oleh Sulaiman Djaya (esais
& penyair)
Dari mulai memasuki kawasan
Ciceri hingga alun-alun kota, berjejer barisan asmaul husna (99 nama Tuhan)
sebagai penanda bahwa kota ini adalah kota muslim di sebuah provinsi yang
mottonya iman-taqwa, meski seringkali para elitenya terjerat kasus korupsi dan
manajemen sampahnya masih belum sepenuhnya tertata. Kota Serang benar-benar
kota kecil, sebuah kota yang tak punya gedung teater atau gedung pertunjukkan
dan museum seni seperti laiknya yang terdapat di kota-kota di Negara-negara
lain. Di kota ini, toko buku sudah terbukti minim pembeli dan bangkrut.
Dan lucunya, pusat
perbelanjaan Ramayana ada di samping alun-alun kota yang membuat Kota Serang
kehilangan keindahan dan buruk dari segi tata-kota. Tak cuma itu, mall Ramayana
yang berdekatan dengan alun-alun itu juga menyebabkan kemacetan. Keberadaan
pusat perbelanjaan itu sejak Kota Serang masih termasuk Kabupaten Serang
(sebelum pemekaran) dibawah pimpinan Taufik Nuriman yang diusung PKS dan
populer karena bisnis pengerukan pasirnya. Jadi, jangan berharap anda akan
mendapatkan wahana berbudaya di kota yang ingin menampilkan dirinya religius
secara permukaan ini.
Jika tak ada komunitas-komunitas
seni dan edukasi yang didirikan dan digerakkan secara sukarela oleh mereka yang
mencintai kerja kebudayaan, jangan harap anda akan menemukan kebudayaan di kota
kecil yang secara keagamaan sangat kurang mengapresiasi kecerdasan estetik ini.
Anda harus menjadi ‘penggerak’ dan ‘pejuang’ untuk membuat kehidupan
intelektual dan kebudayaan tetap ada. Seperti yang dilakukan oleh
komunitas-komunitas sastra dan mereka yang mengadakan pameran-pameran kesenian
serta mereka yang mengadakan panggung dan pementasan.
Secara arsitektural,
memang masih terdapat banyak bangunan dan gedung-gedung peninggalan Belanda,
semisal kawasan Museum Negeri Banten, Polres Serang Kota, dan yang lainnya,
sementara yang lainnya merupakan kawasan dan gedung-gedung yang jauh lebih tua
seperti kawasan-kawasan yang dihuni orang-orang Cina yang sudah ada sejak era
Kesultanan Banten. Pusat perbelanjaan tradisional yang terkenal di kota ini ada
tiga: Kawasan Royal, Pasar Rau, dan Pasar Lama yang juga populer sebagai pusat
kelapa.
Di sisi lain kota tentu
ada pusat-pusat belanja seperti Carrefour di Ciceri, Mall of Serang di Kemang,
dan Ramayana seperti yang telah disebutkan yang gedungnya dulunya adalah markas
komando militer. Tak lupa pula, dua universitas ternama di Banten pun ada di
kota ini: Universitas Sultan Ageng Tirtayasa di Pakupatan yang bersebelahan
dengan Terminal Pakupatan dan Universitas Islam Negeri Sultan Maulana
Hasanuddin Banten di Ciceri yang bersebelahan dengan Carrefour yang berhadapan
dengan McDonald di seberangnya.
Tak lupa juga, di kota ini
Kawasan Pusat Pemerintahan Provinsi Banten (KP3B) berada sebagai kawasan khusus
tersendiri yang sepertinya dalam rangka mengembangkan kawasan baru sebagai
perluasan area perkotaan dan sebagai ikon Banten kedua setelah kawasan
Kesultanan Banten yang merupakan kawasan wisata dan ikon sejarah kebanggaan
Banten yang telah direnovasi dan diperbarui sejak terpilihnya Wahidin Halim
sebagai Gubernur Banten menggantikan gubernur sebelumnya, Rano Karno.
Sebagai apresiator dan
penikmat seni dan hidup-kerja intelektual dan kebudayaan, saya tergelitik untuk
mengajukan pertanyaan: Bagaimana hidup di kota kecil seperti Kota Serang? Jika anda
seorang apresiator atau penikmat seni dan kerja-kerja kebudayaan, maka anda
takkan mendapatkan apa yang anda inginkan karena apa yang anda harapkan itu
jarang ada. Apalagi yang diadakan oleh pemerintah kota atau pemerintah
provinsi. Mungkin karena hal itu pula, kunjungan wisata dari pelancong
mancanegara di Kota Serang sangat rendah untuk dikatakan tidak ada. Yah karena
itu tadi, tak ada kehidupan kebudayaan selain tak ada pilihan menarik selainnya
bagi mereka yang ingin mendapatkan suasana berbeda dari tanah air mereka.
Tersiar kabar pula bahwa
Gubernur Banten pengganti Rano Karno, yaitu Wahidin Halim, kurang memiliki
respek dan apresiasi pada kehidupan dan kerja yang sifatnya estetik dan gerak
kebudayaan. Teman saya bahkan menilainya seorang ‘puritan’. Sementara bagi para
penghuninya sendiri, bagaimana mungkin sebuah kota menjadi menarik ketika
sebuah kota tak sanggup memenuhi kebutuhan ruhaniah warganya? Ketersediaan ruang
publik juga sangat minim, seperti tidak adanya taman dan area hijau yang dapat
menjadi wahana bermain dan rekreasi warga atau penduduk sebuah kota.
Tapi anda tak perlu
khawatir dan tak harus terlalu kecewa. Panggung dan pertunjukkan seni
kadang-kadang disediakan dan diadakan di kafe-kafe kopi dan di area tongkrongan
anak-anak muda. Biasanya yang menyelenggarakan dan mengadakan adalah anak-anak
muda dari komunitas sastra, para pegiat teater, dan para pekerja budaya lainnya
seperti grup-grup musik lokal. Saya katakan kadang-kadang karena memang belum
bisa dikatakan rutin dan sering. Tapi untung loh masih ada dibanding tak ada
sama sekali.
Sesekali, perhelatan dan
pertunjukan seni diadakan di alun-alun kota, meski alun-alun itu lebih sering
digunakan untuk panggung musik pop serta dangdut dan untuk tabligh akbar atau
acara-acara partai politik. Yah boleh dibilang, seperti lazimnya, penguasa kota
tentu-lah adalah mereka yang menjadi penguasa kapital. Karena itu wajar saja
jika yang paling sering menggunakan fasilitas alun-alun kota adalah para
penguasa dan pelaku industri kebudayaan pop. Ada pun mereka yang bergelut dalam
kerja estetik dan literer kebudayaan biasanya mengadakan hajatnya di
markas-markas komunitas-komunitas mereka atau di kafe-kafe kopi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar