Oleh Yakov Rabkin*
Sebuah penilaian
mengagumkan tentang oposisi Yahudi terhadap Zionisme di Tanah Suci dan sebuah
pandangan tentang Timur Tengah “pasca-Israel.” Dari semua gerakan kolektif yang
mulai mengubah masyarakat di abad dua puluh, hanya Zionisme yang masih tertinggal
sebagai jejak terakhir. Zionis maupun lawan-lawan mereka sama-sama setuju bahwa
Zionisme dan Negara Israel yang lahir darinya di pertengahan abad ke-dua puluh
ini merupakan pukulan terbesar dalam seluruh sejarah Yahudi.
Membahas Yahudi di abad
sembilan belasan mengisyaratkan sebuah konotasi normatif: penganut Yahudi
adalah orang yang tingkah lakunya secara definitif harus mewakili beberapa
prinsip tertentu yang berakar dari Yudaisme, yang menjadi kemufakatan (common
denominator) bagi komunitas Yahudi. Mengutip Rabbi Amerika-Jerman, Simon Schwab
(1908-1993):
… kaum Yahudi di setiap
benua menjalani kehidupan mereka masing-masing, mengabdi pada budaya Suci
mereka, terpisah dari sejarah politis dunia di sekeliling mereka, yang telah
memberkati mereka dengan kepahitan cinta jika bukan kebencian tanpa batas…
Dalam Yudaisme, hanya ada satu penafsiran tentang cita-cita, sejarah, dan masa
depan Yahudi yang absah. Kesetiaan pada Hukum Tuhan adalah tujuan puncak setiap
individu. Kesetiaan ini juga menjadi landasan eksistensi bangsa ini, persatuan
kebangsaan Israel yang tetap bertahan di antara runtuhnya seluruh independensi
politis Yahudi.
Sekulerisme yang menyapu
seluruh Eropa telah menghasilkan perubahan radikal terhadap identitas Yahudi
dan meletakkan landasan bagi Zionisme. Dari identitas yang normatif, keyahudian
berubah menjadi identitas deskriptif, yang membuka dirinya untuk sebuah
penafsiran separatis.
Revolusi Zionis
Zionisme tampil sebagai
gerakan nasionalis separatis dengan empat tujuan utama: 1) Merubah identitas
Yahudi internasional yang berpusat pada Taurat menjadi identitas nasional yang
yang dicontohkan oleh bangsa-bangsa lain di Eropa; 2) Mengembangkan bahasa
baru, sebuah bahasa nasional yang bersumber pada bahasa Ibrani dalam Injil dan
ajaran agama Yahudi; 3) memindahkan kaum Yahudi dari negara-negara asal mereka
ke Palestina; dan 4) menegakkan kontrol ekonomi dan politik atas Tanah Suci.
Shlomo Avineri, ilmuwan
politik Israel dan mantan dirjen Kantor Luar Negeri Israel, menyatakan bahwa
memandang Zionisme sebagai bagian dari ajaran Yahudi tentang “keterikatan
dengan Tanah Bangsa Israel” adalah dangkal, dicocok-cocokkan, dan menyedihkan.
Sebaliknya, yang seharusnya dibahas adalah revolusi kesadaran kaum Yahudi, dan
sudah tentu bukan kesimpulan logis tentang kerinduan mereka yang telah
berabad-abad pada Tanah Suci.
Dalam upayanya untuk
“mengembalikan kaum Yahudi ke asalnya,” Zionisme menentang keberlangsungan
sejarah yang diwujudkan dalam dikotomi ganjaran dan hukuman, pengasingan dan
pengampunan. Kaum intelektual Zionis maupun para rabbi ortodoks yang menentang
Zionisme sepakat bahwa paham ini merupakan sebuah pengingkaran terhadap ajaran
Yahudi. Yosef Salmon, seorang ahli sejarah Zionisme Israel, menulis bahwa:
Ancaman Zionislah yang
mendatangkan bahaya terbesar, karena berusaha merenggut komunitas tradisional
dari hak asasinya sendiri, baik dalam Diaspora maupun Eretz Israel, yang
menjadi target cita-cita mesianiknya. Zionisme menentang seluruh aspek Yudaisme
tradisional: dalam konsep yang diajukannya tentang identitas Yahudi modern dan
nasionalis; dalam sikapnya yang merendahkan komunitas Yahudi tradisional
dibandingkan dengan gaya hidup baru yang dipromosikannya; dan sikapnya terhadap
konsep agama tentang Diaspora dan penyelamatan jiwa. Ancaman Zionis menjangkau
setiap aspek dalam masyarakat Yahudi. Ancaman itu tanpa henti dan kian luas.
Karenanya, zionisme harus berhadapan dengan oposisi yang tak kenal kompromi.
Para Zionis bukan kaum
Yahudi pertama yang menduduki Palestina. Kehadiran kaum Yahudi di Tanah Israel
terus mengalir sejak dihancurkannya Temple (Kuil). Old Yishuv, juga sejumlah
pemukiman Yahudi taat yang terkenal dalam sejarah, sudah ada di Yerusalem dan
beberapa kota Palestina yang lain, ketika Zionis pertama tiba lebih dari seratus
tahun yang lalu. Faktanya, penduduk lama Palestina, bangsa Arab dan Yahudi,
sulit sekali diasosiasikan dengan apa yang disebut “tanah tanpa rakyat” yang
didengungkan oleh para Zionis yang mengklaim diri sebagai “rakyat tanpa tanah.”
Para Zionis tiba di sebuah wilayah yang selama berabad-abad telah dihuni oleh
Muslim, Yahudi dan Kristen yang hidup berdampingan dalam damai. Tapi di mata
ideologi Zionisme, Tanah itu kosong. Zionis bukan hanya mengabaikan bangsa
Arab, tapi juga nyaris tak peduli pada kaum Yahudi yang taat. Mayoritas Yahudi
Sephardic bergabung dengan tata ekonomi masyarakat Arab. Yahudi Ashkenazim yang
sama salehnya juga telah menata kehidupan mereka dalam struktur masyarakat yang
saling bantu dan penuh toleransi.
Zionis memandang kaum
Yahudi yang saleh ini sebagai sisa-sisa masa lalu yang telah lama hilang, yang
telah dikutuk untuk lenyap terseret pusaran arus kolonisasi Zionis. Walaupun
demikian, para penganut Yahudi yang saleh ini menyerang para pendatang baru ini
dengan ungkapan yang sangat dramatis: “Mereka tidak melangkah di jalan Taurat
dan tak takut kepada Tuhan…dan tujuan mereka bukanlah mendekatkan keselamatan,
tetapi menghalanginya, ya Tuhan, lindungi kami.” Maka dimulailah konflik antara
Yudaisme dan Zionisme, konflik yang seabad lebih kemudian masih belum menemukan
titik temu.
Kebanyakan penduduk Tanah
Suci membenci kedatangan Zionis di akhir abad ke-sembilan belas itu.
Sebenarnya, kaum Yahudi taat di Yerusalem adalah orang-orang pertama yang
bereaksi terhadap pendatang baru itu, yang mereka pandang sebagai pemberontak
yang menenang Taurat, yang berarti jahat sekaligus berbahaya. Mereka menyeru
untuk “mengakhiri semua hubungan, bahkan memutuskan ikatan keluarga dengan
siapapun yang menjadi anggota komunitas Yahudi yang dipimpin orang-orang Zionis
baru itu.
Oposisi Yahudi terhadap
Zionisme
Semula banyak bangsa Arab
bersikap ragu pada Zionis pendatang baru yang penuh semangat. Keraguan mereka
menguntungkan Zionis. Sebaliknya, kaum Yahudi Palestina yang taat justru serta
merta menolak pendatang baru itu, dan tak mau berusaha memahami tujuan-tujuan
politis mereka. Sekularisme yang diusung Zionis membuat mereka langsung tak
diterima di kalangan Yahudi di Tanah Suci. Ketika oposisi bangsa Arab lebih
bersifat politis, penolakan kaum Yahudi tradisional terhadap Zionisme dan
kemudian negara Israel mengakar sangat kuat dalam ajaran Yudaisme mereka, dan
hanya sedikit dipengaruhi oleh pertimbangan-pertimbangan politis. Bangsa Arab
memandang Zionis sebagai penyusup dan penjajah yang akan membahayakan kemapanan
politik dan ekonomi mereka. Di sisi lain, kaum Haredim[1] justru lebih
khawatir dengan bahaya hukuman Tuhan, karena perbuatan orang-orang yang mereka
anggap sebagai pendosa itu bisa mendatangkan kehancuran bagi seluruh penduduk
Tanah Israel.
Sejak disahkannya
Deklarasi Balfour bulan November 1917, Zionis menikmati dukungan dari penguasa
Inggris, yang lebih dari siap untuk membenarkan klaim mereka untuk bicara atas
nama seluruh kaum Yahudi di Palestina. Namun rabbi-rabbi Palestina seperti
Joseph Haim Sonnenfeld (1848-1932), tak mau menerima kendali dalam bentuk
apapun yang diberlakukan Zionis. Dia mengeluarkan sejumlah pernyataan kepada
penguasa Inggris, dan di level internasional kepada Liga Bangsa-Bangsa, sebagai
upaya memperoleh pengakuan sebagai komunitas yang bebas. Dia berhasil menghalangi
diterapkannya sebuah ketentuan oleh penguasa Inggris, ketentuan yang sedianya
memberikan Zionis kendali penuh atas kehidupan beragama. Keberhasilan ini juga
meneguhkan hubungan dengan kelompok-kelompok Eropa yang berpengaruh, berkat
upaya Jacob De Haan (1881-1924) yang menjadi juru bicara handal kelompok
anti-Zionis di tahun-tahun terakhir masa hidupnya.
De Haan berhasil menjalin
hubungan tingkat tinggi di Barat, dan siap menggerakkannya untuk mencoba
menangkal Zionis dan rencana-rencana mereka terhadap komunitas tradisional
Palestina. Dia siap untuk meyakinkan semua koneksinya di London bahwa Haredim
bukan ancaman bagi warga Arab setempat, justru De Haan selalu berhubungan baik
dengan jajaran pimpinan mereka. Dia menegaskan bahwa kelompok Yahudi tradisional
tidak punya ambisi mendirikan negara. Sikap ini menjadi pembeda yang
menempatkan mereka di posisi menguntungkan dalam konteks perjuangan nasional
Palestina yang kian kacau. Nuansa inilah yang sering menghindarkan para
pengamat dari menyamaratakan Zionis dengan lawan mereka yang paling ulet itu,
karena kedua belah pihak sama-sama mengaku Yahudi. Kerancuan antara Yahudi dan
Zionis masih berlangsung hingga saat ini, dan sering dieksploitasi untuk
berbagai kepentingan politik.
Banyak Haredim berbahasa
Arab dan menjaga hubungan hangat dengan tentangga Arab mereka, sedangkan
mayoritas rabbi Palestina—di Yerusalem dan tempat lain—tidak ada yang menguasai
bahasa maupun konsep Barat apapun seperti konsepnation-state (negara untuk
satu bangsa), yang menjadi konsep sentral Zionisme. Tak heran jika Zionis
merasa lebih nyaman berurusan dengan bangsa Barat dibandingkan dengan
rabbi-rabbi dengan kaftan hitam panjang mereka itu. Menjelang awal
1920an, memiliki juru bicara yang handal sudah menjadi prioritas mendesak. De
Haan bisa melakoninya dengan brilian, namun kerasnya atmosfir yang diciptakan
Zionis di lingkungan Yahudi tradisional di Old Yishuv jadi ancaman menakutkan
yang membayangi segala aktivitasnya. Zionis sangat serius menangani ancaman
Jacob De Haan: dia tengah menjual murah strategi Zionis untuk memposisikan diri
sebagai satu-satunya perwakilan Yahudi di Palestina, dalam hubungan mereka dengan
penguasa Inggris. Zionis takut De Haan akan berhasil membentuk organisasi
Yahudi Palestina sebagai tandingan yang akan menentang ambisi nasionalis
gerakan Zionis dan menjalin hubungan kerja sama dengan para pimpinan Arab.
Kemungkinan seperti itu benar-benar membuat gentar kelompok Zionis, yang secara
demografis masih minoritas di Palestina.
Atas perintah para pejabat
teras Zionis, De Haan dibunuh tahun 1924 ketika dia keluar dari sebuah sinagog
di Yerusalem. Inilah aksi terorisme pertama yang dilakukan Zionis di Palestina.
Peristiwa ini menggoyahkan mata rantai penting dalam jalinan komunikasi yang
hendak dibangun oleh komunitas Haredim dengan dunia luar.
Kebanyakan lawan Zionisme
adalah Yahudi Ashkenazi. Selain itu, kelompok Sephardim juga melancarkan kritik-kritik
keras terhadap Zionism. Hakham Salomon Eliezer Alfandari, “sabba ha-kadosh, Si
Kakek Suci” (1826-1930) adalah perwujudan dari oposisi kaum Sephardic. Figur
Sephardic yang lain, Hakham Jacob Meir (1856-1939), kepala komunitas Sephardic
Palestina, menyuarakan serangannya terhadap Zionisme di tahun 1928, dalam
peristiwa kerangkatan Herbert Plumer (1857-1932), Komisi Tinggi Inggris, dari
Yerusalem. Ketika pembawa acara memperkenalkan Meir bersama-sama dengan
perwakilan komunitas Yahudi lain yang terkait dengan aparat Zionis, rabbi itu
protes keras dan menyatakan bahwa dia tidak kenal dan tidak termasuk dalam
kelompok itu. Semua Yahudi yang taat harus memisahkan diri dari kelompok itu,
tegasnya. Bersama-sama Sonnenfeld, dia menulis sepucuk surat kepada Plumer
berisi kecaman terhadap Zionisme dan menghimbau agar penguasa Inggris
membebaskan kelompok Haredim dari kendali Zionis. Beberapa waktu kemudian, Liga
Bangsa-Bangsa mengeluarkan sebuah ketentuan yang mendukung mereka, sehingga
kalangan Haredim di Yerusalem tetap terlepas dari infrastruktur Zionis yang
kian kuat pengaruhnya.
Antara Kerjasama dan
Terasing
Isolasi mereka (“Hak
pengasingan” begitu istilahnya saat itu) secara formal berakhir bersamaan
dengan deklarasi Negara Israel tahun 1948. Walaupun begitu, kelompok anti
Zionis melipatgandakan upaya mereka untuk memperoleh setidaknya status yang
sama dari Persatuan Bangsa-Bangsa, lembaga pengganti Liga Bangsa-Bangsa. Dalam
pernyataan mereka, mereka menegaskan tak pernah menandatangani deklarasi
kemerdekaan Israel. Menolak mengakui Negara Israel akan membuat kelompok Anti
Zionis kehilangan semua hak politik atau sosial mereka. Tetap bersikeras
terpisah dari “entitas Zionis”—begitu julukan yang mereka berikan, sekaligus
terlepas dari permusuhan terhadap Zionisme yang dilancarkan bangsa Arab,
berarti siap menerima pengasingan total.
Kebijakan untuk memisahkan
diri ini berpengaruh dalam segala aspek yang mengharuskan kontak dengan Zionis.
Sejak meninggalnya Rabbi Sonnenfeld, sebuah kelompok yang lebih kecil
memisahkan diri untuk mengikuti paham yang lebih keras, khususnya yang
berkaitan dengan pendidikan. Rabbi Amram Blau (1894-1974) tampil sebagai
pimpinan kelompok baru ini, yang dikenal dengan nama Neturei Karta. Tahun
1953 Rabbi Yoel Teitelbaum (1887-1979), penulis risalah yang sangat fundamental
mengenai anti-Zionisme Va-Yoel Moshe,memimpin kelompok Haredim. Jadi,
terbentuklah aliansi anti Zionis yang luas, yang sangat menentang segala bentuk
kerja sama dengan negara Israel.
Namun demikian, kelompok
anti Zionis yang lain bersikap pragmatis dalam taraf tertentu, dan membenarkan
keterlibatan dalam politik secara terbatas. Konsep seperti ini bisa ditelusuri
pada sikap Rabbi Avraham Yeshayahu Karelitz (1878-1953), pimpinan rabbi
terkemuka yang terkenal dengan nama Hazon Ish. Dia mengijinkan kaum Yahudi
turut serta dalam sistem politik Israel namun menolak keabsahannya: “Jika ada
seorang penjahat mencegatku di hutan dan mengancamku dengan senjata, dan aku
mulai berbincang dengan dia hingga dia tak jadi mencabut nyawaku, apakah itu
berarti aku mengakui bahwa dia benar? Tidak; bagiku dia tetap penjahat.”
Saksi-saksi menceritakan bahwa Hazon Ish yang terhormat pernah bertemu dengan
Perdana Menteri Ben Gurion, yang pada saat itu berusaha menyatukan Haredim
dengan negara (Israel) yang baru saja berdiri. Sang rabbi tidak menjabat
tangannya, tidak pula menatap matanya. Jelas bahwa dia mematuhi perintah Talmud
yang melarang pengikutnya menatap wajah orang jahat.
Haredim menolak semua
simbol negara Israel. Jadi sejumlah rabbi, termasuk pimpinan Sephardic di masa
itu, Ovadia Yosef, melarang pengibaran bendera Israel di sinagog, karena Israel
bukan perwujudan nilai-nilai Yahudi, dan tak bisa disangkut-pautkan dengan
rumah ibadah Yahudi. Hazon Ish bahkan bersikap lebih keras. Dia melarang
kaumnya memasuki sinagog yang dihiasi bendera Israel, bahkan ketika tak ada
sinagog lain di wilayah itu. Orang Yahudi yang meragukan Hazon Ish menambahkan
bahwa larangan yang dimaksud hanyalah saat Sabbath tahun itu, ketika setiap
Yahudi—lelaki dan perempuan—diwajibkan menghadiri kebaktian dan mendengarkan
ayat-ayat Injil yang menyebutkan tentang kaum Amalek. Alih-alih perintah wajib
itu, Hazon Ish bersikukuh bahwa memasuki sinagog seperti itu tetap terlarang.
Banyak kalangan Yahudi
taat, walau tidak secara aktif menentang Zionisme, menjauhkan diri agar tidak
disangkutpautkan dengan negara Israel. Lebih dari itu, keraguan tentang masa
depan negara Zionis tetap menyebar luas, bahkan di kalangan yang tidak termasuk
lingkaran tradisional yang anti-Zionis. Rabbi Moshe Sober yang baru-baru ini
meninggal, salah satu penerjemah Talmud ke bahasa Inggris, mengungkapkan
keraguannya sebagai berikut:
Di tahun 1948, ada seorang
pemikir religius yang terkemuka, Rabbi Teitelbaum dari Satmar. Dia
memperingatkan para pimpinan Yahudi bahwa berdasarkan pemahamannya terhadap
kehendak Tuhan, mendirikan negara Israel akan menjadi sebuah kesalahan besar
dalam jangka panjang. Pendapatnya ini ditolak mentah-mentah oleh sekelompok
Yahudi yang sedang terpesona oleh bendera-bendera yang melambai dan tentara
yang baris berbaris, juga tanah-tanah kosong yang kian luas. Walaupun begitu,
dalam tradisi Jeremiah dan ramalan-ramalan bencana tak populer lainnya, bisa
jadi dia adalah nabi sejati. Kita tak tahu pasti.
Berbagai Visi tentang
Masa Depan
Ada lawan-lawan Zionisme
yang telah mulai menyiapkan sebuah pemikiran “pasca-Israel.” Ini menjelaskan
hubungan mereka dengan bangsa Palestina yang terus berlangsung. Hubungan ini
lebih sering bersifat simbolik daripada substantif; misalnya ditunjuknya Neturei
Karta Rabbi Moshe Hirsch sebagai nominasi Menteri Urusan Yahudi di Otoritas
Palestina. Walaupun demikian, sepucuk surat yang ditulis dengan kop Otoritas
Palestina dan ditandatangani Yasser Arafat menunjukkan bahwa upaya kelompok
anti Zionis itu membuahkan hasil. Setelah berterimakasih kepada kelompok
Haredim yang turut berdemonstrasi menentang negara Israel dan menunjukkan
perhatian mereka terhadap rakyat Palestina selama Intifadah, Arafat
menyimpulkan:
Kalimat-kalimat ini tak
bisa menggambarkan betapa bernilainya hubungan jangka panjang dan kuat antara
bangsa Yahudi dan Arab, yang sudah berlangsung ratusan tahun. Tak mudah pula
membuat seluruh dunia bisa menyaksikan perbedaan nyata antara nilai-nilai indah
dan abadi yang terkandung dalam Yudaisme dengan nilai-nilai yang terwujud dalam
kerasnya Zionisme. Berbagai demonstrasi dan pernyataan sikap semacam ini sangat
penting bagi rakyat Palestina dan Bangsa Arab di seluruh dunia, agar bisa
melihat perbedaan penting ini. Dengan demikian, semua orang mengerti bahwa
segala tindakan yang dilakukan negara Israel tidak mewakili apapun yang
terdapat dalam tradisi, keyakinan, dan hukum-hukum Yudaisme. Sangat penting
untuk ditekankan bahwa tidak ada konflik antara Yahudi dan Arab.
Bagi Haredim yang anti
Zionis dan tetap bersikap fleksibel terhadap politik, berbagai tawaran yang
mereka berikan ke rakyat Palestina, juga kegigihan mereka meminta jalan tengah
dan kompromi, membuahkan kecaman dari kelompok Zionis yang merendahkan “tradisi
kaum lemah ini,” yang lebih mengutamakan nilai keberanian dan kebanggaan
mereka. Yang harus dicermati, nilai-nilai Zionisme seperti itu bukan hanya
bertentangan langsung dengan nilai-nilai tradisi Yahudi, tapi juga merupakan
bahaya bagi seluruh masyarakat Yahudi.
Mereka mengingatkan kita
bahwa Yahudi merupakan kaum yang sangat sedikit jumlahnya jika dibandingkan
dengan seluruh umat manusia. Tak bijak jika memancing konfrontasi, sebagaimana
politisi-politisi Israel dan para pimpinan Yahudi yang setia kepada mereka saat
ini. Menurut kelompok anti-Zionis, sudah saatnya melepaskan ilusi megalomania dan
supremasi, untuk kemudian menemukan kembali benang emas yang telah membimbing
bangsa Yahudi selama bergenerasi. Benang emas ini memintal jalan melalui
seluruh rangkaian warisan spiritual bangsa Yahudi, yang terangkum dalam
ungkapan klasik Yahudi: “Siapakah pahlawan yang terhebat? Dialah orang yang
merubah musuh menjadi kawan.” Kebanyakan kelompok anti-Zionis berharap bisa
merubah perpecahan dan kebencian yang dikobarkan selama beratus tahun ini
menjadi kerjasama dan persahabatan. Mereka berdoa agar negara Zionis runtuh
tanpa kekerasan dan pertumpahan darah, sebagaimana Uni Soviet di tahun 1991.
Beberapa pengaturan
sementara yang dilakukan penduduk anti-Zionis dan Yahudi non-Zionis dengan komunitas
(pro) Israel dan eksistensi negara ini nyaris tak bisa merubah prinsip teologi
mereka. Kita lihat saja, apakah suatu hari nanti, perpecahan antara mereka yang
berpegang teguh pada Yudaisme dan yang meyakini paham nasionalisme Yahudi bisa
diperbaiki. Atau, seperti sebelumnya agama Kristen, Zionisme akan berkembang
jadi sebuah identitas mandiri, yang sana sekali terlepas dari Yudaisme.
Kritik Yudaisme terhadap
Zionisme memperlihatkan keyakinan-keyakinan teologis yang berakar kuat. Yang
dipertaruhkan adalah interpretasi teologis secara menyeluruh terhadap sejarah
Yahudi, kesadaran, dan makna keyahudian itu sendiri. Itulah sebabnya, oposisi
terhadap Zionisme atas nama Taurat nampaknya akan berlanjut selama aktivitas
Zionis masih berlangsung di Tanah Suci. Bahkan jika banyak Haredim yang sudah
turut mengakui kebenaran eleme-elemen cara pandang Zionis, klaim yang
dikeluarkan Zionis tentang mereka tetap emotif dan insidental: mayoritas
pimpinan Yudaik telah menolak Zionisme dalam bentuk apapun. Kuatnya anti-Zionisme
ini membuat banyak kaum Yahudi yang turut sepakat dengan kontradiksi antara
agama Yahudi yang mereka anut dan percaya, dengan ideologi Zionis yang pada
kenyataannya mengendalikan mereka.
Untuk keterangan lebih
rinci mengenai fenomena oposisi Yahudi terhadapZionisme dan referensi
kutipan-kutipan di atas, lihat buku terbaru penulis: Yakov M Rabkin, A
Threat from Within: A Century of Jewish Opposition to Zionism,Fernwood/Zed
Books, 2006. Buku ini juga tersedia dalam bahasa Arab.
[1] Haredim,
bahasa Ibrani untuk “ketaatan yang ketat” adalah julukan yang lazim bagi semua
kelompok Yahudi tardisional, biasanya bisa dibedakan melalui pakaian hitam
putih mereka. Mereka sering disebut-sebut sebagai “ultra Ortodoks” oleh media.
*Profesor di University of
Montreal, tempat dia mengajar sejarah Yahudi kontemporer, sejarah Soviet dan
sejarah sains sejak 1973. Bukunya yang terbaru adalah A Threat from
Within: a Century of Jewish opposition to Zionism—Ancaman dari Dalam: Seabad
oposisi Yahudi terhadap Zionisme (Zedbooks/Fernwood, 2006; aslinya diterbitkan
di Prancis dengan judul Au nom de la Torah: une histoire de l’opposition juive
au sionisme, PUL, 2004).
Sumber: Jurnal al HudaVolume VI, Nomor 16, 2008, Hal.
9-18
rgb(� R 5 �_j @�h >Mereka mengingatkan kita bahwa Yahudi merupakan kaum yang sangat sedikit jumlahnya jika dibandingkan dengan seluruh umat manusia. Tak bijak jika memancing konfrontasi, sebagaimana politisi-politisi Israel dan para pimpinan Yahudi yang setia kepada mereka saat ini. Menurut kelompok anti-Zionis, sudah saatnya melepaskan ilusi megalomania dan supremasi, untuk kemudian menemukan kembali benang emas yang telah membimbing bangsa Yahudi selama bergenerasi. Benang emas ini memintal jalan melalui seluruh rangkaian warisan spiritual bangsa Yahudi, yang terangkum dalam ungkapan klasik Yahudi: “Siapakah pahlawan yang terhebat? Dialah orang yang merubah musuh menjadi kawan.” Kebanyakan kelompok anti-Zionis berharap bisa merubah perpecahan dan kebencian yang dikobarkan selama beratus tahun ini menjadi kerjasama dan persahabatan. Mereka berdoa agar negara Zionis runtuh tanpa kekerasan dan pertumpahan darah, sebagaimana Uni Soviet di tahun 1991.
Beberapa pengaturan sementara yang dilakukan penduduk anti-Zionis dan Yahudi non-Zionis dengan komunitas (pro) Israel dan eksistensi negara ini nyaris tak bisa merubah prinsip teologi mereka. Kita lihat saja, apakah suatu hari nanti, perpecahan antara mereka yang berpegang teguh pada Yudaisme dan yang meyakini paham nasionalisme Yahudi bisa diperbaiki. Atau, seperti sebelumnya agama Kristen, Zionisme akan berkembang jadi sebuah identitas mandiri, yang sana sekali terlepas dari Yudaisme.
Kritik Yudaisme terhadap Zionisme memperlihatkan keyakinan-keyakinan teologis yang berakar kuat. Yang dipertaruhkan adalah interpretasi teologis secara menyeluruh terhadap sejarah Yahudi, kesadaran, dan makna keyahudian itu sendiri. Itulah sebabnya, oposisi terhadap Zionisme atas nama Taurat nampaknya akan berlanjut selama aktivitas Zionis masih berlangsung di Tanah Suci. Bahkan jika banyak Haredim yang sudah turut mengakui kebenaran eleme-elemen cara pandang Zionis, klaim yang dikeluarkan Zionis tentang mereka tetap emotif dan insidental: mayoritas pimpinan Yudaik telah menolak Zionisme dalam bentuk apapun. Kuatnya anti-Zionisme ini membuat banyak kaum Yahudi yang turut sepakat dengan kontradiksi antara agama Yahudi yang mereka anut dan percaya, dengan ideologi Zionis yang pada kenyataannya mengendalikan mereka.
Untuk keterangan lebih rinci mengenai fenomena oposisi Yahudi terhadapZionisme dan referensi kutipan-kutipan di atas, lihat buku terbaru penulis: Yakov M Rabkin, A Threat from Within: A Century of Jewish Opposition to Zionism,Fernwood/Zed Books, 2006. Buku ini juga tersedia dalam bahasa Arab.
[1] Haredim, bahasa Ibrani untuk “ketaatan yang ketat” adalah julukan yang lazim bagi semua kelompok Yahudi tardisional, biasanya bisa dibedakan melalui pakaian hitam putih mereka. Mereka sering disebut-sebut sebagai “ultra Ortodoks” oleh media.
* A Threat from Within: a Century of Jewish opposition to Zionism
, Hal. 9-18
Tidak ada komentar:
Posting Komentar