iran
tergugah semangatnya untuk memperjuangkan kebenaran dan keadilan.
Syariati, anak pertama
Muhammad Taqi dan Zahra, lahir pada 24 November 1933, bertepatan dengan periode
ketika ayahnya menyelesaikan studi keagamaan dasarnya dan mulai mengajar di
sebuah sekolah dasar, Syerafat. Ali Syari’ati lahir dalam keluarga terhormat.
Dalam keluarga ini, ritual dan ritus keagamaan ditunaikan dengan seksama.
Pada masa kanak-kanak,
ketika teman-temannya asik bermain, Syariati asik membaca buku-buku sastra
seperti Les Miserables karya Victor Hugo. Kegemaran ini terus berlanjut
hingga masa remajanya. Sejak tahun pertamanya di sekolah menengah atas, ia
senang membaca buku-buku filsafat, sastra –utamanya puisi dan novel, ilmu
sosial, dan studi keagamaan di perpustakaan pribadi ayahnya yang memiliki
koleksi 2000 buku. Kegemarannya inilah yang membuat ia jarang bermain dengan
teman-teman sebayanya.
Pada 1955, Syariati masuk
Fakultas Sastra Universitas Masyhad yang baru saja diresmikan. Selama di
universitas, sekalipun menghadapi persoalan administratif akibat pekerjaan
resminya sebagai guru full-time, Syariati paling tinggi peringkatnya di
kelas. Bakat, pengetahuan, dan kegemarannya kepada sastra menjadikannya populer
di kalangan mahasiswa.
Di universitas, Syariati
bertemu Puran-e Syariat Razavi, yang kemudian menjadi istrinya. Karena prestasi
akademisnya di universitas itu, dia mendapat beasiswa untuk melanjutkan studi
ke luar negeri. Pada April 1959, Syariati pergi ke Paris sendirian. Istri dan
putranya yang baru lahir, bernama Ehsan, menyusulnya setahun kemudian.
Selama di Paris, Syariati
berkenalan dengan karya-karya dan gagasan-gagasan baru yang mencerahkan, yang
mempengaruhi pandangan hidup dan wawasannya mengenai dunia. Dia mengikuti
kuliah-kuliah para akademisi, filsuf, penyair, militan, dan membaca karya-karya
mereka, terkadang bertukar pikiran dengan mereka, serta mengamati karya-karya
seniman dan pemahat. Dari masing-masing mereka, Syariati mendapat sesuatu, dan
kemudian mengaku berutang budi kepada mereka. Di sinilah Syariati berkenalan
dengan banyak tokoh intelektual Barat, antara lain Louis Massignon yang begitu
dihormatinya, Frantz Fanon, Jacques Berque, dan lain-lain.
Pribadi Syariati penuh
dengan semangat perjuangan menegakkan kebenaran dan keadilan. Bahkan ketika ia tidak
berada di Iran, ia tetap berjuang menentang rezim Syah Reza Pahlevi yang
disokong Amerika dan Israel. Antara 1962 dan 1963, waktu Syariati tampaknya
habis tersita untuk aktivitas politik dan jurnalistiknya.
Setelah meraih gelar
doktornya pada 1963, setahun kemudian Syariati dan keluarganya kembali ke
Masyhad, Iran. Di sini, ia mengajar di sekolah menengah atas. Pada 1965, dia
bekerja di Pusat Penelitian Kementerian Pendidikan di Teheran. Kemudian pada
1967, Ali Syariati mulai mengajar di Universitas Masyhad. Inilah awal kontaknya
dengan mahasiswa-mahasiswa Iran. Universitas Masyhad yang relatif tenang dan
teduh, segera saja semarak. Kelas Syariati tak lama kemudian menjadi kelas
favorit. Gaya oratoris Syariati yang memukau, memikat audiens, memperkuat isi
kuliahnya yang membangkitkan orang untuk berpikir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar