Minggu, 20 April 2014

Ulama di Perbatasan Amerika

Oleh Sayid Hasan Qazwini

Tidak seorangpun dari kita bisa membayangkan ke mana jalan akan membawa kita dalam kehidupan. Kisah pribadi saya dimulai dari leluhur saya, sebagaimana tercermin dalam empat bagian nama saya: Imam Hassan Sayid Al-Qazwini. Imam, merupakan istilah bahasa Arab yang berarti “pemimpin”. Dalam kasus saya, saya seorang pemimpin agama dari salah satu masjid tertua di Amerika Utara.

Bagian kedua nama saya, Sayid, adalah sebuah gelar kehormatan yang diberikan kepada mereka yang silsilahnya dapat ditelusuri kembali ke Muhammad, nabi umat Islam, yang juga kita sebut sebagai Rasulullah. Hari ini, ratusan ribu umat muslim seluruh dunia memiliki garis keluarga yang kembali kepada Nabi Muhammad saw. Tidak semuanya ulama. Seorang sayid(ah) bisa dari jenis kelamin, warna, atau budaya yang berbeda di seluruh dunia.

Hassan, bagian ketiga nama saya, adalah nama cucu tertua Nabi Muhammad saw., salah seorang tokoh Islam paling dihormati. Beliau juga menyandang gelar kehormatan, “Pemuda Surga”.

Nama terakhir saya, Qazwini, sebenarnya adalah nama Arab untuk sebuah kota yang disebut Kaspia di Persia. Tiga ratus tahun yang lalu, datuk saya, Abdul Karim, pindah ke “Qazwin” dari provinsi Hijaz di bagian barat Arab, melarikan diri karena penganiyaan agama. Sebagai keturunan nabi, dia diterima dengan hormat di Qazwin. Di sana dia bertemu istrinya dan memiliki dua anak. Dia meninggal tak lama setelah itu. Masyarakat Qazwin sangat mencintainya, menangisi kepergiannya, dan membangun makam sebagai bentuk penghormatan. Kemudian, kedua anaknya pindah ke kota Karbala, Irak. Mereka adalah ulama dan Karbala adalah salah satu pusat pembelajaran dan pengetahuan terbesar di Irak. Di sana nama Qazwini berakar, menunjukkan seseorang yang pindah dari Qazwin.

Saya lahir di Karbala pada bulan Oktober 1964. Hari ini—sama seperti dulu—jutaan orang mengunjungi kota itu setiap tahun untuk menghormati keluarga Muhammad saw., karena keluarga terdekat dan keturunannya yang tak terhitung dimakamkan di sana. Karena pengunjung datang dari seluruh dunia, sejak kecil saya mempelajari keragaman umat manusia. Seperti dikatakan Alquran, Allah menciptakan kita dari berbagai bangsa dan suku, agar dapat saling mengenal.

Saya dibesarkan dalam sebuah keluarga ulama terkemuka, beberapa dari mereka sangat dikenal di dunia Islam. Sejumlah pendahulu, termasuk ayah dan beberapa paman, mencapai status keilmuan dan keunggulan dalam bidang seperti filsafat, fikih, dan tafsir Alquran.

Di Timur Tengah, tidak jarang orang menggunakan atas rumahnya untuk menikmati malam. Saya ingat pernah tidur di beranda rumah orang tua sewaktu malam musim panas di Karbala. Sebelum fajar, saya terbangun karena suara azan di seberang jalan. Memori tentang menara emas tinggi dan bendera merah di atasnya—melambangkan pengorbanan heroik Imam Husain—terkunci dengan jelas dalam pikiran saya.

Tahun terakhir kami di Karbala adalah masa yang paling saya ingat. Saya berusia tujuh tahun dan itu di bulan Ramadan. Saya sangat ingat bangunnya keluarga karena ritme gendang tradisional di jalan-jalan, membangunkan orang-orang untuk makan sebelum puasa. Kemudian, satu jam sebelum salat fajar, kota akan bergema dengan munajat indah memohon rahmat Allah bagi bulan Ramadan.

Tahun 1971, keluarga saya dipaksa meninggalkan Irak. Ini adalah masa-masa pahit bagi kehidupan saya. Kami tidak pindah karena keinginan; keselamatan kami dipertaruhkan. Partai Baath pimpinan Saddam Hussein berkuasa saat itu, dan kekerasan di mulai terhadap pusat keagamaan, keulamaan dan pimpinannya. Masjid dan universitas sebagai pusat pembelajaran intelektual bangsa dikuasai partai untuk mengontrol masyarakat. Mereka memenjarakan para intelektual dan ulama, membunuh dan menyiksa ribuan orang. Ayah saya adalah ulama dan berbicara menentang rezim kejam ini. Pada suatu malam yang dingin pada bulan Februari 1971, ayah menerima telepon dari gubernur Karbala. Sebelum fajar, sebuah taksi datang. Orang tua memberi tahu bahwa kami akan pergi ke Kuwait untuk satu minggu, dan kemudian kembali ke Karbala. Satu minggu menjadi 32 tahun. Tidak satupun dari keluarga yang kembali. Kami tinggalkan barang-barang kami, pakaian, perabotan, dan semuanya. Beberapa tahun kemudian, saya paham maksud telepon gubernur. Itu adalah pemberitahuan untuknya tentang rencana pembunuhan.

Pada tahun 1977, seorang ulama terkemuka datang ke Kuwait untuk menyampaikan ceramah. Ceramahnya tentang Islam di Amerika. Saya berusia tiga belas tahun saat itu. Ulama itu berkata bahwa Islam di Amerika berada dalam tahap merangkak untuk bangun, seperti bayi. Maksudnya, ketika seluruh dunia tahu tentang Islam—dan kontribusi besarnya selama berabad-abad bagi sains, medis, dan matematika—Amerika tidak tahu. Ulama ini berbicara dengan kagum tentang seorang pria Amerika bernama Mohammed Jawad Chirri, yang disebutnya pelopor Islam di Amerika Utara, karena dia mendirikan apa yang sekarang menjadi salah satu Islamic Center tertua di Amerika Utara.

Kemudian, ulama itu datang mengunjungi ayah saya. Beliau adalah teman pribadi keluarga dan sangat menawan bagi anak-anak. Beliau memberi saya buku karya Imam Chirri, The Brother of the Prophet, judul (buku) yang sebenarnya nabi berikan kepada sepupu dan menantunya, Ali. Saya buka buku itu dan membaca biografi Imam Chirri dengan antusias. Saya benar-benar tertarik dengan pengalamannya di Amerika; meskipun saya tidak memahami fakta selama bertahun-tahun, takdir sudah memanggil saya. Siapa yang bisa membayangkan seorang anak dari Karbala yang diperkenalkan oleh seseorang, melalui sebuah buku, yang posisinya saya jabat beberapa tahun kemudian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar