Selasa, 31 Maret 2015

Lubang di Jantung Fisika




Oleh George Musser*

Fisikawan kelihatannya tak mampu memahami waktu—sungguh. Dapatkah filsuf menolong?

Bagi kebanyakan orang, misteri besar waktu adalah bahwa rasanya kita tak pernah mempunyai cukup waktu. Jika ini adalah suatu hiburan, fisikawan menghadapi persoalan yang sama. Hukum fisika memuat variabel waktu, tapi ia gagal menangkap aspek kunci waktu yang kita jalani—khususnya, perbedaan antara masa lalu dan masa depan. Dan selagi periset mencoba merumuskan hukum yang lebih fundamental, si t kecil menguap sama sekali. Terjebak situasi sulit, banyak fisikawan mencari pertolongan dari sumber yang tak familiar: filsuf.

Dari filsuf? Bagi kebanyakan fisikawan, itu terdengar agak aneh. Jalinan terdekat beberapa [ilmuwan] dengan filsafat adalah saat percakapan larut malam soal bir hitam. Bahkan mereka yang telah membaca filsafat secara serius pada umumnya menyangsikan kegunaannya; setelah berhalaman-halaman Kant, filsafat mulai terasa tak bisa dipahami dalam menyelidiki hal-hal yang tak dapat ditentukan. “Terus terang, saya pikir sebagian besar kolega saya takut berbincang dengan filsuf—seolah-olah tertangkap basah keluar dari sebuah bioskop porno,” kata fisikawan Max Tegmark dari Universitas Pennsylvania.

Tapi tidak selalu demikian. Filsuf memainkan peran krusial dalam revolusi sains di masa lalu, termasuk pengembangan mekanika quantum dan relativitas di awal abad 20. Hari ini sebuah revolusi baru sedang berlangsung, saat fisikawan berjuang menggabungkan kedua teori itu menjadi teori gravitasi quantum—sebuah teori yang akan merekonsiliasikan dua konsepsi ruang dan waktu yang berbeda jauh. Carlo Rovelli dari Universitas Aix-Marseille di Prancis, pemimpin dalam usaha ini, mengatakan, “Kontribusi filsuf terhadap pemahaman baru tentang ruang dan waktu dalam gravitasi quantum akan penting sekali.”

Dua contoh mengilustrasikan bagaimana fisikawan dan filsuf telah menyatukan sumber daya mereka. Contoh pertama menyangkut “persoalan waktu beku” (problem of frozen time), juga secara sederhana dikenal sebagai “persoalan waktu”. Ini timbul ketika para teoris mencoba mengubah teori relativitas umum Albert Einstein menjadi sebuah teori quantum dengan memakai prosedur yang disebut canonical quantization (quantisasi kanonikal). Prosedur tersebut bekerja secara brilian ketika diterapkan pada teori gaya elektromagnet, tapi dalam kasus relativitas, ia menghasilkan sebuah persamaan (persamaan Wheeler-DeWitten) tanpa variabel waktu. Dipikirkan secara harfiah, persamaan ini mengindikasikan bahwa alam semesta semestinya terbeku dalam waktu, tak pernah berubah.

Jangan Membuang-buang Waktu Lagi
Hasil tak menyenangkan ini bisa mencerminkan cacat dalam prosedur tersebut sendiri, tapi beberapa fisikawan dan filsuf berargumen bahwa itu memiliki akar yang lebih dalam, persis menuju salah satu prinsip dasar relativitas: kovariansi umum, yang berpegang bahwa hukum fisika adalah sama untuk semua pengamat. Fisikawan memikirkan prinsip ini dari segi geometri. Dua pengamat akan mempersepsikan ruang-waktu memiliki dua bentuk berbeda, sesuai dengan penglihatan mereka tentang siapa yang bergerak dan gaya apa yang beraksi. Setiap bentuk merupakan versi melengkung halus atas yang lain, sebagaimana cangkir kopi dianggap sebagai donat yang dibentuk ulang. Kovariansi umum menyatakan bahwa perbedaannya tidak berarti. Oleh karena itu, dua bentuk semacam itu adalah ekuivalen secara fisika.

Di akhir 1980-an, filsuf John Earman dan John D. Norton dari Universitas Pittsburgh berargumen bahwa kovariansi umum mempunyai implikasi mengejutkan terhadap pertanyaan metafisik lama: Apakah ruang dan waktu eksis secara terpisah dari bintang, galaksi, dan muatan lainnya (sebuah kedudukan yang dikenal sebagai substantivalism), ataukah ruang dan waktu hanya perangkat artifisial untuk menggambarkan bagaimana objek-objek fisik saling terhubung (relationism)? Sebagaimana ditulis Norton, “Apakah mereka seperti kanvas yang di atasnya seorang seniman melukis; mereka eksis tanpa menghiraukan apakah seniman melukis di atasnya atau tidak? Ataukah mereka sama dengan kedudukan orangtua; tidak ada kedudukan orangtua sampai ada orangtua dan anak.”

Dia dan Earman meninjau kembali eksperimen pikiran milik Einstein yang sudah lama diabaikan. Pikirkan tambalan hampa ruang-waktu. Di luar lubang ini, distribusi materi menentukan geometri ruang-waktu, menurut persamaan relativitas. Namun, di dalam, kovariansi umum memperkenankan ruang-waktu mengambil beraneka ragam bentuk. Sedikit banyak, ruang-waktu berperilaku seperti tenda kanvas. Tiang tenda, yang mewakili materi, memaksa kanvas mengambil bentuk tertentu. Tapi jika Anda menghilangkan satu tiang, menciptakan lubang yang ekuivalen, bagian tenda bisa merosot, menunduk, atau berkerut akibat angin tanpa bisa diprediksi.

Mengesampingkan perbedaan halus, eksperimen pikiran menimbulkan dilema. Jika continuum (rangkaian kesatuan) adalah sesuatu yang pada tempatnya (sebagaimana pendapat substantivalisme), maka relativitas umum harus indeterministis—yakni, uraiannya tentang dunia harus memuat elemen keacakan. Agar teori tersebut deterministis, ruang-waktu harus fiksi belaka (sebagaimana pendapat relasionisme). Sekilas, ini sepertinya kemenangan bagi relasionisme. Di samping itu, teori-teori lain, seperti gaya elektromagnet, didasarkan pada kesimetrian yang menyerupai relasionisme.

Tapi relasionisme punya masalahnya sendiri. Ia merupakan sumber pokok persoalan waktu beku: ruang bisa berubah dibanding waktu, tapi jika bentuknya yang banyak adalah ekuivalen semuanya, ia tak pernah sungguh-sungguh berubah. Selain itu, relasionisme berbenturan dengan fondasi substantivalis mekanika quantum. Jika ruangwaktu tak mempunyai pengertian pasti, bagaimana bisa Anda melakukan pengamatan di tempat dan momen tertentu, sebagaimana diwajibkan oleh mekanika quantum?

Resolusi berbeda atas dilema ini membawa pada teori-teori gravitasi quantum yang sangat berlainan. Beberapa fisikawan, seperti Rovelli dan Julian Barbour, mencoba pendekatan relasionis; mereka berpikir waktu tidak eksis dan mereka telah mencari cara untuk menjelaskan perubahan sebagai suatu ilusi. Yang lainnya, termasuk para teoris string, condong kepada substantivalisme.

“Ini adalah contoh bagus nilai filsafat fisika,” kata filsuf Craig Callender dari Universitas California, San Diego. “Bila fisikawan berpikir bahwa persoalan waktu dalam canonical quantum gravity (gravitasi quantum kanonikal) adalah persoalan quantum semata-mata, maka mereka melukai pemahaman mereka atas persoalan tersebut—sebab ini telah bersama kita jauh lebih lama dan lebih umum.”

Berjalan di Entropi
Contoh kedua kontribusi filsuf adalah berkenaan dengan anak panah waktu—keasimetrian masa lalu dan masa depan. Banyak orang berasumsi bahwa anak panah dijelaskan oleh hukum termodinamika kedua, yang menyatakan bahwa entropi, secara longgar didefinisikan sebagai jumlah ketidakteraturan dalam sebuah sistem, meningkat seiring waktu. Tapi tak ada seorang pun yang bisa betul-betul menerangkan hukum kedua tersebut.

Penjelasan paling utama, diajukan oleh fisikawan Austria abad 19, Ludwig Boltzmann, adalah probabilitas. Ide dasarnya adalah bahwa terdapat lebih banyak cara bagi sebuah sistem untuk tidak teratur daripada teratur. Jika saat ini sistem agak teratur, ia mungkin akan tidak teratur sesaat dari sekarang. Namun, pemikiran ini simetris dalam hal waktu. Sistem mungkin lebih tak teratur juga sesaat yang lalu. Sebagaimana diakui Boltzmann, satu-satunya cara untuk memastikan bahwa entropi akan meningkat di masa depan adalah jika ia berawal dengan harga yang rendah di masa lalu. Dengan demikian, hukum [termodinamika] kedua bukanlah kebenaran fundamental seperti kejadian sejarah, mungkin terkait dengan peristiwa-peristiwa di awal big bang.

Teori-teori lain untuk anak panah waktu sama tidak lengkapnya. Filsuf Huw Price dari Universitas Sydney berargumen bahwa hampir setiap upaya untuk menjelaskan keasimetrian waktu menderita argumentasi sirkuler, seperti semacam praduga tersembunyi atas keasimetrian waktu. Karyanya merupakan sebuah contoh bagaimana filsuf bisa bertindak, dalam kata-kata filsuf Richard Helaey dari Universitas Arizona, sebagai “suara hati intelektual para fisikawan”. Terlatih khusus dalam kekerasan logika, mereka adalah ahli dalam melacak bias-bias halus.

Hidup akan membosankan bila kita selalu mendengarkan suara hati kita, dan fisikawan telah sering melakukan yang terbaik ketika mengabaikan filsuf. Tapi dalam pertarungan abadi dengan lompatan logika kita sendiri, suara hati kadangkala harus kita pegang.

*George Musser adalah staf editor dan penulis di majalah Scientific American. (Sumber: Special Edition Scientific American – A Matter of Time, 2006, hal. 12-13).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar