Jumat, 07 November 2014

Globalitas Islam dalam Pemikiran al Sayyid Muhammad Baqir al Shadr




Oleh Abd al-Karim Ali Najaf

Globalitas merupakan karakter asli dari pesan Islam (al-risâlah al-islâmiyyah). Sebagaimana ideologi-ideologi lainnya pesan Islam tidak dapat dipecah-pecah. Apakah pesan Islam dengan seluruh karakteristiknya diterima, atau ditolak. Sebagaimana bahwa hasil tergantung pada tersedianya seluruh sarana yang ada dan tidak adanya semua rintangan yang berpengaruh, demikian pula realitas manusia tidak dapat dianggap sebagai Islam kalau keseluruhan pesan tersebut tidak terwujud pada realitas tadi. Sifat global merupakan kelengkapan risalah itu. Berbicara tentang globalitas Islam merupakan pembicaraan yang luas dan bercabang-cabang. Ia dapat disentuh melalui berbagai sisi. Ia dapat didekati dari sisi pentingnya aspek global pada pesan Islam, seberapa jauh kebutuhan manusia terhadapnya dalam memecahkan krisis sosial, politik dan internasional. Untuk memperlihatkan arti pentingnya masalah ini kami cukup menunjukkan fakta penting yang sama-sama diyakini baik oleh pemikiran keagamaan maupun pemikiran positif. Yaitu, bahwa masyarakat manusia mulai mengglobal semenjak di awal sejarahnya. Masyarakat manusia disatukan oleh watak (fithrah) dan kesederhanaan, dan akhirnya akan kembali mengglobal dalam sistem politik, sosial dan struktur keyakinannya. Islam meyakini bahwa manusia pada mulanya merupakan satu bangsa yang didominasi oleh satu watak dasar. “Manusia dulunya merupakan satu bangsa. Kemudian Allah mengutus para nabi sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan. Bersama dengan mereka Allah menurunkan kitab dengan benar agar ia dapat menghakimi persoalan-persoalan yang dipersengketakan manusia”.[1]
           
Ayat ini dengan jelas menyatakan bahwa manusia pada mulanya adalah satu bangsa yang bersaudara dan hidup harmonis. Kemudian, muncul perbedaan dan perpecahan. Di sini muncullah pesan langit (agama) untuk memainkan peran langsung dalam mengembalikan manusia ke masa lalunya yang penuh dengan persaudaraan dan menyatu (mengglobal). “Kemudian Allah mengutus para nabi sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan. Bersama dengan mereka Allah menurunkan kitab dengan benar agar ia dapat menghakimi persoalan-persoalan yang dipersengketakan manusia“. Peran ini terus berjalan sepanjang 124 ribu kenabian yang terangkum dalam lima misi dasar, yaitu misi para nabi ulul azmi. Pesan terakhirnya adalah misi terakhir Muhammad yang dijadikan Allah sebagai penghujung bagi persoalan kemanusiaan. Misi Muhammad ini pada suatu masa dalam akhir sejarah harus menampakkan diri pada semua agama dan mewujudkan kemenangan pasti serta kekuatan penuh melalui suatu negara global, yaitu negara al-Imam al-Mahdi. Negara ini akan mewujudkan tujuan sentral dari garis kenabian sebagaimana diungkapkan ayat di atas: “agar ia dapat menghakimi persoalan-persoalan yang dipersengketakan manusia“. Peran para nabi dan kitab-kitab langit (samâwi) untuk menghilangkan perbedaan dan pertentangan manusia, akan muncul secara sempurna dan integral mulai pada hari itu, sebab kesatuan manusia akan mencapai puncaknya pada saat tersebut.
           
Para pemikir Barat mendukung bagian pertama dari teori ini. Mereka meyakini bahwa masyarakat pada awalnya primitif dan komunal. Atas dasar pemikiran inilah Marx meyakini bahwa komunitas primitif merupakan fase pertama dari materialisme sejarah. Atau, fase terakhir dalam sejarah manusia tentu akan kembali ke bentuk komunal tersebut. Ini artinya, bahwa Marxisme menyetujui bagian kedua yang berkaitan dengan masa depan dari teori al-Qur’an di atas. Orang Kristiani sebelumnya juga meyakini bahwa sejarah akan ditutup dengan munculnya kerajaan Allah di bumi melalui juru selamat. Selain itu, juga banyak tokoh pemikiran dan politik di era kontemporer ini yang menyerukan untuk melenyapkan sikap aparteid dan kembali kepada persaudaran kemanusiaan dan nilai-nilai global daripada memegang nilai-nilai nasionalisme.  Demikianlah, kesamaan di antara akidah-akidah agama dan teori-teori positip mengenai globalitas masyarakat pertama dan terakhir dalam sejarah memberikan petunjuk pasti tentang orisinalitas globalisme dan mengakarnya dalam kehidupan manusia. Pada gilirannya, juga menyuguhkan seberapa penting globalisme serta seberapa bahaya menyimpang darinya.
           
Selain itu, kajian ini juga dapat dikaji dari sisi tugas dan keharusan yang ada pada pundak kaum Muslimin sebagai konsekuensi yang dimunculkan globalitas Islam. Tugas tersebut terutama tugas menyebarkan Islam di penjuru dunia dan mendakwahkan Islam kepada seluruh masyarakat non Muslim sebagai perwujudan dari karakter testimoni (syahadat) yang diberikan Islam kepada kaum Muslimin. Dapat juga persoalan ini dikaji dari sisi keber-hak-an, yaitu keber-hak-an Islam untuk menduduki posisi globalitas dan menguasai singgasana kemanusiaan secara terus-menerus, dan keberhakan kaum Muslimin untuk memegang kepemimpinan umat manusia. Tidak disangsikan bahwa jenis tugas seperti ini memerlukan upaya yang besar dan beragam serta rasa tanggungjawab yang tinggi. Hanya saja ada sejumlah usaha dan aktifitas yang dapat dirangkum oleh semua pihak secara bersama-sama, dan merespon semua aspek ini secara bersama-sama seperti berlomba melontarkan simbol-simbol Muslim, dan terutama sekali kepemimpinan mereka dalam masalah intelektual dan politik sebagai simbol dan kepemimpinan yang memiliki posisi tinggi. Andaikata para penulis dan seniman Muslim dalam karya-karya intelektual dan seni mereka melontarkan kepribadian seperti kepribadian Nabi saw sebagai kepribadian manusia luhur yang tak tertandingi, dan keluhurannya tidak dapat diungguli, melalui karya-karya intelektual yang valid dan terbukti, serta atas dasar metode perbandingan dan objektif dengan kepribadian-kepribadian lain yang dianggap menyaingi Rasululah saw dalam hal tersebut, dan pada saat yang sama juga diiringi semua itu dengan gerakan media informasi yang memadai, maka bagi dunia akan menjadi jelas bahwa Rasulullah saw merupakan simbol manusia terluhur pada tataran pembaharuan dan perubahan sosial.

Demikian pula halnya dengan Amirul Mukminin r.a, yang merupakan simbol manusia terluhur dalam masalah keadilan sosial. Al-Imam al-Husain yang merupakan simbol revolusi terluhur dalam sejarah manusia, hingga kita sampai pada al-Imam al-Mahdiy yang oleh teks-tesk Islam ditegaskan sebagai rangkuman dari nilai-nilai kemanusia dan ujung terluhur dalam masalah keadilan, perubahan dan reformasi. Kecenderungan ini dapat berlanjut dan menjadikan sejumlah tokoh Islam terkemuka sebagai agen. Hal ini akan mempertegas sikap kaum Muslimin untuk menjalankan peran testimoni bagi kemanusiaan, terutama tokoh-tokoh yang berada dalam lingkaran kontemporer. Tidak disangsikan bahwa al-Sayyid al-Syahid al-Shadr ra berada dalam garda depan dalam lingkaran ini. Dia merupakan lingkaran bersinar yang andaikata sinarannya diberi kesempatan untuk membentang dan menembus apa saja yang dimungkinkan baginya tentu akan menyusup sampai ke dalam hati orang-orang yang merdeka di dunia, para pemikirnya dan mereka yang tertindas di mana saja. Hanya saja, karena perhatian yang terlalu sedikit dan metode yang tidak memadai sinar tersebut tidak dapat sampai pada sasaran terakhirnya.

Apa yang Kami Maksudkan dengan Cakrawala Global

Global merupakan istilah yang dapat dipakai dalam tiga arti: [1] Terkenal dan tersebar. [2] Perhatian terhadap persoalan kemanusiaan dan yang merefleksikan persoalan kemanusiaan secara umum dan eskatologinya. [3] Mengapreasiasi peran dari elemen-elemen kemanusiaan yang asli dalam gerak individual, masyarakat dan sejarah, serta tanpa menghilangkan elemen-elemen lokal seperti warna, etnis dan nasionalisme. Pandangan ideologis yang difokuskan pada poros ini disebut dengan pandangan global, sementara pandangan lain yang difokuskan pada upaya mengandalkan peran faktor nasionalisme dan etnis disebut dengan pandangan fanatik.

Yang kami maksudkan dengan istilah global tersebut dalam tulisan ini adalah makna ketiga. Kami berusaha mempelajari secara tuntas apa yang diajukan oleh al-Sayyid al-Syahid Baqir Shadr berupa bahasan-bahasan, pendapat-pendapat dan teori-teori mengenai hal tersebut. Sekalipun ketiga pengertian di atas bisa berlaku padanya, namun ia merupakan pemikir global dalam pengertian posisi, kemasyhuran dan keterkenalan yang ia sandang. Ia juga seorang pakar global dalam pengertian bahwa ia memberikan perhatian terhadap masalah kemanusiaan dan memecahkan problem-problem sosial manusia, serta tesis-tesis yang mengadopsi elemen-elemen kemanusiaan asli serta menjauhi peran dari elemen-elemen lokal dalam gerak individu, sosial dan sejarah. Hal itu karena pengertian ketiga memuat pula dialektika-dialektika yang mengandung makna penting yang tinggi dan tingkat kesamaran yang besar. Dapat saja hal tersebut menyebabkan ketergelinciran dan banyak salah. Wajar apabila mereka yang memberikan perhatian terhadap masalah seperti ini memanfaatkan al-Sayyid al-Syahid al-Shadr sebagai puncak pemikiran Islam asli di era kini. Mereka berusaha mengambil inspirasi dari cara-cara penyelesaiannya.

Dimensi-Dimensi Global dalam Pemikiran al-Syahid al-Shadr

Ketika seorang peneliti berusaha mempelajari secara menyeluruh pemikiran global dan kajian-kajian yang dilakukan al-Sayyid al-Syahid al-Shadr mengenai globalitas dalam pemikirannya dan karya-karya yang ditinggalkannya, ia tentu akan menemukan dirinya sedang berhadapan dengan sejumlah banyak ide, pemikiran dan indikasi-indikasi yang kadang-kadang terperinci, dan kadang-kadang global. Semuanya dapat diklasifikasikan ke dalam empat bidang: [1] Dimensi global dalam bidang akidah. [2] Dimensi global dalam bidang sejarah. [3] Dimensi global dalam bidang politik. [4] Dimensi global dalam bidang biografi al-Syayid al-Shadr

Dimensi Global dalam Bidang Akidah

Globalitas dalam Islam bukan semata slogan emosional yang sepintas, melainkan sebuah konsep moral yang dinamis. Akar-akarnya berangkat dari akidah tauhid yang berlandaskan keimanan kepada Alalh SWT sebagai sesuatu yang mutlak dan nilai luhur tertinggi di alam dan kehidupan manusia. Oleh karena seluruh makhluk berada di bawah panji-panji ketuhanan-Nya SWT, maka dengan demikian konsep tersebut menjadi kerangka akidah dan emosi yang mengkaitkan individu-individu manusia melalui persaudaraan keimanan yang dapat mencairkan semua perbedaan domestik dan alamiah, serta mentransformasikan perbedaan itu menjadi perbedaan-perbedaan yang tidak berpengaruh setelah keimanan terhadap Allah menjadi sentral masyarakat, bukan hanya sekedar faktor lingkungan dan materi.
           
Dari sini, kami berkeyakinan bahwa Islam merupakan satu-satunya akidah yang mampu menjalankan globalisasi yang sebenarnya, dan bahwa selain akidah Islam merupakan globalisasi palsu yang berawal dari slogan emosional yang sederhana, dan berakhir dengan sikap memusuhi dan melegalkan hegemoni terhadap pihak lain. Mengapa? karena faktor lingkungan yang membagi masyarakat manusia menjadi suku-suku, negara-negara, dan tanah air yang tidak dapat diatasi kecuali melalui nilai-nilai langit (samâwi). Nilai-nilai inilah yang secara efektif akan menyadarkan manusia bahwa ia terikat dengan ikatan yang tinggi dan luhur melebihi bentuk afiliasi manapun. Aliasi  terhadap suku —demikian pula dengan nasionalisme— didasarkan pada watak mencintai diri sendiri dan berpusat pada diri sendiri dengan segala nilainya yang rendah dan bercorak materil yang terkandung di dalamnya.  Maka, ketika afiliasi tersebut menjadi satu-satunya yang ada pada wilayah sosial, segera saja akan menjadi dominan,  melampaui batas-batas alamiah dan berubah dari sekedar afiliasi menjadi loyalitas, dari kaitan sosial menjadi nilai-nilai luhur yang memaksa manusia masuk ke dalam medan pertempuran dengan pihak lain, serta  semua karakteristik ketuhanan disematkan pada dirinya sendiri. Ini merupakan ujian bagi manusia dalam kaitannya dengan absolut-absolut (muthlaqât) palsu yang disinggung oleh al-Sayyid al-Syahîd al-Shadr dalam beberapa tulisannya. Beliau menulis:
           
“Di sepanjang sejarah ada langkah-langkah yang secara historis sukses. Akan tetapi, langkah-langkah itu tidak boleh digeser dari batas-batasnya seperti langkah menuju yang mutlak menjadi nilai-nilai luhur. Upaya melangkah harus berada dalam bingkai nilai-nilai luhur, bukan langkah tersebut dirubah menjadi nilai-nilai luhur. Ketika dalam sejarah sejumlah keluarga menyatu, kemudian membentuk suku, ketika semua suku menyatu dan membentuk klan lebih besar, ketika klan lebih besar itu menyatu dan membentuk suatu umat, langkah-langkah ini benar berkaitan dengan perkembangan manusia dan penyatuan manusia. Akan tetapi, setiap langkah tersebut tidak boleh berubah menjadi nilai-nilai luhur. Tidak boleh berubah menjadi sesuatu yang mutlak. Klan tidak boleh menjadi sesuatu yang mutlak yang karenanya manusia melakukan peperangan. Yang Mutlak yang karenanya manusia melakukan peperangan tetaplah yang mutlak dalam arti yang sebenarnya, yaitu Allah SWT. Perkembangan tetap menjadi cara, akan tetapi yang mutlak tetaplah Allah SWT. Generalisasi temporal ini juga merupakan bentuk generalisasi yang keliru ketika nilai-nilai yang diambil dari langkah yang terbatas melalui waktu dirubah menjadi nilai-nilai luhur.”[2]
           
Di bagian lain beliau membandingkan antara nilai-nilai luhur yang sebenarnya dengan nilai-nilai luhur palsu. Ia mengatakan: “nilai-nilai luhur menyatukan keseluruhan manusia, dan menghilangkan semua perbedaan dan batasan-batasan sebagai sifat kosmopolitanisme nilai-nilai luhur tersebut. Ia mencakup semua batasan-batasan dan semua perbedaan, meleburkan semua perbedaan dan menyatukan seluruh manusia dalam satu kesatuan yang sama. Tidak ada sesuatupun yang membedakan sebagian manusia dengan sebagian yang lainnya dari sisi darah, etnis, nasionalisme maupun perbedaan teritorial, dan kelas. Nilai-nilai luhur dengan sifat kosmopolitannya menyatukan manusia. Akan tetapi, nilai-nilai tinggi yang berkarakter rendah memisah-misahkan dan mencerai-beraikan manusia. Perhatikanlah nilai-nilai luhur bagaimana ia menyatakannya: Sesungguhnya inilah umat kamu, satu umat, dan Aku adalah Tuhan kalian. Karena itu sembahlah“.[3] “Sesungguhnya ini adalah umat kalian, umat yang tunggal, dan Aku adalah Tuhan kalian, maka bertaqwalah“.[4] Itulah logika kosmopolitanitas nilai-nilai luhur yang tidak mengenal batas dalam keluarga kemanusiaan. Perhatikan dan dengarkanlah nilai-nilai rendah yang mengarah pada masyarakat zalim dan tuhan-tuhan masyarakat zalim bagaimana mereka berkata, atau bagaimana al-Qur’an al-Karim berbicara tentang mereka: Sesungguhnya Fir’aun telah melakukan tindakan sewenang-wenang, dan menjadikan penduduk bumi cerai-berai“[5].[6]
           
Ketika watak dan substansi tauhid bersifat global sebagaimana terlihat jelas pada penjelasan di atas, wajar apabila kenabian juga watak dan substansinya bersifat global. Dalam pengertian bahwa kenabian berinteraksi dengan individu-individu manusia sebagai kesatuan jenis yang sama dan sejajar, sehingga tidak ditemukan dalam kesatuan ini keberpihakan terhadap individu, suku, keluarga, kelompok atau wilayah geografis dengan mengabaikan individu, suku, keluarga, kelompok atau wilayah geografis lainnya. Dari sini, globalitas merupakan atribut yang terbatas hanya dimiliki agama samawi yang benar. Kita tidak menemukan jejak globalitas yang sebenarnya yang dimiliki oleh prinsip yang bersifat bumi (positif), tidak pula dimiliki oleh agama samawi yang sudah tercemar dengan noda-noda bumi.

Al-Sayyid al-Syahid Shadr mengatakan: “Dunia mengenal berbagai klaim globalisasi yang begitu banyak.  Ia mengenal Kristiani resmi yang mengklaim bahwa Kristiani bersifat global padahal Kitab Sucinya mengatakan bahwa selain bangsa Israel adalah anjing, dan belum pernah memiliki sifat humanisme sehari pun. Dunia mengenai Marxisme di era modern dan para pendukungnya mengklaim bahwa ia bersifat global, akan tetapi sehari pun tidak akan pernah bersifat humanisme, sebab ia bersifat material dan pernah mengkafirkan manusia ketika Marxisme menelanjangi manusia dari sumber kebesarannya dan karakteristiknya yang paling agung, yaitu aspek spiritual dan satu-satunya sumber kemanusiaannya. Jika ia bukan humanisme, maka ia tidak akan pernah mengglobal, sebab ia kehilangan syarat utama untuk itu, yaitu keimanan terhadap manusia. Hanya Islam semata yang merupakan misi kemanusiaan yang global. Memang dulu demikian, dan sekarang pun demikian, dan akan demikian pula hingga Allah mewarisi bumi dan segala isinya”.[7] Atas dasar pemikiran ini al-Sayyid al-Syahid di berbagai tempat membicarakan dan menegaskan dua fakta: [1] Keabsahan Islam sebagai misi langit. [2] Agama-agama samawi bersifat monoteistik global (tauhîdiyah âlamiyyah) semenjak awal.

Fakta pertama dibicarakan dan ditegaskan dalam bukunya “al-Mursil, al-Rasûl, al-Risâlah” dalam menghadapi keraguan para musuh yang ingin menodai Islam sebagai misi langit. Mereka beranggapan bahwa Islam merupakan prinsip positif duniawi (ardliy) yang merupakan kreasi Nabi Muhammad sendiri. Klaim ini dimunculkan orang-orang Nashrani dan Yahudi kuno serta sejumlah orientalis modern dengan cara terbuka. Sebagian penganjur nasionalisme-Arab ada yang terpengaruh dengan sikap tersebut secara samar-samar ketika mereka meyakini bahwa Islam muncul sebagai ekspresi nasionalisme mengenai jati diri Arab dengan segala watak dan karakteristiknya. al-Sayyid Al-Syahid Shadr ketika menyanggah mereka mengatakan: “Misi —sebagai isi— merupakan fakta ketuhanan yang melampaui kondisi-kondisi materiil. Akan tetapi, fakta tersebut setelah berubah menjadi gerakan, menjadi upaya yang terus-menerus untuk perubahan, akan terkait dengan kondisi-kondisinya serta situasi dan perasaan yang menyelimutinya. Jika dikatakan, umpamanya: perasaan cerai-berai dan kehancuran yang dirasakan manusia Arab, dan perasaan ini merealisasikan tuhannya dan nilai-nilai luhurnya ke dalam batu yang kemudian ia hancurkan tatkala marah, atau ke dalam manisan yang dilahapnya tatkala merasa lapar, (perasaa ini) menyebabkan dia mencari misi baru. Atau dikatakan: bahwa perasaan kesukuan memerankan peran penting dalam dinamika misi. Jika dinyatakan suatu hal yang terkait dengan masalah tersebut, maka itu rasionl. Bisa jadi hal itu bisa diterima. Hanya saja hal tersebut hanya menjelaskan peristiwa, tidak menjelaskan misi itu sendiri”.[8]
           
Andaikata Islam anak (produk langsung) dari lingkungan Arab, tentunya karakter dan watak Arab terefleksikan. Sementara kita menemukan misi Islam membawa nilai-nilai dan konsep-konsep mengenai kehidupan, manusia, kerja dan hubungan sosial. Anak dari masyarakat suku muncul dalam pentas dunia dan sejarah secara tiba-tiba menyerukan kesatuan manusia sebagai keseluruhan. Anak lingkungan yang mentahbiskan berbagai macam perbedaan atas dasar darah, keturunan dan situasi sosial muncul menghancurkan semua bentuk perbedaan tersebut, dan ia memaklumkan bahwa manusia adalah sama seperti gigi-gigi sisir “Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling takwa di antara kalian”.[9] Ia datang untuk merubah pengumuman tersebut menjadi fakta yang dialami oleh manusia sendiri. Anak padang sahara yang hanya merenungkan keresahannya (masalah-masalahnya) yang kecil, dan menutupi rasa laparnya serta berbangga di antara sesamanya dalam stratifikasi kesukuan, muncul memimpin mereka dengan menanggung beban persoalan besar dan menyatukan mereka dalam satu medan pertarungan membebaskan dunia..”[10] Demikianlah, kita sedang menghadapi di sini sebuah lompatan besar dan perkembangan yang menyeluruh di semua aspek kehidupan, serta perubahan dalam nilai dan konsep yang berkaitan dengan berbagai bidang kehidupan ke arah yang lebih baik, lebih daripada sekedar melangkah ke depan. Masyarakat kabilah di tangan Nabi melompat ke keimanan terhadap pemikiran bahwa masyarakat dunia itu satu, bahwa masyarakat paganistik melakukan lompatan menuju agama tauhid murni yang meralat semua agama tauhid lainnya..”[11] Kesimpulannya adalah bahwa globalitas Islam menegaskan sifat ke-langit-annya.
           
Fakta kedua dikaji al-Sayyid al-Syahid al-Shadr dalam keranga pembicaraannya tentang pemikiran yang mengatakan bahwa agama-agama berkembang dari bentuk kesukuan ke bentuk nasionalisme, kemudian ke bentuk global atas dasar pemikiran bahwa “setiap bangsa ketika kondisi ekonominya berkembang dan memungkinkannya membangun masyarakat bangsa yang merdeka, maka tuhan-tuhan yang mereka sembah adalah tuhan-tuhan nasionalisme masyarakat tersebut dengan membaurkan diri dengan imperium global, yaitu imperium Romawi yang juga memerlukan agama global juga. Agama global ini adalah Kristen yang menjadi agama resmi Negara”.[12] Al-Sayyid al-Syahid al-Shadr memberikan sanggahan terhadap pemikiran tersebut, bahwa kalau Kristen memang mengekspresikan kebutuhan-kebutuhan objektif materiil sebagaimana ditunjukkan oleh Marxisme tentunya menjadi wajar apabila Kristen dilahirkan dan tumbuh dalam jantung imperium Romawi yang memegang kendali kepemimpinan dunia.. Padahal realitas sejarah berbeda sama sekali dengan itu. Kristen tidak muncul dalam titik sentral politik, tidak dilahirkan dalam buaian Romawi yang membangun Negara global. Mereka mengekspresikan Kritiani dalam aktifitas-aktifitas mereka. Kristiani muncul jauh dari semua itu, dalam sebuah kawasan timur yang dijajah Romawi. Kristiani berlangsung di kalangan masyarakat Yahudi yang tertindas. Semenjak dijajah Imperium dengan kepemimpinan panglima Bambiy enam decade sebelum Masehi, Yahudi tidak pernah mencita-citakan adanya kemerdekaan nasional, menghancurkan belenggu-belenggu yang mengikatkannya dengan para penjajah, suatu keyataan yang mengharuskan mereka memikul beban banyak pemberontakan dan puluhan korban selama enam decade tersebut. Apakah lingkungan materiil, politik dan ekonomi dari masyarakat tersebut patut dikatakan lahir dari agama global yang dapat memenuhi kebutuhan imperium penjajah?[13]
           
Dari sisi Islam jika kita mengambil pemikiran Marxisme mengenai perkembangan sejarah agama-agama untuk diterapkan pada Islam sebagai agama global lainnya, tentu kita temukan sejauh mana kontradiksi yang nyata antara pemikiran dan realitas. Kalau Eropa merupakan Negara global menuntut adanya agama global, di Jazirah Arab tidak ada Negara, bahkan tidak ada Negara nasional yang menyatukan masyarakat Arab, justru orang Arab terpecah-pecah ke dalam berbagai kelompok. Masing-masing suku memiliki tuhannya yang mereka yakini, yang mereka perjuangkan dan yang mereka ciptakan dari batu. Kemudian mereka mentaatinya dan menghamba kepadanya. Apakah lingkungan materiil dan politik menyebabkan munculnya agama global baru dari jantung jazirah tersebut, sementara jazirah itu tidak mengenal bagaimana menangkap eksistensinya sebagai masyarakat, lebih-lebih untuk menyadari kesatuan yang merupakan model tertinggi yang tercermin pada sebuah agama yang menyatukan seluruh alam? Jika tuhan-tuhan itu berkembang dari tuhan-tuhan nasional menjadi tuhan global seiring dengan kebutuhan materiil dan situasi politik, bagaimana mungkin bangsa Arab melakukan lompatan dari tuhan-tuhan yang bersifat kesukuan yang mereka ciptakan sendiri dengan tangan mereka sendiri dapat menjadi satu tuhan global yang mereka dekati dengan tingkat abstraksi yang tertinggi?[14]
           
Ketika mengkritik habis teori tersebut mengenai perkembangan agama-agama, beliau sebagai gantinya melontarkan teori baru yang dapat beliau pakai untuk menjelaskan persoalan perubahan, pergantian dan kemunculan kenabian satu demi satu. Ruang di sini tidak cukup untuk menjelaskan secara panjang lebar teori tersebut. Kami hanya akan membatasi secukupnya yang terkait dengan tema kajian kami. Yaitu, kenabian-kenabian mengalami perubahan dan pergantian seiring dengan beberapa faktor, di antaranya faktor seberapa jauh kesiapan manusia untuk menyadari fakta ketauhidan.
           
Memang benar bahwa tauhid merupakan fakta tunggal di semua kenabian dan misi langit. Akan tetapi kesiapan manusia, kondisi-kondisi kejiwaan dan intelektualnya berbeda-beda dari satu fase waktu tertentu dengan fase waktu lainnya. Dalam kondisi seperti ini ide ketauhidan harus diperkenalkan pada fase-fase dan tingkatan yang berbeda-beda. Masing-masing tingkatan menyiapkan mentalitasnya untuk dapat menerima tauhid. Kita bisa saja menoleh pada ide tauhid yang diberikan pada Taurat, Injil dan al-Qur’an. Kita memahaminya sebagai contoh atas pengertian tersebut. Taurat dan Injil yang sekarang ada di tangan kita, sebab Taurat dan Injil yang ada sekarang bagaimanapun juga kadang-kadang dimaksudkan untuk menggambarkan ide keagamaan pada bangsa Musa dan Isa, kelompok masyarakat Musa dan Isa. Tidak disangsikan juga bahwa sedikit atau banyak sebagian dari teks keagamaan di sana masih terpelihara, terutama dalam Taurat. Oleh karena itu, kita dapat mengambil inspirasi dari dua buku tersebut dengan cara mengapreasiasi dan mendefinisikan semangat keagamaan secara umum dari dua fase manusia yang menjalaninya bersama kenabian berdasarkan watak fakta. Sementara tauhid pada Kitab yang pertama didasarkan pada karunia Tuhan, dan Kitab ini tidak dapat menghilangkan watak nasionalisme yang sempit, sehingga Taurat senantiasa menyodorkan Tuhan dalam bingkai kelompok, seolah-olah Tuhan mereka berdiri secara diametral dengan patung-patung yang merupakan tuhan-tuhan bangsa dan suku lainnya. Taurat tidak mengatakan secara jelas dan mendalam mengenai mereka; bahwa ada satu Tuhan untuk semua, melainkan mereka diberi ganti secara khusus dari  patung tertentu dengan tuhan yang mereka sembah sebagai ganti dari patung itu. Oleh karena itu, di sepanjang zaman mereka membayangkan bahwa mereka saja yang memonopoli Allah sementara bangsa dan suku yang lainnya masih memiliki banyak tuhan dan patung sesembahan. Dalam Kitab kedua (Injil), ide tentang Allah mengalami perkembangan secara sistematis. Hal itu karena watak komunal lenyap dari gagasan tersebut, dan Tuhan yang diajukan oleh para murid al-Sayyid al-Masih (Isa) kepada dunia adalah Tuhan global, yang sama sekali tidak beda antara satu bangsa dengan bangsa lainnya. Ia merupakan Tuhan alam secara mutlak. Akan tetapi Tuhan tersebut tidak meninggalkan wilayah yang dekat dengan mental (pikiran) manusia yang konkrit. Ia tidak melepaskan secara sempurna dari dunia konkrit. Ia tetap terkait erat dengan manusia yang konkrit. Seolah-olah ia bapaknya (manusia). Oleh karena itu, dalam Injil manusia sering dungkapkan sebagai putra Allah. Injil mengungkapkan manusia manapun sebagai putra Allah. Sebab, Injil memberikan ide tentang Allah sebagaimana ide tentang satu bapak bagi keseluruhan manusia, ide tentang pencipta, tuan yang mutlak dan berkuasa. Sementara itu, Kitab ketiga memberikan pengertian tauhid seluas mungkin lepas dari deantropomorphism. Tuhan tetap memiliki kuasanya untuk menggerakkan manusia, sebab kitab ketiga ini sama sekali melepaskan ide ini dari watak kebapakan dan kaitan-kaitan materiil dengan manusia”.[15]
           
Ide ini mempertegas apa yang telah kami paparkan, bahwa ada kaitan antara tauhid dengan globalitas. Semakin jelas tauhid itu, maka globalitas yang muncul darinya semakin besar dan mencolok, hingga muncul Islam untuk menyampaikan tauhid dalam fasenya yang paling tinggi, dan menyampaikan globalitas dalam tingkatannya yang paling besar. Dalam konteks ini gejala yang terlihat pada garis kenabian harus dibicarakan, yaitu gejala yang terkait dengan pemberian wasiat tentang misi kepada orang-orang yang relatif terkait erat dengan utusan (Nabi) atau anak cucunya. Gejala ini tidak hanya sejalan dengan para penerima wasiat dari Nabi Muhammad semata, tetapi juga terjadi pada sejumlah besar rasul. Allah SWT berfirman: “Kami telah mengutus Nabi Nuh dan Ibrahim, dan Kami telah menetapkan kenabian dan kitab pada anak cucu mereka berdua“.[16] “Kami telah memberinya Ishaq dan Ya’qub. Masing-masing telah kami beri petunjuk. Demikian pula sebelumnya kami telah memberikan petunjuk kepada Nabi Nuh dan anak cucunya, Dawud dan Sulaiman“.[17] Pemilihan penerima wasiat biasanya terjadi di kalangan individu-individu yang memiliki keturunan dari garis pemegang misi. Mereka melihat cahaya hanya pada  pundaknya dan dalam bingkai pendidikannya”.[18] Ini berarti bahwa garis  kesaksian langit pada dua fasenya, kenabian dan imâmah, telah tertutup hanya untuk keturunan keluarga tertentu, dan ini tidak sejalan dengan nilai-nilai globalitas.
           
Al-Sayyid al-Syahid memberikan jawaban terhadap keberatan di atas. Ia mengatakan: “Dalam konteks ini bukan karena kekerabatan sebagai hubungan materiil yang membentuk dasar pewarisan, melainkan karena kekerabatan sebagai pembentuk, biasanya, bingkai yang sehat untuk mendidik penerima wasiat dan menyiapkannya untuk menjalankan peran ketuhanannya. Kalau umpamanya kekerabatan dalam bingkai seperti ini tidak terwujud, maka kekerabatan itu sama sekali tidak ada artinya bagi langit”. Allah ta’ala berfirman: “Tatkala Ibrahim diuji oleh Tuhannya dengan kata-kata (ketetapannya), kemudian dia menyempurnakannya, Allah berfirman: Sesungguhnya Aku akan menjadikan kamu sebagai pemimpin. Dia bertanya: Bagaimana dengan keturunanku? Allah menjawab: Janjiku tidak akan terkait dengan orang-orang yang zalim“.[19] Kami dapat memberikan jawaban dengan bentuk lain. Kami dapat mengatakan bahwa garis kesaksian pada dua fasenya, kenabian dan imamah, memerlukan karakteristik-karakteristik khusus pada nabi dan imam yang tidak dimiliki oleh individu biasa, terutama persoalan ke-ma’shum-an. Wajar saja apabila langit dalam rangka mensukseskan perjuangan para nabi memobilisasi keseluruhan kesiapan dan potensi tertinggi, di antaranya faktor keturunan, pendidikan dan nasab.  Keturunan memindahkan kesiapan dan bakat globalitas. Pendidikan kenabian menumbuhkan dan mengarahkan bakat dan kesiapan global tersebut, sementara nasab memainkan peran pendorong yang penting dalam menggairahkan individu yang mendapatkan dirinya lebih berani dan percaya diri manakala dirinya terkait dengan keluarga yang berdarah biru.
           
Kami juga dapat menyebutkan jawaban lain, yaitu bahwa manusia pada masa para nabi dan imam berinteraksi dengan nasab sebagai nilai sosial dan politik sehingga nilai-nilai itu mengharuskan kepada siapa saja yang ingin memegang kendali masyarakat harus berasal dari nasab keluarga tinggi. Oleh karena itu sistem imperium dan kerajaan-lah yang dominan tentunya, hingga muncul revolusi Perancis. Alam senatiasa mempertahankan bekas-bekas dari sistem tersebut. Hal ini membuktikan bahwa manusia masih memberi nilai politis kepada nasab, sekalipun dengan tingkat yang lebih rendah daripada sebelumnya. Wajar dalam konteks seperti ini kalau  garis kenabian mempertahankan poin ini sehingga dimungkinkan sekali menghasilkan kesuksesan yang diperlukan dalam proses perubahan sosial. Hal itu ketika perubahan tersebut berangkat dari realitas sosial yang kuat yang tercermin pada nasab kenabian yang tinggi yang dihormati dan diakui oleh masyarakat. Demikian pula dapat dikatakan bahwa struktur rangkaian para nabi dan para imam berada dalam satu keturunan keluarga barangkali dimaksudkan sebagai upaya mentahbiskan kesatuan manusia dan mengakarkan ruh kekerabatan di antara individu-individunya.

Suatu hal yang penting adalah bahwa garis kenabian, ketika mempertahankan syarat-syarat yang niscaya dan berbagai aspek tersebut, tidak melepaskan sisi globalitasnya dan tidak mengurangi nilai moral tingginya. Yang menentukan kenabian dan imamah tetaplah bakat dan potensi serta kelebihan yang pada nabi dan imam disyaratkan harus mencapai puncak potensi, menggapai ujungnya. Nasab sebagai nasab bukan penentu atau bagian dari pentunya. Jika Revolusi Perancis telah mencatat pada abad ke-XVIII awal perubahan menuju sistem republik yang tidak mengenal nasab sebagai nilai politik dalam masyarakat, maka Islam telah mendahului delapan abad sebelumnya ketika memaklumkan bahwa fase ketiga pada garis kesaksian —yaitu fase otoritas yang bergerak seiring dengan mulai tidak adanya imam di pertengahan abad III H—merupakan fase tidak adanya peran politik bagi nasab secara total. Hal itu ketika garis kesaksian tidak lagi mensyaratkan, untuk rangkaian kepemimpinannya, adanya syarat ke-ma’shum-an. Padahal sebelumnya nasab memerankan peran pembantu dalam masalah tersebut melalui dua faktornya, keturunan dan pendidikan kenabian. Nilai politik dari nasab menghilang sama sekali pada fase ini.

Dimensi-Dimensi Global pada Wilayah Sejarah

Sejarah tidak lagi merupakan buku tempat para generasi mempelajari cerita-cerita masa lampau untuk menikmati dan mengambil pelajaran. Akan tetapi, lebih daripada itu sejarah telah menjadi salah satu wilayah dinamis bagi pertemuan pemikiran dan politik di antara berbagai ideologi dan teori. Masing-masing dari ideologi dan teori tersebut berusaha mencari dalam sejarah argumen yang mendukungnya, dan memastikan kelompok lawannya sebagai (kelompok yang) gagal. Atas dasar itu muncul filsafat sejarah semenjak abad XVII M sebagai kecenderungan pemikiran. Melalui kecenderungan ini para filosof dan pemikir berusaha menundukkan pengalaman sejarah sebagai objek kajian dan analisa yang sangat mendalam agar dapat sampai pada pengetahuan yang sesempurna mungkin mengenai hakekat individu dan masyarakat. Wajar apabila kecenderungan yang awalnya dikenal dengan nama Ilmu Baru, kemudian berubah nama menjadi filsafat sejarah, tunduk pada kecenderungan materiil yang mendominasi Eropa. Sebagai konsekwensinya filsafat sejarah berarti memberikan interpretasi materiil terhadap sejarah dengan satu dan lain cara. Kadang-kadang menafsirkan sejarah berdasarkan faktor ekonomi, kadang-kadang berdasarkan faktor geografis, kadang-kadang berdasarkan faktor keturunan dan terakhir kadang-kadang berdasarkan faktor etnik.
          
Sangat wajar sekali kalau kemudian Islam juga melontarkan pendapatnya dalam pergumulan tersebut dan menjelaskan faktor yang menjadi pilihannya. Sejumlah tokoh dan pemikir Islam membicarakan masalah ini dalam sejumlah karya dan tulisan. Di antara yang paling menonjol adalah buku filsafat sejarah karya Ayatullah al-Syahid Murtadla Muthahhari. Diharapkan dari al-Sayyid al-Syahid al-Shadr untuk melontarkan teori Islami dalam masalah ini, dan menjelaskan pendapatnya yang pasti sebagaimana halnya pada masalah-masalah besar pemikiran Islam lainnya dan dasar-dasarnya yang utama. Hal itu andaikata takdir tidak merenggut harapan besar itu. Besar dugaan bahwa beliau berniat untuk membicarakan aspek tersebut dalam buku “Mujtama’unâ”. Hal itu berdasarkan dua hal:

[1] Dalam buku “Nihâyah Falsafatinâ“, dan dalam konteks kajian tentang persepsi dan kemampuan manusia beradaptasi dengan lingkungan, beliau menulis: “Kami akan mengkaji dalam buku “Mujtama’unâ” karakteristik dari adaptasi dan batas-batasnya dalam perspektif konsep Islam mengenai masyarakat dan negara. Sebab hal tersebut merupakan persoalan-persoalan utama dalam mengkaji dan menganalisa masyarakat. Dalam kajian itu kami akan membicarakan secara panjang lebar semua aspek yang kami bicarakan secara singkat dalam kajian tentang persepsi ini”.[20] [2] Dalam pengantar cetakan pertama dari buku “Iqtishâdunâ”, ia juga menulis: Kami dapat memperkirakan kalau kajian tentang “Mujtama’unâ” merupakan kajian kedua bagi kami. Dalam kajian itu kami mengkaji ide-ide Islam mengenai manusia, kehidupan sosialnya dan bagaimana Islam menganalisa dan menafsirkan struktur sosial..”[21] Siapa saja yang mengenal metode al-Sayyid al-Syahid al-Shadr dalam mengkaji persoalan dan kedalaman yang menjadi ciri khasnya, akan dapat meramalkan bahwa beliau akan mengkaji masalah peran lingkungan dan faktor-faktor materiil yang direfleksikan lingkungan dalam kepribadian seseorang sebagai individu, masyarakat dan sejarah. Apakah posisi manusia terhadap lingkungan seperti peran orang yang pasif dan terpaksa, atau bagaikan peran orang yang bebas berkehendak? Dan kajian-kajian lain yang memiliki kaitan yang erat dengan kajian persepsi dan masyarakat.

Tradisi faktual dari al-Sayyid al-Syahid al-Shadr mencakup dua aspek filsafat sejarah, yaitu:

[1] Membicarakan secara panjang lebar dan mendalam materialisme sejarah dalam Marxisme, kadang-kadang dalam perspektif dasar-dasar filsafat dan logika yang membentuk konsep umum Maxisme mengenai alam, kadang-kadang dalam pespektif Marxisme sebagai teori umum yang berusaha mencakup keseluruhan sejarah manusia, kadang-kadang dalam perspektif bagian-bagian teori yang digariskan Marxisme mengenai fase sejarah manusia dan lompatan-lompatan sosial untuk setiap fasenya. Kajian mengenai hal ini terdapat dalam buku “Iqtishâdunâ“. Kajian-kajian ini dianggap sebagai kritik dan sanggahan paling tajam yang pernah dihadapi oleh Marxisme. Hal itu karena argumen-argumen yang kuat dan bukti-bukti yang meyakinkan dari segala aspeknya, yang memang menjadi ciri khas beliau. Akan tetapi, kajian-kajian tersebut hanya sedikit sekali yang memasukkan teori Islam dalam wilayah sejarah dan filsafatnya. Sebab, kebanyakan kritik dan sanggahan yang diajukan oleh beliau tercermin dalam bukti-bukti sejarah dan filsafat yang menegaskan kekeliruan teori Marx. Jelas bahwa menegaskan kekeliruan Marxisme merupakan sesuatu hal, dan membangun teori Islami merupakan sesuatu yang lain.

[2] Melontarkan teorinya yang terkenal mengenai hukum-hukum sejarah dalam al-Qur’an dalam lima kuliah dari sejumlah kuliah-kuliah al-Qur’an seputar tafsir maudlu’iy. Siapa saja yang membaca kuliah-kuliah yang kemudian diterbitkan dengan judul “al-Madrasah al-Qur’aniyyah“, dan mencocokkan antara yang ada dalam kuliah tersebut dengan yang beliau sebutkan dalam bukunya “Mujtama’unâ“, akan dapat diduga keras bahwa al-Sayyid al-Syahid dalam kuliah-kuliahnya tersebut terdapat satu aspek dari semangat kreatifitasnya dalam buku “Mujtama’unâ” terkait dengan masyarakat dan sejarah. Bahwa hukum-hukum sejarah yang beliau uraikan dalam kuliah-kuliah tersebut mencerminkan kaidah al-Qur’an yang dapat dipagangi dalam membangun teori integratif tentang filsafat sejarah. Seolah-olah takdir berkehendak agar al-Sayyid al-Syahid menyampaikan kuliah-kuliahnya tersebut mengenai masyarakat dan sejarah sebagai sesuatu yang terpendam dan merupakan tulisan awal (seminal) mengenai teori Islam tentang masyarakat dan sejarah, sambil menunggu orang yang bersedia memikul tanggungjawab itu (memunculkannya), dan yang merubah sesuatu yang terpendam tersebut sebagai teori integraftif, mentransformasikan kuliah-kuliah al-Qur’an tersebut menjadi “Mujtama’unâ’.

Di antara sejumlah pemikiran substansial yang ia lontarkan dalam kuliah-kuliahnya tersebut adalah: “Manusia atau aspek internal dari manusia (al-muhtawâ al-dakâkhiliy li al-insân) merupakan dasar dari gerak sejarah. Kami telah menyebutkan bahwa gerak sejarah berbeda dari seluruh gerak lainnya. Gerak tersebut bersifat teleologis, bukan semata-mata bersifat kausalitas. Ia tidak terikat dengan masa lalunya, tetapi terikat dengan tujuannya, karena gerak sejarah berorientasi tujuan. Ia memiliki sebab orientatif yang mengarah pada masa depan. Masa depan dengan demikian merupakan penggerak bagi aktifitas apapun dari aktifitas sejarah. Masa depan sebenarnya tidak ada, akan tetapi ia menggerakkan melalui eksistensi mental yang menjadi tempat bagi cerminan masa depan. Jadi, eksistensi mental inilah yang merupakan masa kini, penggerak dan poros bagi gerak sejarah. Eksistensi ini mewujudkan dari satu sisi aspek intelektual, yaitu aspek yang memahami konsep-konsep tujuan, dan juga di sisi lain mencerminkan potensi, kehendak yang mendorong manusia menuju tujuan dan mengaktifkannya untuk bergerak menuju tujuan tersebut. Dengan demikian, eksistensi mental yang mewujudkan masa depan menjadi faktor penggerak, eksistensi inilah yang mengekspresikan di satu sisi pemikiran, dan di sisi lain kehendak. Dengan berbaurnya pemikiran dan kehendak terwujudlah efektifitas dan pergerakan masa depan untuk aktifitas sejarah di pentas sosial. Aspek internal manusia tercermin pada dua unsur utama, yaitu pemikiran dan kehendak. Jadi, aspek internal manusialah yang menciptakan tujuan-tujuan tersebut, dan mewujudkan tujuan-tujuan itu melalui pembauran antara ide dengan kehendak. Kalau demikian, maka dapat dikatakan bahwa aspek internal manusia merupakan dasar bagi gerak sejarah dan struktur atas sosial dengan segala relasi, sistem, ide dan hal-hal yang lebih kecil. Struktur atas ini sebenarnya terkait dengan kaidah ini, aspek internal manusia”.[22]

Pesan ini pada dasarnya didasarkan pada apa yang ditegaskan oleh al-Sayyid al-Syahid di penghujung buku “Falsafatunâ“, bahwa pemikiran merupakan aktifitas positip dan efektif bagi jiwa, bukan tergantung pada reaksi fisiologi, juga bukan merupakan realitas langsung dari bahasa seperti anggapan Marxisme. Bahasa merupakan sarana pertukaran ide, bukan pembentuk ide-ide tersebut”.[23] Kemudian ia menyimpulkan bahwa: “Kehidupan sosial dan latar belakang materiil tidak menentukan ide manusia dan emosinya secara mekanik melalui faktor-faktor eksternal. Memang benar bahwa manusia terkadang mengadaptasikan ide-idenya secara sadar dengan lingkungan dan latar belakangnya sebagaimana yang diserukan oleh aliran fungsionalisme dalam psikologi karena dipengaruhi oleh teori perkembangan menurut Lamark dalam biologi. Makhluk hidup secara organik beradaptasi sesuai dengan lingkungannya. Demikian pula halnya dengan kehidupan intelektualnya, akan tetapi kita harus mengetahui: Pertama, adaptasi ini ada dalam pemikiran-pemikiran praksis yang fungsinya mengatur kehidupan eksternal. Ia tidak mungkin ada dalam pemikiran-pemikiran kontemplatif yang fungsinya menyingkapkan realitas. Kedua, adaptasi pemikiran-pemikiran praksis dengan tuntutan lingkungan dan latar belakangnya tidak bersifat mekanik, melainkan merupakan adaptasi sadar yang muncul dari dorongan-dorongan sadar dalam diri manusia. Dorongan-dorongan inilah yang menjadikan sistem selaras dengan lingkungannya. Dengan demikian kontradiksi sama sekali lenyap antara aliran fungsionalisme dengan aliran yang berorientasi tujuan dalam Psikologi. Kami akan mempelajari dalam buku “Mujtama’unâ” watak dari adaptasi ini, dan batas-batasnya dalam perspektif Islam mengenai masyarakat dan negara”.[24]

Akan tetapi kesimpulan yang dapat kita temukan melalui ide-ide tersebut tampak tidak sejalan dengan apa yang diterangkan beliau sendiri dalam bukunya “Iqtishadunâ“. Kesimpulannya adalah bahwa individu melalui masyarakatnya, kemudian dalam rangkaian sejarah yang lebih besar, bergerak berdasarkan satu faktor, yaitu faktor pemikiran dan kehendak yang diistilahkan dengan aspek internal manusia. Ini berarati bahwa Islam meyakini orisinalitas ide tentang satu faktor dalam sejarah. Ini bertolak belakang dengan apa yang disebutnya dalam Iqtishadunâ. Dalam buku itu, ia mengatakan, setelah memberikan penjelasan singkat mengenai teori satu faktor dalam sejarah: “Semua upaya tersebut tidak sejalan dengan realitas, dan tidak diakui oleh Islam. Sebab setiap upaya tersebut berusaha ditangkap (dipahami) dengan satu faktor dalam menafsirkan seluruh kehidupan manusia, dan memberikan kepada faktor tersebut peran sejarah dan kelebihan sosial yang sebenarnya tidak tepat menurut perhitungan yang menyeluruh dan akurat”.[25] Jelas, bahwa tujuan dari ide satu faktor dalam sejarah bukan menafikan faktor-faktor yang lain, melainkan merupakan seleksi di antara faktor utama dengan faktor-faktor sekunder. Pengkajian mengenai “faktor yang membentuk semangat asli dari sejarah dan identitas riilnya, dan yang mampu menjadi pembenar dan penafsir faktor-faktor yang lainnya”,[26] sebagaimana dikatakan oleh al-Syahid al-Muthahhari.

Demikianlah, ide tentang penyatuan berbagai faktor yang dilontarkan  sebagai pemikir, di antara mereka adalah Dr. Muhammad Fathi Usman[27] bersifat ilusi, sebab manusia yang bergerak dengan berbagai faktor yang tidak linier lebih mirip dengan mobil yang menjadikan setiap rodanya memiliki mesin sendiri, setir sendiri dan sopir sendiri. Nyaris tidak saya ragukan bahwa al-Sayyid al-Syahid tidak bermaksud dengan pernyataannya di atas sebagai bentuk keyakinan terhadap ide penyatuan antara berbagai faktor yang berbeda-beda dan sekaligus berdiri sendiri. Pernyataannya harus dimaknai dengan pengertian lain yang sejalan dengan kesimpulan yang saya ambil dari buku “al-Madrasah al-Qur’aniyyah” dan “Falsafatunâ“. Satu hal yang menjadi perhatian kami dalam tulisan ini adalah bahwa al-Sayyid al-Syahid dengan jelas menyatakan bahwa faktor penggerak sejarah adalah ide dan kehendak. Hal ini sendiri membentuk sikap terhadap teori-teori yang menafsirkan sejarah dengan faktor-faktor lainnya. Di antaranya, teori geografis yang menganggap lingkungan geografis merupakan landasan bagi gerak-gerak, revolusi-revolusi dan perubahan-perubahan yang memenuhi sejarah. Teori keturunan yang meyakini bahwa garis keturunan, etnis dan darah memiliki peran tersebut. Kedua teori ini merupakan sumber intelektual yang penting di antara berbagai sumber yang membentuk ide nasionalisme.

Ketika Islam bertumpu pada ide dan kehendak, aspek emosi dan spiritual manusia sebagai faktor bagi gerak individu, masyarakat dan sejarah, sebenarnya Islam bertumpu pada faktor yang substansial yang mencakup asal usul penciptaan manusia. Semua individu manusia sama-sama berafiliasi pada faktor tersebut. Ini sejalan dengan kerangka global dari misi Islam. Ketika Liberalisme Barat bertumpu pada faktor geografis dan nasionalisme, sebenarnya ia bertumpu pada faktor formal di mana individu-individu manusia di sini berbeda. Ini sejalan juga dengan kerangka materialisme dari peradaban Barat. Perbedaan antara Islam dengan Liberalisme dari sisi ini adalah bagaikan perbedaan antara keluarga yang individu-individunya meyakini peran spiritual dan bimbingan bapak, sehingga keluarga ini bersatu dan bersaudara yang melihat substansi eksistensi kemanusiaan dan moralnya satu untuk semuanya, dan segala perbedaan formal di kalangan individu-individunya diabaikan. Sementara itu keluarga lainnya menolak peran bapak, dan karenanya kehilangan kerangka yang menyatukan individu-individunya. Maka, keluarga ini melupakan substansi kemanusian dan moralnya yang tunggal untuk semua. Masing-masing individu dalam keluarga tersebut hanya bertumpu pada karakteristik formal yang dimilikinya, seperti warna, panjang (tinggi) dan keindahan sebagai dasar keunggulan atas saudara-saudaranya yang lain. Keluarga pertama merupakan keluarga kemanusiaan yang berada dalam naungan kebapakan (bimbingan, arahan) langit yang diekspresikan Islam melalui globalitasnya. Keluarga kedua merupakan keluarga kemanusiaan yang berada dalam naungan meterialisme Barat yang menipu manusia melalui faktor geografis, kadang-kadang melalui faktor nasionalisme, dan kadang-kadang melalui faktor kelas untuk memuaskan perasaan individu dan kecenderungan masing-masing individu, dan untuk melemparkan semuanya ke dalam tungku pertarungan yang dianggap sebagai elemen tersembunyi di antara elemen-elemen Liberalisme Barat, karenanya Liberalisme ini —lantaran materialismenya— didasarkan pada upaya mentahbiskan pertarungan, dan upaya teorisasi terhadap hal itu sebagai ide filosofis, ilmiah dan sosiologis. Sementara masyarakat manusia yang berada dalam naungan kebapakan (bimbingan, arahan) langit yang tercermin dalam globalisme Islam melalui ide persaudaraan kemanusiaan secara umum, dan keimanan secara khusus, peradaban Barat, melalui penolakannya terhadap kebapakan (bimbingan, arahan) langit dan penegasannya terhadap aspek materiil, berusaha menyiapkan iklim bagi munculnya perasaan-perasaan permusuhan di antara anggota-anggota keluarga setelah peradaban ini menculik bapak mereka. Peradaban ini tidak cukup hanya melakukan hal tersebut, melainkan lebih daripada itu ia mengagungkan ide pertarungan, dan menganggapnya sebagai hukum filosofis, ilmiah, historis, sosilogis yang alami bagi pentas kemanusiaan.

Ada ide tentang pertarungan di antara kontradiksi (oposisi binary) pada tataran filosofis, ide pertarungan kelas pada tataran sosiologis, ide pertarungan demi kelangsungan hidup pada tataran biologi, ide pertarungan antara ras tinggi dan ras rendah pada tataran  kebangsaan, ide perkembangan dialektika sejarah pada tataran sejarah. Semua ini menjadikan pertarungan sebagai ide deterministik dalam masyarakat. Sementara itu, kebalikannya kita temukan individu Muslim merasa “sangat terkait dengan kelompok ke mana ia berafiliasi, ada harmoni antara dia dengan kelompok sebagai ganti daripada ide pertarungan yang mendominasi pemikiran Eropa modern. Ide jama’ah (kebersamaan) bagi manusia Muslim dibangun oleh kerangka globalitas misi Islam yang mengkaitkan beban misi ini dengan tanggungjawab eksistensinya secara global, serta keberlanjutannya seiring dengan ruang dan waktu. Sebab, interaksi manusia di dunia Islam sepanjang sejarah dengan misi globalnya yang terbuka untuk kelompok-kelompok manusia, menanamkan dalam dirinya perasaan globalitas dan keterkaitannya dengan jama’ah”.[28] Ketika Islam mengandalkan faktor manusia dalam sejarah, faktor-faktor yang lain sudah terangkum juga dalam wilayah tersebut. Kami tidak menolak peran karakter nasionalisme —demikian pula faktor ekonomi serta faktor-faktor lainnya— dalam gerak sosial, akan tetapi kami memandang faktor-faktor tersebut dan watak-watak itu, di antaranya watak nasionalisme, mengalihkan semua tuntutannya pada perangkat mental sebagai ide, tidak berubah menjadi perilaku sosial kecuali setelah tuntutan itu dilaksanakan manusia, padahal bisa jadi manusia memang melaksanakannya, tetapi kadang-kadang juga menolaknya, dan terkadang mendiskusikannya terlebih dahulu. Upaya memilih salah satu dari alternatif-alternatif ini berlangsung dalam perspektif kondisi-kondisi kejiwaan dan mental manusia tersebut. Sebab, mental mencakup ide yang benar dan kuat yang memungkinkannya untuk mengatasi situasi secara positip dan efektif. Kalau tidak demikian, maka faktor-faktor dan kecenderungan-kecenderungan tersebut dapat mendektekan sikap dan idenya terhadap manusia secara bebas.

Dari sini, Islam menganggap jiwa sebagai medan perhitungan secara akurat dan terus-menerus antara dunia akal yang mengarahkan dengan dunia kecenderungan yang menekan. Islam juga menganggap perilaku salah atau menyimpang sebagai perilaku yang muncul dari kecenderungan yang menekan, yang terkadang akal tidak mampu mengarahkannya lantaran akal tidak berdaya di satu sisi, dan lantaran kecenderungan tersebut terlalu agresip di sisi lain. Aplikasi yang menonjol dari ide ini dapat kita temukan dalam buku “Ahl al-bait tanawwu’ adwâr wa Wihdah Hadaf“. Dalam buku ini al-Sayyid al-Syahid memberikan fokus pada peran penting yang dimainkan fanatisme kesukuan dalam perjalanan umat Islam yang menyimpang dari garis global yang digambarkan Nabi, dan menjadi garis jahiliyah yang tribalis dan fanatik yang bersumber dari kecenderungan mencintai diri yang ingin memaksakan dirinya pada manusia sebagai satu-satunya poros bagi perilaku. Dulu memang ada ide Islam yang mengglobal, akan tetapi ide itu masih terlalu muda yang pernah didedikasikan oleh masyarakat Islam begitu saja. Masyarakat tersebut dalam kaitannya dengan ide itu harus melakukan langkah-langkah aplikatif dan edukatif. Ada ide kesukuan yang dukungan sosialnya masih besar, dan kesadaran dan ketidaksadaran masyarakat Islam sendiri masih kenyang (sangat dipengaruhi) dengan ide itu. Dalam kondisi seperti itu, Nabi saw meninggal, sementara Umat Islam “menghadapi perubahan sosial politik yang sangat besar sekali, sebab semestinya ide masyarakat global sudah direalisasikan. Ide yang diserukan Nabi SAW, namun belum terwujud, sebab beliau meninggal sebelum pengaruhnya merambat keluar kawasan Arab meskipun beliau sudah pernah menyerukan raja-raja dunia ketika itu untuk masuk Islam dalam rangka memberikan kesadaran terhadap mereka mengenai Islam, dan dalam rangka mencatatkan bahwa Islam bersifat global. Beliau juga menyerukan masyarakat global tanpa ada perbedaan antara satu bangsa dengan bangsa yang lainnya, antara satu kaum dengan lainnya, sekalipun masyarakat global belum terwujud.

Pada masa Nabi telah terwujud masyarakat Arab yang membawa ide globalitas. Masyarakat tersebut didasarkan pada misi, bukan pada ide nasionalisme, atau kaidah nasionalisme bagi misi tersbeut. Masyarakat ini, sepeninggal Nabi saw semestinya membangun globalitas, mendirikan masyarakat Islam yang global. Fase ini atau tugas tersebut membutuhkan rasionalitas isi yang 100%, membutuhkan kejernihan jauh dari segala hal-hal yang merusak, jauh dari segala sesuatu yang menurunkan ide dan emosi yang dialami oleh manusia tribal, atau manusia nasionalism. Hingga sekarang mereka belum merasakan masyarakat global, kecuali sebagai ide yang belum lahir. Seluruh manusia adalah keluarga. Seluruh manusia sama seperti garis sisir. Tidak ada perbedaan antara non-Arab dan Arab. Mereka mendengarnya sebagai ide dari Nabi. Masyarakat seperti mereka belum mendapatkan kesempatan untuk mewujudkan ide tersebut, atau mewujudkannya pada fase pengalaman Islam yang sedemikian akurat. Tentunya telah terjadi penurunan-penurunan intelektual dan emosi yang menjadikan mereka turun di bawah tataran untuk mewujudkan ide masyarakat global..”[29] Al-Sayyid al-Syahid juga mengatakan di bagian lain dari bukunya: “Nabi muncul pada masyarakat generasi belakangan yang merasakan pemikiran kesukuan dalam corak dan hasil yang paling mencolok, serta konsep-konsep dan ide-idenya yang paling kasar. Beliau datang, kemudian melemparkan ide tentang masyarakat global di mana tidak ada perbedaan antara suku dengan suku lainnya, bangsa dengan bangsa lainnya, antara umat dengan umat lainnya. Lompatan besar ini dengan segala transformasi pemikiran dan perubahan sosial yang terkandung di dalamnya bukanlah merupakan sesuatu yang biasa dalam kehidupan manusia. Jadi, bagaimana mungkin kita membayangkan bahwa masyarakat ini akan meninggalkan ide-ide, emosi dan reaksi secara sempurna yang mereka miliki, serta mampu membuka halaman baru secara sempurna tanpa diiringi dengan warisan masa lampau? Ini tidak mungkin, kecuali dalam rentang waktu yang sangat panjang. Padahal Rasulullah saw hidup sebagai pendidik bagi masyarakat dan negara secara sempurna di Madinah hanya sepuluh tahu saja, mengingat bahwa sebagian besar dari masyarakat Islam mengalami banyak peristiwa justru setelah Nabi meninggal”.[30]

Pengalaman kenabian menegaskan bahwa para tokoh sahabat, hingga masa belakangan dari kehidupan Nabi saw, senantiasa terbebani dengan perasaan kesukuan secara fanatik. Di sini tujuan kami adalah aspek perubahan sosial, bukan mengeluarkan hukum atau menolak hal-hal positip dari mereka dan mengabaikan pengabdian-pengabdian mereka terhadap Islam yang selama ini mereka lakukan. Sebab, pengabdian-pengabdian tersebut memberikan kadar perubahan tertentu yang telah mereka lakukan pada diri mereka. Bisa jadi tingkat perubahan itu dapat diterima untuk perubahan sosial bagi kondisi sejarah. Bisa jadi Rasulullah saw menerima mereka setelah melihat tingkat perubahan yang telah terjadi pada mereka. Akan tetapi apakah rasional kalau Nabi memberikan kendali pengalaman dakwah untuk seluruh manusia kepada individu-individu yang dipengaruhi oleh Islam hanya sebagian kecil dari kepribadian mereka, sementara bagian terbesar masih menunggu perubahan? Bukankah itu berarti bahwa pengalaman akan memanfaatkan mereka dengan kadar perubahan Islam tertentu yang mereka peroleh, dan tingkat yang lebih besar justru membahayakan, seperti ide, konsep dan warisan jahiliyah yang masih berada dalam kawasan kesadaran dan ketidaksadaran? Apakah masuk akal kalau kendali globalitas yang besar dalam sejarah Islam diberikan kepada individu-individu yang merasakan globalitas masih berupa ide yang belum jelas dan masih lemah dalam benak mereka, serta perasaan kesukuan masih dominan pada mereka?

Di sini al-Sayyid al-Syahid membedakan antara kesadaran dengan apa yang sebut dengan potensi semangat (al-thâqah al-harâriyyah). Ia berpendapat bahwa “Umat memiliki potensi semangat yang besar, namun tidak memiliki kesadaran mencerahkan yang bebas dari akar-akar jahiliyah”.[31] Bukti yang ia ketengahkan mengenai hal tersebut adalah Perang Hunain. Pada saat itu Rasulullah saw membagikan harta rampasan peran kepada kaum Muslimin Makkah saja berdasarkan kemashlahatan yang beliau temukan. Beliau tidak memberikan sedikitpun dari harta rampasan perang itu kepada sahabat Anshar. Maka, muncullah perasaan kesukuan pada sahabat Anshar. Mereka menafsirkan peristiwa tersebut dengan menyatakan bahwa Nabi saw memihak penduduk Makkah, sebab mereka memang kaum dan keluarga besar beliau. Al-Sayyid mengulang ide yang sama di bagian lain dengan memberikan bukti historis yang lain, yaitu bahwa orang-orang yang menolak al-Imam Ali sepeninggal Rasulullah saw sebenarnya memiliki potensi semangat, akan tetapi tanda ada kesadaran. Mereka mengira bahwa Muhammad saw ingin “membangun kebesaran Bani Hasyim, ingin mengangkat eksistensi keluarga tersebut, dan ingin mengembangkan sendiri sepeninggal beliau. Oleh karena itu beliau memilih Ali. Beliau memilih saudara sepupunya. Ini merupakan pemikiran yang sejalan dengan kondisi psikologis yang dialami oleh kebanyakan kaum Muslimin sebagai endapan masa Jahiliyyah..”[32]

Hal tersebut ditegaskan  dengan kenyataan bahwa kaum muhajirin dalam peristiwa Saqifah mengatakan bahwa kekuasaan adalah kekuasaan Qurasiy, bahwa kekuasaan Muhammad merupakan kekuasaan Quraisy. Kami lebih berhak daripada orang-orang Arab lainnya. Bangsa Arab lainnya lebih berhak daripada kaum Muslimin lainnya. Di sini muncul perasaan kesukuan, perasaan komunal secara spontan..”[33] Persoalannya adalah persoalan Quraisy, kekuasaan dan kebesarannya. Oleh karena itu Umar bin al-Khathab menginginkan untuk mengetahui masa depan kekuasaan setelah dia. Ia bertanya kepada masyarakat mengenai siapa yang mereka kehendaki setelahnya. Ia mengatakan: Setiap orang Arab yang saya tanya senantiasa menjawab: Ali bin Abi Thalib. Namun, setiap orang Qurasiy yang aku tanya, pasti mengatakan Usman bin Affan. Artinya mayoritas kaum Muslimin memilih Ali bin Abi Thalib. Namun satu klan (suku) tertentu menghendaki untuk merampas kekuasaan dari umat sehingga mereka memilih Usman..”[34] Umar bin al-Khathab sendiri orang yang didominasi perasaan kesukuan. Dialah yang mengakui bahwa Rasulullah saw berusaha menjagokan Ali sebagai pemegang kekuasaan, akan tetapi sayalah yang menghalanginya untuk menjaga Islam dan kepentingan Islam”.[35] Yang sebenarnya terjadi adalah bersikap hati-hati demi kepentingan Quraisy yang memang loyalitasnya beliau berikan kepada kelompok ini ketika ia menjadi khalifah. Yaitu, ketika ia membeda-bedakan antar berbagai kelas, ketika ia memperkayakan satu kabilah saja tanpa yang lainya. Apakah kalian mengetahui kabilah mana yang ia jadikan kaya, yaitu kabilah nabi saw.[36]

Mengenai dia sejarah menyebutkan bahwa dia “menghapus jizyah bagi masyarakat Kristen Arab di Irak.. Umar mengganti jizyah dengan zakat. Dia memerintahkan untuk menarik zakat yang berupa biji-bijian yang sangat kecil sekali dan sedikit sekali, yang hanya cocok untuk satu keluarga saja, tidak lebih banyak dari keluarga Nasrani di Irak. Benih ini di sepanjang waktu membawa bencana yang meluas. Barangkali benih inilah yang menjadi dasar bagi semua bencana yang dirasakan kaum Muslimin setelah itu, atau yang dialami oleh kaum Muslimin sebagai akibat dari kondisi nasionalisme yang kemudian menggoncangkan Islam dan membinasakan misi Islam, nasionalisme Arab, Persia, Turki, India dan nasionalisme-nasionalisme kafir lainnya yang dibangun di dunia Islam. Saya ingin mengatakan bahwa tugas membangun masyarakat global membutuhkan kepemimpinan yang berbeda dari karakter “shahabat” dan emosi (perasaan) yang pernah dimiliki para khalifah itu”.[37] Dalam kondisi semacam ini menjadi wajar apabila non-Arab melepaskan diri dari Islam selama pemikiran yang dominan adalah pemikiran Arab fanatik, bukan pemikiran Islam global yang pernah diserukan kepada mereka dan atas dasar pemikiran itu mereka masuk Islam. Hanya saja yang menjadikan Umat tidak menarik diri dari Islam adalah bahwa Islam masih memiliki nilai lain yang pernah diajukan, nilai yang jelas karakteristiknya, nilai-nilai yang murni, murni tujuan dan orientasinya. Tesis ini diajukan oleh kaum Muslimin yang memiliki kesadaran dengan kepemimpinan para imam dari Ahlul Bait”.[38] Mereka berfungsi sebagai garis yang merepresentasikan Islam dan nilai global secara sempurna.

Dimensi Global dalam Wilayah Politik

Pemikiran al-Sayyid al-Syahid penuh dengan banyak solusi global pada tataran politik yang dapat kita temukan secara tersebar pada tradisi pemikirannya. Pandangan fiqhiyahnya mengenai Undar-Undang Republik Islam dapat kita dilihat bahwa beliau mendefinisikan negara Islam dalam kaitannya dengan hubungan eksternal yang bertujuan membawa cahaya Islam, membawa lentera risalah agung kepada seluruh alam, berpihak kepada keadilan dan kebenaran dalam masalah-masalah internasional, menyodorkan nilai-nilai luhur Islam melalui hal tersebut, membantu semua orang yang tertindas dan tersiksa di muka bumi serta melawan penjajahan, kesewenang-wenangan, khususnya di dunia Islam di mana Iran menjadi bagian tak terpisahkan dari dunia tersebut”.[39] Beliau membandingkan antara sistem Islam dengan sistem demokrasi. Ia menegaskan bahwa Umat merupakan sumber (pemegang) kekuasaan dalam sistem demokrasi, umat merupakan pusat kekhalifahan dan pusat tanggungjawab di hadapan Allah ta’ala dalam sistem Islami.[40] Jelas, bahwa perbedaan ini mencerminkan perbedaan substansial, yaitu bahwa umat ketika menjadi sentral kekhalifahan merupakan mata rantai antara yang ditunjuk sebagai khalifah dengan manusia lainnya. Ini berarti bahwa kekhalifahan merupakan rangkaian global dalam kaitannya dengan muatan moral, sosial dan politik. Kekhalifahan secara substansial dan esensial merupakan konsep global, sementara umat dalam pemikiran positip disebut sebagai sumber kekuasaan.

Jelas, bahwa yang dimaksud dengan umat adalah kelompok yang memiliki kawasan nasional tertentu. Dengan demikian umat merupakan tuan bagi dirinya, bukan tuan bagi yang lainnya. Jadi, ide tentang kekuasaan secara substansi dan esensinya bersifat nasionalisme. Al-Sayyid al-Syahid al-Shadr menekankan ide mengenai khilafah dengan penjelasan yang lebih dalam dalam tulisannya yang menarik tentang kekhalifahan manusia dan kesaksian (testimoni) para nabi. Ia membagi sejarah manusia menjadi dua fase: fase bimbingan langit melalui nabi yang ma’shum atau imam. Dalam fase ini yang ma’shum merepresentasian dua garis (peran) sekaligus. Ia merepresentasikan garis (peran) kesaksian sebagai nabi atau imam, dan garis kekhalifahan sebagai manusia. Dia saksi dan khalifah sekaligus. Kedua, fase otoritas terbimbing di mana elemen kema’shuman tidak ada. Umat dapat mempraktekkan dan merepresentasikan garis kekhalifahan, namun otoritas terpimpin (mendapat bimbingan) menjalankan tanpa memiliki hak kesaksian terhadap kekhalifahan itu. Seolah-olah Islam berusaha melalui pembagian itu menyediakan apa yang dapat disediakan, iklim kema’shuman yang tidak ada dalam fase tersebut”.[41]

Mengenai globalitas negara Islam al-Sayyid al-Syahid al-Shadr mengatakan: “Ada dua aspek mengapa negara Islam berhak memegang bumi (dunia): aspek pertama adalah keberhakan yang bersifat politis. Dunia menjadi hak negara Islam sebagai administrasi politik tertinggi bagi Islam. Artinya, negara Islam sebagai yang bertanggungjawab atas eksistensi dan yang memfungsikan secara legal dalam mengaplikasikan, menyebarkan dan melindungi Islam. Cakupan hak ini tidak terbatas, sebab eksistensi politik negara Islam didasarkan pada prinsip pemikiran yang umum. Atas dasar itu, tidak ada perbedaan tanah dan negara. Karena Islam yang tercermin dalam negara Islam merupakan pemegang kebenaran syara’ di seluruh muka bumi. “Kami telah menetapkan dalam kitab Zabur setelah diberi peringatan, bahwa bumi ini hanya akan diwariskan kepada hamba-hamba-Ku yang salih“. Maka, seluruh bumi di alam ini harus ditundukkan pada negara Islam secara politik. Hanya saja cara menggunakan kebenaran ini dan bentuk pelaksanaannya berbeda-beda sesuai dengan watak masyarakat yang menempati wilayah yang terdiri dari kaum Muslimin, kafr yang dilindungi, atau yang tidak”.[42] Dalam konteks ini ada pertanyaan yang diajukan kepada al-Sayyid al-Syahid seputar perbedaan antara “fath” (pembukaan, penaklukan) sebagai ide Islami dengan penjajahan yang kita kecam dan kita serang sebagai fenomena Barat. Beliau menjawab dengan indah. Ringkasnya bahwa perluasan merupakan gejala bersama yang dmiliki baik oleh Islam maupun Barat. Barat mengatakan: Saya memperluas, menaklukan dan menguasai secara persuasif ataupun kekerasan. Islam mengatakan hal yang sama. Akan tetapi masalah keduanya tidak sama. Kriteria pada keduanya bahwa masing-masing dari keduanya berdiri dengan perspektif kaidah pemikiran yang menjadi titik tolaknya. Perluasan yang legal adalah perluasan yang sejalan dengan kaidah yang menjadi titik tolaknya. Barat didasarkan pada kaidah kebebasan. Kaidah ini menuntut Barat menghormati kebebasan bangsa-bangsa yang lain, tidak memaksakan dirinya pada mereka sebagai nilai utama dalam perspektif peradaban tersebut. Bahkan sekalipun dengan asumsi klaim tersebut merupakan kebenaran riil, sebab hal tersebut akan menjadi kontradiksi bagi kaidah yang menjadi sandaran peradaban Barat.

Bisa jadi Barat bohong dengan apologinya membela kebebasan, sementara tujuan sebenarnya adalah menaklukkan negara-negara di bawah kekuasaannya. Bisa jadi pula kebebasan tersebut memang tidak pantas untuk dijadikan kaidah pemikiran dan nilai utama bagi peradaban manusia. Jika Barat bohong, maka perluasaan merupakan permusuhan. Jika kebebasan memang tidak pantas menjadi nilai utama dan kaidah pemikiran dalam konteks peradaban, maka perluasan Barat tidak menemukan legalitasnya. Khususnya, bahwa peradaban Barat merupakan hasil kreasi Barat dan mentalitas Barat. Dengan demikian, pemaksaan Barat terhadap negara-negara lain merupakan perluasan nasionalisme dengan mengabaikan bangsa-bangsa tersebut. Persoalannya lebih merupakan persoalan perluasaan nasionalisme daripada persoalan kebebasan dan demokrasi. Inilah yang menyebabkan kita mengecam penjajahan dan menganggapnya sebagai permusuhan terhadap bangsa-bangsa. Sementara itu, kaidah pemikiran Islam adalah tauhid. Tauhid sendiri memuat pemikiran tegaknya langit atas dasar bumi. Manifestasi alamiah dari berdiri tegaknya langit adalah apabila para pengikutnya mengakui otoritas tauhid atas bumi sebagai tugas langit bagi mereka. Demikianlah, perluasan Islam sejalan dengan kaidah yang menjadi titik tolaknya, dan tidak mengandung permusuhan. Sebab perluasan tersebut merupakan tugas langit, bukan ambisi pribadi Muslim terhadap non Muslim seperti perluasan Barat sebagai bentuk permusuhan pribadi Barat terhadap non Barat. Islam tidak mengandung perluasan yang bersifat nasionalisme, sebab tauhid merupakan pemikiran langit, bukan produksi manusia, bahkan sekalipun dipaksakan kepada yang lainnya merupakan perluasaan nasionalisme.[43]

Catatan

[1][1] Surat al-Baqarah: 213.
[2] Al-Madrasah al-Qur’aniyyah, Dâr al-Ta’âruf, Beirut, hlm. 169.
[3] Surat al-Anbiya': 90.
[4] Al-Mu’minun: 52
[5] Surat al-Qashash: 4
[6] al-Madrasah al-Qur’aniyyah, hlm. 229.
[7] Risâlatuna, hlm.59
[8]al-Mursil, al-Rasûl, al-Risâlah, Tahqiq Abd al-Jabbar al-Rifa’iy, hlm. 194.
[9] Al-Hujurat: 13
[10] al-Mursil, al-Rasûl, al-Risâlah, hlm. 186
[11] Ibid, hlm. 190
[12] Iqtishâduna, hlm. 116.
[13] Ibid, hlm. 116-117
[14] Ibid, hlm. 117-118
[15] Ahl al-bait tanawwu’ adwâr wa wihdah hadaf, hlm. 39-40.
[16] Surat Al-Hadid: 26
[17] Surat al-An’âm: 84
[18] al-Islâm Yaqûdu al-Hayâ, hlm.  166.
[19] Ibid, hlm. 167
[20] Falsafatuna, hlm. 200.
[21] Iqtishâduna, hlm. 72
[22] al-Madrasah al-Qur’aniyyah, hlm. 139-141
[23] Falsafatuna, hlm. 339
[24] Ibid, hlm. 400
[25] Iqtishâduna, hlm. 43
[26] al-Mujtama’ wa al-Tarikh, bagian I, Muassasah al-Bi’tsah, hlm. 18.
[27]  Al-Madkhal Ila al-Tarikh al-Islamiy, hlm. 493.
[28] Iqtishaduna, hlm. 21-22
[29] Ahl al-bait tanawwu’ adwâr wa Wihdah Hadaf, hlm. 137-138
[30] Ibid, hlm. 93.
[31] Ibid, hlm. 89
[32] Ibid, hlm. 82
[33] Ibid, hlm. 91
[34] Ibid. hlm. 29
[35]  Ibid. hlm. 139-140
[36] Ibid. hlm. 63
[37] Ibid, hlm. 138-139.
[38] Ibid, hlm. 79.
[39] Al-Islam Yaqûdu al-Hayah, hlm. 15
[40] Ibid, hlm. 18
[41] Ibid, hlm. 169-172
[42]  Muhammad al-Husainiy, al-Imam al-Syahid Muhammad Baqir al-Shadr, hlm. 340.
[43] Al-Majmu’ah al-Kamilah karya al-Sayyid Muhammad Baqir al-Shadr, jld. XIII, hlm. 99.

@ Irwan Kurniawan & Ahmad Y Samantho

Tidak ada komentar:

Posting Komentar