Oleh Abd al-Karim Ali Najaf
Globalitas merupakan
karakter asli dari pesan Islam (al-risâlah al-islâmiyyah). Sebagaimana
ideologi-ideologi lainnya pesan Islam tidak dapat dipecah-pecah. Apakah pesan
Islam dengan seluruh karakteristiknya diterima, atau ditolak. Sebagaimana bahwa
hasil tergantung pada tersedianya seluruh sarana yang ada dan tidak adanya
semua rintangan yang berpengaruh, demikian pula realitas manusia tidak dapat
dianggap sebagai Islam kalau keseluruhan pesan tersebut tidak terwujud pada
realitas tadi. Sifat global merupakan kelengkapan risalah itu. Berbicara
tentang globalitas Islam merupakan pembicaraan yang luas dan bercabang-cabang.
Ia dapat disentuh melalui berbagai sisi. Ia dapat didekati dari sisi pentingnya
aspek global pada pesan Islam, seberapa jauh kebutuhan manusia terhadapnya
dalam memecahkan krisis sosial, politik dan internasional. Untuk memperlihatkan
arti pentingnya masalah ini kami cukup menunjukkan fakta penting yang sama-sama
diyakini baik oleh pemikiran keagamaan maupun pemikiran positif. Yaitu, bahwa
masyarakat manusia mulai mengglobal semenjak di awal sejarahnya. Masyarakat
manusia disatukan oleh watak (fithrah) dan kesederhanaan, dan akhirnya
akan kembali mengglobal dalam sistem politik, sosial dan struktur keyakinannya.
Islam meyakini bahwa manusia pada mulanya merupakan satu bangsa yang didominasi
oleh satu watak dasar. “Manusia dulunya merupakan satu bangsa. Kemudian Allah
mengutus para nabi sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan.
Bersama dengan mereka Allah menurunkan kitab dengan benar agar ia dapat
menghakimi persoalan-persoalan yang dipersengketakan manusia”.[1]
Ayat ini dengan jelas
menyatakan bahwa manusia pada mulanya adalah satu bangsa yang bersaudara dan
hidup harmonis. Kemudian, muncul perbedaan dan perpecahan. Di sini muncullah
pesan langit (agama) untuk memainkan peran langsung dalam mengembalikan manusia
ke masa lalunya yang penuh dengan persaudaraan dan menyatu (mengglobal). “Kemudian
Allah mengutus para nabi sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan.
Bersama dengan mereka Allah menurunkan kitab dengan benar agar ia dapat
menghakimi persoalan-persoalan yang dipersengketakan manusia“. Peran ini
terus berjalan sepanjang 124 ribu kenabian yang terangkum dalam lima misi
dasar, yaitu misi para nabi ulul azmi. Pesan terakhirnya adalah misi terakhir
Muhammad yang dijadikan Allah sebagai penghujung bagi persoalan kemanusiaan.
Misi Muhammad ini pada suatu masa dalam akhir sejarah harus menampakkan diri
pada semua agama dan mewujudkan kemenangan pasti serta kekuatan penuh melalui
suatu negara global, yaitu negara al-Imam al-Mahdi. Negara ini akan mewujudkan
tujuan sentral dari garis kenabian sebagaimana diungkapkan ayat di atas: “agar
ia dapat menghakimi persoalan-persoalan yang dipersengketakan manusia“.
Peran para nabi dan kitab-kitab langit (samâwi) untuk menghilangkan
perbedaan dan pertentangan manusia, akan muncul secara sempurna dan integral
mulai pada hari itu, sebab kesatuan manusia akan mencapai puncaknya pada saat
tersebut.
Para pemikir Barat mendukung
bagian pertama dari teori ini. Mereka meyakini bahwa masyarakat pada awalnya
primitif dan komunal. Atas dasar pemikiran inilah Marx meyakini bahwa komunitas
primitif merupakan fase pertama dari materialisme sejarah. Atau, fase terakhir
dalam sejarah manusia tentu akan kembali ke bentuk komunal tersebut. Ini
artinya, bahwa Marxisme menyetujui bagian kedua yang berkaitan dengan masa
depan dari teori al-Qur’an di atas. Orang Kristiani sebelumnya juga meyakini
bahwa sejarah akan ditutup dengan munculnya kerajaan Allah di bumi melalui juru
selamat. Selain itu, juga banyak tokoh pemikiran dan politik di era kontemporer
ini yang menyerukan untuk melenyapkan sikap aparteid dan kembali kepada
persaudaran kemanusiaan dan nilai-nilai global daripada memegang nilai-nilai
nasionalisme. Demikianlah, kesamaan di antara akidah-akidah agama dan
teori-teori positip mengenai globalitas masyarakat pertama dan terakhir dalam
sejarah memberikan petunjuk pasti tentang orisinalitas globalisme dan
mengakarnya dalam kehidupan manusia. Pada gilirannya, juga menyuguhkan seberapa
penting globalisme serta seberapa bahaya menyimpang darinya.
Selain itu, kajian ini
juga dapat dikaji dari sisi tugas dan keharusan yang ada pada pundak kaum
Muslimin sebagai konsekuensi yang dimunculkan globalitas Islam. Tugas tersebut
terutama tugas menyebarkan Islam di penjuru dunia dan mendakwahkan Islam kepada
seluruh masyarakat non Muslim sebagai perwujudan dari karakter testimoni
(syahadat) yang diberikan Islam kepada kaum Muslimin. Dapat juga persoalan
ini dikaji dari sisi keber-hak-an, yaitu keber-hak-an Islam untuk menduduki
posisi globalitas dan menguasai singgasana kemanusiaan secara terus-menerus,
dan keberhakan kaum Muslimin untuk memegang kepemimpinan umat manusia. Tidak
disangsikan bahwa jenis tugas seperti ini memerlukan upaya yang besar dan
beragam serta rasa tanggungjawab yang tinggi. Hanya saja ada sejumlah usaha dan
aktifitas yang dapat dirangkum oleh semua pihak secara bersama-sama, dan
merespon semua aspek ini secara bersama-sama seperti berlomba melontarkan
simbol-simbol Muslim, dan terutama sekali kepemimpinan mereka dalam masalah
intelektual dan politik sebagai simbol dan kepemimpinan yang memiliki posisi
tinggi. Andaikata para penulis dan seniman Muslim dalam karya-karya intelektual
dan seni mereka melontarkan kepribadian seperti kepribadian Nabi saw sebagai
kepribadian manusia luhur yang tak tertandingi, dan keluhurannya tidak dapat
diungguli, melalui karya-karya intelektual yang valid dan terbukti, serta atas
dasar metode perbandingan dan objektif dengan kepribadian-kepribadian lain yang
dianggap menyaingi Rasululah saw dalam hal tersebut, dan pada saat yang sama
juga diiringi semua itu dengan gerakan media informasi yang memadai, maka bagi
dunia akan menjadi jelas bahwa Rasulullah saw merupakan simbol manusia terluhur
pada tataran pembaharuan dan perubahan sosial.
Demikian pula halnya
dengan Amirul Mukminin r.a, yang merupakan simbol manusia terluhur dalam
masalah keadilan sosial. Al-Imam al-Husain yang merupakan simbol revolusi
terluhur dalam sejarah manusia, hingga kita sampai pada al-Imam al-Mahdiy yang
oleh teks-tesk Islam ditegaskan sebagai rangkuman dari nilai-nilai kemanusia
dan ujung terluhur dalam masalah keadilan, perubahan dan reformasi. Kecenderungan
ini dapat berlanjut dan menjadikan sejumlah tokoh Islam terkemuka sebagai agen.
Hal ini akan mempertegas sikap kaum Muslimin untuk menjalankan peran testimoni
bagi kemanusiaan, terutama tokoh-tokoh yang berada dalam lingkaran kontemporer.
Tidak disangsikan bahwa al-Sayyid al-Syahid al-Shadr ra berada dalam garda
depan dalam lingkaran ini. Dia merupakan lingkaran bersinar yang andaikata
sinarannya diberi kesempatan untuk membentang dan menembus apa saja yang
dimungkinkan baginya tentu akan menyusup sampai ke dalam hati orang-orang yang
merdeka di dunia, para pemikirnya dan mereka yang tertindas di mana saja. Hanya
saja, karena perhatian yang terlalu sedikit dan metode yang tidak memadai sinar
tersebut tidak dapat sampai pada sasaran terakhirnya.
Apa yang Kami Maksudkan dengan Cakrawala Global
Global merupakan istilah
yang dapat dipakai dalam tiga arti: [1] Terkenal dan tersebar. [2] Perhatian
terhadap persoalan kemanusiaan dan yang merefleksikan persoalan kemanusiaan
secara umum dan eskatologinya. [3] Mengapreasiasi peran dari elemen-elemen
kemanusiaan yang asli dalam gerak individual, masyarakat dan sejarah, serta
tanpa menghilangkan elemen-elemen lokal seperti warna, etnis dan nasionalisme.
Pandangan ideologis yang difokuskan pada poros ini disebut dengan pandangan
global, sementara pandangan lain yang difokuskan pada upaya mengandalkan peran
faktor nasionalisme dan etnis disebut dengan pandangan fanatik.
Yang kami maksudkan dengan
istilah global tersebut dalam tulisan ini adalah makna ketiga. Kami berusaha
mempelajari secara tuntas apa yang diajukan oleh al-Sayyid al-Syahid Baqir
Shadr berupa bahasan-bahasan, pendapat-pendapat dan teori-teori mengenai hal
tersebut. Sekalipun ketiga pengertian di atas bisa berlaku padanya, namun ia
merupakan pemikir global dalam pengertian posisi, kemasyhuran dan keterkenalan
yang ia sandang. Ia juga seorang pakar global dalam pengertian bahwa ia
memberikan perhatian terhadap masalah kemanusiaan dan memecahkan
problem-problem sosial manusia, serta tesis-tesis yang mengadopsi elemen-elemen
kemanusiaan asli serta menjauhi peran dari elemen-elemen lokal dalam gerak
individu, sosial dan sejarah. Hal itu karena pengertian ketiga memuat pula
dialektika-dialektika yang mengandung makna penting yang tinggi dan tingkat
kesamaran yang besar. Dapat saja hal tersebut menyebabkan ketergelinciran dan
banyak salah. Wajar apabila mereka yang memberikan perhatian terhadap masalah
seperti ini memanfaatkan al-Sayyid al-Syahid al-Shadr sebagai puncak pemikiran
Islam asli di era kini. Mereka berusaha mengambil inspirasi dari cara-cara
penyelesaiannya.
Dimensi-Dimensi Global dalam Pemikiran al-Syahid
al-Shadr
Ketika seorang peneliti
berusaha mempelajari secara menyeluruh pemikiran global dan kajian-kajian yang
dilakukan al-Sayyid al-Syahid al-Shadr mengenai globalitas dalam pemikirannya
dan karya-karya yang ditinggalkannya, ia tentu akan menemukan dirinya sedang
berhadapan dengan sejumlah banyak ide, pemikiran dan indikasi-indikasi yang
kadang-kadang terperinci, dan kadang-kadang global. Semuanya dapat
diklasifikasikan ke dalam empat bidang: [1] Dimensi global dalam bidang akidah.
[2] Dimensi global dalam bidang sejarah. [3] Dimensi global dalam bidang
politik. [4] Dimensi global dalam bidang biografi al-Syayid al-Shadr
Dimensi Global dalam Bidang Akidah
Globalitas dalam Islam
bukan semata slogan emosional yang sepintas, melainkan sebuah konsep moral yang
dinamis. Akar-akarnya berangkat dari akidah tauhid yang berlandaskan keimanan
kepada Alalh SWT sebagai sesuatu yang mutlak dan nilai luhur tertinggi di alam
dan kehidupan manusia. Oleh karena seluruh makhluk berada di bawah panji-panji
ketuhanan-Nya SWT, maka dengan demikian konsep tersebut menjadi kerangka akidah
dan emosi yang mengkaitkan individu-individu manusia melalui persaudaraan
keimanan yang dapat mencairkan semua perbedaan domestik dan alamiah, serta
mentransformasikan perbedaan itu menjadi perbedaan-perbedaan yang tidak
berpengaruh setelah keimanan terhadap Allah menjadi sentral masyarakat, bukan
hanya sekedar faktor lingkungan dan materi.
Dari sini, kami
berkeyakinan bahwa Islam merupakan satu-satunya akidah yang mampu menjalankan
globalisasi yang sebenarnya, dan bahwa selain akidah Islam merupakan
globalisasi palsu yang berawal dari slogan emosional yang sederhana, dan
berakhir dengan sikap memusuhi dan melegalkan hegemoni terhadap pihak lain.
Mengapa? karena faktor lingkungan yang membagi masyarakat manusia menjadi
suku-suku, negara-negara, dan tanah air yang tidak dapat diatasi kecuali
melalui nilai-nilai langit (samâwi). Nilai-nilai inilah yang secara
efektif akan menyadarkan manusia bahwa ia terikat dengan ikatan yang tinggi dan
luhur melebihi bentuk afiliasi manapun. Aliasi terhadap suku —demikian
pula dengan nasionalisme— didasarkan pada watak mencintai diri sendiri dan
berpusat pada diri sendiri dengan segala nilainya yang rendah dan bercorak
materil yang terkandung di dalamnya. Maka, ketika afiliasi tersebut
menjadi satu-satunya yang ada pada wilayah sosial, segera saja akan menjadi
dominan, melampaui batas-batas alamiah dan berubah dari sekedar afiliasi
menjadi loyalitas, dari kaitan sosial menjadi nilai-nilai luhur yang memaksa
manusia masuk ke dalam medan pertempuran dengan pihak lain, serta semua
karakteristik ketuhanan disematkan pada dirinya sendiri. Ini merupakan ujian
bagi manusia dalam kaitannya dengan absolut-absolut (muthlaqât) palsu
yang disinggung oleh al-Sayyid al-Syahîd al-Shadr dalam beberapa tulisannya.
Beliau menulis:
“Di sepanjang sejarah ada
langkah-langkah yang secara historis sukses. Akan tetapi, langkah-langkah itu
tidak boleh digeser dari batas-batasnya seperti langkah menuju yang mutlak
menjadi nilai-nilai luhur. Upaya melangkah harus berada dalam bingkai
nilai-nilai luhur, bukan langkah tersebut dirubah menjadi nilai-nilai luhur.
Ketika dalam sejarah sejumlah keluarga menyatu, kemudian membentuk suku, ketika
semua suku menyatu dan membentuk klan lebih besar, ketika klan lebih besar itu
menyatu dan membentuk suatu umat, langkah-langkah ini benar berkaitan dengan
perkembangan manusia dan penyatuan manusia. Akan tetapi, setiap langkah
tersebut tidak boleh berubah menjadi nilai-nilai luhur. Tidak boleh berubah
menjadi sesuatu yang mutlak. Klan tidak boleh menjadi sesuatu yang mutlak yang
karenanya manusia melakukan peperangan. Yang Mutlak yang karenanya manusia
melakukan peperangan tetaplah yang mutlak dalam arti yang sebenarnya, yaitu
Allah SWT. Perkembangan tetap menjadi cara, akan tetapi yang mutlak tetaplah
Allah SWT. Generalisasi temporal ini juga merupakan bentuk generalisasi yang
keliru ketika nilai-nilai yang diambil dari langkah yang terbatas melalui waktu
dirubah menjadi nilai-nilai luhur.”[2]
Di bagian lain beliau
membandingkan antara nilai-nilai luhur yang sebenarnya dengan nilai-nilai luhur
palsu. Ia mengatakan: “nilai-nilai luhur menyatukan keseluruhan manusia, dan
menghilangkan semua perbedaan dan batasan-batasan sebagai sifat
kosmopolitanisme nilai-nilai luhur tersebut. Ia mencakup semua batasan-batasan
dan semua perbedaan, meleburkan semua perbedaan dan menyatukan seluruh manusia
dalam satu kesatuan yang sama. Tidak ada sesuatupun yang membedakan sebagian
manusia dengan sebagian yang lainnya dari sisi darah, etnis, nasionalisme
maupun perbedaan teritorial, dan kelas. Nilai-nilai luhur dengan sifat
kosmopolitannya menyatukan manusia. Akan tetapi, nilai-nilai tinggi yang
berkarakter rendah memisah-misahkan dan mencerai-beraikan manusia.
Perhatikanlah nilai-nilai luhur bagaimana ia menyatakannya: Sesungguhnya
inilah umat kamu, satu umat, dan Aku adalah Tuhan kalian. Karena itu sembahlah“.[3]
“Sesungguhnya ini adalah umat kalian, umat yang tunggal, dan Aku adalah Tuhan
kalian, maka bertaqwalah“.[4]
Itulah logika kosmopolitanitas nilai-nilai luhur yang tidak mengenal batas
dalam keluarga kemanusiaan. Perhatikan dan dengarkanlah nilai-nilai rendah yang
mengarah pada masyarakat zalim dan tuhan-tuhan masyarakat zalim bagaimana
mereka berkata, atau bagaimana al-Qur’an al-Karim berbicara tentang mereka: Sesungguhnya
Fir’aun telah melakukan tindakan sewenang-wenang, dan menjadikan penduduk bumi
cerai-berai“[5].[6]
Ketika watak dan substansi
tauhid bersifat global sebagaimana terlihat jelas pada penjelasan di atas,
wajar apabila kenabian juga watak dan substansinya bersifat global. Dalam
pengertian bahwa kenabian berinteraksi dengan individu-individu manusia sebagai
kesatuan jenis yang sama dan sejajar, sehingga tidak ditemukan dalam kesatuan
ini keberpihakan terhadap individu, suku, keluarga, kelompok atau wilayah
geografis dengan mengabaikan individu, suku, keluarga, kelompok atau wilayah
geografis lainnya. Dari sini, globalitas merupakan atribut yang terbatas hanya
dimiliki agama samawi yang benar. Kita tidak menemukan jejak globalitas yang
sebenarnya yang dimiliki oleh prinsip yang bersifat bumi (positif), tidak pula
dimiliki oleh agama samawi yang sudah tercemar dengan noda-noda bumi.
Al-Sayyid al-Syahid Shadr
mengatakan: “Dunia mengenal berbagai klaim globalisasi yang begitu
banyak. Ia mengenal Kristiani resmi yang mengklaim bahwa Kristiani
bersifat global padahal Kitab Sucinya mengatakan bahwa selain bangsa Israel
adalah anjing, dan belum pernah memiliki sifat humanisme sehari pun. Dunia
mengenai Marxisme di era modern dan para pendukungnya mengklaim bahwa ia
bersifat global, akan tetapi sehari pun tidak akan pernah bersifat humanisme,
sebab ia bersifat material dan pernah mengkafirkan manusia ketika Marxisme
menelanjangi manusia dari sumber kebesarannya dan karakteristiknya yang paling
agung, yaitu aspek spiritual dan satu-satunya sumber kemanusiaannya. Jika ia
bukan humanisme, maka ia tidak akan pernah mengglobal, sebab ia kehilangan
syarat utama untuk itu, yaitu keimanan terhadap manusia. Hanya Islam semata
yang merupakan misi kemanusiaan yang global. Memang dulu demikian, dan sekarang
pun demikian, dan akan demikian pula hingga Allah mewarisi bumi dan segala
isinya”.[7]
Atas dasar pemikiran ini al-Sayyid al-Syahid di berbagai tempat membicarakan
dan menegaskan dua fakta: [1] Keabsahan Islam sebagai misi langit. [2] Agama-agama
samawi bersifat monoteistik global (tauhîdiyah âlamiyyah) semenjak awal.
Fakta pertama dibicarakan
dan ditegaskan dalam bukunya “al-Mursil, al-Rasûl, al-Risâlah” dalam
menghadapi keraguan para musuh yang ingin menodai Islam sebagai misi langit.
Mereka beranggapan bahwa Islam merupakan prinsip positif duniawi (ardliy)
yang merupakan kreasi Nabi Muhammad sendiri. Klaim ini dimunculkan orang-orang
Nashrani dan Yahudi kuno serta sejumlah orientalis modern dengan cara terbuka.
Sebagian penganjur nasionalisme-Arab ada yang terpengaruh dengan sikap tersebut
secara samar-samar ketika mereka meyakini bahwa Islam muncul sebagai ekspresi
nasionalisme mengenai jati diri Arab dengan segala watak dan karakteristiknya.
al-Sayyid Al-Syahid Shadr ketika menyanggah mereka mengatakan: “Misi —sebagai
isi— merupakan fakta ketuhanan yang melampaui kondisi-kondisi materiil. Akan
tetapi, fakta tersebut setelah berubah menjadi gerakan, menjadi upaya yang
terus-menerus untuk perubahan, akan terkait dengan kondisi-kondisinya serta
situasi dan perasaan yang menyelimutinya. Jika dikatakan, umpamanya: perasaan
cerai-berai dan kehancuran yang dirasakan manusia Arab, dan perasaan ini
merealisasikan tuhannya dan nilai-nilai luhurnya ke dalam batu yang kemudian ia
hancurkan tatkala marah, atau ke dalam manisan yang dilahapnya tatkala merasa
lapar, (perasaa ini) menyebabkan dia mencari misi baru. Atau dikatakan: bahwa
perasaan kesukuan memerankan peran penting dalam dinamika misi. Jika dinyatakan
suatu hal yang terkait dengan masalah tersebut, maka itu rasionl. Bisa jadi hal
itu bisa diterima. Hanya saja hal tersebut hanya menjelaskan peristiwa, tidak
menjelaskan misi itu sendiri”.[8]
Andaikata Islam anak
(produk langsung) dari lingkungan Arab, tentunya karakter dan watak Arab
terefleksikan. Sementara kita menemukan misi Islam membawa nilai-nilai dan
konsep-konsep mengenai kehidupan, manusia, kerja dan hubungan sosial. Anak dari
masyarakat suku muncul dalam pentas dunia dan sejarah secara tiba-tiba
menyerukan kesatuan manusia sebagai keseluruhan. Anak lingkungan yang
mentahbiskan berbagai macam perbedaan atas dasar darah, keturunan dan situasi
sosial muncul menghancurkan semua bentuk perbedaan tersebut, dan ia memaklumkan
bahwa manusia adalah sama seperti gigi-gigi sisir “Sesungguhnya yang paling
mulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling takwa di antara kalian”.[9]
Ia datang untuk merubah pengumuman tersebut menjadi fakta yang dialami oleh
manusia sendiri. Anak padang sahara yang hanya merenungkan keresahannya
(masalah-masalahnya) yang kecil, dan menutupi rasa laparnya serta berbangga di
antara sesamanya dalam stratifikasi kesukuan, muncul memimpin mereka dengan
menanggung beban persoalan besar dan menyatukan mereka dalam satu medan
pertarungan membebaskan dunia..”[10]
Demikianlah, kita sedang menghadapi di sini sebuah lompatan besar dan
perkembangan yang menyeluruh di semua aspek kehidupan, serta perubahan dalam nilai
dan konsep yang berkaitan dengan berbagai bidang kehidupan ke arah yang lebih
baik, lebih daripada sekedar melangkah ke depan. Masyarakat kabilah di tangan
Nabi melompat ke keimanan terhadap pemikiran bahwa masyarakat dunia itu satu,
bahwa masyarakat paganistik melakukan lompatan menuju agama tauhid murni yang
meralat semua agama tauhid lainnya..”[11]
Kesimpulannya adalah bahwa globalitas Islam menegaskan sifat ke-langit-annya.
Fakta kedua dikaji
al-Sayyid al-Syahid al-Shadr dalam keranga pembicaraannya tentang pemikiran
yang mengatakan bahwa agama-agama berkembang dari bentuk kesukuan ke bentuk
nasionalisme, kemudian ke bentuk global atas dasar pemikiran bahwa “setiap
bangsa ketika kondisi ekonominya berkembang dan memungkinkannya membangun
masyarakat bangsa yang merdeka, maka tuhan-tuhan yang mereka sembah adalah
tuhan-tuhan nasionalisme masyarakat tersebut dengan membaurkan diri dengan
imperium global, yaitu imperium Romawi yang juga memerlukan agama global juga.
Agama global ini adalah Kristen yang menjadi agama resmi Negara”.[12]
Al-Sayyid al-Syahid al-Shadr memberikan sanggahan terhadap pemikiran tersebut,
bahwa kalau Kristen memang mengekspresikan kebutuhan-kebutuhan objektif
materiil sebagaimana ditunjukkan oleh Marxisme tentunya menjadi wajar apabila
Kristen dilahirkan dan tumbuh dalam jantung imperium Romawi yang memegang
kendali kepemimpinan dunia.. Padahal realitas sejarah berbeda sama sekali
dengan itu. Kristen tidak muncul dalam titik sentral politik, tidak dilahirkan
dalam buaian Romawi yang membangun Negara global. Mereka mengekspresikan
Kritiani dalam aktifitas-aktifitas mereka. Kristiani muncul jauh dari semua
itu, dalam sebuah kawasan timur yang dijajah Romawi. Kristiani berlangsung di
kalangan masyarakat Yahudi yang tertindas. Semenjak dijajah Imperium dengan
kepemimpinan panglima Bambiy enam decade sebelum Masehi, Yahudi tidak pernah
mencita-citakan adanya kemerdekaan nasional, menghancurkan belenggu-belenggu
yang mengikatkannya dengan para penjajah, suatu keyataan yang mengharuskan
mereka memikul beban banyak pemberontakan dan puluhan korban selama enam decade
tersebut. Apakah lingkungan materiil, politik dan ekonomi dari masyarakat
tersebut patut dikatakan lahir dari agama global yang dapat memenuhi kebutuhan
imperium penjajah?[13]
Dari sisi Islam jika kita
mengambil pemikiran Marxisme mengenai perkembangan sejarah agama-agama untuk
diterapkan pada Islam sebagai agama global lainnya, tentu kita temukan sejauh
mana kontradiksi yang nyata antara pemikiran dan realitas. Kalau Eropa
merupakan Negara global menuntut adanya agama global, di Jazirah Arab tidak ada
Negara, bahkan tidak ada Negara nasional yang menyatukan masyarakat Arab,
justru orang Arab terpecah-pecah ke dalam berbagai kelompok. Masing-masing suku
memiliki tuhannya yang mereka yakini, yang mereka perjuangkan dan yang mereka
ciptakan dari batu. Kemudian mereka mentaatinya dan menghamba kepadanya. Apakah
lingkungan materiil dan politik menyebabkan munculnya agama global baru dari
jantung jazirah tersebut, sementara jazirah itu tidak mengenal bagaimana
menangkap eksistensinya sebagai masyarakat, lebih-lebih untuk menyadari kesatuan
yang merupakan model tertinggi yang tercermin pada sebuah agama yang menyatukan
seluruh alam? Jika tuhan-tuhan itu berkembang dari tuhan-tuhan nasional menjadi
tuhan global seiring dengan kebutuhan materiil dan situasi politik, bagaimana
mungkin bangsa Arab melakukan lompatan dari tuhan-tuhan yang bersifat kesukuan
yang mereka ciptakan sendiri dengan tangan mereka sendiri dapat menjadi satu
tuhan global yang mereka dekati dengan tingkat abstraksi yang tertinggi?[14]
Ketika mengkritik habis
teori tersebut mengenai perkembangan agama-agama, beliau sebagai gantinya
melontarkan teori baru yang dapat beliau pakai untuk menjelaskan persoalan
perubahan, pergantian dan kemunculan kenabian satu demi satu. Ruang di sini
tidak cukup untuk menjelaskan secara panjang lebar teori tersebut. Kami hanya
akan membatasi secukupnya yang terkait dengan tema kajian kami. Yaitu, kenabian-kenabian
mengalami perubahan dan pergantian seiring dengan beberapa faktor, di antaranya
faktor seberapa jauh kesiapan manusia untuk menyadari fakta ketauhidan.
Memang benar bahwa tauhid
merupakan fakta tunggal di semua kenabian dan misi langit. Akan tetapi kesiapan
manusia, kondisi-kondisi kejiwaan dan intelektualnya berbeda-beda dari satu
fase waktu tertentu dengan fase waktu lainnya. Dalam kondisi seperti ini ide
ketauhidan harus diperkenalkan pada fase-fase dan tingkatan yang berbeda-beda.
Masing-masing tingkatan menyiapkan mentalitasnya untuk dapat menerima tauhid.
Kita bisa saja menoleh pada ide tauhid yang diberikan pada Taurat, Injil dan
al-Qur’an. Kita memahaminya sebagai contoh atas pengertian tersebut. Taurat dan
Injil yang sekarang ada di tangan kita, sebab Taurat dan Injil yang ada
sekarang bagaimanapun juga kadang-kadang dimaksudkan untuk menggambarkan ide
keagamaan pada bangsa Musa dan Isa, kelompok masyarakat Musa dan Isa. Tidak
disangsikan juga bahwa sedikit atau banyak sebagian dari teks keagamaan di sana
masih terpelihara, terutama dalam Taurat. Oleh karena itu, kita dapat mengambil
inspirasi dari dua buku tersebut dengan cara mengapreasiasi dan mendefinisikan
semangat keagamaan secara umum dari dua fase manusia yang menjalaninya bersama
kenabian berdasarkan watak fakta. Sementara tauhid pada Kitab yang pertama
didasarkan pada karunia Tuhan, dan Kitab ini tidak dapat menghilangkan watak
nasionalisme yang sempit, sehingga Taurat senantiasa menyodorkan Tuhan dalam
bingkai kelompok, seolah-olah Tuhan mereka berdiri secara diametral dengan
patung-patung yang merupakan tuhan-tuhan bangsa dan suku lainnya. Taurat tidak
mengatakan secara jelas dan mendalam mengenai mereka; bahwa ada satu Tuhan
untuk semua, melainkan mereka diberi ganti secara khusus dari patung
tertentu dengan tuhan yang mereka sembah sebagai ganti dari patung itu. Oleh
karena itu, di sepanjang zaman mereka membayangkan bahwa mereka saja yang
memonopoli Allah sementara bangsa dan suku yang lainnya masih memiliki banyak tuhan
dan patung sesembahan. Dalam Kitab kedua (Injil), ide tentang Allah mengalami
perkembangan secara sistematis. Hal itu karena watak komunal lenyap dari
gagasan tersebut, dan Tuhan yang diajukan oleh para murid al-Sayyid al-Masih
(Isa) kepada dunia adalah Tuhan global, yang sama sekali tidak beda antara satu
bangsa dengan bangsa lainnya. Ia merupakan Tuhan alam secara mutlak. Akan
tetapi Tuhan tersebut tidak meninggalkan wilayah yang dekat dengan mental
(pikiran) manusia yang konkrit. Ia tidak melepaskan secara sempurna dari dunia
konkrit. Ia tetap terkait erat dengan manusia yang konkrit. Seolah-olah ia
bapaknya (manusia). Oleh karena itu, dalam Injil manusia sering dungkapkan
sebagai putra Allah. Injil mengungkapkan manusia manapun sebagai putra Allah.
Sebab, Injil memberikan ide tentang Allah sebagaimana ide tentang satu bapak
bagi keseluruhan manusia, ide tentang pencipta, tuan yang mutlak dan berkuasa.
Sementara itu, Kitab ketiga memberikan pengertian tauhid seluas mungkin lepas
dari deantropomorphism. Tuhan tetap memiliki kuasanya untuk menggerakkan
manusia, sebab kitab ketiga ini sama sekali melepaskan ide ini dari watak
kebapakan dan kaitan-kaitan materiil dengan manusia”.[15]
Ide ini mempertegas apa
yang telah kami paparkan, bahwa ada kaitan antara tauhid dengan globalitas.
Semakin jelas tauhid itu, maka globalitas yang muncul darinya semakin besar dan
mencolok, hingga muncul Islam untuk menyampaikan tauhid dalam fasenya yang
paling tinggi, dan menyampaikan globalitas dalam tingkatannya yang paling
besar. Dalam konteks ini gejala yang terlihat pada garis kenabian harus
dibicarakan, yaitu gejala yang terkait dengan pemberian wasiat tentang misi
kepada orang-orang yang relatif terkait erat dengan utusan (Nabi) atau anak
cucunya. Gejala ini tidak hanya sejalan dengan para penerima wasiat dari Nabi
Muhammad semata, tetapi juga terjadi pada sejumlah besar rasul. Allah SWT
berfirman: “Kami telah mengutus Nabi Nuh dan Ibrahim, dan Kami telah
menetapkan kenabian dan kitab pada anak cucu mereka berdua“.[16]
“Kami telah memberinya Ishaq dan Ya’qub. Masing-masing telah kami beri
petunjuk. Demikian pula sebelumnya kami telah memberikan petunjuk kepada Nabi
Nuh dan anak cucunya, Dawud dan Sulaiman“.[17]
Pemilihan penerima wasiat biasanya terjadi di kalangan individu-individu yang
memiliki keturunan dari garis pemegang misi. Mereka melihat cahaya hanya
pada pundaknya dan dalam bingkai pendidikannya”.[18]
Ini berarti bahwa garis kesaksian langit pada dua fasenya, kenabian dan
imâmah, telah tertutup hanya untuk keturunan keluarga tertentu, dan ini tidak
sejalan dengan nilai-nilai globalitas.
Al-Sayyid al-Syahid
memberikan jawaban terhadap keberatan di atas. Ia mengatakan: “Dalam konteks
ini bukan karena kekerabatan sebagai hubungan materiil yang membentuk dasar
pewarisan, melainkan karena kekerabatan sebagai pembentuk, biasanya, bingkai
yang sehat untuk mendidik penerima wasiat dan menyiapkannya untuk menjalankan
peran ketuhanannya. Kalau umpamanya kekerabatan dalam bingkai seperti ini tidak
terwujud, maka kekerabatan itu sama sekali tidak ada artinya bagi langit”.
Allah ta’ala berfirman: “Tatkala Ibrahim diuji oleh Tuhannya dengan
kata-kata (ketetapannya), kemudian dia menyempurnakannya, Allah berfirman:
Sesungguhnya Aku akan menjadikan kamu sebagai pemimpin. Dia bertanya: Bagaimana
dengan keturunanku? Allah menjawab: Janjiku tidak akan terkait dengan
orang-orang yang zalim“.[19]
Kami dapat memberikan jawaban dengan bentuk lain. Kami dapat mengatakan bahwa
garis kesaksian pada dua fasenya, kenabian dan imamah, memerlukan
karakteristik-karakteristik khusus pada nabi dan imam yang tidak dimiliki oleh
individu biasa, terutama persoalan ke-ma’shum-an. Wajar saja apabila
langit dalam rangka mensukseskan perjuangan para nabi memobilisasi keseluruhan
kesiapan dan potensi tertinggi, di antaranya faktor keturunan, pendidikan dan
nasab. Keturunan memindahkan kesiapan dan bakat globalitas. Pendidikan
kenabian menumbuhkan dan mengarahkan bakat dan kesiapan global tersebut,
sementara nasab memainkan peran pendorong yang penting dalam menggairahkan
individu yang mendapatkan dirinya lebih berani dan percaya diri manakala dirinya
terkait dengan keluarga yang berdarah biru.
Kami juga dapat
menyebutkan jawaban lain, yaitu bahwa manusia pada masa para nabi dan imam
berinteraksi dengan nasab sebagai nilai sosial dan politik sehingga nilai-nilai
itu mengharuskan kepada siapa saja yang ingin memegang kendali masyarakat harus
berasal dari nasab keluarga tinggi. Oleh karena itu sistem imperium dan
kerajaan-lah yang dominan tentunya, hingga muncul revolusi Perancis. Alam
senatiasa mempertahankan bekas-bekas dari sistem tersebut. Hal ini membuktikan
bahwa manusia masih memberi nilai politis kepada nasab, sekalipun dengan
tingkat yang lebih rendah daripada sebelumnya. Wajar dalam konteks seperti ini
kalau garis kenabian mempertahankan poin ini sehingga dimungkinkan sekali
menghasilkan kesuksesan yang diperlukan dalam proses perubahan sosial. Hal itu
ketika perubahan tersebut berangkat dari realitas sosial yang kuat yang
tercermin pada nasab kenabian yang tinggi yang dihormati dan diakui oleh
masyarakat. Demikian pula dapat dikatakan bahwa struktur rangkaian para nabi
dan para imam berada dalam satu keturunan keluarga barangkali dimaksudkan
sebagai upaya mentahbiskan kesatuan manusia dan mengakarkan ruh kekerabatan di
antara individu-individunya.
Suatu hal yang penting
adalah bahwa garis kenabian, ketika mempertahankan syarat-syarat yang niscaya
dan berbagai aspek tersebut, tidak melepaskan sisi globalitasnya dan tidak
mengurangi nilai moral tingginya. Yang menentukan kenabian dan imamah tetaplah
bakat dan potensi serta kelebihan yang pada nabi dan imam disyaratkan harus
mencapai puncak potensi, menggapai ujungnya. Nasab sebagai nasab bukan penentu
atau bagian dari pentunya. Jika Revolusi Perancis telah mencatat pada abad
ke-XVIII awal perubahan menuju sistem republik yang tidak mengenal nasab
sebagai nilai politik dalam masyarakat, maka Islam telah mendahului delapan
abad sebelumnya ketika memaklumkan bahwa fase ketiga pada garis kesaksian
—yaitu fase otoritas yang bergerak seiring dengan mulai tidak adanya imam di
pertengahan abad III H—merupakan fase tidak adanya peran politik bagi nasab
secara total. Hal itu ketika garis kesaksian tidak lagi mensyaratkan, untuk
rangkaian kepemimpinannya, adanya syarat ke-ma’shum-an. Padahal
sebelumnya nasab memerankan peran pembantu dalam masalah tersebut melalui dua
faktornya, keturunan dan pendidikan kenabian. Nilai politik dari nasab
menghilang sama sekali pada fase ini.
Dimensi-Dimensi Global pada Wilayah Sejarah
Sejarah tidak lagi
merupakan buku tempat para generasi mempelajari cerita-cerita masa lampau untuk
menikmati dan mengambil pelajaran. Akan tetapi, lebih daripada itu sejarah
telah menjadi salah satu wilayah dinamis bagi pertemuan pemikiran dan politik
di antara berbagai ideologi dan teori. Masing-masing dari ideologi dan teori
tersebut berusaha mencari dalam sejarah argumen yang mendukungnya, dan
memastikan kelompok lawannya sebagai (kelompok yang) gagal. Atas dasar itu
muncul filsafat sejarah semenjak abad XVII M sebagai kecenderungan pemikiran.
Melalui kecenderungan ini para filosof dan pemikir berusaha menundukkan
pengalaman sejarah sebagai objek kajian dan analisa yang sangat mendalam agar
dapat sampai pada pengetahuan yang sesempurna mungkin mengenai hakekat individu
dan masyarakat. Wajar apabila kecenderungan yang awalnya dikenal dengan nama
Ilmu Baru, kemudian berubah nama menjadi filsafat sejarah, tunduk pada
kecenderungan materiil yang mendominasi Eropa. Sebagai konsekwensinya filsafat
sejarah berarti memberikan interpretasi materiil terhadap sejarah dengan satu
dan lain cara. Kadang-kadang menafsirkan sejarah berdasarkan faktor ekonomi,
kadang-kadang berdasarkan faktor geografis, kadang-kadang berdasarkan faktor
keturunan dan terakhir kadang-kadang berdasarkan faktor etnik.
Sangat wajar sekali kalau
kemudian Islam juga melontarkan pendapatnya dalam pergumulan tersebut dan
menjelaskan faktor yang menjadi pilihannya. Sejumlah tokoh dan pemikir Islam
membicarakan masalah ini dalam sejumlah karya dan tulisan. Di antara yang
paling menonjol adalah buku filsafat sejarah karya Ayatullah al-Syahid Murtadla
Muthahhari. Diharapkan dari al-Sayyid al-Syahid al-Shadr untuk melontarkan
teori Islami dalam masalah ini, dan menjelaskan pendapatnya yang pasti
sebagaimana halnya pada masalah-masalah besar pemikiran Islam lainnya dan dasar-dasarnya
yang utama. Hal itu andaikata takdir tidak merenggut harapan besar itu. Besar
dugaan bahwa beliau berniat untuk membicarakan aspek tersebut dalam buku “Mujtama’unâ”.
Hal itu berdasarkan dua hal:
[1] Dalam buku “Nihâyah
Falsafatinâ“, dan dalam konteks kajian tentang persepsi dan kemampuan
manusia beradaptasi dengan lingkungan, beliau menulis: “Kami akan mengkaji
dalam buku “Mujtama’unâ” karakteristik dari adaptasi dan batas-batasnya
dalam perspektif konsep Islam mengenai masyarakat dan negara. Sebab hal
tersebut merupakan persoalan-persoalan utama dalam mengkaji dan menganalisa
masyarakat. Dalam kajian itu kami akan membicarakan secara panjang lebar semua
aspek yang kami bicarakan secara singkat dalam kajian tentang persepsi ini”.[20]
[2] Dalam pengantar cetakan pertama dari buku “Iqtishâdunâ”, ia juga
menulis: Kami dapat memperkirakan kalau kajian tentang “Mujtama’unâ” merupakan
kajian kedua bagi kami. Dalam kajian itu kami mengkaji ide-ide Islam mengenai
manusia, kehidupan sosialnya dan bagaimana Islam menganalisa dan menafsirkan
struktur sosial..”[21]
Siapa saja yang mengenal metode al-Sayyid al-Syahid al-Shadr dalam mengkaji
persoalan dan kedalaman yang menjadi ciri khasnya, akan dapat meramalkan bahwa
beliau akan mengkaji masalah peran lingkungan dan faktor-faktor materiil yang
direfleksikan lingkungan dalam kepribadian seseorang sebagai individu,
masyarakat dan sejarah. Apakah posisi manusia terhadap lingkungan seperti peran
orang yang pasif dan terpaksa, atau bagaikan peran orang yang bebas berkehendak?
Dan kajian-kajian lain yang memiliki kaitan yang erat dengan kajian persepsi
dan masyarakat.
Tradisi faktual dari
al-Sayyid al-Syahid al-Shadr mencakup dua aspek filsafat sejarah, yaitu:
[1] Membicarakan
secara panjang lebar dan mendalam materialisme sejarah dalam Marxisme,
kadang-kadang dalam perspektif dasar-dasar filsafat dan logika yang membentuk
konsep umum Maxisme mengenai alam, kadang-kadang dalam pespektif Marxisme
sebagai teori umum yang berusaha mencakup keseluruhan sejarah manusia,
kadang-kadang dalam perspektif bagian-bagian teori yang digariskan Marxisme
mengenai fase sejarah manusia dan lompatan-lompatan sosial untuk setiap
fasenya. Kajian mengenai hal ini terdapat dalam buku “Iqtishâdunâ“.
Kajian-kajian ini dianggap sebagai kritik dan sanggahan paling tajam yang
pernah dihadapi oleh Marxisme. Hal itu karena argumen-argumen yang kuat dan
bukti-bukti yang meyakinkan dari segala aspeknya, yang memang menjadi ciri khas
beliau. Akan tetapi, kajian-kajian tersebut hanya sedikit sekali yang
memasukkan teori Islam dalam wilayah sejarah dan filsafatnya. Sebab, kebanyakan
kritik dan sanggahan yang diajukan oleh beliau tercermin dalam bukti-bukti
sejarah dan filsafat yang menegaskan kekeliruan teori Marx. Jelas bahwa
menegaskan kekeliruan Marxisme merupakan sesuatu hal, dan membangun teori
Islami merupakan sesuatu yang lain.
[2] Melontarkan
teorinya yang terkenal mengenai hukum-hukum sejarah dalam al-Qur’an dalam lima
kuliah dari sejumlah kuliah-kuliah al-Qur’an seputar tafsir maudlu’iy.
Siapa saja yang membaca kuliah-kuliah yang kemudian diterbitkan dengan judul “al-Madrasah
al-Qur’aniyyah“, dan mencocokkan antara yang ada dalam kuliah tersebut
dengan yang beliau sebutkan dalam bukunya “Mujtama’unâ“, akan dapat
diduga keras bahwa al-Sayyid al-Syahid dalam kuliah-kuliahnya tersebut terdapat
satu aspek dari semangat kreatifitasnya dalam buku “Mujtama’unâ” terkait
dengan masyarakat dan sejarah. Bahwa hukum-hukum sejarah yang beliau uraikan
dalam kuliah-kuliah tersebut mencerminkan kaidah al-Qur’an yang dapat dipagangi
dalam membangun teori integratif tentang filsafat sejarah. Seolah-olah takdir
berkehendak agar al-Sayyid al-Syahid menyampaikan kuliah-kuliahnya tersebut
mengenai masyarakat dan sejarah sebagai sesuatu yang terpendam dan merupakan tulisan
awal (seminal) mengenai teori Islam tentang masyarakat dan sejarah,
sambil menunggu orang yang bersedia memikul tanggungjawab itu (memunculkannya),
dan yang merubah sesuatu yang terpendam tersebut sebagai teori integraftif,
mentransformasikan kuliah-kuliah al-Qur’an tersebut menjadi “Mujtama’unâ’.
Di antara sejumlah
pemikiran substansial yang ia lontarkan dalam kuliah-kuliahnya tersebut adalah:
“Manusia atau aspek internal dari manusia (al-muhtawâ al-dakâkhiliy li
al-insân) merupakan dasar dari gerak sejarah. Kami telah menyebutkan bahwa
gerak sejarah berbeda dari seluruh gerak lainnya. Gerak tersebut bersifat
teleologis, bukan semata-mata bersifat kausalitas. Ia tidak terikat dengan masa
lalunya, tetapi terikat dengan tujuannya, karena gerak sejarah berorientasi
tujuan. Ia memiliki sebab orientatif yang mengarah pada masa depan. Masa depan
dengan demikian merupakan penggerak bagi aktifitas apapun dari aktifitas
sejarah. Masa depan sebenarnya tidak ada, akan tetapi ia menggerakkan melalui
eksistensi mental yang menjadi tempat bagi cerminan masa depan. Jadi,
eksistensi mental inilah yang merupakan masa kini, penggerak dan poros bagi
gerak sejarah. Eksistensi ini mewujudkan dari satu sisi aspek intelektual,
yaitu aspek yang memahami konsep-konsep tujuan, dan juga di sisi lain
mencerminkan potensi, kehendak yang mendorong manusia menuju tujuan dan
mengaktifkannya untuk bergerak menuju tujuan tersebut. Dengan demikian,
eksistensi mental yang mewujudkan masa depan menjadi faktor penggerak,
eksistensi inilah yang mengekspresikan di satu sisi pemikiran, dan di sisi lain
kehendak. Dengan berbaurnya pemikiran dan kehendak terwujudlah efektifitas dan
pergerakan masa depan untuk aktifitas sejarah di pentas sosial. Aspek internal
manusia tercermin pada dua unsur utama, yaitu pemikiran dan kehendak. Jadi,
aspek internal manusialah yang menciptakan tujuan-tujuan tersebut, dan
mewujudkan tujuan-tujuan itu melalui pembauran antara ide dengan kehendak.
Kalau demikian, maka dapat dikatakan bahwa aspek internal manusia merupakan
dasar bagi gerak sejarah dan struktur atas sosial dengan segala relasi, sistem,
ide dan hal-hal yang lebih kecil. Struktur atas ini sebenarnya terkait dengan
kaidah ini, aspek internal manusia”.[22]
Pesan ini pada dasarnya
didasarkan pada apa yang ditegaskan oleh al-Sayyid al-Syahid di penghujung buku
“Falsafatunâ“, bahwa pemikiran merupakan aktifitas positip dan efektif bagi
jiwa, bukan tergantung pada reaksi fisiologi, juga bukan merupakan realitas
langsung dari bahasa seperti anggapan Marxisme. Bahasa merupakan sarana
pertukaran ide, bukan pembentuk ide-ide tersebut”.[23]
Kemudian ia menyimpulkan bahwa: “Kehidupan sosial dan latar belakang materiil
tidak menentukan ide manusia dan emosinya secara mekanik melalui faktor-faktor
eksternal. Memang benar bahwa manusia terkadang mengadaptasikan ide-idenya
secara sadar dengan lingkungan dan latar belakangnya sebagaimana yang diserukan
oleh aliran fungsionalisme dalam psikologi karena dipengaruhi oleh teori
perkembangan menurut Lamark dalam biologi. Makhluk hidup secara organik
beradaptasi sesuai dengan lingkungannya. Demikian pula halnya dengan kehidupan
intelektualnya, akan tetapi kita harus mengetahui: Pertama, adaptasi ini ada
dalam pemikiran-pemikiran praksis yang fungsinya mengatur kehidupan eksternal.
Ia tidak mungkin ada dalam pemikiran-pemikiran kontemplatif yang fungsinya
menyingkapkan realitas. Kedua, adaptasi pemikiran-pemikiran praksis dengan
tuntutan lingkungan dan latar belakangnya tidak bersifat mekanik, melainkan
merupakan adaptasi sadar yang muncul dari dorongan-dorongan sadar dalam diri
manusia. Dorongan-dorongan inilah yang menjadikan sistem selaras dengan
lingkungannya. Dengan demikian kontradiksi sama sekali lenyap antara aliran
fungsionalisme dengan aliran yang berorientasi tujuan dalam Psikologi. Kami
akan mempelajari dalam buku “Mujtama’unâ” watak dari adaptasi ini, dan
batas-batasnya dalam perspektif Islam mengenai masyarakat dan negara”.[24]
Akan tetapi kesimpulan
yang dapat kita temukan melalui ide-ide tersebut tampak tidak sejalan dengan
apa yang diterangkan beliau sendiri dalam bukunya “Iqtishadunâ“.
Kesimpulannya adalah bahwa individu melalui masyarakatnya, kemudian dalam
rangkaian sejarah yang lebih besar, bergerak berdasarkan satu faktor, yaitu
faktor pemikiran dan kehendak yang diistilahkan dengan aspek internal manusia.
Ini berarati bahwa Islam meyakini orisinalitas ide tentang satu faktor dalam sejarah.
Ini bertolak belakang dengan apa yang disebutnya dalam Iqtishadunâ.
Dalam buku itu, ia mengatakan, setelah memberikan penjelasan singkat mengenai
teori satu faktor dalam sejarah: “Semua upaya tersebut tidak sejalan dengan
realitas, dan tidak diakui oleh Islam. Sebab setiap upaya tersebut berusaha
ditangkap (dipahami) dengan satu faktor dalam menafsirkan seluruh kehidupan
manusia, dan memberikan kepada faktor tersebut peran sejarah dan kelebihan
sosial yang sebenarnya tidak tepat menurut perhitungan yang menyeluruh dan
akurat”.[25]
Jelas, bahwa tujuan dari ide satu faktor dalam sejarah bukan menafikan
faktor-faktor yang lain, melainkan merupakan seleksi di antara faktor utama
dengan faktor-faktor sekunder. Pengkajian mengenai “faktor yang membentuk
semangat asli dari sejarah dan identitas riilnya, dan yang mampu menjadi
pembenar dan penafsir faktor-faktor yang lainnya”,[26]
sebagaimana dikatakan oleh al-Syahid al-Muthahhari.
Demikianlah, ide tentang
penyatuan berbagai faktor yang dilontarkan sebagai pemikir, di antara
mereka adalah Dr. Muhammad Fathi Usman[27]
bersifat ilusi, sebab manusia yang bergerak dengan berbagai faktor yang tidak
linier lebih mirip dengan mobil yang menjadikan setiap rodanya memiliki mesin
sendiri, setir sendiri dan sopir sendiri. Nyaris tidak saya ragukan bahwa
al-Sayyid al-Syahid tidak bermaksud dengan pernyataannya di atas sebagai bentuk
keyakinan terhadap ide penyatuan antara berbagai faktor yang berbeda-beda dan
sekaligus berdiri sendiri. Pernyataannya harus dimaknai dengan pengertian lain
yang sejalan dengan kesimpulan yang saya ambil dari buku “al-Madrasah
al-Qur’aniyyah” dan “Falsafatunâ“. Satu hal yang menjadi perhatian
kami dalam tulisan ini adalah bahwa al-Sayyid al-Syahid dengan jelas menyatakan
bahwa faktor penggerak sejarah adalah ide dan kehendak. Hal ini sendiri
membentuk sikap terhadap teori-teori yang menafsirkan sejarah dengan faktor-faktor
lainnya. Di antaranya, teori geografis yang menganggap lingkungan geografis
merupakan landasan bagi gerak-gerak, revolusi-revolusi dan perubahan-perubahan
yang memenuhi sejarah. Teori keturunan yang meyakini bahwa garis keturunan,
etnis dan darah memiliki peran tersebut. Kedua teori ini merupakan sumber
intelektual yang penting di antara berbagai sumber yang membentuk ide
nasionalisme.
Ketika Islam bertumpu pada
ide dan kehendak, aspek emosi dan spiritual manusia sebagai faktor bagi gerak
individu, masyarakat dan sejarah, sebenarnya Islam bertumpu pada faktor yang
substansial yang mencakup asal usul penciptaan manusia. Semua individu manusia
sama-sama berafiliasi pada faktor tersebut. Ini sejalan dengan kerangka global
dari misi Islam. Ketika Liberalisme Barat bertumpu pada faktor geografis dan
nasionalisme, sebenarnya ia bertumpu pada faktor formal di mana
individu-individu manusia di sini berbeda. Ini sejalan juga dengan kerangka
materialisme dari peradaban Barat. Perbedaan antara Islam dengan Liberalisme
dari sisi ini adalah bagaikan perbedaan antara keluarga yang
individu-individunya meyakini peran spiritual dan bimbingan bapak, sehingga
keluarga ini bersatu dan bersaudara yang melihat substansi eksistensi
kemanusiaan dan moralnya satu untuk semuanya, dan segala perbedaan formal di
kalangan individu-individunya diabaikan. Sementara itu keluarga lainnya menolak
peran bapak, dan karenanya kehilangan kerangka yang menyatukan
individu-individunya. Maka, keluarga ini melupakan substansi kemanusian dan moralnya
yang tunggal untuk semua. Masing-masing individu dalam keluarga tersebut hanya
bertumpu pada karakteristik formal yang dimilikinya, seperti warna, panjang
(tinggi) dan keindahan sebagai dasar keunggulan atas saudara-saudaranya yang
lain. Keluarga pertama merupakan keluarga kemanusiaan yang berada dalam naungan
kebapakan (bimbingan, arahan) langit yang diekspresikan Islam melalui
globalitasnya. Keluarga kedua merupakan keluarga kemanusiaan yang berada dalam
naungan meterialisme Barat yang menipu manusia melalui faktor geografis,
kadang-kadang melalui faktor nasionalisme, dan kadang-kadang melalui faktor
kelas untuk memuaskan perasaan individu dan kecenderungan masing-masing
individu, dan untuk melemparkan semuanya ke dalam tungku pertarungan yang dianggap
sebagai elemen tersembunyi di antara elemen-elemen Liberalisme Barat, karenanya
Liberalisme ini —lantaran materialismenya— didasarkan pada upaya mentahbiskan
pertarungan, dan upaya teorisasi terhadap hal itu sebagai ide filosofis, ilmiah
dan sosiologis. Sementara masyarakat manusia yang berada dalam naungan
kebapakan (bimbingan, arahan) langit yang tercermin dalam globalisme Islam
melalui ide persaudaraan kemanusiaan secara umum, dan keimanan secara khusus,
peradaban Barat, melalui penolakannya terhadap kebapakan (bimbingan, arahan)
langit dan penegasannya terhadap aspek materiil, berusaha menyiapkan iklim bagi
munculnya perasaan-perasaan permusuhan di antara anggota-anggota keluarga
setelah peradaban ini menculik bapak mereka. Peradaban ini tidak cukup hanya
melakukan hal tersebut, melainkan lebih daripada itu ia mengagungkan ide
pertarungan, dan menganggapnya sebagai hukum filosofis, ilmiah, historis,
sosilogis yang alami bagi pentas kemanusiaan.
Ada ide tentang
pertarungan di antara kontradiksi (oposisi binary) pada tataran
filosofis, ide pertarungan kelas pada tataran sosiologis, ide pertarungan demi
kelangsungan hidup pada tataran biologi, ide pertarungan antara ras tinggi dan
ras rendah pada tataran kebangsaan, ide perkembangan dialektika sejarah pada
tataran sejarah. Semua ini menjadikan pertarungan sebagai ide deterministik
dalam masyarakat. Sementara itu, kebalikannya kita temukan individu Muslim
merasa “sangat terkait dengan kelompok ke mana ia berafiliasi, ada harmoni
antara dia dengan kelompok sebagai ganti daripada ide pertarungan yang
mendominasi pemikiran Eropa modern. Ide jama’ah (kebersamaan) bagi manusia
Muslim dibangun oleh kerangka globalitas misi Islam yang mengkaitkan beban misi
ini dengan tanggungjawab eksistensinya secara global, serta keberlanjutannya
seiring dengan ruang dan waktu. Sebab, interaksi manusia di dunia Islam
sepanjang sejarah dengan misi globalnya yang terbuka untuk kelompok-kelompok
manusia, menanamkan dalam dirinya perasaan globalitas dan keterkaitannya dengan
jama’ah”.[28]
Ketika Islam mengandalkan faktor manusia dalam sejarah, faktor-faktor yang lain
sudah terangkum juga dalam wilayah tersebut. Kami tidak menolak peran karakter
nasionalisme —demikian pula faktor ekonomi serta faktor-faktor lainnya— dalam
gerak sosial, akan tetapi kami memandang faktor-faktor tersebut dan watak-watak
itu, di antaranya watak nasionalisme, mengalihkan semua tuntutannya pada
perangkat mental sebagai ide, tidak berubah menjadi perilaku sosial kecuali
setelah tuntutan itu dilaksanakan manusia, padahal bisa jadi manusia memang
melaksanakannya, tetapi kadang-kadang juga menolaknya, dan terkadang
mendiskusikannya terlebih dahulu. Upaya memilih salah satu dari
alternatif-alternatif ini berlangsung dalam perspektif kondisi-kondisi kejiwaan
dan mental manusia tersebut. Sebab, mental mencakup ide yang benar dan kuat
yang memungkinkannya untuk mengatasi situasi secara positip dan efektif. Kalau
tidak demikian, maka faktor-faktor dan kecenderungan-kecenderungan tersebut
dapat mendektekan sikap dan idenya terhadap manusia secara bebas.
Dari sini, Islam
menganggap jiwa sebagai medan perhitungan secara akurat dan terus-menerus
antara dunia akal yang mengarahkan dengan dunia kecenderungan yang menekan.
Islam juga menganggap perilaku salah atau menyimpang sebagai perilaku yang
muncul dari kecenderungan yang menekan, yang terkadang akal tidak mampu
mengarahkannya lantaran akal tidak berdaya di satu sisi, dan lantaran
kecenderungan tersebut terlalu agresip di sisi lain. Aplikasi yang menonjol
dari ide ini dapat kita temukan dalam buku “Ahl al-bait tanawwu’ adwâr wa
Wihdah Hadaf“. Dalam buku ini al-Sayyid al-Syahid memberikan fokus pada
peran penting yang dimainkan fanatisme kesukuan dalam perjalanan umat Islam
yang menyimpang dari garis global yang digambarkan Nabi, dan menjadi garis
jahiliyah yang tribalis dan fanatik yang bersumber dari kecenderungan mencintai
diri yang ingin memaksakan dirinya pada manusia sebagai satu-satunya poros bagi
perilaku. Dulu memang ada ide Islam yang mengglobal, akan tetapi ide itu masih
terlalu muda yang pernah didedikasikan oleh masyarakat Islam begitu saja.
Masyarakat tersebut dalam kaitannya dengan ide itu harus melakukan
langkah-langkah aplikatif dan edukatif. Ada ide kesukuan yang dukungan
sosialnya masih besar, dan kesadaran dan ketidaksadaran masyarakat Islam
sendiri masih kenyang (sangat dipengaruhi) dengan ide itu. Dalam kondisi
seperti itu, Nabi saw meninggal, sementara Umat Islam “menghadapi perubahan
sosial politik yang sangat besar sekali, sebab semestinya ide masyarakat global
sudah direalisasikan. Ide yang diserukan Nabi SAW, namun belum terwujud, sebab
beliau meninggal sebelum pengaruhnya merambat keluar kawasan Arab meskipun
beliau sudah pernah menyerukan raja-raja dunia ketika itu untuk masuk Islam
dalam rangka memberikan kesadaran terhadap mereka mengenai Islam, dan dalam
rangka mencatatkan bahwa Islam bersifat global. Beliau juga menyerukan
masyarakat global tanpa ada perbedaan antara satu bangsa dengan bangsa yang
lainnya, antara satu kaum dengan lainnya, sekalipun masyarakat global belum
terwujud.
Pada masa Nabi telah
terwujud masyarakat Arab yang membawa ide globalitas. Masyarakat tersebut
didasarkan pada misi, bukan pada ide nasionalisme, atau kaidah nasionalisme
bagi misi tersbeut. Masyarakat ini, sepeninggal Nabi saw semestinya membangun
globalitas, mendirikan masyarakat Islam yang global. Fase ini atau tugas
tersebut membutuhkan rasionalitas isi yang 100%, membutuhkan kejernihan jauh
dari segala hal-hal yang merusak, jauh dari segala sesuatu yang menurunkan ide
dan emosi yang dialami oleh manusia tribal, atau manusia nasionalism. Hingga
sekarang mereka belum merasakan masyarakat global, kecuali sebagai ide yang
belum lahir. Seluruh manusia adalah keluarga. Seluruh manusia sama seperti
garis sisir. Tidak ada perbedaan antara non-Arab dan Arab. Mereka mendengarnya
sebagai ide dari Nabi. Masyarakat seperti mereka belum mendapatkan kesempatan
untuk mewujudkan ide tersebut, atau mewujudkannya pada fase pengalaman Islam
yang sedemikian akurat. Tentunya telah terjadi penurunan-penurunan intelektual
dan emosi yang menjadikan mereka turun di bawah tataran untuk mewujudkan ide
masyarakat global..”[29]
Al-Sayyid al-Syahid juga mengatakan di bagian lain dari bukunya: “Nabi muncul
pada masyarakat generasi belakangan yang merasakan pemikiran kesukuan dalam
corak dan hasil yang paling mencolok, serta konsep-konsep dan ide-idenya yang
paling kasar. Beliau datang, kemudian melemparkan ide tentang masyarakat global
di mana tidak ada perbedaan antara suku dengan suku lainnya, bangsa dengan
bangsa lainnya, antara umat dengan umat lainnya. Lompatan besar ini dengan
segala transformasi pemikiran dan perubahan sosial yang terkandung di dalamnya
bukanlah merupakan sesuatu yang biasa dalam kehidupan manusia. Jadi, bagaimana
mungkin kita membayangkan bahwa masyarakat ini akan meninggalkan ide-ide, emosi
dan reaksi secara sempurna yang mereka miliki, serta mampu membuka halaman baru
secara sempurna tanpa diiringi dengan warisan masa lampau? Ini tidak mungkin,
kecuali dalam rentang waktu yang sangat panjang. Padahal Rasulullah saw hidup
sebagai pendidik bagi masyarakat dan negara secara sempurna di Madinah hanya
sepuluh tahu saja, mengingat bahwa sebagian besar dari masyarakat Islam
mengalami banyak peristiwa justru setelah Nabi meninggal”.[30]
Pengalaman kenabian
menegaskan bahwa para tokoh sahabat, hingga masa belakangan dari kehidupan Nabi
saw, senantiasa terbebani dengan perasaan kesukuan secara fanatik. Di sini
tujuan kami adalah aspek perubahan sosial, bukan mengeluarkan hukum atau
menolak hal-hal positip dari mereka dan mengabaikan pengabdian-pengabdian
mereka terhadap Islam yang selama ini mereka lakukan. Sebab,
pengabdian-pengabdian tersebut memberikan kadar perubahan tertentu yang telah
mereka lakukan pada diri mereka. Bisa jadi tingkat perubahan itu dapat diterima
untuk perubahan sosial bagi kondisi sejarah. Bisa jadi Rasulullah saw menerima
mereka setelah melihat tingkat perubahan yang telah terjadi pada mereka. Akan
tetapi apakah rasional kalau Nabi memberikan kendali pengalaman dakwah untuk
seluruh manusia kepada individu-individu yang dipengaruhi oleh Islam hanya
sebagian kecil dari kepribadian mereka, sementara bagian terbesar masih
menunggu perubahan? Bukankah itu berarti bahwa pengalaman akan memanfaatkan
mereka dengan kadar perubahan Islam tertentu yang mereka peroleh, dan tingkat
yang lebih besar justru membahayakan, seperti ide, konsep dan warisan jahiliyah
yang masih berada dalam kawasan kesadaran dan ketidaksadaran? Apakah masuk akal
kalau kendali globalitas yang besar dalam sejarah Islam diberikan kepada
individu-individu yang merasakan globalitas masih berupa ide yang belum jelas
dan masih lemah dalam benak mereka, serta perasaan kesukuan masih dominan pada
mereka?
Di sini al-Sayyid
al-Syahid membedakan antara kesadaran dengan apa yang sebut dengan potensi
semangat (al-thâqah al-harâriyyah). Ia berpendapat bahwa “Umat memiliki
potensi semangat yang besar, namun tidak memiliki kesadaran mencerahkan yang
bebas dari akar-akar jahiliyah”.[31]
Bukti yang ia ketengahkan mengenai hal tersebut adalah Perang Hunain. Pada saat
itu Rasulullah saw membagikan harta rampasan peran kepada kaum Muslimin Makkah
saja berdasarkan kemashlahatan yang beliau temukan. Beliau tidak memberikan
sedikitpun dari harta rampasan perang itu kepada sahabat Anshar. Maka,
muncullah perasaan kesukuan pada sahabat Anshar. Mereka menafsirkan peristiwa
tersebut dengan menyatakan bahwa Nabi saw memihak penduduk Makkah, sebab mereka
memang kaum dan keluarga besar beliau. Al-Sayyid mengulang ide yang sama di bagian
lain dengan memberikan bukti historis yang lain, yaitu bahwa orang-orang yang
menolak al-Imam Ali sepeninggal Rasulullah saw sebenarnya memiliki potensi
semangat, akan tetapi tanda ada kesadaran. Mereka mengira bahwa Muhammad saw
ingin “membangun kebesaran Bani Hasyim, ingin mengangkat eksistensi keluarga
tersebut, dan ingin mengembangkan sendiri sepeninggal beliau. Oleh karena itu
beliau memilih Ali. Beliau memilih saudara sepupunya. Ini merupakan pemikiran
yang sejalan dengan kondisi psikologis yang dialami oleh kebanyakan kaum
Muslimin sebagai endapan masa Jahiliyyah..”[32]
Hal tersebut
ditegaskan dengan kenyataan bahwa kaum muhajirin dalam peristiwa Saqifah
mengatakan bahwa kekuasaan adalah kekuasaan Qurasiy, bahwa kekuasaan Muhammad
merupakan kekuasaan Quraisy. Kami lebih berhak daripada orang-orang Arab
lainnya. Bangsa Arab lainnya lebih berhak daripada kaum Muslimin lainnya. Di
sini muncul perasaan kesukuan, perasaan komunal secara spontan..”[33]
Persoalannya adalah persoalan Quraisy, kekuasaan dan kebesarannya. Oleh karena
itu Umar bin al-Khathab menginginkan untuk mengetahui masa depan kekuasaan
setelah dia. Ia bertanya kepada masyarakat mengenai siapa yang mereka kehendaki
setelahnya. Ia mengatakan: Setiap orang Arab yang saya tanya senantiasa
menjawab: Ali bin Abi Thalib. Namun, setiap orang Qurasiy yang aku tanya, pasti
mengatakan Usman bin Affan. Artinya mayoritas kaum Muslimin memilih Ali bin Abi
Thalib. Namun satu klan (suku) tertentu menghendaki untuk merampas kekuasaan
dari umat sehingga mereka memilih Usman..”[34]
Umar bin al-Khathab sendiri orang yang didominasi perasaan kesukuan. Dialah
yang mengakui bahwa Rasulullah saw berusaha menjagokan Ali sebagai pemegang
kekuasaan, akan tetapi sayalah yang menghalanginya untuk menjaga Islam dan
kepentingan Islam”.[35]
Yang sebenarnya terjadi adalah bersikap hati-hati demi kepentingan Quraisy yang
memang loyalitasnya beliau berikan kepada kelompok ini ketika ia menjadi
khalifah. Yaitu, ketika ia membeda-bedakan antar berbagai kelas, ketika ia
memperkayakan satu kabilah saja tanpa yang lainya. Apakah kalian mengetahui
kabilah mana yang ia jadikan kaya, yaitu kabilah nabi saw.[36]
Mengenai dia sejarah
menyebutkan bahwa dia “menghapus jizyah bagi masyarakat Kristen Arab di Irak..
Umar mengganti jizyah dengan zakat. Dia memerintahkan untuk menarik zakat yang
berupa biji-bijian yang sangat kecil sekali dan sedikit sekali, yang hanya
cocok untuk satu keluarga saja, tidak lebih banyak dari keluarga Nasrani di
Irak. Benih ini di sepanjang waktu membawa bencana yang meluas. Barangkali
benih inilah yang menjadi dasar bagi semua bencana yang dirasakan kaum Muslimin
setelah itu, atau yang dialami oleh kaum Muslimin sebagai akibat dari kondisi
nasionalisme yang kemudian menggoncangkan Islam dan membinasakan misi Islam,
nasionalisme Arab, Persia, Turki, India dan nasionalisme-nasionalisme kafir
lainnya yang dibangun di dunia Islam. Saya ingin mengatakan bahwa tugas
membangun masyarakat global membutuhkan kepemimpinan yang berbeda dari karakter
“shahabat” dan emosi (perasaan) yang pernah dimiliki para khalifah itu”.[37]
Dalam kondisi semacam ini menjadi wajar apabila non-Arab melepaskan diri dari
Islam selama pemikiran yang dominan adalah pemikiran Arab fanatik, bukan
pemikiran Islam global yang pernah diserukan kepada mereka dan atas dasar
pemikiran itu mereka masuk Islam. Hanya saja yang menjadikan Umat tidak menarik
diri dari Islam adalah bahwa Islam masih memiliki nilai lain yang pernah
diajukan, nilai yang jelas karakteristiknya, nilai-nilai yang murni, murni
tujuan dan orientasinya. Tesis ini diajukan oleh kaum Muslimin yang memiliki
kesadaran dengan kepemimpinan para imam dari Ahlul Bait”.[38]
Mereka berfungsi sebagai garis yang merepresentasikan Islam dan nilai global
secara sempurna.
Dimensi Global dalam Wilayah Politik
Pemikiran al-Sayyid
al-Syahid penuh dengan banyak solusi global pada tataran politik yang dapat
kita temukan secara tersebar pada tradisi pemikirannya. Pandangan fiqhiyahnya
mengenai Undar-Undang Republik Islam dapat kita dilihat bahwa beliau
mendefinisikan negara Islam dalam kaitannya dengan hubungan eksternal yang
bertujuan membawa cahaya Islam, membawa lentera risalah agung kepada seluruh
alam, berpihak kepada keadilan dan kebenaran dalam masalah-masalah
internasional, menyodorkan nilai-nilai luhur Islam melalui hal tersebut,
membantu semua orang yang tertindas dan tersiksa di muka bumi serta melawan
penjajahan, kesewenang-wenangan, khususnya di dunia Islam di mana Iran menjadi
bagian tak terpisahkan dari dunia tersebut”.[39]
Beliau membandingkan antara sistem Islam dengan sistem demokrasi. Ia menegaskan
bahwa Umat merupakan sumber (pemegang) kekuasaan dalam sistem demokrasi, umat
merupakan pusat kekhalifahan dan pusat tanggungjawab di hadapan Allah ta’ala
dalam sistem Islami.[40]
Jelas, bahwa perbedaan ini mencerminkan perbedaan substansial, yaitu bahwa umat
ketika menjadi sentral kekhalifahan merupakan mata rantai antara yang ditunjuk
sebagai khalifah dengan manusia lainnya. Ini berarti bahwa kekhalifahan
merupakan rangkaian global dalam kaitannya dengan muatan moral, sosial dan
politik. Kekhalifahan secara substansial dan esensial merupakan konsep global,
sementara umat dalam pemikiran positip disebut sebagai sumber kekuasaan.
Jelas, bahwa yang dimaksud
dengan umat adalah kelompok yang memiliki kawasan nasional tertentu. Dengan
demikian umat merupakan tuan bagi dirinya, bukan tuan bagi yang lainnya. Jadi,
ide tentang kekuasaan secara substansi dan esensinya bersifat nasionalisme. Al-Sayyid
al-Syahid al-Shadr menekankan ide mengenai khilafah dengan penjelasan yang
lebih dalam dalam tulisannya yang menarik tentang kekhalifahan manusia dan
kesaksian (testimoni) para nabi. Ia membagi sejarah manusia menjadi dua fase:
fase bimbingan langit melalui nabi yang ma’shum atau imam. Dalam fase ini yang
ma’shum merepresentasian dua garis (peran) sekaligus. Ia merepresentasikan
garis (peran) kesaksian sebagai nabi atau imam, dan garis kekhalifahan sebagai
manusia. Dia saksi dan khalifah sekaligus. Kedua, fase otoritas terbimbing di
mana elemen kema’shuman tidak ada. Umat dapat mempraktekkan dan merepresentasikan
garis kekhalifahan, namun otoritas terpimpin (mendapat bimbingan) menjalankan
tanpa memiliki hak kesaksian terhadap kekhalifahan itu. Seolah-olah Islam
berusaha melalui pembagian itu menyediakan apa yang dapat disediakan, iklim
kema’shuman yang tidak ada dalam fase tersebut”.[41]
Mengenai globalitas negara
Islam al-Sayyid al-Syahid al-Shadr mengatakan: “Ada dua aspek mengapa negara
Islam berhak memegang bumi (dunia): aspek pertama adalah keberhakan yang
bersifat politis. Dunia menjadi hak negara Islam sebagai administrasi politik
tertinggi bagi Islam. Artinya, negara Islam sebagai yang bertanggungjawab atas
eksistensi dan yang memfungsikan secara legal dalam mengaplikasikan,
menyebarkan dan melindungi Islam. Cakupan hak ini tidak terbatas, sebab
eksistensi politik negara Islam didasarkan pada prinsip pemikiran yang umum.
Atas dasar itu, tidak ada perbedaan tanah dan negara. Karena Islam yang
tercermin dalam negara Islam merupakan pemegang kebenaran syara’ di seluruh
muka bumi. “Kami telah menetapkan dalam kitab Zabur setelah diberi
peringatan, bahwa bumi ini hanya akan diwariskan kepada hamba-hamba-Ku yang
salih“. Maka, seluruh bumi di alam ini harus ditundukkan pada negara Islam
secara politik. Hanya saja cara menggunakan kebenaran ini dan bentuk
pelaksanaannya berbeda-beda sesuai dengan watak masyarakat yang menempati
wilayah yang terdiri dari kaum Muslimin, kafr yang dilindungi, atau yang
tidak”.[42]
Dalam konteks ini ada pertanyaan yang diajukan kepada al-Sayyid al-Syahid
seputar perbedaan antara “fath” (pembukaan, penaklukan) sebagai ide
Islami dengan penjajahan yang kita kecam dan kita serang sebagai fenomena
Barat. Beliau menjawab dengan indah. Ringkasnya bahwa perluasan merupakan
gejala bersama yang dmiliki baik oleh Islam maupun Barat. Barat mengatakan:
Saya memperluas, menaklukan dan menguasai secara persuasif ataupun kekerasan.
Islam mengatakan hal yang sama. Akan tetapi masalah keduanya tidak sama.
Kriteria pada keduanya bahwa masing-masing dari keduanya berdiri dengan
perspektif kaidah pemikiran yang menjadi titik tolaknya. Perluasan yang legal
adalah perluasan yang sejalan dengan kaidah yang menjadi titik tolaknya. Barat
didasarkan pada kaidah kebebasan. Kaidah ini menuntut Barat menghormati
kebebasan bangsa-bangsa yang lain, tidak memaksakan dirinya pada mereka sebagai
nilai utama dalam perspektif peradaban tersebut. Bahkan sekalipun dengan asumsi
klaim tersebut merupakan kebenaran riil, sebab hal tersebut akan menjadi
kontradiksi bagi kaidah yang menjadi sandaran peradaban Barat.
Bisa jadi Barat bohong
dengan apologinya membela kebebasan, sementara tujuan sebenarnya adalah
menaklukkan negara-negara di bawah kekuasaannya. Bisa jadi pula kebebasan
tersebut memang tidak pantas untuk dijadikan kaidah pemikiran dan nilai utama
bagi peradaban manusia. Jika Barat bohong, maka perluasaan merupakan
permusuhan. Jika kebebasan memang tidak pantas menjadi nilai utama dan kaidah
pemikiran dalam konteks peradaban, maka perluasan Barat tidak menemukan legalitasnya.
Khususnya, bahwa peradaban Barat merupakan hasil kreasi Barat dan mentalitas
Barat. Dengan demikian, pemaksaan Barat terhadap negara-negara lain merupakan
perluasan nasionalisme dengan mengabaikan bangsa-bangsa tersebut. Persoalannya
lebih merupakan persoalan perluasaan nasionalisme daripada persoalan kebebasan
dan demokrasi. Inilah yang menyebabkan kita mengecam penjajahan dan
menganggapnya sebagai permusuhan terhadap bangsa-bangsa. Sementara itu, kaidah
pemikiran Islam adalah tauhid. Tauhid sendiri memuat pemikiran tegaknya langit
atas dasar bumi. Manifestasi alamiah dari berdiri tegaknya langit adalah
apabila para pengikutnya mengakui otoritas tauhid atas bumi sebagai tugas
langit bagi mereka. Demikianlah, perluasan Islam sejalan dengan kaidah yang
menjadi titik tolaknya, dan tidak mengandung permusuhan. Sebab perluasan
tersebut merupakan tugas langit, bukan ambisi pribadi Muslim terhadap non
Muslim seperti perluasan Barat sebagai bentuk permusuhan pribadi Barat terhadap
non Barat. Islam tidak mengandung perluasan yang bersifat nasionalisme, sebab
tauhid merupakan pemikiran langit, bukan produksi manusia, bahkan sekalipun
dipaksakan kepada yang lainnya merupakan perluasaan nasionalisme.[43]
Catatan
@
Irwan Kurniawan & Ahmad Y Samantho
Tidak ada komentar:
Posting Komentar