Minggu, 01 Maret 2020

Kota Serang, Kota Kecil yang Memang Kecil



oleh Sulaiman Djaya (esais & penyair)

Dari mulai memasuki kawasan Ciceri hingga alun-alun kota, berjejer barisan asmaul husna (99 nama Tuhan) sebagai penanda bahwa kota ini adalah kota muslim di sebuah provinsi yang mottonya iman-taqwa, meski seringkali para elitenya terjerat kasus korupsi dan manajemen sampahnya masih belum sepenuhnya tertata. Kota Serang benar-benar kota kecil, sebuah kota yang tak punya gedung teater atau gedung pertunjukkan dan museum seni seperti laiknya yang terdapat di kota-kota di Negara-negara lain. Di kota ini, toko buku sudah terbukti minim pembeli dan bangkrut.

Dan lucunya, pusat perbelanjaan Ramayana ada di samping alun-alun kota yang membuat Kota Serang kehilangan keindahan dan buruk dari segi tata-kota. Tak cuma itu, mall Ramayana yang berdekatan dengan alun-alun itu juga menyebabkan kemacetan. Keberadaan pusat perbelanjaan itu sejak Kota Serang masih termasuk Kabupaten Serang (sebelum pemekaran) dibawah pimpinan Taufik Nuriman yang diusung PKS dan populer karena bisnis pengerukan pasirnya. Jadi, jangan berharap anda akan mendapatkan wahana berbudaya di kota yang ingin menampilkan dirinya religius secara permukaan ini.

Jika tak ada komunitas-komunitas seni dan edukasi yang didirikan dan digerakkan secara sukarela oleh mereka yang mencintai kerja kebudayaan, jangan harap anda akan menemukan kebudayaan di kota kecil yang secara keagamaan sangat kurang mengapresiasi kecerdasan estetik ini. Anda harus menjadi ‘penggerak’ dan ‘pejuang’ untuk membuat kehidupan intelektual dan kebudayaan tetap ada. Seperti yang dilakukan oleh komunitas-komunitas sastra dan mereka yang mengadakan pameran-pameran kesenian serta mereka yang mengadakan panggung dan pementasan.

Secara arsitektural, memang masih terdapat banyak bangunan dan gedung-gedung peninggalan Belanda, semisal kawasan Museum Negeri Banten, Polres Serang Kota, dan yang lainnya, sementara yang lainnya merupakan kawasan dan gedung-gedung yang jauh lebih tua seperti kawasan-kawasan yang dihuni orang-orang Cina yang sudah ada sejak era Kesultanan Banten. Pusat perbelanjaan tradisional yang terkenal di kota ini ada tiga: Kawasan Royal, Pasar Rau, dan Pasar Lama yang juga populer sebagai pusat kelapa.

Di sisi lain kota tentu ada pusat-pusat belanja seperti Carrefour di Ciceri, Mall of Serang di Kemang, dan Ramayana seperti yang telah disebutkan yang gedungnya dulunya adalah markas komando militer. Tak lupa pula, dua universitas ternama di Banten pun ada di kota ini: Universitas Sultan Ageng Tirtayasa di Pakupatan yang bersebelahan dengan Terminal Pakupatan dan Universitas Islam Negeri Sultan Maulana Hasanuddin Banten di Ciceri yang bersebelahan dengan Carrefour yang berhadapan dengan McDonald di seberangnya.

Tak lupa juga, di kota ini Kawasan Pusat Pemerintahan Provinsi Banten (KP3B) berada sebagai kawasan khusus tersendiri yang sepertinya dalam rangka mengembangkan kawasan baru sebagai perluasan area perkotaan dan sebagai ikon Banten kedua setelah kawasan Kesultanan Banten yang merupakan kawasan wisata dan ikon sejarah kebanggaan Banten yang telah direnovasi dan diperbarui sejak terpilihnya Wahidin Halim sebagai Gubernur Banten menggantikan gubernur sebelumnya, Rano Karno.

Sebagai apresiator dan penikmat seni dan hidup-kerja intelektual dan kebudayaan, saya tergelitik untuk mengajukan pertanyaan: Bagaimana hidup di kota kecil seperti Kota Serang? Jika anda seorang apresiator atau penikmat seni dan kerja-kerja kebudayaan, maka anda takkan mendapatkan apa yang anda inginkan karena apa yang anda harapkan itu jarang ada. Apalagi yang diadakan oleh pemerintah kota atau pemerintah provinsi. Mungkin karena hal itu pula, kunjungan wisata dari pelancong mancanegara di Kota Serang sangat rendah untuk dikatakan tidak ada. Yah karena itu tadi, tak ada kehidupan kebudayaan selain tak ada pilihan menarik selainnya bagi mereka yang ingin mendapatkan suasana berbeda dari tanah air mereka.

Tersiar kabar pula bahwa Gubernur Banten pengganti Rano Karno, yaitu Wahidin Halim, kurang memiliki respek dan apresiasi pada kehidupan dan kerja yang sifatnya estetik dan gerak kebudayaan. Teman saya bahkan menilainya seorang ‘puritan’. Sementara bagi para penghuninya sendiri, bagaimana mungkin sebuah kota menjadi menarik ketika sebuah kota tak sanggup memenuhi kebutuhan ruhaniah warganya? Ketersediaan ruang publik juga sangat minim, seperti tidak adanya taman dan area hijau yang dapat menjadi wahana bermain dan rekreasi warga atau penduduk sebuah kota.

Tapi anda tak perlu khawatir dan tak harus terlalu kecewa. Panggung dan pertunjukkan seni kadang-kadang disediakan dan diadakan di kafe-kafe kopi dan di area tongkrongan anak-anak muda. Biasanya yang menyelenggarakan dan mengadakan adalah anak-anak muda dari komunitas sastra, para pegiat teater, dan para pekerja budaya lainnya seperti grup-grup musik lokal. Saya katakan kadang-kadang karena memang belum bisa dikatakan rutin dan sering. Tapi untung loh masih ada dibanding tak ada sama sekali.

Sesekali, perhelatan dan pertunjukan seni diadakan di alun-alun kota, meski alun-alun itu lebih sering digunakan untuk panggung musik pop serta dangdut dan untuk tabligh akbar atau acara-acara partai politik. Yah boleh dibilang, seperti lazimnya, penguasa kota tentu-lah adalah mereka yang menjadi penguasa kapital. Karena itu wajar saja jika yang paling sering menggunakan fasilitas alun-alun kota adalah para penguasa dan pelaku industri kebudayaan pop. Ada pun mereka yang bergelut dalam kerja estetik dan literer kebudayaan biasanya mengadakan hajatnya di markas-markas komunitas-komunitas mereka atau di kafe-kafe kopi.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar