Minggu, 20 April 2014

Menimbang Penerjamahan Teks Filsafat



Oleh Husein Ja’far al Hadar (Direktur Lembaga Study of Philosophy (Sophy) Jakarta.

Dalam pengantarnya untuk buku Our Philosophy (terjemahan dari Falsafatuna) karya Baqir Shadr yang terbit pada 1987, Seyyed Hussein Nashr menyatakan sesuatu yang penting tentang bahasa. Ia menulis bahwa jika kita melihat kelemahan-kelemahan dalam menginterpretasi dan memahami sumber-sumber dari Barat, hal itu karena lemah dan tak sempurnanya terjemahan-terjemahan teks filsafat Barat ke bahasa Arab dan Persia yang diakses oleh Baqir Shadr.

Apa yang diungkapkan Nashr merupakan salah satu problem dasar (yaitu problem penerjemahan) yang menjadikan diskursus dalam ranah filsafat, khususnya filsafat Islam vis a vis Barat, relatif terganggu. Gangguan tersebut disebabkan oleh kesalahan pemahaman pembaca saat membaca sebuah teks filsafat terjemahan, bukan bahasa asli dari teks tersebut. Akibatnya, terjadi kesalahan dalam memahami maksud sebuah teks yang telah diterjemahkan. Karena kesalahpahaman ini, tanggapan atau kritik yang dilayangkan terhadap pemikiran filsafat kerap tidak tepat, sehingga diskursus dalam ranah filsafat menjadi timpang.

Itulah yang dikhawatirkan oleh Nashr dan para peminat studi filsafat- terhadap kritik yang disampaikan oleh berbagai filsuf Islam kontemporer terhadap berbagai aliran filsafat- Barat dengan bermodalkan bacaan mereka terhadap teks-teks terjemahan- filsafat Barat, termasuk Baqir Shadr dalam Falsafatuna. Problem itu pula yang kerap dikhawatirkan dan dikeluhkan oleh para peminat studi filsafat di Indonesia, termasuk penulis, ketika membaca teks-teks filsafat-baik Barat maupun-Islam terjemahan.

Dalam buku Heidegger dan Mistik Keseharian, Budi Hardiman, dosen STF Driyarkara (2008), menyebut soal sulitnya peminat studi filsafat di Indonesia untuk menerjemahkan kata seiendes dalam bahasa Jerman. Beberapa terjemahan-seperti pengada atau adaan-dinilai justru melenyapkan makna aktivitas yang terkandung dalam Partizip I dalam bahasa Jerman. Budi memilih untuk menerjemahkannya sebagai mengada, untuk menyelamatkan makna aktivitas itu dalam bentuk kata benda. Begitu pula terjemahan dari bahasa Arab ke Inggris sebagaimana yang diungkapkan Nashr. Kata aql dalam bahasa Arab biasanya diterjemahkan menjadi ratio dalam bahasa Inggris atau kata ilm yang diterjemahkan menjadi science. Menurut Nashr, dalam penerjemahan dua kata bahasa Arab ke bahasa Inggris ini telah terjadi reduksi makna. Pasalnya, misalnya, kata aql dalam filsafat Islam bukan hanya suatu aktivitas mental sebagaimana terkandung dalam makna terjemahan ratio, tapi juga berkaitan dengan kontemplasi (perenungan).

Problemnya bukan hanya terletak pada kesulitan mencari kosakata padanan, tapi juga karena paradigma peradaban (Islam dan Barat) yang memang memiliki corak perbedaan yang sangat besar. Paradigma peradaban Barat pasca-Renaisans yang kemudian sangat modernis-positivis, sehingga nilai dan makna yang berbasis spiritualis-mistis khas filsafat Islam kemudian tak terakomodasi dengan baik dan utuh dalam tatanan peradaban (filsafat) Barat.

Problem itu relatif tak dirasakan oleh kalangan filsuf Islam klasik saat teks filsafat Yunani diterjemahkan dalam teks Islam; bahasa Arab ataupun Persia. Ini disebabkan bahasa Arab memiliki keluasan dan nilai sastra yang tinggi dan karena corak peradaban Yunani dan Islam relatif dekat; sama-sama percaya dan mengakomodasi hal-hal yang bersifat spiritualis-mistis. Tentunya pula karena para penerjemahnya adalah para filsuf juga-seperti Al-Kindi-yang memiliki kredibilitas dan integritas untuk menerjemahkan secara apik teks filsafat.

Namun problem penerjemahan tersebut lebih dirasakan oleh para filsuf Barat, saat teks filsafat Yunani maupun Islam diterjemahkan ke teks Barat; baik bahasa Inggris, Jerman, maupun Prancis. Problem ini juga kemudian semakin dirasakan ketika teks filsafat itu diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Kerancuan penerjemahan kerap menjadi “tembok besar” yang mengebiri peminat studi filsafat di Indonesia untuk memahami filsafat-baik Barat maupun Islam-secara utuh dan sesuai dengan makna aslinya, termasuk buku Falsafatuna yang juga telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia pada 1991. Inilah yang kemudian menjadi problem mendasar dalam studi filsafat, khususnya di Indonesia.

Bertolak dari situ, upaya penerjemahan teks filsafat sepatutnya dilakukan oleh seseorang yang memiliki kredibilitas dan integritas dalam studi filsafat.

Sehingga diharapkan ia mampu memahami dan mencari kata atau istilah padanan-atau minimal memberi catatan kaki (footnote) yang memadai-untuk menjelaskan teks asli filsafat tersebut, sebagaimana dilakukan Al-Kindi dalam dunia Islam. Termasuk juga, jika perlu, dilakukan penulisan buku lanjutan yang menjelaskan sebuah karya filsafat yang telah diterjemahkan untuk membimbing pembaca dalam memahami karya terjemahan itu, sebagaimana berkembang menjadi sebuah tradisi dalam dunia Islam.

Upaya ini tentunya patut diimbangi dengan apresiasi yang besar terhadap para penerjemah, bukan hanya pengarang teks-teks filsafat. (Majalah Tempo, 7 Maret 2011)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar