Minggu, 01 Maret 2015

Apa Syi’ah Itu? Bagian Kedua




Oleh Syekh Ja’far Hadi. Penerjemah: Abu Fathimah S.

[21] Para pengikut Syi’ah Ja’fariyah juga melaksanakan shalat, berpuasa, membayar zakat dan khumus. Mereka juga menunaikan haji ke Baitullah al-Haram di kota suci Mekkah. Mereka meyakini akan kewajiban menunaikan umrah dan haji sekali seumur hidup, dan menyunahkannya jika dilaksanakan lebih dari sekali. Mereka juga melaksanakan amar makruf nahi munkar, mencintai dan mengikuti (ber-wilâyah) terhadap para kekasih Ilahi dan kekasih Rasul-Nya, serta berlepas diri dari para musuh Allah dan Rasul-Nya.

Mereka juga melaksanakan jihad di jalan Allah Swt atas orang-orang kafir dan penyekutu Allah (musyrik), yang dengan nyata menyatakan perang terhadap Islam ataupun penjajah umat Islam. Mereka juga melaksanakan segala kegiatan yang berkait dengan jual-beli, sewa-menyewa, pernikahan, perceraian, waris-mewaris, pendidikan, persusuan, berjilbab, dan sebagainya, sesuai dengan hukum syariat Islam sebagai agama yang lurus. Mereka mendapatkan hukum-hukum syariat tersebut melalui jalur ijtihad (usaha penggalian dasar hukum dari sumber-sumber agama oleh seorang mujtahid–penerj.) yang dilakukan oleh para pakar hukum syariat Islam (fuqaha’), yang memiliki ketakwaan dan keterjagaan (wara’) yang tinggi. Ijtihad mereka dilandaskan pada al-Quran, sunah Rasul saw yang sahih, hadis-hadis Ahlulbait yang dapat dipegang (tsabit), akal sehat, serta konsensus para ulama (ijma’).

[22] Mereka meyakini bahwa setiap shalat fardhu (shalat wajib yang dilaksanakan lima kali dalam sehari–penerj.) memiliki waktu-waktu yang telah ditentukan. Waktu-waktu shalat harian itu lima macam: waktu fajar, waktu zuhur, waktu asar, waktu maghrib, dan waktu isya. Yang paling utama (afdhal) dalam pelaksanaannya adalah sesuai dengan waktu yang telah ditentukan secara khusus. Akan tetapi, mereka biasa melaksanakannya dengan cara menggabungkan antara zuhur dengan asar, atau antara maghrib dengan isya. Ini berdasarkan (fakta) bahwa Rasulullah saw pernah menggabungkan antara dua shalat tanpa adanya halangan (uzur), sakit, badai, ataupun dalam keadaan bepergian –seperti hadis yang diriwayatkan dalam kitab Shahih Muslim dan selainnya– sebagai tanda dispensasi, mempermudah, dan meringankan beban umat Islam. Dan ini merupakan perkara yang dapat diterima, apalagi dalam situasi zaman seperti sekarang ini.

[23] Mereka melantunkan azan, sebagaimana kaum muslimin melantunkannya. Akan tetapi, setelah kalimat: Marilah menuju kebahagiaan, mereka menambahkannya dengan kalimat: Marilah melakukan sebaik-baik pekerjaan, dikarenakan Rasulullah saw telah mengajarkan dan melakukan hal tersebut. Akan tetapi, lantaran ijtihad Umar bin Khattab, kalimat itu dihapuskan. Ini diiakukannya dengan alasan bahwa jika kaum muslimin tahu bahwa shalat adalah sebaik-baik perbuatan, niscaya mereka akan lari dan meninggalkan jihad (sebagaimana ditegaskan Allamah al-Qausaji yang bermazhab Asyariyah dalam kitab Syarh al-Tajrid al-I’tiqad, juga sebagaimana tercantum dalam al-Mushannaf karya al-Kindi, kitab Kanz al-Ummal karya Muttaqi al-Hindi, dan kitab-kitab lainnya). Sebagaimana, ijtihad Umar bin Khattab-lah tambahan kalimat: Shalat lebih baik dari tidur, padahal ungkapan itu tidak pernah ada pada masa Rasulullah saw. [14]

Islam mengajarkan bahwa semua jenis ibadah beserta mukadimahnya bergantung pada perintah dan izin dari Pemilik Syariat (Allah Swt). Dengan kata lain, segala bentuk peribadatan harus bersandar pada teks keagamaan (nash) –baik yang menunjukkan arti secara umum maupun khusus– yang bersumber dari al-Quran dan al-Sunah. Jika tidak ada dasar hukumnya, maka hal itu termasuk katregori bid’ah yang dilarang dan sang pelaku akan mendapatkan celaan dari agama. Oleh karena itu, semua orang dilarang keras menambah dan mengurangi (semua aspek) dalam peribadahan berdasarkan pendapat pribadi (bi al-ra’yi), bahkan segala hal yang berkait dengan syariat. Adapun tambahan yang dilakukan oleh Syiah Ja’fariyah setelah kalimat: “Asyhadu annâ muhammadan rasûlullâh” Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan (rasul) Allah”, dengan kalimat: Asyhadu anna ‘Aliyyan waliyullâh, Aku bersaksi bahwa Ali adalah kekaslh (Wali) Allah. Itu atas dasar beberapa riwayat yang bersumber dari Rasulullah saw dan keluarga suci beliau yang menyatakan, tiada disebut kata: dârrasûlullâh, atau tiada tertulis di atas pintu surga, kecuali dilanjutkan dan digabungkan dengan kata: ‘Aliy waliyullah. Kalimat ini juga menjadi bukti bahwa Syi’ah tidak meyakini kenabian Ali as, apalagi meyakini ketuhanan beliau, na’uzubillahi min dzalik.

Karenanya, diperbolehkan untuk menyebutkan itu seusai membaca dua kalimat syahadat, dengan niat “pengharapan” (raja’an) kepada Allah Swt agar hal tersebut diterima di sisi-Nya. Bukan dengan niat bahwa hal itu adalah bagian –apalagi memasukkannya dalam kategori wajib– dari azan. Ini sebagaimana yang diyakini oleh mayoritas mutlak para pakar fikih dari golongan Syi’ah al-Imamiyah al- Ja’fariyah. Lantaran tambahan tersebut tidak diniatkan sebagai bagian dari azan –sebagaimana yang telah disinggung– maka tambahan tersebut tidak termasuk ke dalam kategori sesuatu yang tidak memiliki dasar hukum (lâ ashla lahu) yang dapat menyebabkannya termasuk dalam kategori bid’ah.

[24] Mereka bersujud di atas tanah (permukaan bumi), batu, pasir, atau bagian bumi yang lain, semisal tumbuhan, dan bukan karpet, kain, bahan makanan, atau perhiasan. Semua itu berdasarkan banyak riwayat yang terdapat dalam kitab-kitab pedoman Ahlussunah maupun Syi’ah. Hadis-hadis itu menyatakan bahwa Rasulullah saw selalu terlihat membiasakan diri untuk sujud di atas pasir ataupun tanah, bahkan selalu memerintahkan umatnya melakukan hal yang serupa. Atas dasar itulah, suatu saat, Bilal al-Habsyi sujud pada ujung serbannya untuk menghindari panas yang membakar. Melihat hal tersebut, tangan suci Rasulullah saw menarik serban Bilal dari keningnya sembari bersabda, “Tempelkan keningmu di atas tanah, wahai Bilal.” Sabda Rasulullah saw itu juga pernah ditujukan kepada Shuhaib dan Ribah. [15]

Di dalam Shahih Bukhari disebutkan bahwa Nabi Muhammad saw pernah bersabda, “Bumi dijadikan bagiku sebagai tempat sujud dan bersuci.” Sebab, meletakkan dahi di tanah saat bersujud merupakan bentuk terbaik sujud di hadapan Allah Swt. Dengan begitu, akan lebih dekat pada khusyuk dan rendah-diri di hadapan Allah Swt. Sebagaimana hal tersebut juga akan mengingatkan manusia akan asal, muasal penciptaannya. Bukankah Allah Swt berfirman:

منها خلقناکم وفيها نعيدکم و منها نخرجکم تارة اخری

“Darinya Kami ciptakan diri kalian, dan darinya Kami kembalikan diri kalian, serta darinya pulalah Kami kembalikan diri kalian sekali lagi” (QS. Thaha: 55). Ya, sujud merupakan puncak perwujudan dari perendah-dirian. Sementara puncak ini tidak akan terealisasi dengan meletakkan dahi pada sajadah, permadani, kain, ataupun batu mulia. Puncak dari sikap merendahkan diri hanya akan terwujud dengan meletakkan bagian tubuh manusia yang paling dianggap mulia itu, yaitu dahi, di atas benda yang paling rendah, yaitu tanah. [16]

Tentu saja, tanah sebagai tempat sujud disyaratkan harus suci. Oleh karena itu, para pengikut Syi’ah selalu membawa potongan tanah yang telah dipadatkan sehingga selalu yakin akan kesuciannya. Terkadang, potongan tanah itu diambil dari tanah kota suci Karbala yang penuh berkah. Di tempat itulah Imam Husain bin Ali as, cucu mulia Rasulullah saw, mencapai kesyahidan, sehingga para Syi’ah pun mengambil berkah dari tempat mulia tersebut. Ini, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh para sahabat; mereka mengambil bebatuan dari kota suci Mekkah untuk digunakan dalam bersujud selama masa perjalanan berkah (tabarruk). [17] Akan tetapi, para pengikut Syi’ah tidak terlalu berkeras untuk melakukan hat tersebut, sebagaimana mereka juga tidak selalu melakukan halt itu. Yang terpenting bagi mereka adalah sujud di atas pasir yang bersih lagi suci. Mereka pun melakukan sujud di atas lantai masjid Nabawi di kota suci Madinah dan Masjid al-Haram di kota suci Mekkah tanpa perasaan ragu sedikit pun.

Semua itu dilakukan oleh para pengikut Syiah Imamiyah al-Ja’fariyah. Sebagaimana, mereka juga tidak meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri (bersedekap) sewaktu melakukan shalat. Itu dikarenakan Nabi Muhammad saw tidak pernah mencontohkannya, apalagi melakukannya. Tidak ada teks keagamaan yang secara pasti dan jelas memerintahkan hal tersebut. Oleh karena itu, mazhab Maliki (dari kalangan Ahlussunnah) juga tidak melakukannya sewaktu mengerjakan shalat. [18]

[25] Para pengikut Syiah Ja’fariyah melaksanakan wudu dengan cara membasuh tangan mereka dari siku hingga ke ujung jemari, bukan sebaliknya (dari ujung jari ke arah siku–penerj.). Itu dikarenakan mereka mengambil cara berwudu dari para imam Ahlulbait as; yang belajar dari kakek mereka Rasulullah saw. Tentu saja, mereka lebih mengetahui apa yang dilakukan kakek mereka ketimbang orang lain. Dahulu, Rasulullah saw melakukan hal serupa. Mereka menafsirkan huruf ‘ala yang terdapat dalam ayat yang membahas perihal wudu[19] dengan arti ma’a (bersama). Penafsiran serupa juga dapat dilihat pada apa yang dilakukan oleh al-Syafi’i al-Shaghir dalam karya beliau yang berjudul Nihayah al-Muhtaj. Sebagaimana, mereka mengusap kepala dan kaki, tetapi tidak membasuhnya, juga dengan dasar dan alasan yang sama. Abdullah bin Abbas pernah menjelaskan bahwa berwudu dilakukan dengan dua basuhan dan dua usapan; dua bagian yang harus dibasuh dan dua bagian yang harus diusap. [20]

[26] Mereka meyakini diperbolehkannya nikah mut’ah (nikah sementara), sesuai dengan ayat al-Quran: “Maka wanita-wanita yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka bayaran (ajr)nya” (QS. al-Nisa’: 24). Kaum muslimin juga telah melakukan hal tersebut semasa hidup Rasulullah saw, sebagaimana para sahabat Rasul saw pun telah melakukannya hingga masa pertengahan kekhalifahan Umar bin Khattab. Ini termasuk kategori pernikahan yang legal (syar’i), disamping bentuk pernikahan permanen (da’im). Nikah mut’ah memiliki kesamaan dengan nikah biasa yang permanen, dalam hal-hal sebagai berikut:
1. Wanita yang akan dinikahi bukan berstatus istri orang (tidak bersuami). Dan dalam pelaksanaan akad nikah-nya, ijab (kesediaan) adalah dari pihak perempuan dan kabul (penerimaan) adalah dari pihak lelaki.
2. Adanya keharusan (wujub) memberikan harta terhadap wanita tersebut; dalam nikah biasa dan permanen diistilahkan dengan mahar, sedangkan dalam nikah mut’ah yang temporer diistilahkan dengan ajr.
3. Adanya keharusan (wujub) bagi wanita setelah selesai berpisah dengan suaminya untuk mengambil masa iddah (pembersihan pasca berpisahnya suami-istri–penerj.).
4. Adanya keharusan untuk mengambil masa iddah (bagi istri), keharusan bagi lelaki (suami) untuk memberikan nafkah kepada anak hasil hubungan pernikahan (mut’ah ataupun da’im), dan tidak diperkenankan (bagi wanita)untuk menikahi lebih dari satu orang.
5. Adanya hak waris anak atas bapaknya, juga anak atas ibunya, sebagaimana sebaliknya (ibu atau bapak mewarisi anaknya yang mati–penerj.).

Tetapi, letak perbedaan nikah da’im dengan nikah mut’ah adalah bahwa dalam nikah mut’ah terdapat penentuan tempo pernikahan, tidak ada kewajiban bagi seorang suami untuk memberikan nafkah kepada sang istri, tidak ada pembagian harta gono-gini, tidak ada saling mewarisi antara suami-istri, dan tidak memerlukan praktik perceraian dalam berpisahnya suami-istri, cukup dengan habisnya jangka waktu yang telah disepakati atau pemberian (hibah) sisa jangka waktu pemikahan –yang telah ditentukan sewaktu mengucapkan akad nikah– oleh pihak lelaki kepada pihak perempuan.

Adapun hikmah di balik disyariatkannya jenis pernikahan ini adalah untuk memenuhi kebutuhan seksual –baik perempuan maupun lelaki– dengan cara yang legal (masyru’) bagi siapa saja yang tidak atau belum mampu memenuhi semua tanggung jawab yang terdapat dalam pernikahan da’im. Atau, untuk pribadi yang berhalangan melakukan hubungan suami-istri, mungkin dikarenakan sang istri meninggal dunia ataupun karena sebab lain. Sebagaimana, hal ini pun juga bermanfaat bagi kaum wanita. Tentu saja –pelaksanaan pernikahan jenis ini– harus dilatarbelakangi oleh keinginan untuk hidup mulia dan terhormat. Dari sini dapat diambil pelajaran bahwa tujuan utama penghalalan nikah mut’ah adalah sebagai sarana untuk menyelesaikan kendala kemasyarakatan yang membahayakan; untuk menjaga agar masyarakat Islam tidak terjerumus ke dalam jurang fasad (kerusakan) dan pelanggaran syariat Islam. Terkadang nikah mut’ah juga digunakan sebagai sarana legal (sesuai dengan syariat Islam) untuk saling mengenal pra-pernikahan. [21] Ini untuk menghindarkan adanya hubungan dengan cara yang haram, perzinaan, pelampiasan libido dan penyaluran hasrat seksual dengan cara yang haram seperti onani dan masturbasi bagi pribadi yang tidak memiliki kesabaran[22] untuk beristri satu, atau bagi orang yang tidak memiliki kepandaian dalam mengatur keluarga –atau beristri lebih dari satu– baik dari sisi perekonomian dan ataupun kebutuhan keluarga, sementara di sisi lain dia tidak ingin terjerumus ke dalam perbuatan haram.

Singkat kata, penghalalan nikah jenis ini memiliki dasar dalam al-Quran dan al-Sunnah, dan sempat beberapa waktu lamanya dilakukan oleh sahabat-sahabat Nabi saw. Jikalau mut’ah termasuk dalam kategori perzinahan, maka hal ini membawa konsekuensi bahwa al-Quran, Nabi saw, beserta para sahabat Nabi saw telah menghalalkan zina dan sempat mempraktikkannya dalam jangka waktu yang cukup lama, naudzubillah min dzalik. Sementara itu, argumen tentang penghapusan hukum (naskh) nikah tersebut tidak bersandarkan kepada al-Quran dan al-Sunnah, juga tidak terdapat argumen yang kuat dan jelas tentang pengharamannya.[23]

Walaupun Syi’ah Imamiyah Ja’fariyah meyakini legalitas dan penghalalan nikah mut’ah berdasarkan al-Quran maupun hadis, namun mereka tetap lebih mengutamakan pelaksanaan nikah da’im, karena di atas fondasi dasar inilah masyarakat yang kuat dan sehat akan terwujud. Mereka kurang memiliki kecenderungan untuk melaksanakan nikah temporer –yang dalam istilah syariat disebut nikah mut’ah– sekalipun dihalalkan dan legal.

Sebagai catatan, Syi’ah Imamiyah Ja’fariyah –berdasarkan ajaran al-Quran, al-Sunnah, maupun ajaran dan nasihat para imam suci Ahlul-bait as– sangat menghormati kedudukan wanita dan meletakkannya pada posisi penting dan agung. Mereka memberikan kesempatan, peluang, dan hak-hak kepada kaum wanita, khususnya yang berkait dengan persoalan peningkatan kualitas etika dan akhlak, hak kepemilikan, pernikahan, perceraian, perawatan anak, menyusui, peribadahan, interaksi kemasyarakatan, dan pengamalan hukum-hukum penting yang layak diperhatikan secara khusus. Semua ini dapat kita temui dalam berbagai riwayat dari para imam suci Ahlulbait as serta ajaran-ajaran fikih Syi’ah.

[27] Syi’ah Ja’fariyah mengharamkan zina, perkawinan sesama jenis, mengambil keuntungan secara ilegal (riba), pembunuhan atas jiwa yang tak berdosa, minuman keras, judi, melakukan pelanggaran, niat buruk penipuan, penimbunan barang, berbuat kikir, pencurian, pemakaian tanpa izin (ghashab), pengkhianatan, menyanyi dengan nyanyian haram, menari, memfitnah, menuduh tanpa bukti, mengadu domba, berbuat fasad, mengganggu orang mukmin, mengumpat, mencela, berbohong, mengada-ada, dan hal-hal lain yang termasuk kategori dosa besar maupun kecil. Mereka selalu berusaha untuk menjauhi semua itu sejauh mungkin.

Mereka juga berusaha semaksimal mungkin agar hal-hal tersebut tidak menyebar di tengah masyarakat. Mereka mengupayakan usaha itu melalui media komunikasi yang ada, seperti berbagai karya tulis, penerbitan buku, penulisan transkrip ceramah, diktat, atau silabus yang berkait dengan etika maupun pendidikan, mengadakan acara ilmiah dan ceramah keagamaan, khutbah Jum’at, dan sebagainya.

[28] Mereka sangat mengutamakan kemuliaan dan keagungan akhlak, menyukai nasihat, dan selalu bergegas untuk mendengarkannya. Mereka mengadakan berbagai acara dan perkumpulan untuk membahas hal tersebut di rumah-rumah, masjid-masjid, maupun aula-aula yang ada. Itu mereka lakukan dalam setiap kegiatan dan peringatan, sebagai bukti akan semangat mereka untuk mendapatkan nasihat keagamaan. Sebagaimana, mereka juga sangat mementingkan pembacaan doa yang indah cara penyampaiannya, agung kandungannya, dan menyentuh kalbu.

Doa-doa itu mereka ambil dari riwayat Rasulullah saw danpara imam suci as dari keluarga beliau, seperti Doa Kumayl, Doa Abi Hamzah, Doa al-Samat, Doa Jausyan al-Kabir,[24] Doa Makarim al-Aklaq dan Doa Iftitah (yang dibaca pada bulan Ramadhan). Mereka membaca doa-doa dan munajat yang memiliki keagungan makna itu dengan penuh kekhusukan dan suasana spiritual, diiringi tangisan dan rintihan untuk merendahkan diri. Semua itu, mereka yakini akan dapat meningkatkan kebersihan jiwa, kemantapan spiritual, dan kedekatan kepada Allah Swt.[25]

[29] Mereka sangat memuliakan makam Nabi saw dan para imam dari keluarga suci beliau, juga para keturunannya yang dikebumikan di pemakaman Baqi’, yang terletak di kota Madinah al-Munawwarah. Di tempat itulah dimakamkan Imam Hasan al-Mujtaba as, Imam Ali Zainal Abidin as, Imam Muhammad al-Baqir as, dan Imam Ja’far al-Shadiq as. Sedangkan di kota suci Najaf al-Asyraf terdapat makam Imam Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as. Di kota suci Karbala terdapat makam mulia Imam Husain bin Ali as beserta saudara-saudara, anak-anak, para sepupu, dan sahabat-sahabat beliau yang turut gugur (syahid) dalam tragedi hari Asyura. Di Samarra, terdapat makam Imam Ali al-Hadi as dan Imam Hasan al-‘Askari as. Di kota Kadzimain terdapat makam suci Imam Muhammad al-Jawad as dan Imam Musa al-Kadzim as. Semua kota-kota ini terletak di Irak.

Sedangkan di kota suci Masyhad yang terletak di Iran, terdapat makam suci Imam Ali al-Ridha as. Adapun di kota suci Qum dan Syiraz terdapat makam-makam putra dan putri mereka. Di Damaskus (Suriah), terdapat makam pejuang wanita Karbala, Sayyidah Zainab as. Dan di Kairo (Mesir) terdapat makam Sayyidah Nafisah (termasuk wanita mulia Ahlulbait as).

Mereka melakukan hal itu dikarenakan penghormatan mereka kepada Rasulullah saw. Menghormati keturunan seseorang merupakan (salah satu) bentuk penghormatan terhadapnya. Sebagaimana al-Quran memuji keluarga Imran (âli Imran), keluarga Yasin (âli Yasîn), keluarga Ibrahim (âli Ibrahim), keluarga Ya’qub (âli Ya’qub) dan memuji mereka, padahal sebagian di antara mereka bukan termasuk seorang nabi, sebagaimana firman Allah Swt:

ذرية بعضها من بعض

“(Sebagai) satu keturunan yang sebagiannya (turunan) dari yang lain” (QS. Ali Imran: 34). Dan, dikarenakan al-Quran tidak mengritik orang-orang yang mengatakan:

لنتخذ عليه مسجدا

“Sesungguhnya kami akan mendirikan sebuah rumah peribadahan di atasnya” (QS. al-Kahfi: 21). Yakni, untuk membangun dan mendirikan masjid di tempat pemakaman para Ashab al-Kahfi, agar dapat beribadah kepada Allah Swt di sisi makam-makam tersebut. Al-Quran tidak menyebut mereka (pelaku ibadah di sisi kuburan) sebagai pelaku syirik (menyekutukan Allah). Itu dikarenakan setiap pribadi muslim yang beriman selalu beribadah hanya untuk Allah Swt semata. Adapun kenapa mereka melakukan peribadahan di sisi makam suci para kekasih Allah yang dimuliakan, maka hal itu dikarenakan kesucian tempat tersebut lantaran keberadaan makam para kekasih Ilahi tersebut. Sebagaimana, kesakralan dan kemuliaan yang dimiliki oleh maqam Ibrahim (batu tempat pijakan Nabi Ibrahim), sebagaimana firman Allah Swt:

واتخذوا من مقام ابراهيم مصلی

“Dan jadikanlah sebahagian maqam Ibrahim tempat shalat” (QS. al-Baqarah: 125). Tentu saja, tidak dapat dikatakan bahwa siapa saja yang melakukan shalat di belakang maqam Ibrahim berarti telah menyembah maqam tersebut. Sebagaimana orang yang beribadah kepada Allah Swt dengan melakukan sa’i (lari-lari kecil antara Shafa dan Marwah) tidak berati telah masuk ke dalam penyembahan dua gunung tersebut. Hal itu hanya lebih dikarenakan bahwa Allah Swt telah memilih bagi hamba-hamba-Nya tempat yang penuh barakah nan sakral. Kesucian dan keberkahan tempat itu dikarenakan hubungan dan pertaliannya dengan Allah Swt. Sesungguhnya terdapat beberapa hari atau tempat yang memiliki kesakralan yang dikhususkan baginya, seperti Hari Arafah, Tanah Mina, Tanah Arafah dan sebagainya. Adapun penyebab kesakralan hal-hal di atas adalah dikarenakan adanya keterkaitan dan hubungan dengan Allah Swt.

[30] Atas dasar itu pula (sebagaimana tercantum dalam poin 29 di atas), maka para pengikut Syi’ah Ja’fariyah –sebagaimana kaum muslimin lain yang mengenal kedudukan luhur Rasulullah saw– sangat mengutamakan ziarah ke makam-makam keluarga Rasul saw, sebagai bentuk penghormatan dan dalam rangka mengambil pelajaran dari mereka, juga untuk memperbaharui kesetiaan kepada mereka, sekaligus sebagai bentuk perhatian atas gerakan yang selama ini telah mereka perjuangkan sehingga gugur di jalan tersebut. Ini dikarenakan para peziarah itu, sewaktu menziarahi makam-makam tersebut, menyebutkan keutamaan-keutamaan, pelaksanaan jihad, penegakan shalat, penunaian zakat, ketangguhan dalam menghadapi semua gangguan dan cobaan, yang telah dilakukan oleh para penghuni kubur itu (semasa hidup mereka dahulu). Sekaligus, untuk mengikuti jejak Rasulullah saw –dalam memberikan rasa hormat terhadap keluarganya yang selalu teraniaya (mazlum)– yang selalu bersedih atas segala yang menimpa mereka. Bukankah dalam peristiwa kesyahidan Hamzah, beliau mengatakan, “Akan tetapi, Hamzah tiada yang menangisinya...”[26] Bukankah beliau juga turut menangis waktu Ibrahim, putra tersayang beliau, meninggal? Bukankah beliau juga pergi ke pemakaman Baqi’ untuk berziarah kubur? Bukankah beliau pernah bersabda,  “Ziarahilah kubur; karena hal itu akan mengingatkan kalian pada akhirat.” [27]

Ziarah ke makam para Imam Ahlulbait Nabi Saw merupakan perbuatan yang mengingatkan dan mengenang sejarah hidup dan perjuangan mereka dalam menegakkan Islam dan memperjuangkan kehormatan kaum muslimin. Ini sangat bermanfaat bagi generasi-generasi penerus yang akan datang, sekaligus sebagai upaya untuk menanamkan semangat keberanian, pengorbanan, dan perjuangan di jalan Allah Swt. Semua itu merupakan perbuatan manusiawi, sesuai dengan adab, dan logis. Karena, setiap komunitas akan selalu mengagungkan para pemuka dan merayakan peringatan-peringatan bersejarah berkait dengan komunitasnya. Semua itu akan memberikan dampak positif, seperti munculnya kebanggaan dan perasaan hormat terhadap komunitasnya, sekaligus menambah persatuan dan kesatuan para pengikut kelompok tersebut. Juga, mempertebal kesetiaan terhadap kelompok tersebut di antara para pengikutnya. Semua itu sesuai dengan apa yang dikehendaki al-Quran ketika menyebutkan tentang maqam dan kisah-kisah para nabi dan rasul serta pribadi-pribadi saleh di dalam ayat-ayatnya.

[31] Para pengikut Syi’ah Ja’fariyah juga meminta syafaat dari Rasulullah saw dan para imam Ahlulbait as. Mereka ber-tawassul (meng-ambil sarana dalam menggapai keinginan–penerj.) kepada manusia-manusia mulia itu dalam menuju Allah Swt, agar Dia mengampuni dosa-dosa, mengabulkan keinginan dan hajat, menyembuhkan penyakit yang diderita, dan sebagainya. Tindakan semacam itu bukan hanya diperbolehkan oleh al-Quran, bahkan sangat ditekankan, sebagaimana dalam sebuah ayat dikatakan:

و لو اهم اذ ظلموا انفسهم جاووک فاستغفروا وا الله
واستغفر لهم الرسول لجدوا الله توابا رحيما

Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampun bagi mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang” (QS. al-Nisaa’:64). Dan firman Allah Swt:

و لسوف يعطيک ربک فترضی

“Dan kelak Tuhanmu pasti akan memberikan karunia-Nya kepadamu, lalu kamu menjadi puas” (QS. al-Dhuha: 5). Yang dimaksud oleh ayat di atas ini adalah otoritas pemberian syafa’at (ampunan atas dosa–penerj.). Bagaimana mungkin diterima (oleh akal), jika di satu sisi, Allah Swt memberikan kepada Nabi Mulia saw kedudukan dan otoritas untuk memberikan syafa’at bagi para pendosa, juga memberinya kedudukan sebagai penghubung (wasilah) atas semua permohonan hajat hamba-hamba-Nya, lantas di sisi lain, manusia dilarang meminta syafa’at darinya, atau melarang Nabi saw untuk menggunakan otoritasnya dalam memberikan syafa’at? Bukankah Allah Swt telah menceritakan tentang peristiwa putra-putra Nabi Ya’qub as yang meminta syafaat dari ayah mereka. Dalam kisah itu disebutkan bahwa mereka berkata kepada beliau:

يا ابا نا استغفر لنا ذنوب اناء کناخاطئين

Wahai ayah kami, mohonkanlah ampun bagi kami terhadap dosa-dosa kami, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang bersalah” (QS. Yusuf: 97). Di situ, nabi yang suci dari salah dan dosa (maksum) itu tidak mengritik dan memprotes perbuatan tersebut, bahkan mengatakan:

سوف استغفر لکم

“Aku akan memohonkan ampun bagi kalian” (QS. Yusuf: 98). Sementara, tak seorang pun yang mengatakan bahwa Rasulullah saw beserta para imam as telah mati,[28] sehingga meminta doa kepada mereka adalah perbuatan sia-sia dan tak bermanfaat sedikit pun. Padahal, segenap nabi senantiasa hidup, terlebih Nabi Muhammad saw, dimana Allah Swt berfirman tentang beliau dengan ayat-Nya:

و کذالک جعلناکم امة وسطا لتکون شهداء
علی الناس ويکون الرسول عليکم شهيداء

“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad saw) menjadi saksi atas perbuatan kamu” (QS. al-Baqarah: 143). Yakni, Rasulullah saw selalu memantau perbuatan umatnya. Dan firman Allah Swt:

و قل اعملوا فسيری الله عملکم و رسوله والمومن

Dan katakanlah, “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu” (QS. al-Taubah: 105). Ayat ini akan terus berjalan dan berlaku hingga hari kiamat kelak, sebagaimana perjalanan matahari dan rembulan, juga pergantian siang dan malam. Dapat ditambahkan di sini bahwa Nabi Muhammad saw beserta para keluarga suci beliau termasuk dalam kategori sebagai para syuhada’ (orang yang mati di jalan Allah–penerj.), sementara para syuhada’ itu tetap hidup, sebagaimana telah difirmankan oleh Allah Swt dalam beberapa ayat al-Quran.[29]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar