Oleh
Sulaiman
Djaya*
Kenapa
mesti unggas? Dan pelajaran atau filsafat apa yang bisa kita dapatkan dengan
merenungi dan membaca hidup mereka? Di sini, kita memang harus membuang ego
antroposentrik kita yang terlampau memandang manusia sebagai pusat semesta, dan
karena kita hidup dalam sebuah dunia yang bukan hanya kita, manusia, yang
sama-sama ada. Yah, salah-satu pelajaran atau filsafat yang dapat kita petik
adalah sifat simpati, kerjasama, dan solidaritas mereka dalam hidup. Para
unggas, pada dasarnya, adalah juga makhluk politis seperti kita. Dan juga, yang
mungkin akan mengejutkan, formasi militer di udara.
Tak
seperti elang, unggas hidup berkawan. Mandi bersama, tidur bersama, dan mencari
makan bersama. Bila dilihat secara sosiologis, mereka lebih mencirikan diri sebagai
masyarakat kolektif, meski mereka tidak menyebut diri mereka seperti itu.
Apapun istilah yang ingin dilekatkan oleh para ilmuwan atau para pengamat, yah
silahkan saja, yang penting kami selalu bersama. Kira-kira begitulah sikap
politik mereka.
Ini
adalah isyarat alam yang dahsyat. Kita tidak pernah menyadari keberadaannya
karena semua berlalu secara alami. Padahal unggas mengajarkan kita banyak hal
tentang arti tata-tertib, kekompakan dan pertemanan: politik solidaritas. Di
musim dingin, mereka bermigrasi ke Selatan, dan di musim panas mereka kembali
ke kediaman asalnya di Utara. Lalu lihatlah formasi yang mereka bentuk di saat
terbang bermigrasi itu. Mereka membentuk formasi huruf V. Bukan tanpa alasan,
karena para fisikawan mencatat bahwa tingkat resistensi terhadap angin akan
lebih rendah, dalam formasi seperti itu, dibandingkan dengan terbang sendiri.
Ini jauh lebih bermanfaat bagi mereka guna memacu kecepatan.
Selanjutnya,
bila ada anggota yang sakit, atau sayapnya kelelahan, lalu terlempar dari
formasi, maka akan ada unggas yang lain yang datang mengapit untuk tetap terbang
dalam formasi huruf V kecil yang baru. Dukungan sosial ini begitu penting,
dalam menjaga kekompakan dan keberlangsungan hidup, agar yang lemah bisa tetap
terbang dan tidak terjatuh sendirian. Berangkat bersama, terbang bersama,
hingga sampai di tujuan juga bersama-sama. Seakan begitu filosofi mereka.
Terbang sendirian bukan hanya soal keamanan, tetapi juga soal efektivitas
kecepatan dan kepakan sayap. Inilah solidaritas yang secara politis dalam
rangka menjaga kekuatan tanpa harus menyingkirkan yang lemah.
Kemudian,
dan ini yang terpenting, setiap unggas saling bergantian mengambil alih
komando. Bila si A kelelahan, maka si B dengan spontan menggantikannya. Tidak
ada ketamakan untuk terus menjadi komandan. Juga tidak ada keinginan untuk
mengkudeta kekuasaan. Semua bertindak menjadi “Imam” yang baik dan makmum yang
juga baik. Beginilah harusnya kerja sebuah tim dalam membawa misi kesuksesan.
Di sini, saya teringat motto kebersamaan dan bagaimana komunitas akan menjadi
kuat, “Laa quwwata illa bil jama’ah, wa
laa jama’ah illa bil imamah.”
*Penyair
Tidak ada komentar:
Posting Komentar