Di sebagian kalangan
masyarakat media sosial dunia saat ini muncul gerakan “boikot Toyota”. Gerakan
yang sejauh ini belum muncul sebagai sebuah gerakan nyata besar-besaran itu
dipicu oleh keresahan masyarakat oleh fenomena “invasi Toyota” di Irak, yaitu penggunaan
ratusan kendaraan Toyota oleh kelompok militan teroris terafiliasi Al Qaida,
ISIS, dalam offensif mereka merebut kota Mosul dan beberapa kota lainnya di
Irak baru-baru ini.
Keberadaan mobil-mobil Toyota itu sangat mencolok mata. Dalam kondisi baru, seragam dengan warna putih sebagaimana kendaraan misi perdamaian PBB, keberadaan mobil-mobil itu menimbulkan pertanyaan tentang asal-usulnya.
Bukankah ISIS itu kelompok teroris yang beroperasi diam-diam dan selalu dikejar-kejar aparat penegak keamanan di seluruh dunia? Bagaimana mereka mendapatkan ratusan Toyota mulus itu?
Pertanyaan ini bisa dijelaskan oleh sebuah kesimpulan analisis bahwa Amerika tengah melakukan invasi kembali atas Irak dengan menggunakan ISIS sebagai kedoknya.
Bahkan dengan ribuan pasukan Toyota itu seharusnya ISIS tidak bisa mengalahkan tank-tank pasukan Irak, apalagi dengan mudah, sebagaimana saat mereka mengalahkan pasukan Irak di kota-kota besar Mosul, Kirkuk dan Tikrit. Senapan mesin di bak belakang Toyota-Toyota itu tidak akan melukai tank-tank Irak, apalagi menghancurkannya.
Namun yang terjadi adalah pasukan Irak mengalami kebingungan karena sistem komunikasi mereka kacau balau. Akibatnya, puluhan ribu pasukan Irak memilih melarikan diri dari posnya daripada melawan serangan ISIS.
Tentu saja ISIS tidak memiliki peralatan pengacau jaringan komunikasi militer Irak, kecuali hal itu dilakukan oleh militer Israel, Amerika atau Turki.
Dari beberapa hal kecil itu saja sudah bisa disimpulkan, ISIS berkolaborasi dengan satu atau ketiga negara tersebut di atas.
Maka untuk mengelakkan tuduhan, dibuatlah narasi seolah-olah inteligen AS, meski dengan peralatan canggihnya yang didukung drone-drone, pesawat-pesawat pengintai hingga puluhan satelit di udara Irak, gagal mengetahui pergerakan pasukan ISIS.
Kemudian untuk memberi alasan mengapa satu gerombolan teroris seperti ISIS bisa menggelar operasi militer besar-besaran, termasuk menggunakan ratusan mobil Toyota mulus itu, dibuatlah narasi lainnya bahwa ISIS memiliki kemampuan finansial besar karena berhasil merampok bank-bank di Mosul.
Adapun untuk menutupi peran rahasia Turki, dibuatlah drama penyanderaan staf diplomati Turki di Mosul oleh ISIS,
Bagaimana inteligen AS yang dilengkapi satelit-satelit paling canggih di dunia ini tidak bisa mengetahui pergerakan pasukan ISIS dari Syria untuk dilaporkan kepada Irak sebelum offensif ISIS itu terjadi? Sementara media Lebanon Daily Star pada bulan Maret 2014 telah melaporkan laporan berjudul: “Kelompok pecahan Al Qaida di Suriah meninggalkan 2 provinsi: Aktifis”.
“Pada hari Jumat, ISIS selesai menarik pasukannya dari Idlib dan Latakia dan memindahkannya ke provinsi Raqqa di timur dan di sebelah timur kota Aleppo, kata para aktifis,” demikian laporan Daily Star.
Jadi, jika sebuah media negara kecil seperti Lebanon bisa mengetahui gerakan ISIS memindahkan pasukannya dari Suriah ke dekat perbatasan Irak, mengapa dinas inteligen Amerika tidak?
Tentu saja CIA jauh lebih tahu dari media bahkan pemerintah Lebanon sekalipun. Dan hal ini semakin menguatkan kesimpulan bahwa AS terlibat di belakang offensif ISIS di Irak.
Adalah menarik bahwa New Eastern Outlook Journal (NEO) pernah menuliskan laporan-laporan tentang keberadaan kelompok-kelompok Al Qaida di Irak dan Suriah: “Bombers, Bank Accounts and Bleedout: al-Qa’ida’s Road In and Out of Iraq” dan “Al-Qa’ida’s Foreign Fighters in Iraq”. Laporan itu yang memaparkan secara detil skenario penumpukan senjata dan kelompok-kelompok militan di Irak selama pendudukan AS, menggiring mereka ke Suriah untuk menggulingkan rezim Bashar al Assad sembari memicu pertikaian sektarian Sunni-Shiah di kawasan.
Jadi, kembalinya kelompok-kelompok militan itu ke Irak pada dasarnya adalah pendudukan kembali AS atas Irak. Hanya kali ini AS tidak menggunakan pasukannya sendiri.
Adalah menarik menyimak apa yang ditulis Tony Cartalucci dalam artikel berjudul “NATO’s Terror Hordes in Iraq a Pretext for Syria Invasion”, di situs infowars tanggal 13 Juni lalu:
“Secara de facto ini adalah invasi kembali Irak oleh kepentingan-kepentingan barat, namun kali ini tanpa pasukan negara-negara barat, melainkan melalui kekuatan proxi yang oleh barat berusaha sekuat tenaga berusaha disembunyikan keterkaitannya dengan mereka. Namun tidak ada alasan lain yang bisa menjelaskan kemampuan ISIS kecuali ada kekuatan negara-negara di baliknya. Pertanyaannya adalah, negara mana yang mensponsorinya? Dengan Irak, Suriah dan Iran bersama Hizbollah yang terlibat pergulatan bersenjata melawan ISIS dan kelompok-kelompok Al Qaida di kawasan, satu-satunya blok yang tersisa adalah NATO dan GCC (Saudi, Qatar).” [Cahyono Adi]
Keberadaan mobil-mobil Toyota itu sangat mencolok mata. Dalam kondisi baru, seragam dengan warna putih sebagaimana kendaraan misi perdamaian PBB, keberadaan mobil-mobil itu menimbulkan pertanyaan tentang asal-usulnya.
Bukankah ISIS itu kelompok teroris yang beroperasi diam-diam dan selalu dikejar-kejar aparat penegak keamanan di seluruh dunia? Bagaimana mereka mendapatkan ratusan Toyota mulus itu?
Pertanyaan ini bisa dijelaskan oleh sebuah kesimpulan analisis bahwa Amerika tengah melakukan invasi kembali atas Irak dengan menggunakan ISIS sebagai kedoknya.
Bahkan dengan ribuan pasukan Toyota itu seharusnya ISIS tidak bisa mengalahkan tank-tank pasukan Irak, apalagi dengan mudah, sebagaimana saat mereka mengalahkan pasukan Irak di kota-kota besar Mosul, Kirkuk dan Tikrit. Senapan mesin di bak belakang Toyota-Toyota itu tidak akan melukai tank-tank Irak, apalagi menghancurkannya.
Namun yang terjadi adalah pasukan Irak mengalami kebingungan karena sistem komunikasi mereka kacau balau. Akibatnya, puluhan ribu pasukan Irak memilih melarikan diri dari posnya daripada melawan serangan ISIS.
Tentu saja ISIS tidak memiliki peralatan pengacau jaringan komunikasi militer Irak, kecuali hal itu dilakukan oleh militer Israel, Amerika atau Turki.
Dari beberapa hal kecil itu saja sudah bisa disimpulkan, ISIS berkolaborasi dengan satu atau ketiga negara tersebut di atas.
Maka untuk mengelakkan tuduhan, dibuatlah narasi seolah-olah inteligen AS, meski dengan peralatan canggihnya yang didukung drone-drone, pesawat-pesawat pengintai hingga puluhan satelit di udara Irak, gagal mengetahui pergerakan pasukan ISIS.
Kemudian untuk memberi alasan mengapa satu gerombolan teroris seperti ISIS bisa menggelar operasi militer besar-besaran, termasuk menggunakan ratusan mobil Toyota mulus itu, dibuatlah narasi lainnya bahwa ISIS memiliki kemampuan finansial besar karena berhasil merampok bank-bank di Mosul.
Adapun untuk menutupi peran rahasia Turki, dibuatlah drama penyanderaan staf diplomati Turki di Mosul oleh ISIS,
Bagaimana inteligen AS yang dilengkapi satelit-satelit paling canggih di dunia ini tidak bisa mengetahui pergerakan pasukan ISIS dari Syria untuk dilaporkan kepada Irak sebelum offensif ISIS itu terjadi? Sementara media Lebanon Daily Star pada bulan Maret 2014 telah melaporkan laporan berjudul: “Kelompok pecahan Al Qaida di Suriah meninggalkan 2 provinsi: Aktifis”.
“Pada hari Jumat, ISIS selesai menarik pasukannya dari Idlib dan Latakia dan memindahkannya ke provinsi Raqqa di timur dan di sebelah timur kota Aleppo, kata para aktifis,” demikian laporan Daily Star.
Jadi, jika sebuah media negara kecil seperti Lebanon bisa mengetahui gerakan ISIS memindahkan pasukannya dari Suriah ke dekat perbatasan Irak, mengapa dinas inteligen Amerika tidak?
Tentu saja CIA jauh lebih tahu dari media bahkan pemerintah Lebanon sekalipun. Dan hal ini semakin menguatkan kesimpulan bahwa AS terlibat di belakang offensif ISIS di Irak.
Adalah menarik bahwa New Eastern Outlook Journal (NEO) pernah menuliskan laporan-laporan tentang keberadaan kelompok-kelompok Al Qaida di Irak dan Suriah: “Bombers, Bank Accounts and Bleedout: al-Qa’ida’s Road In and Out of Iraq” dan “Al-Qa’ida’s Foreign Fighters in Iraq”. Laporan itu yang memaparkan secara detil skenario penumpukan senjata dan kelompok-kelompok militan di Irak selama pendudukan AS, menggiring mereka ke Suriah untuk menggulingkan rezim Bashar al Assad sembari memicu pertikaian sektarian Sunni-Shiah di kawasan.
Jadi, kembalinya kelompok-kelompok militan itu ke Irak pada dasarnya adalah pendudukan kembali AS atas Irak. Hanya kali ini AS tidak menggunakan pasukannya sendiri.
Adalah menarik menyimak apa yang ditulis Tony Cartalucci dalam artikel berjudul “NATO’s Terror Hordes in Iraq a Pretext for Syria Invasion”, di situs infowars tanggal 13 Juni lalu:
“Secara de facto ini adalah invasi kembali Irak oleh kepentingan-kepentingan barat, namun kali ini tanpa pasukan negara-negara barat, melainkan melalui kekuatan proxi yang oleh barat berusaha sekuat tenaga berusaha disembunyikan keterkaitannya dengan mereka. Namun tidak ada alasan lain yang bisa menjelaskan kemampuan ISIS kecuali ada kekuatan negara-negara di baliknya. Pertanyaannya adalah, negara mana yang mensponsorinya? Dengan Irak, Suriah dan Iran bersama Hizbollah yang terlibat pergulatan bersenjata melawan ISIS dan kelompok-kelompok Al Qaida di kawasan, satu-satunya blok yang tersisa adalah NATO dan GCC (Saudi, Qatar).” [Cahyono Adi]
COCOK
BalasHapusCOCOK
BalasHapus