Oleh Syekh Ja’far Hadi. Penerjemah: Abu
Fathimah S.
Segala puji bagi Allah,
Tuhan semesta Alam. Semoga shalawat serta salam tercurah kepada Penutup para
nabi dan rasul dan yang paling mulia dari semua rasul, Muhammad, beserta
keluarganya yang suci, dan para sahabatnya yang baik dan setia.
[1] Mazhab Syi’ah Imamiyah Itsna Asyariah, yang juga dikenal dengan sebutan Mazhab Ja’fari, sekarang ini tergolong sebagai mazhab yang besar dalam jajaran kaum muslimin dan memiliki banyak pengikut. Diperkirakan, jumlah mereka kurang lebih seperempat dari jumlah seluruh kaum muslimin. Sejarah kemunculan mazhab ini memiliki akar yang panjang, yang bermula dari awal kemunculan Islam. Kemunculan mazhab ini bersamaan dengan turunnya firman Allah Swt dalam surat al-Bayyinah:
[1] Mazhab Syi’ah Imamiyah Itsna Asyariah, yang juga dikenal dengan sebutan Mazhab Ja’fari, sekarang ini tergolong sebagai mazhab yang besar dalam jajaran kaum muslimin dan memiliki banyak pengikut. Diperkirakan, jumlah mereka kurang lebih seperempat dari jumlah seluruh kaum muslimin. Sejarah kemunculan mazhab ini memiliki akar yang panjang, yang bermula dari awal kemunculan Islam. Kemunculan mazhab ini bersamaan dengan turunnya firman Allah Swt dalam surat al-Bayyinah:
“Sesungguhnya orang-orang
yang beriman dan beramal saleh, mereka adalah sebaik-baik penghuni bumi” (QS. al
Bayyinah: 7). Sewaktu ayat ini turun, Rasulullah saw kemudian meletakkan tangan
mulia beliau ke pundak Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah seraya bersabda, “Wahai
Ali, engkau dan Syi’ah (pengikut)-mu adalah sebaik-baik penghuni bumi.” Pada
saat kejadian itu berlangsung, banyak sahabat Rasul saw ikut hadir di tempat
itu dan menyaksikannya.[1]
Semenjak saat itulah kelompok tersebut –yang dinisbahkan kepada Imam Ja’far al Shadiq karena mengikuti fikih beliau– disebut dengan Syi’ah.
[2] Pengikut mazhab ini dapat dijumpai dengan jumlah yang sangat besar di beberapa negara seperti Iran, Irak, Pakistan, dan India. Mereka tersebar dengan jumlah yang tak sedikit pula di berbagai negara Teluk Persia, Turki, Suriah, Libanon, Rusia, dan negara-negara pecahan (bekas) Uni Soviet. Mereka pun tersebar di negara-negara Eropa seperti Inggris, Jerman, dan Prancis. Keberadaan mereka juga dapat dijumpai di Benua Amerika, Benua Afrika, dan negara-negara Asia Timur. Di negara-negara tersebut, mereka mendirikan banyak masjid, pusat-pusat kajian ilmiah, budaya, dan sosial.
[3] Para pengikut mazhab ini terdiri dari ber-bagai macam kewarganegaraan, keturunan, bahasa, dan warna kulit. Mereka hidup berdampingan dengan saudara-saudara mereka sesama muslim dari berbagai kelompok dan mazhab, dengan penuh kasih sayang dan kedamaian. Mereka saling menolong dalam setiap kesempatan dan persoalan, dengan penuh keikhlasan dan kejujuran. Semua itu didasari atas firman Allah Swt: “Sesungguhnya (sesama) orang-orang beriman adalah bersaudara” (QS. al-Hujurat: 10). Juga firman Allah: “Dan saling tolong-menolonglah dalam perbuatan baik dan ketakwaan” (QS. al-Maidah: 2). Dan sabda Rasulullah saw, “Orang-orang mukmin bagaikan satu jasad.” [2]
[4] Sepanjang sejarah, para pengikut Mazhab Ja’fari menempati posisi yang amat mulia dan memukau dalam usaha membela Islam dan umat muslim. Sebagaimana mereka pernah memiliki beberapa pemerintahan dan negara yang digunakan untuk berkhidmat demi perkembangan budaya Islam, mereka juga memiliki banyak sekali ulama yang sangat berperan dalam memperkaya khasanah peninggalan Islam dengan menulis ratusan ribu karya tulis, baik kitab yang berukuran besar maupun kecil, dalam berbagai disiplin ilmu, seperti tafsir al-Quran, hadis, akidah, fikih, ushul fikih, akhlak, pengenalan dan klasifikasi haclis (dirayah al-hadis), pengenalan atas perawi hasis (ilmu rijal), filsafat, tata negara dan sosial kemasyarakatan, bahasa dan sastra, hingga disiplin ilmu kedokteran, fisika, kimia, matematika, astronomi, dan ilmu pengetahuan alam lainnya. Mereka juga memiliki peran amat penting dalam penemuan dan berdirinya banyak lagi disiplin ilmu lain. [3]
[5] Mereka meyakini bahwa Allah Swt adalah Zat yang Tunggal dan Esa. Dialah tempat bergantung yang tiada beranak dan tiada pula dianakkan. Tiada satu pun kesetaraan bagi-Nya. Mereka menjauhkan dari Allah Swt kepemilikan akan bentuk (jism), arah, tempat, waktu, perubahan, gerak, naik, turun, dan segala atribut yang tak layak disifatkan kepada Allah Swt, Zat yang Mahasuci, Sempurna, dan Indah. Mereka juga meyakini bahwa Allah Swt adalah satu-satunya yang layak untuk disembah. Mereka yakin, segala hukum dan perundang-undangan haruslah bersumber dan bertumpu pada kebijakan Ilahi. Mereka pun yakin bahwa segala bentuk penyekutuan terhadap Allah Swt (syirik) –baik terang-terangan (jali) maupun tersembunyi (khafi)– merupakan sebentuk kezaliman teramat besar dan termasuk dosa besar yang tak terampuni.
Mereka mengambil semua (dasar) keyakinannya dari akal sehat yang sesuai dengan al-Qur’an dan hadis yang dijamin kesahihannya, dari mana pun sumbernya. Kaum Syi’ah tiada mengambil keyakinan mereka dari hadis-hadis Israiliyat (pengaruh ajaran Taurat dan Injil yang tidak lagi otentik) atau ajaran Majusi (Zoroaster) yang meyakini bahwa Allah Swt memiliki bentuk sebagaimana manusia (anthropomorphisme) dan menyamakan Allah Swt dengan makhluk,-makhluk-Nya, seperti menyifati-Nya pernah berbuat lalai, zalim, sia-sia, dan sebagainya. Mahasuci Allah Swt atas segala yang mereka (kaum musyrik) sifatkan. Sebagaimana, mereka juga menyanclarkan dosa-dosa besar dan bermacam-macam keburukan kepada para nabi yang secara mutlak terjaga (maksum) dan suci dari segala perbuatan buruk.
[6] Mereka meyakini bahwa Allah Swt Mahaadil dan Bijak, Pencipta segala sesuatu atas dasar keadilan dan hikmah; tiada mencipta apapun dengan kesia-siaan, baik benda mati, tanaman, hewan, manusia, langit, maupun bumi. Itu dikarenakan segala perbuatan sia-sia bertentangan dengan keadilan dan hikmah. Oleh karena itu, melakukan pekerjaan sia-sia bertentangan dengan-sifat ketuhanan. Sebab “menyifati” Tuhan dapat diartikan sebagai menetapkan segala bentuk kesempurnaan bagi Allah Swt dan menjauhkan segala macam kekurangan dari-Nya.
[7] Kaum Syi’ah, meyakini bahwa Allah Swt –atas dasar keadilan dan hikmah-Nya– telah mengutus para nabi dan rasul bagi segenap umat manusia, semenjak awal penciptaan Adam di muka bumi. Mereka yakin, para nabi dan rasul memiliki sifat keterjagaan dari salah dan dosa (ma’sum) dan dibekali dengan ilmu yang luas, melalui anugrah khusus –berupa wahyu– dari Allah Swt. Semua itu, untuk memberikan petunjuk kepada umat manusia, dan sebagai sarana untuk membantunya agar dapat mencapai kesempurnaan sebagai tujuan akhirnya. Juga, sebagai pembimbing menuju ketaatan yang dapat menghantarkan manusia pada kenikmatan surgawi serta beroleh anugrah rahmat dan ridha Allah.
Semenjak saat itulah kelompok tersebut –yang dinisbahkan kepada Imam Ja’far al Shadiq karena mengikuti fikih beliau– disebut dengan Syi’ah.
[2] Pengikut mazhab ini dapat dijumpai dengan jumlah yang sangat besar di beberapa negara seperti Iran, Irak, Pakistan, dan India. Mereka tersebar dengan jumlah yang tak sedikit pula di berbagai negara Teluk Persia, Turki, Suriah, Libanon, Rusia, dan negara-negara pecahan (bekas) Uni Soviet. Mereka pun tersebar di negara-negara Eropa seperti Inggris, Jerman, dan Prancis. Keberadaan mereka juga dapat dijumpai di Benua Amerika, Benua Afrika, dan negara-negara Asia Timur. Di negara-negara tersebut, mereka mendirikan banyak masjid, pusat-pusat kajian ilmiah, budaya, dan sosial.
[3] Para pengikut mazhab ini terdiri dari ber-bagai macam kewarganegaraan, keturunan, bahasa, dan warna kulit. Mereka hidup berdampingan dengan saudara-saudara mereka sesama muslim dari berbagai kelompok dan mazhab, dengan penuh kasih sayang dan kedamaian. Mereka saling menolong dalam setiap kesempatan dan persoalan, dengan penuh keikhlasan dan kejujuran. Semua itu didasari atas firman Allah Swt: “Sesungguhnya (sesama) orang-orang beriman adalah bersaudara” (QS. al-Hujurat: 10). Juga firman Allah: “Dan saling tolong-menolonglah dalam perbuatan baik dan ketakwaan” (QS. al-Maidah: 2). Dan sabda Rasulullah saw, “Orang-orang mukmin bagaikan satu jasad.” [2]
[4] Sepanjang sejarah, para pengikut Mazhab Ja’fari menempati posisi yang amat mulia dan memukau dalam usaha membela Islam dan umat muslim. Sebagaimana mereka pernah memiliki beberapa pemerintahan dan negara yang digunakan untuk berkhidmat demi perkembangan budaya Islam, mereka juga memiliki banyak sekali ulama yang sangat berperan dalam memperkaya khasanah peninggalan Islam dengan menulis ratusan ribu karya tulis, baik kitab yang berukuran besar maupun kecil, dalam berbagai disiplin ilmu, seperti tafsir al-Quran, hadis, akidah, fikih, ushul fikih, akhlak, pengenalan dan klasifikasi haclis (dirayah al-hadis), pengenalan atas perawi hasis (ilmu rijal), filsafat, tata negara dan sosial kemasyarakatan, bahasa dan sastra, hingga disiplin ilmu kedokteran, fisika, kimia, matematika, astronomi, dan ilmu pengetahuan alam lainnya. Mereka juga memiliki peran amat penting dalam penemuan dan berdirinya banyak lagi disiplin ilmu lain. [3]
[5] Mereka meyakini bahwa Allah Swt adalah Zat yang Tunggal dan Esa. Dialah tempat bergantung yang tiada beranak dan tiada pula dianakkan. Tiada satu pun kesetaraan bagi-Nya. Mereka menjauhkan dari Allah Swt kepemilikan akan bentuk (jism), arah, tempat, waktu, perubahan, gerak, naik, turun, dan segala atribut yang tak layak disifatkan kepada Allah Swt, Zat yang Mahasuci, Sempurna, dan Indah. Mereka juga meyakini bahwa Allah Swt adalah satu-satunya yang layak untuk disembah. Mereka yakin, segala hukum dan perundang-undangan haruslah bersumber dan bertumpu pada kebijakan Ilahi. Mereka pun yakin bahwa segala bentuk penyekutuan terhadap Allah Swt (syirik) –baik terang-terangan (jali) maupun tersembunyi (khafi)– merupakan sebentuk kezaliman teramat besar dan termasuk dosa besar yang tak terampuni.
Mereka mengambil semua (dasar) keyakinannya dari akal sehat yang sesuai dengan al-Qur’an dan hadis yang dijamin kesahihannya, dari mana pun sumbernya. Kaum Syi’ah tiada mengambil keyakinan mereka dari hadis-hadis Israiliyat (pengaruh ajaran Taurat dan Injil yang tidak lagi otentik) atau ajaran Majusi (Zoroaster) yang meyakini bahwa Allah Swt memiliki bentuk sebagaimana manusia (anthropomorphisme) dan menyamakan Allah Swt dengan makhluk,-makhluk-Nya, seperti menyifati-Nya pernah berbuat lalai, zalim, sia-sia, dan sebagainya. Mahasuci Allah Swt atas segala yang mereka (kaum musyrik) sifatkan. Sebagaimana, mereka juga menyanclarkan dosa-dosa besar dan bermacam-macam keburukan kepada para nabi yang secara mutlak terjaga (maksum) dan suci dari segala perbuatan buruk.
[6] Mereka meyakini bahwa Allah Swt Mahaadil dan Bijak, Pencipta segala sesuatu atas dasar keadilan dan hikmah; tiada mencipta apapun dengan kesia-siaan, baik benda mati, tanaman, hewan, manusia, langit, maupun bumi. Itu dikarenakan segala perbuatan sia-sia bertentangan dengan keadilan dan hikmah. Oleh karena itu, melakukan pekerjaan sia-sia bertentangan dengan-sifat ketuhanan. Sebab “menyifati” Tuhan dapat diartikan sebagai menetapkan segala bentuk kesempurnaan bagi Allah Swt dan menjauhkan segala macam kekurangan dari-Nya.
[7] Kaum Syi’ah, meyakini bahwa Allah Swt –atas dasar keadilan dan hikmah-Nya– telah mengutus para nabi dan rasul bagi segenap umat manusia, semenjak awal penciptaan Adam di muka bumi. Mereka yakin, para nabi dan rasul memiliki sifat keterjagaan dari salah dan dosa (ma’sum) dan dibekali dengan ilmu yang luas, melalui anugrah khusus –berupa wahyu– dari Allah Swt. Semua itu, untuk memberikan petunjuk kepada umat manusia, dan sebagai sarana untuk membantunya agar dapat mencapai kesempurnaan sebagai tujuan akhirnya. Juga, sebagai pembimbing menuju ketaatan yang dapat menghantarkan manusia pada kenikmatan surgawi serta beroleh anugrah rahmat dan ridha Allah.
Dari sekian banyak para
nabi dan rasul, terdapat beberapa individu yang lebih menonjol ketimbang yang
lain. Mereka adalah Adam, Nuh, Ibrahim, Isa, Musa, dan nama-nama lain yang
tercantum dalam al-Quran, ataupun hadis Nabi saw.
[8] Mereka meyakini bahwa barangsiapa menaati Allah Swt dengan melaksanakan segala perintah dan perundang-undangan-Nya dalam segenap aspek kehidupan, niscaya akan selamat dan sentosa. Pribadi semacam itu akan mendapatkan pujian dan pahala dari Allah Swt, walaupun dia seorang budak hitam (yang dianggap hina). Sebaliknya, barangsiapa bermaksiat kepada Allah Swt, bersikap masa bodoh terhadap perintah-perintah-Nya, mempraktikkan selain hukum-Nya, niscaya akan merugi dan celaka. Pribadi semacam itu meski dia seorang bangsawan terhormat. Semua itu telah disebutkan dalam hadis-hadis sahih dari Nabi saw.
[8] Mereka meyakini bahwa barangsiapa menaati Allah Swt dengan melaksanakan segala perintah dan perundang-undangan-Nya dalam segenap aspek kehidupan, niscaya akan selamat dan sentosa. Pribadi semacam itu akan mendapatkan pujian dan pahala dari Allah Swt, walaupun dia seorang budak hitam (yang dianggap hina). Sebaliknya, barangsiapa bermaksiat kepada Allah Swt, bersikap masa bodoh terhadap perintah-perintah-Nya, mempraktikkan selain hukum-Nya, niscaya akan merugi dan celaka. Pribadi semacam itu meski dia seorang bangsawan terhormat. Semua itu telah disebutkan dalam hadis-hadis sahih dari Nabi saw.
Mereka juga meyakini,
bahwa waktu untuk menerima pahala dan siksa adalah pada hari kiamat kelak. Di
sanalah akan terjadi proses penghitungan, penimbangan atas beban baik dan
buruk, serta balasan surga dan neraka. Semua itu terjadi setelah berlalunya
alam kubur (barzakh). Adapun atas keyakinan tentang reinkarnasi (tanasukh) yang
dianut oleh para pengingkar hari kiamat, maka para pengikut Mazhab Syi’ah
dengan tegas menolak keyakinan tersebut dengan dalil bahwa itu bertentangan
dengan al-Quran dan sunah Rasul saw.
[9] Mereka yakin bahwa akhir dan penutup segenap nabi dan rasul adalah Rasulullah Muhammad (saw) bin Abdullah bin Abdul Mutthalib, nabi dan rasul yang paling utama dari sekian banyak nabi dan rasul. Beliau telah dijaga oleh Allab Swt dari segala bentuk kesalahan dan dosa, baik yang berkait dengan persoalan penyampaian risalah (tabligh) maupun selainnya. Beliau terjaga dari dosa kecil maupun besar, baik sebelum pengangkatan menjadi nabi maupun setelahnya. Kepada beliau, diturunkan al-Quran sebagai panduan hidup bagi seluruh umat manusia untuk selamanya. Beliau pun telah menyampaikan risalah, menunaikan amanat dengan penuh kejujuran dan keikhlasan, juga melaksanakan tugas di jalan tersebut tanpa pandang bulu. Dalam mencatat sejarah hidup, kepribadian, keadaan, keistimewaan, dan mukjizat Rasulullah saw, kaum Syi’ah menulis puluhan karya tulis dan pembahasan ilmiah. [4]
[10] Mereka meyakini bahwa al-Quran adalah kitab suci yang diturunkan kepada Rasulullah Muhammad saw melalui malaikat Jibril as. Kemudian kitab suci itu dikumpulkan oleh beberapa sahabat besar Rasul saw, khususnya Ali bin Abi Thalib as, semenjak masa hidup Rasulullah saw. Proses penulisan tersebut berada di bawah perintah, bimbingan, dan pantauan Rasulullah saw. Para sahabat itu kemudian menjaga, menghafal, mencermati setiap huruf, kalimat, ayat, dan suratnya dengan teliti. Lantas, mereka mewariskan-nya secara turun-temurun kepada setiap generasi, hingga generasi kaum muslimin sekarang ini. Al-Quran itulah yang sampai detik ini dibaca oleh segenap kaum muslimin dari berbagai kalangan dan mazhab, siang dan malam. Al-Quran yang tiada perubahan di dalamnya, baik pengurangan maupun penambahan. Kaum Syi’ah, sekaitan dengan penetapan hal ini, menghasilkan banyak sekali karya tulis, baik yang ditulis secara ringkas maupun mendetail dan luas.
[11] Mereka meyakini bahwa sewaktu mendekati wafatnya, Rasulullah saw mengangkat Ali bin Abi Thalib as sebagai khalifah dan imam bagi segenap kaum muslimin sepeninggal beliau, sebagai pemimpin umat dalam bidang politik, pembimbing umat dalam bidang pemikiran, penyelesai setiap kendala umat, dan pelanjut dalam mendidik dan mensucikan umat Muhammad. Semua itu dilakukan karena perintah dari Allah Swt yang dilaksanakan oleh Rasulullah saw di tempat yang terkenal dengan sebutan Ghadir Khum. Peristiwa itu terjadi pada tahun terakhir masa hidup Rasulullah saw dan seusai melaksanakan haji terakhir (haji wada’) dari sekian haji yang pernah beliau taksanakan.
[9] Mereka yakin bahwa akhir dan penutup segenap nabi dan rasul adalah Rasulullah Muhammad (saw) bin Abdullah bin Abdul Mutthalib, nabi dan rasul yang paling utama dari sekian banyak nabi dan rasul. Beliau telah dijaga oleh Allab Swt dari segala bentuk kesalahan dan dosa, baik yang berkait dengan persoalan penyampaian risalah (tabligh) maupun selainnya. Beliau terjaga dari dosa kecil maupun besar, baik sebelum pengangkatan menjadi nabi maupun setelahnya. Kepada beliau, diturunkan al-Quran sebagai panduan hidup bagi seluruh umat manusia untuk selamanya. Beliau pun telah menyampaikan risalah, menunaikan amanat dengan penuh kejujuran dan keikhlasan, juga melaksanakan tugas di jalan tersebut tanpa pandang bulu. Dalam mencatat sejarah hidup, kepribadian, keadaan, keistimewaan, dan mukjizat Rasulullah saw, kaum Syi’ah menulis puluhan karya tulis dan pembahasan ilmiah. [4]
[10] Mereka meyakini bahwa al-Quran adalah kitab suci yang diturunkan kepada Rasulullah Muhammad saw melalui malaikat Jibril as. Kemudian kitab suci itu dikumpulkan oleh beberapa sahabat besar Rasul saw, khususnya Ali bin Abi Thalib as, semenjak masa hidup Rasulullah saw. Proses penulisan tersebut berada di bawah perintah, bimbingan, dan pantauan Rasulullah saw. Para sahabat itu kemudian menjaga, menghafal, mencermati setiap huruf, kalimat, ayat, dan suratnya dengan teliti. Lantas, mereka mewariskan-nya secara turun-temurun kepada setiap generasi, hingga generasi kaum muslimin sekarang ini. Al-Quran itulah yang sampai detik ini dibaca oleh segenap kaum muslimin dari berbagai kalangan dan mazhab, siang dan malam. Al-Quran yang tiada perubahan di dalamnya, baik pengurangan maupun penambahan. Kaum Syi’ah, sekaitan dengan penetapan hal ini, menghasilkan banyak sekali karya tulis, baik yang ditulis secara ringkas maupun mendetail dan luas.
[11] Mereka meyakini bahwa sewaktu mendekati wafatnya, Rasulullah saw mengangkat Ali bin Abi Thalib as sebagai khalifah dan imam bagi segenap kaum muslimin sepeninggal beliau, sebagai pemimpin umat dalam bidang politik, pembimbing umat dalam bidang pemikiran, penyelesai setiap kendala umat, dan pelanjut dalam mendidik dan mensucikan umat Muhammad. Semua itu dilakukan karena perintah dari Allah Swt yang dilaksanakan oleh Rasulullah saw di tempat yang terkenal dengan sebutan Ghadir Khum. Peristiwa itu terjadi pada tahun terakhir masa hidup Rasulullah saw dan seusai melaksanakan haji terakhir (haji wada’) dari sekian haji yang pernah beliau taksanakan.
Saat itu, berkumpul banyak
sekali sahabat yang sebelumnya turut serta dalam ibadah haji bersama beliau.
Dalam riwayat dikabarkan bahwa yang ikut serta dalam perkumpulan itu
–sebagaimana yang dinukil dalam riwayat yang ada– berjumlah tidak kurang dari
seratus ribu sahabat. Dalam peristiwa bersejarah tersebut diturunkan beberapa
ayat yang berkenaan dengan momentum itu. [5]
Sebagaimana Rasulullah saw
menyuruh hadirin untuk membai’at Ali as dengan berjabat tangan, saat itu para
hadirin pun mulai berjabat tangan satu demi satu, di mulai dari para pemuka
Muhajirin dan Anshar, juga para pembesar sahabat lainnya. [6] Lihat
kembali kitab al-Ghadir karya Allamah al-Amini yang merupakan kumpulan dari
berbagai kitab-kitab rujukan kaum muslimin, baik yang berkait dengan kitab
tafsir maupun sejarah.
[12] Mereka meyakini bahwa imam –sepeninggal Rasulullah saw– memikul tugas sebagaimana tugas yang diemban Rasulullah saw. Seperti halnya, Rasul saw, imam bertugas sebagai pemimpin, pemberi petunjuk, pendidik, pengajar, penjelas hukum, penuntas segala kendala kesalahan berpikir, dan penyelesai atas perkara penting berkait dengan persoalan sosial kemasyarakatan. Pribadi seorang imam dan khalifah Rasul saw harus memiliki segala hal (kualifikasi) yang menyebabkan segenap umat mempercayainya. Ini diperlukan karena dia berfungsi sebagai penyelamat umat manusia menuju keselamatan abadi.
[12] Mereka meyakini bahwa imam –sepeninggal Rasulullah saw– memikul tugas sebagaimana tugas yang diemban Rasulullah saw. Seperti halnya, Rasul saw, imam bertugas sebagai pemimpin, pemberi petunjuk, pendidik, pengajar, penjelas hukum, penuntas segala kendala kesalahan berpikir, dan penyelesai atas perkara penting berkait dengan persoalan sosial kemasyarakatan. Pribadi seorang imam dan khalifah Rasul saw harus memiliki segala hal (kualifikasi) yang menyebabkan segenap umat mempercayainya. Ini diperlukan karena dia berfungsi sebagai penyelamat umat manusia menuju keselamatan abadi.
Seorang imam juga harus
memiiiki keahlian dan sifat-sifat yang dimiliki Rasul saw (seperti kemaksuman
dan ilmu yang luas). Semua itu dikarenakan seorang imam adalah penerus Rasul
saw dalam melakukan perbaikan dan memenuhi tanggung jawab. Semua tugas dan
tanggung jawab imam sama persis dengan tugas dan tanggung jawab Rasul saw,
kecuali dalam hal penerimaan wahyu dan kenabian. Lantaran kenabian ditutup
dengan diutusnya Muhammad saw, maka beliau merupakan penutup para nabi dan
rasul. Konsekuensinya, agama yang dibawa beliau adalah penutup semua agama,
syariat beliau adalah akhir segala syariat, kitab suci yang beliau bawa adalah
pamungkas semua kitab suci. Tiada nabi setelah beliau, tiada agama setelah
agama beliau, tiada lagi syariat yang bakal datang setelah syariat yang dibawa
beliau. Berkait dengan persoalan di atas, kaum Syi’ah memiliki banyak sekali
karya-karya (tulis) dengan kapasitas dan metode yang beragam.
[13] Mereka meyakini bahwa kebutuhan umat akan kepala dan pemimpin yang mampu memberi petunjuk seraya dijamin terjaga dari dosa (maksum) bukan hanya sebatas pada pengangkatan Imam Ali as sebagai khalifah dan imam pasca Rasulullah saw. Namun, mereka meyakini keharusan adanya kesinambungan mata-rantai kepemimpinan hingga masa yang panjang. Batas mata-rantai kepemimpinan tersebut adalah terealisasinya pemancangan akar Islam secara kuat, asas-asas syariat tiada lagi terabaikan, dan pilar-pilar agama terjaga dengan baik. Selama ini, pihak-pihak tertentu selalu mengusik dan mengancam setiap ajaran akidah Ilahi dan konsep spiritual (Rubbani) yang pernah muncul di permukaan. Sebagian di antara para imam –yang telah mempraktikkan beberapa konsep dengan bermacam situasi yang ada– telah memberikan contoh praktis dan berbagai program yang sesuai dengan segala situasi dan kondisi yang ada. Dari sini, umat Islam kelak akan mampu mempraktikkannya.
[14] Mereka meyakini bahwa atas dasar hal-hal di atas (keyakinan pada poin 13) dan atas dasar hikmah yang luhur serta berdasarkan perintah Allah Swt, maka Nabi Muhammad bin Abdillah saw menetapkan 11 imam setelah Imam Ali as. Para imam yang seluruhnya berjumlah 12 orang itu telah diisyaratkan jumlah individu dan suku (kabilah)nya, yang semuanya berasal dari suku Quraisy, sebagaimana tercantum dalam Shahih Bukbari dan Shahih Muslim dengan redaksi yang beragam. Seperti yang telah diriwayatkan dari Rasulullah saw, “Sesungguhnya agama tetap akan berjalan (tegak, mulia, terjaga) selama pada mereka terdapat 12 penguasa atau khalifah yang semuanya dari (suku) Quraisy.”
[13] Mereka meyakini bahwa kebutuhan umat akan kepala dan pemimpin yang mampu memberi petunjuk seraya dijamin terjaga dari dosa (maksum) bukan hanya sebatas pada pengangkatan Imam Ali as sebagai khalifah dan imam pasca Rasulullah saw. Namun, mereka meyakini keharusan adanya kesinambungan mata-rantai kepemimpinan hingga masa yang panjang. Batas mata-rantai kepemimpinan tersebut adalah terealisasinya pemancangan akar Islam secara kuat, asas-asas syariat tiada lagi terabaikan, dan pilar-pilar agama terjaga dengan baik. Selama ini, pihak-pihak tertentu selalu mengusik dan mengancam setiap ajaran akidah Ilahi dan konsep spiritual (Rubbani) yang pernah muncul di permukaan. Sebagian di antara para imam –yang telah mempraktikkan beberapa konsep dengan bermacam situasi yang ada– telah memberikan contoh praktis dan berbagai program yang sesuai dengan segala situasi dan kondisi yang ada. Dari sini, umat Islam kelak akan mampu mempraktikkannya.
[14] Mereka meyakini bahwa atas dasar hal-hal di atas (keyakinan pada poin 13) dan atas dasar hikmah yang luhur serta berdasarkan perintah Allah Swt, maka Nabi Muhammad bin Abdillah saw menetapkan 11 imam setelah Imam Ali as. Para imam yang seluruhnya berjumlah 12 orang itu telah diisyaratkan jumlah individu dan suku (kabilah)nya, yang semuanya berasal dari suku Quraisy, sebagaimana tercantum dalam Shahih Bukbari dan Shahih Muslim dengan redaksi yang beragam. Seperti yang telah diriwayatkan dari Rasulullah saw, “Sesungguhnya agama tetap akan berjalan (tegak, mulia, terjaga) selama pada mereka terdapat 12 penguasa atau khalifah yang semuanya dari (suku) Quraisy.”
Dalam sebagian kitab tercantum kata “Bani Hasyim” (sebagai ganti kata Quraisy–penerj.). Dalam beberapa kitab –di luar kitab-kitab Shahih (Bukhari dan lain-lain) yang ada– selain disebutkan keutamaan (fadha’il), kemuliaan (manaqib), syair, dan sastra (adab) tentang mereka, juga disebutkan secara terperinci nama-nama mereka. Walaupun hadis-hadis itu tidak menunjuk (misalnya) pada 12 imam –yaitu Ali as dan 11 keturunan beliau– namun hadis-hadis tersebut tidak mungkin diterapkan kecuali sesuai dengan keyakinan Syi’ah Ja’fariyah (Itsna ‘Asyariyah). Tiada penafsiran dan penerapan yang benar dan sesuai, kecuali sebagaimana keyakinan mereka. [7]
[15] Syiah Ja’fariyah meyakini bahwa ke-12 imam itu adalah: Imam Ali bin Abi Thalib as (sepupu sekaligus menantu Rasulullah saw karena pernikahannya dengan Sayyidah Fathimah al-Zahra as). Imam Hasan as dan Imam Husain as (keduanya putra hasil penikahan Ali as dan Fathimah as, cucu Rasulullah saw). Imam Ali Zainal Abidin bin Husain as (bergelar al-Sajjad). Imam Muhammad bin Ali as (bergelar al-Bagir). Imam Ja’far bin Muhammad as (bergelar al-Shadiq). Imam Musa bin Ja’far as (bergelar al-Kadzim). Imam Ali bin Musa as (bergelar al-Ridha). Imam Muhammad bin Ali as (bergelar al-Jawad al-Taqi). Imam Ali bin Muhammad as (bergelar al-Hadi al-Naqi). Imam Hasan bin Ali as (bergelar al-‘Askari). Dan Imam Muhammad bin Hasan af (bergelar al-Mahdi al-Mau’ud al-Muntazar). [8]
Mereka adalah Ahlulbait yang telah ditetapkan oleh Rasulullah saw –sesuai dengan perintah Allah Swt– sebagai pemimpin bagi segenap umat Islam. Dikarenakan keterjagaan dan kesucian mereka dari berbagai kesalahan dan dosa, juga lantaran mereka memiliki ilmu sangat luas, yang telah diwariskan dari Datuk suci mereka, maka kita diperintahkan untuk mencintai dan menaati mereka. [9] Ini sesuai dengan firman Allah Swt: “Katakanlah (wahai Muhammad), ‘Aku tiada meminta (atas segala yang kukerjakan) upah apapun (dari kalian) kecuali berbuat baik terhadap keluarga (ku)’”(QS. al-Syura: 23). Dan ayat: “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaknya kalian bersama orang-orang yang benar” (QS. al-Taubah: 119)
[16] Para pengikut Syiah Ja’fariyah meyakini bahwa para imam suci yang dalam sejarah tidak pernah tercatat melakukan salah dan dosa –baik yang berkait dengan ucapan maupun perbuatan– telah berkhidmat untuk umat Islam. Dengan bekal ilmu yang luas tak bertepi, mereka telah memperkaya khazanah kebudayaan umat dengan pengetahuan yang dalam, pandangan yang sahih dalam bidang akidah, hukum (syariat), akhlak, adab, tafsir, sejarah, hingga persoalan dalam cara menatap masa depan. Umat telah dididik oleh para imam itu dengan lisan maupun perbuatannya, sehingga banyak pribadi terpuji yang telah menilai secara objektif –baik dari kalangan lelaki maupun perempuan– dan telah mengakui keutamaan pribadi, ketinggian ilmu, dan adiluhungnya akhlak para imam itu. Walaupun telah menjauhkan para imam dari kedudukan sebagai pemimpin politik, namun mereka (yang menilai secara objektif itu) turut merasakan pengaruh positif ajaran para imam dari sisi pemikiran dan sosial. Mereka pun turut menjaga fondasi-fondasi akidah serta pilar-pilar syariat dari segala macam marabahaya.
Jika saja umat Islam memberikan kesempatan kepada para imam itu untuk mempraktikkan peran politik yang diamanatkan Rasulullah saw kepada setiap imam atas perintah Allah Swt, niscaya umat Islam akan beroleh kebahagiaan, kehormatan, keagungan sempurna, dan tetap bersatu-padu tanpa pertikaian dan persengketaan; tidak dihinakan dan diremehkan. [10]
[17] Mereka meyakini –atas dasar argumen akal dan teks keagamaan yang banyak dibahas dalam buku-buku akidah– kewajiban untuk mengikuti Ahlulbait dan berjalan di atas jalur mereka. Ini dikarenakan jalur Ahlulbait adalah jalan yang telah ditetapkan oleh Rasulullah saw bagi segenap umatnya. Dalam sebuah wasiatnya, Rasulullah saw memerintahkan mereka untuk melalui jalan itu dan konsisten di atasnya. Ini sebagaimana tercantum dalam hadis mutawatir “al-Tsaqalain”, di mana Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya kutinggalkan bagi kalian dua hal yang besar (yaitu) kitab Allah (al-Quran) dan keturunanku dari Ahlulbait(ku). Jika kalian berpegang pada keduanya, niscaya kalian tiada akan pernah tersesat untuk selamanya.”
Hadis di atas dapat di
jumpai dalam kitab Shahih Muslim dan puluhan kitab perawi hadis lainnya, juga
karya para ulama di setiap abad. [11] Wasiat dan peninggalan semacam
ini merupakan hal biasa dalam kehidupan para nabi terdahulu. [12]
[18] Pengikut Syi’ah Ja’fariyah meyakini, selayaknya segenap umat Islam meneliti dan mempelajari tentang hal itu, tanpa didasari celaan, cacian, pengaburan, sangkaan, dan pengacauan. Hendaknya segenap ulama dan intelektual dari berbagai golongan dan mazhab Islam berkumpul untuk mengadakan seminar dan muktamar ilmiah, guna mempelajari dan meneliti –dengan penuh keikhlasan dan persaudaraan– topik-topik bahasan tertentu yang diyakini oleh saudara mereka dari golongan Syi’ah Ja’fariyah. Yaitu, argumen yang sesuai dengan apa yang telah mereka jadikan tumpuan, baik yang bersumber dari al-Quran, sunnah yang sahih, akal sehat, bukti sejarah, serta peristiwa politik dan sosial secara umum, yang terjadi pada zaman kehidupan Rasul saw ataupun setelahnya.
[19] Kaum Syi’ah Ja’fariyah meyakini bahwa para sahabat adalah pribadi yang hidup di sekitar Rasulullah saw, baik dari kalangan lelaki maupun perempuan. Mereka adalah pribadi-pribadi yang berkhidmat kepada Islam. Mereka berjuang dengan mengorbankan jiwa dan raga demi tersebar dan tegaknya agama Islam. Selayaknya apabila segenap kaum muslimin memuliakan mereka, memberikan penghargaan atas segala khidmat yang mereka lakukan, dan meridhai apa yang mereka kerjakan. Akan tetapi, hal itu bukan berarti bahwa mereka semua –tanpa kecuali– memiliki keadilan (udul), yang menyebabkan setiap posisi dan prilaku mereka tak layak untuk dikritik. Alasannya, para sahabat Nabi saw adalah manusia biasa, yang, selain dapat melakukan kebenaran, juga dapat melakukan kesalahan. Sejarah telah mencatat, sebagian di antara mereka telah menyimpang dari jalan (yang semestinya), walaupun kehidupan mereka semasa dengan kehidupan Rasulullah saw. Bahkan al-Quran sendiri menerangkan secara gamblang peristiwa tersebut dalam berbagai surat dan ayatnya, sebagaimana tercantum dalam surat al-Munafiqûn, al-Ahzab, al-Hujurât, at-Tahrîm, al-Fath, Muhammad, dan al-Taubah.
[18] Pengikut Syi’ah Ja’fariyah meyakini, selayaknya segenap umat Islam meneliti dan mempelajari tentang hal itu, tanpa didasari celaan, cacian, pengaburan, sangkaan, dan pengacauan. Hendaknya segenap ulama dan intelektual dari berbagai golongan dan mazhab Islam berkumpul untuk mengadakan seminar dan muktamar ilmiah, guna mempelajari dan meneliti –dengan penuh keikhlasan dan persaudaraan– topik-topik bahasan tertentu yang diyakini oleh saudara mereka dari golongan Syi’ah Ja’fariyah. Yaitu, argumen yang sesuai dengan apa yang telah mereka jadikan tumpuan, baik yang bersumber dari al-Quran, sunnah yang sahih, akal sehat, bukti sejarah, serta peristiwa politik dan sosial secara umum, yang terjadi pada zaman kehidupan Rasul saw ataupun setelahnya.
[19] Kaum Syi’ah Ja’fariyah meyakini bahwa para sahabat adalah pribadi yang hidup di sekitar Rasulullah saw, baik dari kalangan lelaki maupun perempuan. Mereka adalah pribadi-pribadi yang berkhidmat kepada Islam. Mereka berjuang dengan mengorbankan jiwa dan raga demi tersebar dan tegaknya agama Islam. Selayaknya apabila segenap kaum muslimin memuliakan mereka, memberikan penghargaan atas segala khidmat yang mereka lakukan, dan meridhai apa yang mereka kerjakan. Akan tetapi, hal itu bukan berarti bahwa mereka semua –tanpa kecuali– memiliki keadilan (udul), yang menyebabkan setiap posisi dan prilaku mereka tak layak untuk dikritik. Alasannya, para sahabat Nabi saw adalah manusia biasa, yang, selain dapat melakukan kebenaran, juga dapat melakukan kesalahan. Sejarah telah mencatat, sebagian di antara mereka telah menyimpang dari jalan (yang semestinya), walaupun kehidupan mereka semasa dengan kehidupan Rasulullah saw. Bahkan al-Quran sendiri menerangkan secara gamblang peristiwa tersebut dalam berbagai surat dan ayatnya, sebagaimana tercantum dalam surat al-Munafiqûn, al-Ahzab, al-Hujurât, at-Tahrîm, al-Fath, Muhammad, dan al-Taubah.
Kritis atas kinerja mereka
tidaklah membawa konsekuensi pengafiran atas diri mereka. Sebab, tolok ukur
iman dan kafir (dalam Islam) telah sangat jelas, yaitu penafian atas ketuhanan
(tauhid), kenabian (risalah), atau kejelasan ajaran agama (dharuriyat al-din),
seperti kewajiban shalat, puasa, haji, atau hukum haram atas minuman keras,
judi, dan sebagainya. Memang, kita harus menjaga lisan dari celaan dan cacian.
Sebagaimana kita harus pula menjaga pena dari menuliskan hal-hal yang tidak
layak. Sebab, semua itu bertentangan dengan etika dan kepribadian seorang
muslim yang menjadi pengikut etika Rasulullah Muhammad saw. Padahal, dapat kita
telaah, banyak di antara kalangan sahabat Rasul saw yang termasuk dalam
kategori manusia salih, baik, dan layak untuk dihormati dan dimuliakan.
Karena itu, para sahabat
harus diuji berdasarkan kaidah-kaidah penyaringan kepribadian (al-jarh wa
al-ta’dil) guna menentukan hadis Nabi saw yang sahih dan dapat dipegangi.
Sementara itu, sudah menjadi rahasia umum bahwa terdapat pelbagai macam
kebohongan dan hal yang diada-adakan atas nama Rasulullah saw. Peristiwa
semacam ini telah diberitahukan sendiri oleh baginda Rasulullah saw dalam
hadis-hadis yang diriwayatkan oleh ulama-ulama dari kalangan, Ahlussunnah
maupun Syiah, seperti al-Suyuthi, Ibn Jauzi, dan yang lain yang telah mengarang
kitab-kitab yang membedakan antara hadis yang benar-benar bersumber dari Rasul
saw ataupun hadis-hadis buatan yang hanya dinisbatkan kepada Rasul saw.
[20] Golongan Syiah Ja’fariyah meyakini keberadaan Imam al-Mahdi al-Muntadzar. Ini berdasarkan banyak sekali riwayat yang ada. Berbagai hadis yang diriwayatkan dari Rasulullah saw menjelaskan bahwa beliau (al-Mahdi) adalah keturunan Fathimah al-Zahra as. Beliau adalah cucu kesembilan dari Imam Husain bin Ali as. Cucu kedelapan Imam Husain as, yaitu Imam Hasan al-‘Askari, telah meninggal dunia pada tahun 260 Hijriah dan tidak memiliki anak lain kecuali hanya seorang putra. Putra beliau ini diberi nama Muhammad. Dan beliau inilah Imam al-Mahdi, yang memiliki julukan (kunyah) Abu al-Qasim. [13]
Sekelompok perawi yang dapat dipercaya (tsiqat) menyaksikan dan mengabarkan akan kelahiran, keistimewaan, imamah (kepemimpinan), dan keberadaan hujjah agama, yang bersumber dari ayahnya serta menjadi penguat posisinya. Beliau menghilang dari pandangan mata lahiriah semenjak berusia lima tahun. Ini terjadi, selain dikarenakan para musuh Islam ingin membunuh dan berkehendak untuk menyembunyikannya, agar beliau kelak dapat menegakkan pemerintahan Islam yang keadilannya menyeluruh di akhir zaman. Sehingga, bumi ini menjadi bersih dari segala kezaliman dan kefasadan, setelah sebelumnya dipenuhi oleh keduanya.
[20] Golongan Syiah Ja’fariyah meyakini keberadaan Imam al-Mahdi al-Muntadzar. Ini berdasarkan banyak sekali riwayat yang ada. Berbagai hadis yang diriwayatkan dari Rasulullah saw menjelaskan bahwa beliau (al-Mahdi) adalah keturunan Fathimah al-Zahra as. Beliau adalah cucu kesembilan dari Imam Husain bin Ali as. Cucu kedelapan Imam Husain as, yaitu Imam Hasan al-‘Askari, telah meninggal dunia pada tahun 260 Hijriah dan tidak memiliki anak lain kecuali hanya seorang putra. Putra beliau ini diberi nama Muhammad. Dan beliau inilah Imam al-Mahdi, yang memiliki julukan (kunyah) Abu al-Qasim. [13]
Sekelompok perawi yang dapat dipercaya (tsiqat) menyaksikan dan mengabarkan akan kelahiran, keistimewaan, imamah (kepemimpinan), dan keberadaan hujjah agama, yang bersumber dari ayahnya serta menjadi penguat posisinya. Beliau menghilang dari pandangan mata lahiriah semenjak berusia lima tahun. Ini terjadi, selain dikarenakan para musuh Islam ingin membunuh dan berkehendak untuk menyembunyikannya, agar beliau kelak dapat menegakkan pemerintahan Islam yang keadilannya menyeluruh di akhir zaman. Sehingga, bumi ini menjadi bersih dari segala kezaliman dan kefasadan, setelah sebelumnya dipenuhi oleh keduanya.
Bukan hal yang mengherankan, bahkan tidak ada alasan untuk heran, jika kita melihat panjangnya umur beliau. Al-Quran telah menjelaskan bahwa Isa al-Masih as masih tetap hidup hingga sekarang ini, padahal beliau telah melalui masa lebih dari 2000 tahun sejak ke lahirannya. Nabi Nuh as telah hidup di tengah-tengah umatnya selama 950 tahun serta menyeru mereka agar beribadah kepada Allah Swt. Nabi Hidhir as pun sampai detik ini diyakini masih menjalani kehidupannya.
Allah Swt Mahamampu atas
segala sesuatu. Tiada yang dapat menahan dan menolak kehendak-Nya. Bukankah
Allah Swt pernah berfirman, berkenaan dengan Nabi Yunus as,dengan ungkapan:
فلو لا انه کان من المسبحين للبث في بطن الي يوم يبعثون
“Jika dia bukan termasuk orang yang suka bertasbih, niscaya akan tinggal dalam perutnya sampai hari kebangkitan kelak” (QS. al-Shaffaat: 143-144). Banyak kalangan ulama Ahlussunnah yang menyatakan keberadaan Imam al-Mahdi af. Mereka juga menyebutkan nama ayah dan sifat-sifat yang beliau miliki, seperti:
1. Abdul Mukmin al-Sablanji yang bermazhab Syafi’i, dalam karya beliau yang berjudul Nur al-Abshar fi Manaqib Aali Bait al-Nabi al-Mukhtar.
2. Ibn Hajar al-Haitami al-Makki yang bermazhab Syafi’i dalam karya beliau yang berjudul al-Shawa’iq al-Muhriqah mengatakan, “Abu al-Qasim Muhammad al-Hujjah ditinggal wafat ayahnya pada usia lima tahun. Akan tetapi, Allah Swt memberinya hikmah sehingga dia disebut al-Qa’im al-Muntadzar.”
3. Al-Qanduzi al-Balkhi, yang bermazhab Hanafi, dalam karya beliau yang berjudul Yanabi’ al-Mawaddah, yang dicetak di Astanah, Turki, pada zaman kekhilafahan Utsmaniah.
4. Sayyid Muhammad Shiddiq Hasan al-Qanuji al-Bukhari dalam karya beliau yang berjudul Al-Idza’ah, Lama Kâna wa Mâ Yakunu baina Yadai al-Sa’ah.
Mereka
termasuk contoh dari yang dikategorikan sebagai ulama terdahulu. Adapun contoh
ulama kontemporer adalah Doktor Musthafa al-Rafi’i dalam karya beliau yang
berjudul Islamuna. Beliau menjelaskan masalah kelahirannya dengan jelas dan
panjang lebar, sekaligus menjawab semua pertanyaan dan sanggahan berkait dengan
hal tersebut.
SIAPAPUN YANG INGIN MENGETAHUI KEBENARAN SYI'AH IMAMIYAH 12, LITERATUR INI SANGAT SIGNIFIKAN UNTUK DI PELAJARI SECARA TELITI DAN SERIUS 🇵🇾🇵🇾🇵🇾🇧🇻🇧🇻🇧🇻🇲🇨🇲🇨🇲🇨
BalasHapus