Senin, 06 Oktober 2014

Samir Amin –Indonesia Bukan Emerging Country



Oleh Kartika Candra (London)

Aktivis dan pemikir globalisasi tentu tak asing dengan nama Samir Amin. Ia salah satu pemikir terkemuka dalam studi pembangunan dan ekonomi internasional. Seorang Maoist dan anti imperialist yang percaya pada kebangkitan negara berkembang, Samir Amin terutama dikenal sebagai pencetus teori Center-Periphery (pusat dan pinggiran) yang menggambarkan ketimpangan hubungan antara negara maju di utara dan negara-negara miskin di selatan. 26 April 2013, saya menemui Direktur Third World Forum ini di sela kesibukannya memberi kuliah umum di School of Oriental and African Studies, University of London. Ia menguraikan kembali tentang teorinya dan relevansinya dengan situasi terkini. Ia juga berbicara tentang pertumbuhan ekonomi Indonesia dan apa yang membedakannya dengan Cina.

Kartika Candra: Anda menulis di “Unequal Development: An Essay on the Social Formations of Peripheral Capitalism” bahwa integrasi negara-negara berkembang dan kurang berkembang ke dalam sistem ekonomi global hanya akan memperdalam kesenjangan Utara-Selatan? Apakah ini juga yang terjadi saat ini?

Samir Amin: Ini masih terjadi saat ini dan masih akan terus terjadi selama kita berada di dalam frame sistem kapitalis. Bukan berarti trend ini berjalan linear atau bahwa kesenjangan itu tumbuh terus-menerus dalam laju yang sama. Tingkat kesenjangan itu pada satu waktu diwarnai dengan tingkat pertumbuhan yang sama tinggi, sehingga mengesankan stabil atau tidak tumbuh atau bahkan menurun.

Lalu setiap orang melompat dan berkata “Ini adalah akhir dari teori Center-Periphery Samir Amin. Ini adalah ekspansi kapitalis untuk kebaikan orang-orang di pheripheri,” dan seterusnya. Kita berada dalam periode di mana tingkat pertumbuhan di Eropa, Amerika dan Jepang terus menurun hingga hampir menyentuh angka nol. Pada saat yang sama tingkat pertumbuhan di tempat lain, walaupun tidak merata tetapi sangat tinggi, di Cina yang tertinggi. Walaupun di tempat lain juga sama tinggi seperti India, negara-negara Asia Tenggara, bahkan di Indonesia. Dan banyak yang berkata ini adalah proses catching up.

Kartika Candra: Menurut anda ini bukan proses mengejar ketertinggalan?

Samir Amin: Akan terbukti dalam waktu dekat bahwa ini bukan catching up. Tetapi ini adalah proses restrukturisasi relasi antara pusat dan pinggiran.

Kartika Candra: Apa pendapat anda tentang Indonesia?

Samir Amin: Indonesia sudah mendapatkan pengakuan dari Bank Dunia sebagai salah satu negara yang sedang bangkit (emerging country). Indonesia bukan emerging countries, karena tingkat pertumbuhan yang tinggi yang dicapai hampir sebagian besar berasal dari penjualan sumber daya alam, kayu dan lain sebagainya, tanpa menyebut minyak dan yang lain-lain. Dan apapun yang tumbuh bersama dengan ekspansi sumber daya alam ini, apakah kelas menengah yang tumbuh, industri jasa dan seterusnya, tidak lebih dari itu. Dan ini bukan emerging. Emerging membutuhkan proyek yang berdaulat, yang akan berbenturan dengan akumulasi global.

Kartika Candra: Tapi Indonesia dan negara-negara dengan tingkat pertumbuhan tinggi lainnya cukup sukses membangun industri manufaktur, termasuk yang berteknologi tinggi.

Samir Amin: Tidak. Kita perlu berhati-hati. Kita tidak bisa melompat pada kesimpulan semacam itu seperti yang anda lakukan. Ini sangat tergantung. Memiliki industri tidak sama dengan membangun sistem industri. Membangun sistem industri adalah membangun komplementaritas antara bermacam-macam industri lokal dan pada saat yang sama memegang kontrol atas industri tersebut, bahkan jika sampai level tertentu mereka melakukan ekspor atau berorientasi ke dalam negeri. Ini adalah satu set kebijakan yang sangat kompleks dan sistematis. Sekarang begini, anda bisa memiliki industri seperti di Indonesia. Tapi secara de facto industri-industri itu adalah bagian subkontrak dari monopoli kapital internasinal, de facto.

Kartika Candra: Jadi meskipun memiliki industri, mereka tidak memiliki kontrol atas industri itu?

Samir Amin: Mereka memiliki industri tetapi tidak industrialisasi.

Kartika Candra: Anda tidak percaya negara-negara berkembang akan menggantikan posisi negara maju sebagai Center?

Samir Amin: Tidak, sama sekali. Negara berkembang (Timur) sedang dalam konflik dengan the historical center, dan konflik ini akan terus berkembang, tidak berkurang.

Kartika Candra: Seperti apa konflik itu?

Samir Amin: Saya tidak punya bola kristal untuk meramal. Tapi saya bisa melihat di mana area-area konflik itu. Area ini dengan tepat akan mengakhiri kontrol teknologi negara-negara barat, ini adalah Cina yang melakukannya dengan sangat luar biasa cepat. Anda melihat kontrak mereka dengan Airbus? Negara lain seperti India atau Indonesia tidak melakukan hal yang sama. Kedua, akses ke sumber daya alam. Dalam hal ini, Indonesia adalah negara yang membuka dirinya untuk menguntungkan the historical North. Cina melakukan hal yang sebaliknya, dia berusaha mengakses sumber daya alam. Ketiga adalah konflik manajemen sistem finansial global yang terintegrasi. Sistem ini tidak bisa dibentuk kembali dari atas dengan membangun sistem moneter internasional yang cantik. Sistem ini sedang runtuh. Dan pada masa transisi ini, model-model kerjasama regional seperti yang diterapkan Amerika Latin dan akan berkonflik dengan yang beroperasi di Shanghai yang terkoneksi dengan Asia Tengah, India dan Asia Tenggara. Tapi model ini akan mengakhiri monopoli sistem moneter yang ada saat ini.

Kartika Candra: Jadi relasi pusat dan pinggiran di sistem internasional ini tidak akan berubah?

Samir Amin: Ini sedang berubah. Tetapi logika kapitalis merubah relasi ini supaya secara fundamental tetap menempatkan negara-negara itu dalam posisi yang tidak setara tidak setara, sementara pada saat yang sama strategi dari negara-negara emerging yang serius adalah mengurangi ketidaksetaraan itu.

Kartika Candra: Bahkan Cina tidak akan bisa menjadi pusat ekonomi dunia yang baru?

Samir Amin: Tidak. Bahkan Cina tidak akan menjadi pusat. Dia akan menjadi negara utama yang berbenturan dengan logika imperialisme. Itu yang mereka katakan karena mereka tidak mau Cina menggunakan logika imperialis untuk melawan kekuatan hegemoni. Inilah yang dinamakan pluri-centric global system.

Walaupun skeptis, Samir Amin masih percaya dengan kebangkitan negara-negara berkembang. KTT Non Blok yang berlangsung di Bandung 1955 silam adalah salah satu manifestasi kebangkitan itu, walaupun kemudian redup. Tapi Samir Amin percaya akan ada kebangkitan berikutnya. Ia mengatakan bersama timnya di Third World Forum sedang merancang kebangkitan perlawanan itu. “Dan itu akan dimulai di Asia,” katanya. 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar