Minggu, 20 April 2014

Bangsa Cina dan Negeri Sunda



Berdasarkan riset tekstual dan penelitian arkeologis, dapat dipastikan toponimi Sunda pada mulanya digunakan untuk menyebut wilayah dan kawasan yang kini disebut Banten.

Oleh Claude Guillot, Lukman Nurhakim, Sonny Wibisono, Daniel Perret, Sumarah Adhyatman, Rokhus Due Awe, Marie-France Dupoizat, Naniek Harkantiningsih, dan Francois Thierry

Tidak ditemukannya satu pun peninggalan dari abad ke-10 di sekitar Bogor atau di seluruh Jawa Barat, selain peninggalan-peninggalan yang ditemukan di wilayah Banten, merupakan sebuah fakta yang mencolok dan tidak dapat diabaikan. Selain itu, tidak lama setelah pendiriannya, kerajaan Sunda mungkin sekali meluaskan wilayahnya ke Sumatera Selatan. Kebijakan ini lebih dapat dipahami bila datang dari sebuah kerajaan pantai atau pesisir, apalagi di pantai Selat Sunda, bukan dari sebuah kerajaan yang ibukotanya terletak di pedalaman. Dengan demikian, Kerajaan Sunda adalah sebuah negara yang berwawasan maritim, sebelum bangsawan Galuh menjadikannya sebagai Kerajaan Pedalaman di abad ke-14.

Bangsa Cina dan Negeri Banten Girang

Dalam hal ini Cina lah yang tampil sebagai rekan dagang utama Kerajaan Sunda Banten Girang, dan sekaligus sebagai penggerak utama cara hidup setempat. Kebanyakan keramik yang ditemukan di Situs Banten Girang berasal dari dua propinsi pesisir, yaitu Guangdong dan Fujian. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan Banten atau Kerajaan Sunda dengan Cina melalui Cina Selatan, yang rupa-rupanya, baik Kerajaan Sunda atau pun Bangsa Cina sama-sama bergiat dalam niaga dan dunia maritim pada masa-masa itu. Keterangan mengenai Banten yang diberikan oleh Chau Jukua membuktikan bahwa sebagian perdagangan itu terlaksana di Quangzhou, pelabuhan terbesar di Fujian, tempat penulis tersebut menangani perdagangan internasional.

Berkat temuan-temuan keramik itu juga dapat dipastikan bahwa hubungan Cina dengan Kerajaan Sunda Banten Girang sangat intensif dan tidak pernah terhenti, kecuali mungkin pada abad ke-15.

Mulai akhir abad ke-12, ketika lada untuk pertamakali disebut di Negeri Sunda Banten Girang, rempah itulah yang terutama dicari bangsa Cina di “Sunta Wantan Girang”. Bahkan dapat dikatakan bahwa penanaman lada di Banten dikembangkan justru untuk memenuhi permintaan Cina. Itulah misalnya yang agaknya terjadi pada awal abad ke-17, jung-jung Cina mendatangi Banten secara berkala untuk mencari lada. Lebih awal lagi, diketahui dari sumber Portugis bahwa pada tahun-tahun terakhir Banten Girang, orang Cina masih datang membeli lada, dan pergantian wangsa tidak merubah pandangan tersebut. Kedatangan orang Eropa pada awal abad ke-16 sama sekali tidak mengganggu pasaran lada, karena orang Portugis langsung mengekspor ke Eropa lada yang dihasilkan India. Peranan orang Portugis sebenarnya penting, namun terarah pada pasaran Cina saja: buat mereka lada Banten rupanya merupakan barang tukaran untuk memperoleh barang dagangan Cina. Artinya, bila masuk pasar lada di Banten, orang Portugis memang bersaing dengan pedagang yang sudah biasa mengekspor lada ke Cina, namun mereka tidak mengubah permintaan, sebab rempah itu tetap dibawa mereka ke Cina.

Keadaan itu dikacaubalaukan oleh orang Eropa Utara, yang datang dengan tujuan memasok pasaran Eropa, sebab permintaan lada pada saat itu sedang melonjak. Banten ternyata tidak mampu memenuhi pasaran baru tersebut, barangkali karena penduduknya terlalu sedikit untuk memperbanyak produksi lada. Akibatnya harga membubung tinggi dan pertentangan antara orang Eropa dan Cina makin lama makin seru. Orang Cina, yang sudah lama berdagang dengan “Sunta Wantan Girang”, mempunyai dukungan kuat dari instansi pemerintah dan dari para pedagang di Kerajaan Sunda Banten Girang, yang seringkali orang Cina juga. [] 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar