Mungkin Anda tidak begitu
tahu seberapa dekat Anda mengenal Madinah, akan tetapi Imam Ridha as.
mengenalnya dengan sangat baik. Di kota itulah beliau dilahirkan. Mereka tidak
sedemikian ingat hari, bulan dan tahun kelahiran beliau, atau boleh jadi mereka
itu benar-benar tahu namun tidak mengakuinya—mungkin karena sejarah sama sekali
bukanlah pemegang amanat yang terpercaya. Mereka mencatat kelahiran beliau,
yaitu pada kisaran tahun 148, 151 dan 153 H, hari Jumat 19 dari bulan Ramadhan,
atau pertengahan bulan Ramadhan, atau hari Jumat dari bulan Rajab, atau 11
Dzilqa’dah. Namun yang paling sahih dari semua itu adalah tahun 148 H, yakni
tahun wafatnya Imam Ja’far Al-Shadiq as. Ini sesuai dengan catatan sejumlah
ulama besar seperti: Syaikh Mufid, Kulaini, Kaf’ami, Syahid Tsani, Tabarsi,
Shaduq, Ibnu Zuhrah, Mas’udi, Abul Fida’, Ibnu Atsir, Ibnu Hajar, Ibnu Jauzi,
dan nama-nama besar lainnya.
Gelar dan panggilan kehormatan Imam Ridha as. pun selaksa nama-nama cemerlang yang selalu melekat kuat dalam memori sejarah. Nama kehormatannya adalah Abul Hasan (bagi kalangan khusus), dan di antara gelar beliau adalah Shabir, Zaki, Wali, Fadhil, Wafiy, Shiddiq, Radhi, Sirajullah, Nurul Huda, Quratu Ainul Mu’minin, Kalidatul Mulhidin, Kufwul Mulk, Kafiyul Khalq, Rabbul Sarir, Ri’abul Tadbir, sementara Ridha merupakan gelar yang paling populer yang dengan nama ini kita masih senantiasa mengenal beliau selama ini. Barangkali Anda ingin mengetahui mengapa gelar ini melekat pada pribadi agung beliau, demikian ini penjelasannya:
“Beliau dikenal dengan nama Ridha karena disenangi di langit dan menjadi kebahagian Allah swt., para nabi dan para imam setelah beliau. Sebagian orang juga mengatakan bahwa beliau dinamai Ridha lantaran semua orang, entah kawan ataupun lawan, senang pada beliau. Pendapat lain menyebutkan bahwa orang-orang memanggil beliau dengan nama itu karena Khalifah Ma’mun senang padanya.”
Tatkala Anda menyimak gelar, panggilan kehormatan dan nama-nama ibunda Imam Ridha as., dapat dirasakan ada sesuatu di dalamnya yang mirip dengan apa yang terdapat dalam gelar-gelar dan nama-nama Imam as. seperti: Ummul Banin, Najmah, Sakan, Taktam, Khizran, Thahirah, dan Syaqra.
Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Imam Ridha as. memiliki lima putra dan seorang putri. Akan tetapi, sebagaimana dikemukakan oleh Allamah Majlisi, “Para ulama menyebutkan Jawad sebagai satu-satunya anak laki-laki beliau.” Ini adalah nama yang sudah akrab bagi kita.
Adapun tahun wafat Imam Ridha as., catatan sejarah lagi-lagi tidak memberikan kontribusinya secara utuh kepada kita, dimana membuka kemungkinan tahun wafat beliau berkisar antara 202, 203 dan 206 H. Namun demikian, kebanyakan ulama meyakini tahun 203 sebagai tahun wafat beliau. Atas dasar ini, usia Imam Ridha as. adalah 55 tahun; beliau menghabiskan 35 tahun bersama saying ayah dan menempuh 20 tahun sisanya untuk mengemban tugas imamah memimpin kaum Syi’ah.
Awal imamah Imam Ridha as. bertepatan selama sepuluh tahun dengan periode terakhir kekhalifahan Harun dari dinasti Abbasiyah. Lima tahun kemudian, imamah beliau semasa dengan era kekhalifahan Amin. Dan akhirnya imamah beliau juga sempat mengalami masa kekhalifahan Ma’mun selama lima tahun, yakni tahun-tahun keberhasilannya menguasai negeri Islam pada masa itu. Ma’mun tak lain adalah orang yang membunuh Imam Ridha as. dengan tipu muslihat dan racun. Para pecinta beliau menguburkan jasad suci beliau di kota Thus, tepat di bagian kiblat dari kubah Harun di rumah Hamid bin Qahtabah Al-Tha’i. Dan kini pusara beliau menjadi pusat ziarah para pecinta.
Di Madinah
Periode imamah Imam Ridha
as. di Madinah bermulai pada tahun 183 H. Pemerintahan pada masa itu berada di
tangan Harun Al-Rasyid dan terpusat di kota Baghdad. Tak beda dengan kaum tiran,
sejarah mencatat bagaimana Harun memerintah dengan tangan dingin, penyiksaan,
penjara, dan terror; dia menyiksa warga hanya untuk menarik pajak dan
menderitakan kaum anak dan pengikut Syiah. Sebelumnya Harus telah memenjarakan
ayah beliau, Imam Musa bin Ja’far, di penjara-penjara Bashrah dan Baghdad,
sampai akhirnya dia membunuh beliau dengan racun. Demikian masa-masa yang
menyaksikan kesyahidan sayang ayah dan bencana-bencana sosial yang menimpa
pengikut Syiah.
Pada masa hidup Imam Ridha as., Harun Al-Rasyid sedemikian kuatir terhadap pengaruh Ahlul Bait as. di tengah masyarakat sehingga, di samping tersebut di atas tadi, dia juga mengimpor perbagai pemikiran dan ide-ide orang asing ke dalam keilmuan kaum Muslimin. Harun melakukan demikian dengan maksud agar masyarakat lebih terfokus pada ilmu dan pemikiran asing tersebut.
Abu Bakar Kharazmi (w. 383 H) dalam sepucuk suratnya kepada warga Naisyabur mengenai tingkah pemerintahan dinasti Abbasiyah, khususnya perilaku Harun, menuliskan, “Harun meninggal dunia setelah menumbangkan pohon kenabian dan mencerabut akar imamah … karena salah satu imam pembawa panji hidayah dan pemimpin dari keluarga suci Nabi saw. wafat, tidak seorang pun yang mengiringi jenazahnya dan dibiarkan makamnya tanpa polesan. Akan tetapi ketika badut atau pelayan atau penyanyi atau algojonya meninggal dunia, para hakim mengadiri jenazahnya dan para elite penguasa memadati majelis duka citanya. Kaum materialis dan skeptis menikmati keamanan yang mamadai di negeri Muslimin. Para penguasa itu tidak mempersoalkan orang-orang yang mengajarkan buku-buku filsafat, akan tetapi setiap orang Syiah justru tewas dibunuh, dan siapa saja yang member nama Ali untuk bayinya, mereka akan menumpahkan darahnya.”
Beliau sendiri mengungkapkan, “Aku duduk di halaman makam kakekku, Rasulullah saw., sementara ada banyak orang-orang pandai di Madinah. Setiap kali salah satu dari mereka bingung cara memecahkan masalah, semua mencariku dan mengirimkan pertanyaan-pertanyaan kepadaku. Maka aku pun menjawab satu per satu.”
Pada akhirnya, usia Harun pun berakhir sudah. Tatkala pada tahun 193 H dia bertolak menuju Khurasan untuk meredam gejolak pemberontakan, dia meninggal dunia di sana dan dikuburkan di kota Thus, di salah satu kamar bawah tanah istana gubernur, Hamid bin Qahtabah Al-Tha’i.
Lalu tibalah giliran anak-anak Harun, yaitu Amin dan Ma’mun, bertikai satu sama
lain dalam perebutan kekuasaan. Maka Amin mengendalikan wilayah kekuasaan di
Baghdad, sementara Ma’mun menduduki takhta dinasti di Maru. Pertikaian di
antara dua anak Harun ini berlangsung selama lima tahun hingga akhirnya pasukan
Ma’mun menyerang Baghdad. Dalam serangan di tahun 198 H ini, Ma’mun membunuh
Amin dan dengan begitu dia memegang kekuasaan sepenuhnya. Namun demikian,
keluarga Alawi dan keturunan Imam Ali as. Tidak membiarkan Ma’mun bernafas
lega. Mereka sudah sukup menderita; berawal dari penindasan Harun, lalu
kekecewaan terhadap anak-anaknya, dan kini kejahatan Ma’mun. Maka mereka
melakukan pemberontakan di sejumlah wilayah Irak, Hijaz dan Yaman. Mereka hanya
mengangkat satu tuntutan: kekuasaan diserahkan kembali ke keluarga Nabi
Muhammad saw. Dengan kecerdikannya, Ma’mun mengundang Imam Ridha as. ke
Khurasan. Selalunya pertanyaan yang muncul acapkali melintasi penggalan sejarah
ini adalah “Apa gerangan?”, apa tujuan Ma’mun? Ya, dia ingin menempatkan Imam
Ridha as. di sisinya agar menjadi alat pembenaran atas politik dan
pemerintahannya. Namun beliau menolak undangan tersebut hingga akhirnya Ma’mun
pengundang beliau dengan ancaman serius.
Dokumen-dokumen sejarah tidak menerangkan secara rinci faktor-faktor keberangkatan Imam Ridha dan masih banyak detail kondisi-kondisi yang mengawali hijrah beliau yang belum terbongkar. Akan tetapi dengan menelaah catatan sejarah yang tersisa, dapat dipastikan bahwa hijrah beliau terjadi sebelum terjalinnya surat-menyurat antara Maru dan Madinah, dan beliau hijrah ke Maru atas dasar ancaman dan paksaan Ma’mun.
Selain melayangkan surat-surat undangan, Ma’mun juga mengutus dua ajudannya, Raja’ bin Abi Dhahhak dan Yasir Khadim, ke Madinah. Setibanya di Madinah, mereka menceritakan tugasnya kepada Imam Ridha as. Demikian, “Sesungguhnya Ma’mun telah menginstruksikan kami untuk membawamu ke Khurasan.”
Imam Ridha as. sangat memahami tipu muslihat Ma’mun. beliau tidak lupa akan sekian lamanya ayah beliau dipenjarakan dengan berbagai siksaan dan derita. Beliau juga tahu bagaimana Ma’mun telah membunuh saudara kandungnya sendiri dan kini dia dirundung kecemasan dan kekuairan akan keberadaan beliau di tengah masyarakat.
Dengan kesadaran inilah Imam Ridha as. memulai hijrahnya, sebuah perjalanan yang tak dikehendaki, dengan berat hati meninggalkan Madinah, berpisah jauh dari makam suci Rasulullah saw. dan masyarakat yang amat mencintainya dan memandangnya tak ubahnya ayah penyayang. Sesungguhnya beliau tidak perlu menempuh perjalanan geografis, karena dia berjalan dalam wilayah hati dan cinta.
Dokumen-dokumen sejarah tidak menerangkan secara rinci faktor-faktor keberangkatan Imam Ridha dan masih banyak detail kondisi-kondisi yang mengawali hijrah beliau yang belum terbongkar. Akan tetapi dengan menelaah catatan sejarah yang tersisa, dapat dipastikan bahwa hijrah beliau terjadi sebelum terjalinnya surat-menyurat antara Maru dan Madinah, dan beliau hijrah ke Maru atas dasar ancaman dan paksaan Ma’mun.
Selain melayangkan surat-surat undangan, Ma’mun juga mengutus dua ajudannya, Raja’ bin Abi Dhahhak dan Yasir Khadim, ke Madinah. Setibanya di Madinah, mereka menceritakan tugasnya kepada Imam Ridha as. Demikian, “Sesungguhnya Ma’mun telah menginstruksikan kami untuk membawamu ke Khurasan.”
Imam Ridha as. sangat memahami tipu muslihat Ma’mun. beliau tidak lupa akan sekian lamanya ayah beliau dipenjarakan dengan berbagai siksaan dan derita. Beliau juga tahu bagaimana Ma’mun telah membunuh saudara kandungnya sendiri dan kini dia dirundung kecemasan dan kekuairan akan keberadaan beliau di tengah masyarakat.
Dengan kesadaran inilah Imam Ridha as. memulai hijrahnya, sebuah perjalanan yang tak dikehendaki, dengan berat hati meninggalkan Madinah, berpisah jauh dari makam suci Rasulullah saw. dan masyarakat yang amat mencintainya dan memandangnya tak ubahnya ayah penyayang. Sesungguhnya beliau tidak perlu menempuh perjalanan geografis, karena dia berjalan dalam wilayah hati dan cinta.
Ya, Imam Ridha as. memulai perjalanan dengan terpaksa dan tahu benar apa yang akan diperbuat Ma’mun terhadap beliau.
Bagi Imam Ridha as.,
berpisah dari Madinah terasa begitu berat. Bahkan kalaupun Anda sekali saja
bepergian ke suatu negeri asing, Anda akan memahami suasana batin demikian itu,
seperti juga Nabi Yusuf as. berangkat dalam keterasingan menuju Mesir yang
ingar binger engan kekayaan dan kemegahan, namun hatinya tetap tertambat
bersama tanah airnya, Kan’an.
Imam Ridha as. meninggalkan masjid Nabi saw. dengan pengetahuan sepenuhnya bahwa tidak ada lagi jalan kembali di belakang beliau. Syaikh Shaduq dalam ‘Uyun Akhbar Al-Ridha as. menukil riwayat dengan sanadnya dari Muhawwal Bajastani bahwa setelah Imam Ridha as. berpamitan dengan Rasulullah saw., acapkali berbalik menghadapkan diri ke arah makam suci Nabi saw., suara tangisan beliau semakin terdengar keras. Aku menghampiri Imam as. dan menyelamati beliau. Imam as. berkata, “Tinggalkan aku! Aku sedang berpisah kian jauh dari Rasulullah saw. dan aku akan meninggal dunia dalam keterasingan.”
Imam Ridha as. meninggalkan masjid Nabi saw. dengan pengetahuan sepenuhnya bahwa tidak ada lagi jalan kembali di belakang beliau. Syaikh Shaduq dalam ‘Uyun Akhbar Al-Ridha as. menukil riwayat dengan sanadnya dari Muhawwal Bajastani bahwa setelah Imam Ridha as. berpamitan dengan Rasulullah saw., acapkali berbalik menghadapkan diri ke arah makam suci Nabi saw., suara tangisan beliau semakin terdengar keras. Aku menghampiri Imam as. dan menyelamati beliau. Imam as. berkata, “Tinggalkan aku! Aku sedang berpisah kian jauh dari Rasulullah saw. dan aku akan meninggal dunia dalam keterasingan.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar