Oleh Zetira Kenang Kania
Globalisasi memang sudah
sangat sering kita dengar dan selalu menjadi bahan diskusi yang menarik.
Globalisasi dengan segala keunikan dan paradoks di dalamnya memiliki daya tarik
tersendiri dan selalu menjadi perdebatan yang kontroversial selama ini. Tidak
dapat dipungkiri, globalisasi selalu datang dengan dua dimensi, sehingga tidak
dapat dipastikan manakah yang benar-benar tepat. Hal ini tergantung dari sisi
mana kita melihat globalisasi itu sendiri.
Di negara-negara yang
sedang berkembang ekonominya, seringkali pakar serta pembuat kebijakan
memandang globalisasi sebagai pembuka kesempatan emas untuk negara dan
masyarakat. Hal ini tentu ditunjang oleh bukti yang kuat berdasarkan impikasi
dari adanya integrasi ekonomi dunia yang terjadi sejak sekitar tahun 1980-an.
Tidak dapat dipungkiri sekalipun oleh para kaum anti-globalisasi bahwa melalui
perdagangan internasional, investasi asing, dan imigrasi, negara-negara miskin
dapat mendapatkan banyak sekali keuntungan karena terjadi banyak sekali
interaksi dengan negara-negara kaya sehingga memungkinkan baik negara miskin
dan negara kaya mendapatkan keuntungan yang sama melalui intergrasi ekonomi ini
(Dollar, 2007).
Terdapat beberapa bukti
menurut David Dollar yang menunjang kebenaran pendapat bahwa globalisasi
cenderung memberikan keuntungan-keuntungan terutama bagi negara yang sedang
berkembang dan bayangan prospek pertumbuhan ekonomi dunia. Bukti-bukti tersebut
antara lain: tingkat pertumbuhan ekonomi di negara miskin jauh lebih cepat
dibandingkan pertumbuhan ekonomi di negara-negara kaya untuk pertama kalinya
sepanjang sejarah era modern, jumlah penduduk yang sangat miskin (dengan acuan
hidup dengan kurang dari $1 per hari) di dunia pun menurun dengan sangat
signifikan untuk pertama kalinya sepanjang sejarah, ketidaksetaraan global
menurun dengan sangat tajam (menggantikan tren ketidaksetaraan global selama
200 tahun), ketidaksetaraan dalam negara secara umum tidak mengalami
pertumbuhan, ketidaksetaraan upah juga meningkat (hal ini tentu
bertolakbelakang dengan pernyataan sebelumnya yang menjelaskan bahwa
ketidaksetaraan dalam negara secara umum tidak meningkat. Namun ternyata tidak
ada hubungan yang jelas antara ketidaksetaraan upah dengan ketidaksetaraan
pendapatan rumah tangga (Dollar, 2007). Adanya ketidaksetaraan upah ini
memungkinkan setiap orang lebih termotivasi untuk meningkatkan kualitas
hidupnya sehingga dapat pula berdampak pada pertumbuhan ekonomi negara.
Adanya integrasi ekonomi
global memang bukanlah suatu hal yang baru di dunia ini. Hal yang baru dari
globalisasi ini adalah bagaimana negara-negara yang sedang berkembang membangun
ekonominya dapat berintegrasi dengan negara-negara yang kaya. Sejak tahun
1980-an, negara-negara industri yang sudah cukup maju memiliki kesadaran untuk
membangun sebuah integrasi. Mereka semua mulai bernegosiasi dan melakukan
liberalisasi perdagangan melalui GATT. Kemudian ketika mulai memasuki periode postwar, banyak negara-negara
berkembang juga mulai ikut serta dalam integrasi ekonomi global ini . Banyak
negara-negara di Asia, Afrika, dan Amerika Latin yang kemudian mengikuti
strategi industrialisasi bahan-bahan pengganti impor, tetap menjaga tingkat
proteksi impor jauh lebih tinggi dibandingkan negara-negara industri yang
dilakukan guna meningkatkan manufaktur produk domestik dan biasanya untuk
memperketat investasi asing oleh firma-firma multinasional (Dollar, 2007).
Bahkan sepanjang proses liberalisasi dan perkembangan ekonomi tersebut, bukan
hanya jumlah barang yang diperdagangkan yang bertambah, namun juga apa saja
yang menjadi objek perdagangan tersebut (Dollar, 2007). Hasilnya, beberapa
negara yang sedang berkembang seperti Cina dan India yang mulanya tertutup
kemudian mengikuti integrasi ekonomi global ini akhirnya mencapai prestasi
peningkatan kesejahteraan yang sangat signifikan dibandingkan sebelumnya (Dollar,
2007).
Banyak harapan yang timbul
seiring dengan terjadinya integrasi ekonomi global ini. Salah satunya adalah
bahwa globalisasi ini dapat mengentaskan kemiskinan. Dalam penjelaskan
sebelumnya, dijelaskan bahwa salah satu bukti keunggulan adanya globalisasi
adalah penurunan jumlah penduduk miskin yang sangat signifikan. Namun, hal
tersebut pun masih kontroversial sampai saat ini. Pasalnya, indikator miskinnya
penduduk yang digunakan adalah penduduk yang hidup dengan penghasilan dibawah
$2. Hal ini tentu saja dianggap tidak valid karena indikator kemiskinan tidak
dapat hanya diukur dari penghasilan saja. Misalnya saja, berdasarkan indikator
tersebut, kebanyakan penduduk miskin merupakan orang-orang yang berprofesi
sebagai petani. Akan tetapi petani-petani tersebut belum tentu dapat dinyatakan
sebagai penduduk miskin karena pada faktanya mereka pun dapat memenuhi
kebutuhan hidup mereka melalui sumber daya di sekelilingnya. Berbeda halnya
dengan penduduk yang meskipun memiliki penghasilan lebih dari $2 namun sulit
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehingga menjalani hidup yang serba
kekurangan. Dari problema ini, ditemukan bahwa jika indikator kemiskinan juga
dilihat dari aspek-aspek selain pendapatan, maka jumlah penduduk miskin sejak
era 1980-an bukan mengalami penurunan,melainkan mengalami kenaikan (Dollar,
2007).
Berdasarkan penjelasan
tersebut, globalisasi bukanlah sesuatu yang dapat diandalkan untuk mengentaskan
kemiskinan. Menurut saya justru sebaliknya, globalisasi ataupun integrasi
ekonomi global hanya merupakan label pemerasan terhadap negara yang sedang
berkembang. Hal ini terlihat dari contoh yang timbul dari penjelasan David
Dollar mengenai kerjasama negara-negara industri dengan negara-negara yang
sedang berkembang. Dalam penjelasannya, ia menjelaskan contoh pabrik sepatu Nike dari Amerika Serikat yang
berintegrasi dengan Vietnam. Jadi dalam produksinya, sepatu-sepatu Nike diproduksi di Vietnam dan
buruh-buruh pabriknya pun juga merupakan warga Vietnam. Ironisnya, jika kita
menelaah hal ini lebih lanjut, akan kita temukan bahwa Vietnam pun tidak
mendapatkan keuntungan sebesar yang diperoleh Amerika Serikat. Buruh-buruh
pabrik dari Vietnam pun tidak mendapatkan upah yang begitu tinggi. Hal inilah
yang menjadi alasan Nike di Amerika
Serikat memperkerjakan orang-orang Vietnam karena dapat member upah yang jauh
lebih kecil terhadap buruh sementara mereka dapat mendapatkan jumlah produksi
yang luar biasa besar dalam waktu yang bersamaan. Penjelasan globalisasi disini
juga seakan-akan menunjukkan bahwa negara kaya merupakan negara yang memiliki
industri-industri yang maju sementara negara berkembang merupakan negara yang
masih bergantung pada kondisi agraris. Sehingga hal ini tentu memaksa
negara-negara agraris berusaha untuk mengembangkan industri ataupun mengizinkan
banyak industri asing masuk ke negara-negara ini sampai-sampai melupakan
kondisi dasar bahwa hal tersebut tentu malah menjadi kerugian bagi negara
berkembang tersebut karena tanpa mereka sadari, mereka justru kehilangan sumber
daya alam utama yang mereka miliki.
Sementara itu dalam hal
pemerataan ekonomi, terdapat beberapa pendapat mengenai kesuksesan globalisasi
terhadap problema ini. Pemerataan ekonomi pada dasarnya merupakan kondisi
dimana setiap negara di dunia ini mengalami kondisi perekonomian yang setara,
tidak ada yang terlalu kaya dan tidak ada yang terlalu miskin (Dollar, 2007).
Bhalla (2002) menyatakan bahwa jika ketidaksetaraan ekonomi global dihitung
berdasarkan koefisien Gini, maka ketidaksetaraan ini turun drastic dari 0.67
pada tahun 1980 menjadi 0.64 pada tahun 2000. Sementara itu, hal yang
bertolakbelakang diutarakan oleh Bourguignon dan Morrison (2002) yang
menyatakan bahwa ketidaksetaraan global justru semakin meningkat dalam sejarah
era ekonomi modern ini. Bourguignon dan Morrison mengestimasikan bahwa
koefisien global Gini meningkat dari 0.50 pada tahun 1820 menjadi 0.65 pada
sekitar tahun 1980. Kemudian Sala-i-Martin menjelaskan bahwa adanya perhitungan
seperti yang Bourgignon dan Morrison estimasikan merupakan hal yang tidak
terlalu special. Pasalnya, setiap orang pasti menemukan adanya peningkatan
ketidaksetaraan sampai tahun 1980. Namun kemudian ketidaksetaraan ini akan
berkurang setelahnya. Terbukti menurut perhitungan Sala-i-Martin bahwa kemudian
sejak tahun 1980, ketidaksetaraan global menurun menjadi 0.61 (Dollar, 2007).
Ketidaksetaraan ekonomi
memang menjadi perdebatan yang sengit selama ini. Banyak perspektif yang
menganggap ketidaksetaraan ekonomi mulai berkurang sejak adanya integrasi
ekononomi global, tetapi banyak juga yang menganggap bahwa ketidaksetaraan
global justru semakin meningkat. Fenomena ketidaksetaran ekonomi ini memang
tidak dapat dipastikan. Sama halnya dengan globalisasi yang selalu datang
dengan dua dimensi, ketidaksetaraan ekonomi juga tergantung dari dari sisi mana
dan dengan cara apa kita melihatnya. Mungkin pula globalisasi memang dapat
menyebabkan ketidaksetaraan ekonomi menjadi meningkat ataupun menurun dalam
waktu yang bersamaan. Begitu pula dengan bagaimana kita melihat pertumbuhan dan
pengentasan kemiskinan sebagai implikasi dari globalisasi. Dari paradoks inilah
globalisasi menjadi sesuatu yang selalu menarik untuk dipelajari dan selalu
memancing kita untuk mengetahui strategi apa yang paling tepat untuk
menghadapinya.
Sumber: Dollar,
David. 2007. “Globalization, Poverty, and Inequality since
1980”, dalam David Held & Aysed Kaya
(ed.), Global Inequality. Cambridge: Polity, pp. 73-103.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar