Minggu, 25 Mei 2014

Lukisan Maria di Dinding Ka'bah


Oleh Karen Armstrong

Pada 632 M, setelah lima tahun peperangan yang hebat, Kota Mekkah di Hijaz, Semenanjung Arabia, secara sukarela membuka gerbang untuk pasukan Muslim. Tidak ada darah ditumpahkan dan tidak ada orang yang dipaksa untuk menjadi Muslim, tetapi Nabi Muhammad saw memerintahkan penghancuran seluruh berhala dan patung Ketuhanan. Terdapat sejumlah lukisan dinding pada dinding-dinding bagian dalam Ka’bah, tempat suci kuno di tengah Mekkah, dan salah satunya, konon diriwayatkan, menggambarkan Maria dan bayi Yesus. Segera, Muhammad saw menutupinya dengan jubahnya dengan penuh hormat, memerintahkan agar semua lukisan yang lain dihilangkan kecuali yang satu itu.

Kisah ini boleh jadi akan mengejutkan orang-orang di Barat, yang kadung memandang Islam sebagai musuh yang tidak dapat didamaikan dengan Kristen sejak Perang Salib. Namun, adalah sangat konstruktif untuk mengingat kisah tersebut, terutama selama Natal, ketika kita dikepung oleh gambar-gambar yang serupa tentang Sang Perawan dan Anak Sucinya. Kisah itu mengingatkan kita bahwa apa yang disebut “benturan peradaban” sama sekali bukan tidak bisa dielakkan. Selama berabad-abad, Muslim mencintai figur Yesus yang dihormati di dalam al-Quran sebagai salah satu nabi terbesar dan, di dalam tahun-tahun perkembangan Islam, menjadi salah satu bagian utama dari identitas Muslim.

Terdapat pelajaran penting di sini, baik bagi orang Kristen maupun Muslim—terutama barangkali pada saat-saat Natal seperti ini. Al-Quran tidak meyakini Yesus sebagai tuhan tetapi ia mempersembahkan lebih banyak ruang bagi kisah tentang konsepsi dan kelahiran sucinya dibandingkan apa yang dikisahkan Perjanjian Baru. Al-Quran menyajikannya dengan kekayaan simbolis mengenai kelahiran Roh Kudus di dalam setiap manusia (QS. 19:17-29; 21:91). Seperti para nabi agung lainnya, Maria menerima Roh Kudus dan mengandung Yesus, yang pada gilirannya akan menjadi sebuah bukti (ayat): sebuah pesan perdamaian, kelembutan, dan kasih sayang kepada dunia.

Al-Quran dikejutkan oleh klaim-klaim Kristen bahwa Yesus adalah “putra Allah”, dan kemudian dengan bersemangat melukiskan Yesus demi menyangkal ketuhanannya dalam upaya “membersihkan” dirinya dari proyeksi-proyeksi yang tidak layak tersebut. Berkali-kali, al-Quran menekankan bahwa, seperti juga Muhammad sendiri, Yesus adalah seorang manusia biasa yang sempurna dan bahwa orang Kristen sama sekali telah salah dalam memahami teks-teks suci mereka sendiri. Namun, al-Quran juga mengakui bahwa orang-orang Kristen yang paling setia dan terpelajar—terutama adalah para pendeta dan imam—tidak meyakini ketuhanan Yesus; dari semua hamba Tuhan, merekalah yang paling dekat dengan Muslim (QS. 5:85-86).

Harus dikatakan bahwa beberapa orang Kristen mempunyai pemahaman yang sangat sederhana dari apa yang dimaksud dengan penjelmaan. Ketika para penulis Perjanjian Baru, Paulus, Matius, Markus, dan Lukas menyebut Yesus sebagai “Anak Allah”, mereka tidak memaksudkan bahwa Yesus adalah Tuhan. Mereka menggunakan istilah itu dalam makna Ibraninya: di dalam Alkitab Ibrani, sebutan tersebut biasa dianugerahkan kepada manusia biasa yang fana, seperti seorang raja, imam, atau nabi—yang telah diberi tugas khusus oleh Allah dan menikmati keakraban yang tidak biasa dengan-Nya. Di seluruh Injilnya, Lukas justru selaras dengan al-Quran, sebab ia secara konsisten menyebut Yesus sebagai seorang nabi. Bahkan Yohanes, yang memandang Yesus sebagai penjelmaan Firman Allah, membuat suatu pembedaan, sekalipun hanya dalam satu ungkapan yang sangat bagus, antara “Firman” dengan Allah Sendiri—seperti halnya kata-kata kita yang terpisah dari esensi keberadaan kita.

Al-Quran menekankan bahwa semua agama yang benar dan terbimbing berasal dari Allah, dan Muslim diwajibkan untuk mengimani wahyu-wahyu dari setiap kata para utusan Allah: Katakanlah: “Kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishak, Yakub, dan anak-anaknya, dan apa yang diberikan kepada Musa, Isa, dan para nabi dari Tuhan mereka. Kami tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka dan hanya kepada-Nyalah kami menyerahkan diri” (QS. 3:84). Dan, Yesus—yang juga disebut Mesiah—Sang Firman dan Roh Kudus—mempunyai status khusus.

Yesus, bagi al-Quran, mempunyai hubungan yang dekat dengan Muhammad, dan telah meramalkan kedatangannya (QS. 61:6), sama seperti para nabi Ibrani yang dipercaya oleh orang Kristen sebagai telah menubuatkan kedatangan Kristus. Al-Quran menolak bahwa Yesus telah disalibkan dan memandang kenaikannya ke surga sebagai pernyataan keberhasilan dari misi kenabiannya. Dengan cara yang serupa, Muhammad suatu ketika secara mistik naik ke Singgasana Tuhan. Di samping Muhammad, Yesus juga akan memainkan suatu peran yang sentral dalam drama eskatologis pada hari akhir.

Selama tiga abad pertama dari Islam, Muslim telah menjalin hubungan yang dekat dengan orang Kristen di Irak, Syiria, Palestina, dan Mesir, dan mulai mengoleksi ratusan riwayat dan perkataan yang berhubungan dengan Yesus; suatu koleksi yang tidak ada bandingannya di dalam agama non-Kristen manapun. Sebagian ajaran tersebut dengan jelas berasal dari Injil—terutama Khotbah di atas Bukit yang sangat populer tetapi ditampilkan dengan gaya Muslim. Yesus digambarkan melakukan ritual haji, membaca al-Quran, dan melakukan sujud dalam doanya.

Dalam riwayat-riwayat yang lain, Yesus mengartikulasikan secara terperinci apa yang menjadi perhatian Muslim. Dia telah menjadi salah satu teladan agung bagi para sufi Muslim, yang mengajarkan hidup sederhana, kerendahan hati, dan kesabaran. Kadang-kadang Yesus memihak satu kelompok dalam sebuah perselisihan teologis atau politis: membariskan dirinya bersama mereka yang mendukung kehendak bebas di dalam perdebatan mengenai takdir; memuji Muslim yang berdamai dengan prinsip politiknya (“Ketika para raja memberikan kebijaksanaan kepada kalian, maka sebaiknya kalian tinggalkan dunia untuk mereka”); atau mengecam para ulama yang melacurkan ajarannya demi keuntungan politis (“Janganlah kamu hidup dari Kitab Tuhan”).

Yesus telah diinternalisasi oleh Muslim sebagai teladan dan inspirasi dalam pencarian spiritual mereka. Muslim Syiah merasa bahwa ada suatu koneksi kuat antara Yesus dengan imam-imam mereka yang menerima ilham, memiliki kelahiran-kelahiran yang ajaib, dan mewarisi pengetahuan propetik dari ibu-ibu mereka. Para Sufi terutama mengabdikan diri mereka kepada Yesus dan menyebutnya sebagai “nabi cinta”. Mistikus ternama Abad ke-12 M, Ibn al-Arabi, menyebut Yesus sebagai “penutup orang-orang kudus”—secara sengaja disandingkan dengan Muhammad sebagai “penutup para nabi”.

Cinta Muslim kepada Yesus adalah contoh yang luar biasa dari cara bagaimana sebuah tradisi dapat diperkaya oleh tradisi yang lain. Ini tidak berarti bahwa orang-orang Kristen harus membayar pujian tersebut. Sementara Muslim mengoleksi riwayat-riwayat mereka mengenai Yesus, sarjana-sarjana Kristen di Eropa justru menghujat Muhammad sebagai seorang pemuja seks dan penipu ulung, yang sangat menyukai kekerasan. Namun, pada hari ini, baik Muslim maupun orang Kristen sama bersalahnya atas sikap fanatik semacam itu dan seringkali juga lebih suka untuk melihat hanya bagian terburuk dari satu sama lain.

Cinta Muslim kepada Yesus menunjukkan bahwa hal itu tidak harus selalu menjadi situasinya. Pada masa lalu, sebelum terjadinya kekacauan politik dari modernitas, Islam selalu mampu melakukan koreksi diri. Tahun ini, pada hari kelahiran Jesus, mereka mungkin dapat bertanya kepada diri mereka sendiri bagaimana mereka dapat menghidupkan kembali tradisi panjang mereka berkaitan dengan pluralisme dan penghargaan kepada agama-agama yang lain. Ketika merenungi empati Muslim terhadap iman mereka, orang-orang Kristen sebaiknya melihat kembali masa lampau mereka sendiri dan mempertimbangkan apa yang mungkin dapat mereka lakukan untuk membalas rasa hormat ini.

*Artikel ini dikutip dari harian Inggris the Guardian edisi 23 Desember 2006.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar