Jumat, 10 Oktober 2014

Indonesia dalam Konteks Ekonomi Politik Global






10 Tahun Pasca Orde Baru

Oleh Poppy S. Winanti (International Relations - Faculty of Social and Political Sciences Universitas Gadjah Mada)

Cukup banyak kalangan yang berkeluh-kesah bahwa reformasi selama 10 tahun ini tidak menghasilkan perubahan yang signifikan baik bagi proses demokrasi maupun kesejahteraan bangsa. Berangkat dari pijakan yang berbeda, tulisan ini justru dilandasi dengan asumsi bahwa kemandekan, kebuntuan, atau jalan di tempatnya proses reformasi yang telah berjalan selama 10 tahun sebenarnya bukan merupakan sesuatu yang mengejutkan. Karena jika ditelusuri lebih jauh, capaian proses reformasi yang seadanya semestinya sudah bisa diprediksi sejak awal. Ada dua argumen yang akan dibangun dalam tulisan ini. Pertama, runtuhnya rejim Orde Baru tidak disertai dengan perubahan yang fundamental dalam fondasi struktur ekonomi dan politik Indonesia yang kapitalistik. State capitalism yang berkembang pada masa Orde Baru hanya sekedar bertransformasi menjadi apa yang disebut Hadiz dan Robison (2004) sebagai private oligharcic capitalism. Kedua, membicarakan Indonesia tidak bisa dilakukan dalam ruang yang kosong dan menafikan konstelasi ekonomi dan politik global yang melingkupinya. Kemunculan maupun berakhirnya Perang Dingin, serta berkembangnya gagasan neo-liberal sebagai resep kebijakan ekonomi politik yang diusung institusi internasional perlu dicermati untuk memahami apa yang berlangsung di negeri ini.

Jika menilik sejarah perkembangan Indonesia, jatuhnya rejim Soekarno dan proses lahirnya Orde Baru tidak dapat dilepaskan dari konteks Perang Dingin yang tengah berlangsung. Soekarno dengan ide nasionalisme ekonominya, dalam kaca mata Barat dianggap berpotensi menjadi ganjalan bagi kepentingan AS dan aliansinya dalam era Perang Dingin tersebut. Karenanya, AS sangat berkepentingan agar Indonesia dipimpin oleh pemimpin yang lebih bisa mengakomodir kebutuhan mereka. Meskipun dalam buku-buku sejarah Indonesia tidak pernah dijelaskan secara resmi keterlibatan pemerintah AS (maupun Inggris) dalam kejatuhan Soekarno dan naiknya Soeharto, namun cukup banyak riset yang menunjukkan fakta sebaliknya (Johnson, 2000; Pilger, 2003). Naiknya Soeharto jelas membukakan pintu bagi pemilik modal asing untuk mulai mengeksploitasi kekayaan alam dan potensi pasar yang menjanjikan dari bangsa ini. Tanpa membuang waktu terlalu lama, pada tahun 1967, rejim yang baru lahir tersebut mengeluarkan UU No 1 tentang Penanaman Modal Asing. Kelahiran UU inilah yang menjadi salah satu batu pijakan awal bagi proses liberalisasi ekonomi di negeri ini. Dalam konteks ini, film arahan John Pilger, jurnalis asal Australia, “The New Rulers of the World” (2001) cukup gamblang menggambarkan bagaimana sebuah negara—dalam hal ini Indonesia—yang semestinya berdaulat menjadi sekedar arena pembagian rejeki ekonomi bagi para pemilik modal asing (1).

Dengan kerangka berpikir yang sama, kejatuhan Soeharto perlu dipahami dalam situasi dunia internasional yang tengah berubah yang telah memasuki era pasca Perang Dingin. Berakhirnya Perang Dingin sejak awal tahun 1990-an, disebut-sebut sebagai lambang kemenangan ideologi kapitalis dan semakin terbukanya jalan bagi pencangkokkan agenda-agenda neo-liberal secara global. Dalam kondisi semacam ini, kebijakan liberalisasi yang diambil Soeharto dan termanifestasi dalam wujud state capitalism, tidak lagi dapat ditolerir. State capitalism yang pada awalnya dibiarkan berkembang dan bahkan mendapat dukungan mulai menjadi sorotan. Seperti dikemukakan Hadiz dan Robison (2005) pada masa Perang Dingin, demi kepentingan strategis dan keamanan AS (serta para sekutunya) yang membutuhkan kestabilan politik dan kelanggengan rejim di Indonesia, aliran modal maupun keuangan tetap dialirkan ke Indonesia yang menganut state capitalism dengan karakter predatoriknya. Namun, state capitalism yang kental dengan intervensi negara semacam ini kemudian dianggap tidak lagi sejalan dengan arus finansial dan perdagangan yang makin terintegrasi di tingkat global di era pasca Perang Dingin. Sehingga terlalu gegabah kiranya untuk memahami kejatuhan rejim Orde Baru semata-mata karena keberhasilan gerakan demokratisasi di dalam negeri dan melepaskannya dari konstelasi ekonomi dan politik global. Kejatuhan rejim Orde Baru perlu dimaknai sebagai bentuk kegagalan rejim Orde Baru tidak hanya dalam membendung tuntutan demokratisasi di dalam negeri namun sekaligus juga kegagalannya dalam membentengi diri dari desakan integrasi ekonomi politik di tingkat global.

Kejatuhan Soeharto karenanya perlu dicermati sebagai proses transisi dari state capitalism menuju semakin terintegrasinya Indonesia dalam sistem ekonomi kapitalis yang neo-liberal. Dalam pandangan kaum neo-liberal, krisis ekonomi tahun 1997 yang melanda Indonesia dan Asia Timur pada umumnya, disebut-sebut sebagai buah dari praktek state capitalism. Para pengusung gagasan neo-liberal ini percaya bahwa krisis berakar dari sejumlah kebijakan pemerintah yang mendistorsi berlakunya mekanisme pasar (4). Seperti misalnya, kebijakan nilai tukar tetap, monopoli Negara melalui berbagai perusahaan milik Negara, maupun hubungan bisnis-pemerintah dalam kebijakan industri yang melahirkan moral hazard problem (Haggard, 2000). Diagnosis penyebab krisis semacam inilah yang berkembang di kalangan pengambil kebijakan di IMF yang tentu saja berpengaruh pada resep-resep macam apa yang kemudian diterapkan untuk memulihkannya.

Melalui LoI dan Memorandum of Financial and Economic Policies dengan IMF yang harus ditandatangani oleh pemerintah Indoensia menjelang dan sesaat setelah keruntuhan Orde Baru (1997, 1998, 1999, 2000), Indonesia semakin jauh meliberalisasi sektor perdagangan dan finansial. Privatisasi, deregulasi, reformasi sektor perbankan, idependensi Bank Indonesia, merupakan beberapa resep kebijakan ekonomi yang dipersyaratkan oleh IMF. Sementara, gagasan-gagasan akuntabilitas, transparansi, good governance, maupun desentralisasi kebijakan melalui otonomi daerah diinjeksikan sebagai resep reformasi yang harus diterapkan di bidang politik. Kesemuanya dalam pandangan IMF dan Bank Dunia ditujukan untuk mewujudkan pemerintah yang lebih efisien dan menghilangkan rent-seeking yang merupakan penyakit yang tumbuh subur pada masa berkembangannya state capitalism. Namun, jika dibaca lebih kritis, perubahan-perubahan yang diusung sesungguhnya merupakan upaya untuk menciptakan struktur politik yang diperlukan guna melayani kepentingan pasar bebas.

Cerita selanjutnya kemudian sudah bisa ditebak. Pasca kejatuhan Soeharto yang terjadi adalah justru kian mengguritanya gagasan neo-liberal ke dalam desain kebijakan ekonomi dan politik dalam negeri. Proses politik dan perubahan kebijakan yang menyertai beberapa kali pergantian kepemimpinan di era pasca Orde Baru justru memantapkan jalan bagi semakin terjebaknya Indonesia lebih jauh ke dalam sistem ekonomi global yang kapitalistik. Ini bisa dicermati dari berbagai kebijakan ekonomi dan politik yang tidak menunjukkan keberpihakan pada kepentingan masyarakat luas. Beberapa kali kenaikan harga BBM, dibukanya keran impor bagi produk-produk pertanian strategis, dikeluarkannya UU No 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal, merupakan segelintir contoh kemenangan gagasan neo-liberal dalam kebijakan ekonomi di Indonesia. Dengan kata lain, monopoli ekonomi yang dulunya berada di tangan negara, kini justru jatuh ke tangan segelintir kelompok bisnis yang mendapatkan keuntungan dari kebijakan liberalisasi ekonomi (Robison, Rodan, dan Hewison; 2002). Sementara itu, alih-alih menuju demokrasi yang terkonsolidasi, reformasi politik yang bergulir justru terjebak dalam money politics dan melicinkan jalan bagi kepentingan korporasi dan oligarkhi bisnis warisan Orde Baru untuk kian memantapkan posisi mereka (Hadiz, 2000).

Dengan pemahaman semacam ini, terlalu muluk kiranya untuk mengharapkan sebuah perubahan yang signifikan sekalipun rejim otoriter Orde Baru telah wafat 10 tahun yang lalu. Karena pada kenyataannya fondasi struktur ekonomi politik di Indonesia pasca Orde Baru tidak mengalami perubahan yang berarti. Keruntuhan Orde Baru tidak dibarengi dengan perombakan struktur ekonomi politik yang dicirikan dengan akumulasi kapital yang terpusat di tangan segelintir kelompok. Lebih jauh, runtuhnya Orde Baru juga tidak disertai dengan perombakan struktur birokrasi yang rente atau kehancuran koalisi yang terbangun antara pemegang kekuasaan dan kelompok bisnis. Namun, berbeda dengan posisi yang diambil oleh Hadiz dan Robison (2004) yang percaya bahwa kemunculan private oligarchic capitalism merupakan gambaran sulitnya penerapan gagasan neo-liberal di Indonesia. Sebaliknya, tulisan ini justru berargumen bahwa kemunculan private oligarchic capitalism merupakan buah dari kegagalan implementasi dari resep-resep neo-liberal dalam mengatasi krisis di Indonesia. Oleh karenanya, kemandekan dan kebuntuan proses reformasi perlu dipahami pula sebagai ketidakmampuan bangsa ini keluar dari jebakan sistem kapitalis global. Sehingga, jika mengharapkan hasil yang lebih optimal dari proses reformasi, perlu ada perubahan yang lebih mendasar—dan tidak sekedar artifisial—yang dapat membongkar struktur ekonomi politik yang kapitalistik di Indonesia.

Endnotes:

(1) Dalam film tersebut digambarkan misalnya pada bulan November 1967, diselenggarakan konferensi 3 hari di Jenewa untuk membicarakan masa depan ekonomi Indonesia yang disponsori oleh the Time-Life Corporation. Konferensi yang dipimpin oleh David Rockefeller tersebut dihadiri oleh sejumlah korporasi asing ternama asal AS dan Eropa yang bergerak di berbagai sektor seperti perusahaan minyak, perbankan, otomotif, industry kimia, elektronik, dll
 
(2) Berbeda dengan kaum neo-liberal yang melihat krisis ekonomi 1997 sebagai akibat dari government failures, para pengusung developmental state model justru melihat krisis terjadi akibat dari market failures. Artinya, struktur finansial internasional yang tidak stabil dan sangat diwarnai oleh perilaku para spekulan yang kerap tidak dapat diprediksi merupakan sumber utama dari krisis yang terjadi. Dalam kondisi struktur internasional semacam ini, kebijakan liberalisasi financial yang diterapkan oleh negara-negara Asia Timur telah menyebabkan Negara-negara tersebut menjadi sangat rentan. Oleh karenanya, untuk mengatasi maupun mencegah agar krisis tidak terluang kembali, restrukturisasi institusi di tingkat domestic perlu dibarengi dengan perombakan pada struktur finansial di tingkat global (Wade dan Veneroso, 1998).

Daftar Pustaka

Hadiz, Vedi R. (2000). ‘Retrieving the Past for the Future? Indonesia and the New Order Legacy’. Southeast Asia Journal of Social Science, Volume 28 Number 2, p. 10 – 33.

Hadiz, Vedi R. And Richard Robison. (2005), ‘Neo-liberal Reforms and Illiberal Consolidations: the Indonesian Paradox. The Journal of Development Studies, Vol. 41 No. 2 February, p. 220 -241.

Haggard, Stephan. The Political Economy of the Asian Financial Crisis. Washington D.C.:Institute for International Economics, 2000.
 
Johnson, Chalmers. (2000), Blowback, the Costs and Consequences of American Empire, New York: Henry Halt and Company.

Robison, Richard and Vedi R. Hadiz (2004), Reorganizing Power in Indonesia: the Politics of Oligarchy in an Age of Markets. London: Routledge.

Robison, Richard, Garry Rodan and Kevin Hewison. (2002). ‘Transplanting the Regulatory State in Southeast Asia: a Pathology of Rejection’. Working Paper Series No. 33, Southeast Asia Research Centre.

Wade, Robert and Frank Veneroso. (1998), 'The Asian Crisis: The High Debt Model Vs. The Wall Street-Treasury-IMF Complex', New Left Review, March-April, Working Paper No. 128, Russell Sage Foundation

(Tulisan disampaikan pada diskusi online “Satu Dekade Reformasi: Sudahkah Membawa Kesejahteraan?” yang diselenggarakan oleh Pengurus Cabang Istimewa Muhammadiyah United Kingdom, 2 Maret 2008. Penulis menyampaikan terima kasih kepada Eric Hiariej dan Victor Yasadhana atas komentar dan sarannya untuk draf awal tulisan ini)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar