Oleh James Petras
Rebelión
Ketika saya masih muda,
seorang guru ilmu sosial di SMU saya, seorang lelaki yang bijak dan berani
(waktu itu sekitar awal 1950an) secara menggebu-gebu mempertahankan gagasan
“Third Way”. Dia merupakan pembela gagasan demokrasi sosial yang kukuh
sekaligus membenci tirani komunisme dan kapitalisme yang biadab. Bagi seseorang
yang tumbuh dan hidup dalam kota industri yang jorok, sebelah utara sedikit
dari kota Boston, demokrasi sosial merupakan seperangkat kepercayaan yang
memiliki daya tarik, meskipun sebagian orang dibingungkan oleh
kenyataan-kenyataan (tentang demokrasi sosial) yang tak memadai. Tak seorang
pun, benar-benar mempertanyakan gagasan demokrasi sosial, tetapi kadang-kadang
sebagian dari kita akan mempertanyakan pertanyaan yang nyeleneh.
”Kenapa?, tanya seseorang
yang paling pintar dan cerdas di kelas kami, “Inggris, yang katanya memiliki
pemerintahan buruh demokrasi sosial, mendukung AS dalam melawan Rusia, meskipun
ia mengikuti Third Way?”
Guru tercinta kami
melepaskan kacamatanya, berdiri dan melangkah ke depan lalu mulai berbicara.
“Itu pertanyaan yang baik jika kita hidup dalam dunia yang sangat ideal. Tetapi
dalam dunia nyata, kita harus menentukan pilihan-pilihan praktis, dan jelas
bahwa demokrasi sosial lebih memiliki kesamaan dengan demokrasi kapitalis
ketimbang totalitarianisme komunis,” ujarnya sambil berdehem. “Kadangkala,
demokrasi sosial harus melakukan sekian kompromi. Sesuatu yang taktis, tentu
saja, tetapi itu semua demi memperoleh tujuan utama yaitu kebebasan dan
kesamaan untuk semua.”
Di lain kesempatan, ketika
berbicara tentang peran vital yang dimainkan oleh demokrasi sosial dalam
menciptakan perdamaian dunia, guru tersayang kami ditanya apakah demokrasi
sosial Eropa menyokong Perang Korea.
“Ya tentu saja, AS-lah
yang berkuasa…dan Dewan Keamanan juga. Demokrasi sosial tidak melawan perang
yang adil; ia hanya menentang perang yang tak adil–seperti invasi Korea oleh
orang-orang Korea. Orang-orang Korea Utara menyerang Korea Selatan.”
Dia kemudian dengan penuh
semangat dan sejelas-jelasnya mendefinisikan perbedaan antara perang yang adil
dan tak adil, meskipun beberapa murid kelas pekerja-utamanya mereka yang
terkena wajib militer setelah lulus, tidak terlampau memperhatikan, tidak seperti
murid yang terpandai dan tercerdas, yang memakai dasi dan hendak melanjutkan ke
univeritas; mereka tampak menyimak dan terkesan dengan pengetahuannya.
Kemudian aku menghadapi
hidup dengan latarbelakang kemampuan praktis, yaitu sebuah pendidikan klasik yang
sekarang diberi nama “humaniora.” Setelah lulus dari universitas, saya beranjak
ke dunia bisnis, dan kerapkali menjalankan bisnis di luar negeri dan domestik.
Saya hanya punya waktu sedikit untuk mengikuti aajaran-ajaran Third Way dari
guru favorit SMU saya, meskipun saya sepenuhnya tidak dapat melupakan ajaran
moralnya tentang “masyarakat yang baik”. Namun dalam kehidupanku kelak,
khususnya pada awal 1990’an, bisnis mengantarkan saya ke Eropa Timur dan Rusia.
Suatu kali, saya makan
siang dengan pejabat senior Czech, yang kelihatannya sangat terdidik (Saya
percaya bahwa dia adalah peraih gelar pertama dalam MBA yang dibiayai oleh
Soros Foundation) dan berwawasan luas sebagaimana “Tuan Presiden”nya (Saya tak
yakin bahwa yang dia maksudkan dengan istilah tersebut sebagai rasa kasih atau
justru sebuah sisnisme) yaitu Vaclav “Grovel” Havel (sebagaimana para penasehat
presiden sering menjulukinya, karena dia selalu bicara muluk-muluk tetapi
sepenuhnya menjilat pihak Washington.) saat itu adalah minuman kita yang ketiga
kalinya, saya memberanikan diri bertanya padanya tentang apa yang dia maksud
sebagai “Third Way”.
“Kau tahu, itu ide yang
cemerlang,” ujarnya sembari tersenyum. “Kita bahkan punya versi tersendiri.
Kami mengombinasikan antara pengambilalihan ekonomi ala Jerman dengan
pengambilalihan instalasi militer ala Amerika- kami menciptakan Third Way versi
Czech dengan mengkombinasikan dua hal ekstrem itu, menjadi klien bagi AS dan
pengikut setia Berlin: Kami adalah budak keduanya.” Dia menyunggingkan senyum
yang penuh arti dan sinar matanya berbinar, “Third Way itu baik untuk bisnis.”
Pada pertengahan sore itu,
aku mengingat kembali guru lama saya yang berbicara tentang tenaga kerja penuh,
pusat kesehatan masyarakat umum dan berbagai tawaran-tawaran kesejehteraan
lainnya. Aku bertanya pada kolega Czech-ku, apakah Negara Kesejahteraan adalah
bagian dari Third Way versi Czech.
Dia mengambil nafas dalam,
“Itu bukan Third Way. Itu adalah Old Way (Jalan Lama). Jalannya kaum komunis.
Selama lebih dari setengah abad, mereka mencoba memperlakukan kita untuk hidup
laiknya seekor semut, kerja lalu tidur. Mereka menghalangi inisiatif individual
dan keahlian-keahlian Barat. Mereka itu bukan “Third Ways”, kamu mau ikut
dengan Komunis atau dengan Barat.” Dia menahan kantuknya. Saya pikir saat itu
memang waktunya untuk istirahat. “Sebelumnya, kau tahu, di bawah negara
kesejahteraan para buruh berpura-pura untuk bekerja dan kami berpura-pura untuk
membayar mereka.” Dia tergelak. Lalu aku tidak meneruskan penyelidikanku terhadap
gagasan Third Way yang telah memperoleh makna baru, atau dirubah dalam sintesis
‘Grovel’ tentang klientilisme ganda tersebut.
Namun saya sekarang
tergelitik oleh gagasan ‘Third Way’. Saya terkenang kembali pada masa-masa
remaja saya ketika belajar, dan pada nilai-nilai tertinggi saya. Dalam
perjalanan kembali US, saya mampir di London, untuk bertemu dengan seorang
bankir senior dari Barcleys untuk mendiskusikan pelbagai persoalan keuangan.
Selepas jam-jam sibuk, dia
mengundang saya untuk minum di kafe pribadinya. Yang membuat saya begitu
terkejut adalah bankir tersebut telah berubah menjadi pengikut Demokrasi
sosial, anggota “New Labor”, dan sebagai kepala keuangan lokal di kota London.
“Sungguh James, kamu sudah
tidak tertarik lagi dengan politik Inggris sejak dekade yang lalu, bukan?” Dia
memiliki cara untuk menyindir dengan cara halus seakan-akan saya merupakan
seorang pebisnis AS yang tak berpengetahuan.
“Ya saya kira, sebuah
partai buruh, itu terdiri dari para buruh bukan para bankir.” Saya berusaha untuk
menutupi kekalahan saya.
“Oh ya? Kami para
penasehat keuangan investor juga adalah ‘pekerja'; bahkan kami bekerja beberapa
jam lebih lama daripada kalian semua, atau, sebutlah pekerja manual. Saya harap
kau mengerti pada fakta bahwa Partai sekarang diberi nama ‘New Labor’, kami
telah melampaui segala omong kosong tentang status kelas, kami adalah partai
inklusif sekarang. Partai orang-orang ahli.” Dia menirukan gaya sorang guru
ilmu sosial di SMU.
“Kamu masih ikut ‘Third
Way?” Saya bertanya dengan agak putus asa.
“Tentu saja. Penulis
pidato Tony menguraikan buku tentang ‘Third Way’ yang menyediakan keterangan
ideologis untuk kebijakan-kebijakan kami.”
“Jadi kau masih berharap
pada pelayanan kesehatan publik, ekonomi campur, tanpa pengangguran?” saya pikir
pada saat itu akhirnya saya telah menyentuh pokok pembicaraannnya.
“Ya Tuhan, enggaklah! Kami
telah melempar potongan ideologis itu ke dalam tong sampah. New Labor bertindak
untuk manajemen publik-privat dalam sistem kesehatan dan membuat negara keluar
dari urusan ekonomi sehingga kemampuan wirausaha dapat tampil dengan bebas.
Tenaga kerja penuh tanpa pengangguran itu sesuatu yang tak mungkin. Itu bagian
dari dogma utopis masa lalu. Kami lebih tertarik untuk meningkatkan
produktivitas dan pengangguran besar akan berkurang. Ini akan membuat mereka
bekerja lebih keras, tak lagi banyak mengoceh serta akan membuat mereka
melupakan waktu santai mereka (tea breaks).” Dia meraih gelasnya, “bersulang!”
“Bersulang,” jawabku. “Ini
membuat Demokrasi Sosial tak lebih seperti kapitalisme AS, daripada sebagai
‘Third Way’.”
“Dengarkan James.” dia
melotot sembari mengambil nafas dalam, “Dengan globalisasi hanya ada ‘One Way’,
‘there-is-no-alternative’. Kita hidup dalam dunia yang terglobalisasikan. Hanya
ada satu jalan, yaitu jalan yang kita tempuh bersama dengan Partai Buruh
Baru-nya Tony Blair. Ini akan lebih berguna untuk para pekerja penasehat
keuangan.”
“Baiklah, bagaimana kau
membedakan antara Partai buruh Lama dengan Partai Buruh Baru?” saya bertanya,
seperti seorang murid kepada guru Inggrisnya.
“Ide yang baru untuk saat
yang baru: revolusi teknologi-dan ilmu pengetahuan, modernisasi, komputerisasi,
dan pelayanan ekonomi baru. Kita membutuhkan suatu partai inklusif baru untuk
mengakomodasi perubahan-perubahan dalam pasar kerja.” Dia terdengar seperti
seorang penulis the Financial Times yang terlalu banyak mengutip tetapi tetap
dapat mengulas dengan enak. “Kami bahkan mendapatkan terlalu sedikit,
benar-benar sedikit, sepotong kupon dalam papan.
Kau tahu mereka benar-benar
bekerja mengawasi lembar-lembar saham satu kali dalam seminggu, yang mana yang
benar-benar buruh.” Dia tergelak oleh lawakannya sendiri.
Saya menyunggingkan
senyum, supaya dia ikut senang.
Setelah kembali ke hotel,
saya merasa gusar dan frustasi. Guru favorit SMU saya mengatakan pada kami
bahwa ada ‘Third Way’, sebuah alternatif demokrasi sosial. Dan saya tak akan
membiarkannya salah. Misi saya, obsesi saya adalah untuk menyokong dia. Saya
bepergian ke Paris dan mengontak teman bisnis saya.
“Saya ingin mendiskusikan
Demokrasi Sosial yang bonafid,dengan seseorang yang berpengetahuan luas yang
dapat mencerahkan saya tentang hal tersebut,” ujarku.
“Ya Baiklah. Kita akan
bertemu besok.”
“Terima kasih, aku ingin
menyaksikan benua lain, Eropa Selatan, dalam versinya tentang demokrasi
sosial.”
“Baiklah James. Saya
adalah anggota Partai Sosialis, kami punya banyak kecenderungan, dan saya
memilih ‘grup utama.”
“Baiklah, mari kita
melompat pada pokok perdebatannya. Apa menurutmu ‘Third Way’ itu?” Saya bertanya
penuh harap.
“Kami di Perancis adalah
pemimpin. Kami percaya bahwa kami adalah alternatif terhadap kapitalisme
Anglo-Saxon yang biadab dan kolektifisme negara. Kami, Orang Perancis,
menampilkan kebebasan Uni Eropa melawan ambisi global AS.”
“Ya itu semua bagus,” saya
memotongnya, “tetapi bagaimana dengan negara kesejahteraan, pekerjaan penuh,
pelayanan publik, ekonomi campuran?”
“Ahhh,” dia mengangkat
alisnya. “Itu adalah ‘Gelombang Kedua’ dari demokrasi Sosial.”
“Jadi, apa ‘Gelombang
Pertamanya?” Saya bertanya.
“Ekonomi negara, utopia
kolektifis, mimpi revolusioner dari para pendiri Demokrasi Sosial pada abad ke
19. Gelombang kedua adalah sosialisme ‘Fordisme': modal membayar untuk
kesejahteraan sosial. Itu adalah abad ke 20. Sekarang, kita berada dalam
Gelombang Ketiga: tekhnologi pos-‘Fordist': tahapan revoluioner pos-industri.
Kami kaum sosialis menguasai jalan menuju modernisasi, kami lwbih banyak
memprivatisasi berbagai pelayanan publik daripada pelbagai rejim di Perancis
sebelumnya sepanjang sejarah .” matanya membelalak dengan penuh kegairahan.
“hanya kami yang dapat melakukan itu. Karena para pekerja, atau setidaknya
pimpinan serikat buruh mempercayai kami dan bagaimanapun beberapa dari mereka
mendapatkan banyak bantuan dana dari pemerintah untuk program
‘job-retraining’.”
“Dimana gagasan guruku
tentang negara kesejahteraan?”?” saya berkata kepada iri sendiri setengah
berbisik.
“Negara kesejahteraan
menimbulkan ketergantungan, passifitas, dan kekurangan inisiatif. Jadi kami
menurunkan subsidi bagi pengangguran dan menyediakan insentif untuk pelatihan
pekerjaan dan mengambil apapaun tawaran dalam pasar kerja. Liberalisme sosial
adalah gagasan yang revolusioner pada abad ke 21 ini.”
“Bagiku ini kedengaran
seperti doktrin sayap kanan AS tentang “keserbakerjaan yang akan menggantikan
kesejahteraan”, ujarku sambil menginterupsi gaya Gallicnya.
“Tidak, tidak. Kami
percaya pada gagasan tentang melemahkan kapitalisme, tetapi tidak melalui
negara, tetapi melalui tindakan dalam masyarakat sipil, yaitu ‘Third Force’…
NGO’s, IT, Uni Eropa, kami menciptakan ekonomi baru, imperium baru yang
berbasis pada kecakapan dan partisipasi, sebuah imperium yang memecah
hambatan-hambatan nasional dan menyatukan seluruh manusia.”
“Lalu apa yang bisa
dilakukan dengan gagasan ‘Third Way’ ini?’saya bertanya, kali ini agak bosan
dengan penjelasan teoretisnya yang berkelok-kelok.
“Semuanya! Kami menolak
imperialisme lama dan nasionalism. Di antara dua hal itu adalah ‘Third Way’,
yaitu civil society, yang akan membimbing fungsi Bursa Efek kesejahteraan
sosial dan kemanusiaan…”
“Ah, ini lagi ,” aku
pikir. “Terima kasih. Kau baik sekali berasedia membagi waktumu untuk
menjelaskan pada ku tentang makna ‘Third Way’.”
“Terima kasih, James.”
Saya beranjak ke pintu
dengan bimbang. Tak ada lagi yang bisa dilakukan dengan gagasan guru saya
tentang Demokrasi Sosial. Semuanya berlalu. Semuanya hanya pasar, pengangguran,
rumah sakit privat. Kemana Demokrasi Sosial pergi?” saya berteriak ketika
menuruuni gedung Champs D’Elysses.
Para pejalan kaki menoleh
padaku seolah-olah saya baru saja kehilangan taruhan di bursa efek.
Seorang teman di New York,
seorang pebisnis keturunan Rusia-Israel menasehati saya agar mencoba ke Israel.
Aaya terbang ke Israel dan
menemui pejabat senior dalam Partai Buruh, salah seorang dermawan yang bersedia
membagi waktunya demi saya. Dia berbicara tentang Early Labor, penduduk asli
pada abad ke 19, atau Labor Zionists (pekerja yahudi), atau Kibbutzniks, sebuah
kepercayaan tentang ketiadaan pengangguran, perawatan kesehatan umum, dan
tentang solidaritas pekerja.
“Apakah semuanya
melibatkan pekerja?” Saya bertanya.
“Tentu saja!” dia
mengangkat tangannya, “Kami adalah gerakan sosialis demokratik. Kami
mengorganisir Ashkenazim, Sephardics, dan Yahudi Ethiopia. Kami terbuka bagi
semua ras.”
“Bagaimana dengan
non-Yahudi, orang-orang Palestina?” saya bertanya.
“Ini adalah negara Yahudi.
Kami adalah negara Yahudi demokratik. Orang-orang Arab tak dapat mengakui hal
itu. Jadi, kami tak dapat menerima mereka. Biarkan mereka membentuk sendiri
negara kesejahteraannya. Biarkan mereka pergi ke Jordan .” Dia berhenti
sejenak. “kami melibatkan orang-orang Arab Israel di beberapa serikat buruh
kami dan dulu mereka telah memilih partai kami. Tetapi…negara kesejahteraan,
sebagaimana kau menyebutnya, diutamakan untuk kaum Yahudi yang hidup disini,
khususnya terhadap orang-orang Russia yang mengharapkan bantuan dari negara
ini. Jadi kami memiliki krisis fiskal. Kami harus membuat pilihan, sebagaimana
umumnya negara demokratis: kami memilih untuk membiayai orang-orang Yahudi
terlebih dahulu.”
“Wah, ini seperti negara
kesejahteraan yang apartheid?” saya bertanya dengan lugu.
“Jadi siapa kau ini,
seorang anti-Yahudi?” dia mulai kehilangan kesabarannya.
Saya terbang lagi pada
hari berikutnya, dan tentu saja setelah lelah mencari, dan mendapatkan
keterangan lagsung, telah mengamati serta memotret tiga dimensi tentang gagasan
itu.
Saya langsung menuju ke
Amerika Latin. Saya membuat keputrusan strategis dalam waktu yang tersisa. Saya
memilih pergi ke jantung benua: Bolivia, yang pemerintahannya mempunyai
pendirian Demokrasi sosial, dan salah satu peserta dalam gerakan Socialist
International, yang telah memerintah dengan sebuah partai yang memiliki nama
keren, ‘The Revolutionary Left Movement’ atau MIR. Tetapi kejadiannya sungguh
berbeda; para pemimpinnya adalah tertuduh dalam perdagangan obat terlarang,
negara itu mengikuti jalan IMF agar menutup tambang timahnya dan memecat semua
penambangnya, dan modus operendinya adalah menggunakan keuangan negara untuk
menyuap pimpinan serikat buruh yang keraskepala, dan mengangkut petani miskin
untuk mengadakan rapat umum dan membayar mereka dengan sekerat daging dan bir
untuk menyanyikan slogan politik yang sesuai dengan selera rejim.
Ketika aku kembali ke AS,
saya mengakui bahwa gagasan lama tentang Demokrasi sosial sebagaimana yang
dijelaskan guruku kini tak lagi eksis. Demokrasi sosial telah dirubah,
direnovasi, diselewengkan, diabaiakan dengan ideologi-ideologi baru. Demokrasi
sosial, yang benar-benar hidup hari ini dan selamanya adalah kendaraan bagi
bagi investasi para bankir teknokrat, spekulan, dan penjual obat-obat
terlarang. Demokrasi sosial tak lagi bersaing dengan dengan kaum komunis,
tetapi bersanding dengan liberalisme.
“Itukah inti demokrasi
sosial?” (Diterjemahkan oleh Dian
Yanuardy)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar