Senin, 08 Desember 2014

Filsafat, Sains, dan Agama




Oleh Saleh Daulay

Suatu waktu, di ruang kelas Filsafat Ilmu, seorang mahasiswa mengajukan pertanyaan yang selama ini selalu mengganggu alam pikirannya. Pertanyaan singkat yang diajukan adalah “apakah ilmu agama Islam dapat disebut sebagai ilmu pengetahuan atau sains”. Dengan sedikit menonjolkan idealismenya, mahasiswa jurusan Aqidah dan Filsafat itu menimpali bahwa jawaban terhadap pertanyaan tersebut sangat dibutuhkannya untuk menentukan apakah ia akan tetap melanjutkan kuliah atau berhenti sampai di situ dan selanjutnya mencari jurusan lain yang dipandang lebih ilmiah.

Mendengar pertanyaan yang berbau ancaman itu, sang dosen serta merta menjawab bahwa “ilmu agama Islam merupakan salah satu bidang ilmu pengetahuan atau sains”. Sebagai tambahan, sang dosen pun menjelaskan tentang ciri-ciri ilmu pengetahuan yang juga ditemukan di dalam ilmu agama Islam. Ketika sampai pada penjelasan tentang universalitas ilmu agama Islam, mahasiswa tadi kembali mengangkat tangan sembari berkata, “menurut saya ilmu agama Islam tidak bersifat universal. Kebenaran ilmu agama Islam hanya diakui oleh para pemeluknya dan ditolak secara tegas oleh para pemeluk agama lain. Artinya, jika ilmu agama Islam disuguhkan kepada para ilmuwan Barat yang beragama lain, tentu saja mereka tidak menerima itu sebagai sebuah kebenaran. Bukankah ilmu agama Islam bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits? Dan bukankah kebenaran Al-Qur’an dan Hadits tidak diakui oleh agama lain? Pada titik ini, saya berpendapat bahwa ilmu agama Islam bukanlah ilmu pengetahuan atau sains karena dia tersekat di sebuah komunitas masyarakat yang meyakininya”. Dengan penuh kearifan, sang dosen pun menambahkan jawabannya dengan kaedah-kaedah epistemologi yang dianggapnya mampu memuaskan mahasiswa kritis itu. 

Terlepas dari kesalahan kontekstual mahasiswa di atas, pertanyaan tersebut mengantarkan kita pada suatu kesimpulan bahwa wacana relasi sains dan agama masih aktual untuk dibicarakan. Fenomena kebangkitan Bucaillisme (Maurice Bucaille) dan Harunisme (Harun Yahya) di tengah-tengah masyarakat muslim didasari oleh semangat agar umat Islam tetap mengakui superioritas Al-Qur’an di atas kitab-kitab suci agama lain[1]. Andaikata mahasiswa tadi menjadi salah seorang pengikut Bucaillisme atau Harunisme, pertanyaan semacam itu tidak akan mungkin dilontarkannya.

Mengambil contoh Bucaillisme dan Harunisme bukan berarti dapat menyelesaikan masalah. Sebab dalam kacamata filsafat sains, pemikiran kedua tokoh ini masih sarat dengan problem epistemologis yang sulit diselesaikan. Apalagi bila kita melirik pendapat sebagian ilmuwan lain yang memposisikan sains dan agama di dalam dua ranah yang berbeda serta dibatasi oleh dinding pembatas yang cukup kokoh. Sebagai contoh, simak pandangan Carl Sagan, seorang ilmuwan astronomi modern, yang menuduh kepercayaan Kristen tentang Tuhan sebagai ancaman terhadap kesempurnaan metode sains yang berlaku secara universal. Begitu juga halnya Edward O. Wilson yang menyatakan bahwa agama akan digantikan oleh filsafat materialisme ilmiah. Sebagai seorang sosiobiolog, Wilson berpandangan bahwa agama juga merupakan produk evolusi sebagaimana halnya evolusi yang terjadi di dalam makhluk hidup[2].

Untuk konteks Indonesia, wacana relasi sains dan agama semakin mendapat tempat seiring dengan perubahan status beberapa IAIN menjadi UIN. Perubahan status ini dengan sendirinya menjadikan institusi tersebut sebagai wahana untuk mengkaji seluruh dimensi keilmuwan termasuk ilmu-ilmu eksakta, sosial, dan humaniora. Persinggungan akademis antara agama dengan sains modern dengan sendirinya tidak terelakkan. Secara sepintas, UIN potensial untuk menumbuhkan harmonisasi antara sains dan agama. Namun sebaliknya, bila tidak dibina sejak dini, potensi tersebut justru dapat membuat jurang antara sains dan agama semakin jauh.

Refleksi Historis Relasi Sains dan Agama

Sejarah awal perkembangan pemikiran di dunia Islam menunjukkan bahwa para pemikir muslim tidak bermasalah dengan persoalan hubungan antara filsafat, sains, dan agama. Al-Kindi sebagai seorang tokoh filosof klasik, misalnya, telah mengangkat wacana talfiq (perpaduan) antara filsafat[3] dan agama. Menurutnya, filsafat adalah pengetahuan yang benar (bahtsu ‘an al-haq). Al-Qur’an yang juga membawa kebenaran tidak mungkin bertentangan dengan kebenaran yang dihasilkan oleh filsafat. Dengan demikian, orang yang menolak filsafat dapat dikatakan sebagai orang kafir karena ia telah jauh dari kebenaran yang menjadi tujuan asasi agama Islam[4].

Para filosof pasca Al-Kindi sependapat dengan pandangan Al-Kindi tersebut. Teori emanasi yang ditawarkan oleh Al-Farabi dan Ibnu Sina merupakan contoh konkrit bagaimana mereka mencoba menjelaskan secara filosofis proses penciptaan alam semesta tanpa mengusik kemapanan pandangan teologis yang terdapat dalam ajaran Islam. Dengan filsafat emanasi, perdebatan tentang penciptaan alam semesta antara teolog, filosof, dan saintis hampir tidak ditemukan. Dalam konteks ini, analisa rasional para filosof sejajar dengan keyakinan para teolog yang mengambil wahyu sebagai sumber kebenaran.

Sejak masa itu, hubungan harmonis antara filsafat, sains, dan agama di dalam khazanah intelektual Islam tidak pernah mengalami stagnasi. Hingga akhirnya Al-Ghazali mengumumkan penolakannya terhadap filsafat dalam karya monumentalnya tahafut al-falasifah. Disamping deklarasi penolakan terhadap filsafat, Al-Ghazali juga mengklasifikasikan 20 kerancuan berfikir para filosof. Bahkan tiga di antaranya dianggap isu penting yang dapat mengakibatkan kekafiran (takfir) para filosof. Tiga isu yang dimaksud adalah pertama, masalah keabadian alam; kedua, masalah pengetahuan Tuhan tentang hal-hal yang universal saja dan bukan yang parsial; dan ketiga, masalah kebangkitan manusia setelah mati secara jasmani[5]. Sebagai seorang hujjatul Islam, pengaruh kritik Al-Ghazali tersebut begitu besar. Apalagi kemudian ia mempublikasikan kitab Ihya ‘Ulumuddin (menghidupkan ilmu-ilmu agama) sebagai alternatif pengganti bagi ilmu-ilmu filsafat dan keduniaan. Masyarakat Islam yang mayoritas beraliran teologi ‘Asy’ariyah ramai-ramai mengalihkan perhatiannya kepada ilmu-ilmu agama dan mengabaikan ilmu-ilmu keduniaan. Sejak itu, merebaklah asketisme dan nuansa kejuhudan di sebagian besar umat Islam. Akibatnya, perkembangan filsafat dan sains mengalami stagnasi di dunia Islam. Sejumlah kalangan menuding Al-Ghazali sebagai orang yang paling bertanggung jawab terhadap mundurnya gairah intelektual umat Islam.

Meskipun pada masa berikutnya, Ibnu Rusyd mencoba meluruskan pemikiran Al-Ghazali itu dengan mempublikasikan kitab Tahafut al-Tahafut, namun pengaruhnya tidak begitu besar dirasakan di dunia Islam. Bahkan sebaliknya, gelombang Averroism lebih mendapat tempat di tengah-tengah masyarakat Eropa. Lebih ekstrim lagi, para pengikut setia Ibnu Rusyd bukan hanya dari kalangan ilmuwan dan filosof, tetapi banyak juga yang berasal dari kalangan gereja ortodoks. Hal ini dikarenakan pendapat Ibnu Rusyd yang mengakui dua macam kebenaran yaitu kebenaran filosofis dan kebenaran teologis[6].

Kasus antagonisme antara filsafat, sains , dan agama tidak hanya ditemukan di dunia Islam. Kasus yang lebih serius justru mewarnai sejarah intelektual di dunia Barat. Sebagaimana diketahui, sejak abad pertengahan posisi gereja cukup mendominasi seluruh aspek kehidupan. Hal ini diperkuat pula oleh berkembangnya teosentrisme di dalam khazanah filsafat Barat. Buah hasil dari perkembangan itu adalah terkekanganya rasionalitas dan terkuburnya intelektualitas. Nicoulas Copernicus merupakan salah seorang korban kekerasan intelektual yang dimotori oleh kalangan gereja. Sampai akhir hayatnya, hak-hak intelektual Copernicus untuk mempublikasikan hasil penelitiannya tidak kesampaian karena tertutupnya pintu bagi mereka yang berbeda dengan gereja.

Tragedi intelektual ini semakin buruk terutama setelah gereja mengadili Galileo pada tahun 1633. Pengadilan tersebut berawal dari keberanian Galileo untuk mendukung teori Copernicus yang menyatakan bahwa bumi dan planet-planet berputar dalam orbitnya mengelilingi matahari (heliosentris), dan menolak teori Ptolemeus yang menyatakan bahwa matahari dan planet-planet berputar mengelilingi bumi (geosentris). Dengan pendapat itu, berarti Galileo secara tegas menolak otoritas ilmiah Aristoteles yang mendukung astronomi Ptolemeus yang telah tersebar luas di Eropa sejak abad ke-12.  Di samping itu, Galileo juga menentang otoritas kitab suci yang meyakini bumi sebagai pusat alam semesta. Dan yang lebih tidak populer lagi adalah tantangan terbuka Galileo terhadap otoritas gereja[7].

Di abad ke-19, perseteruan antara sains dan agama belum mereda. Pada tahun 1859 Charles Darwin, seorang biolog asal Inggris, menerbitkan sebuah buku yang berjudul The Origin of Natural Selection, or The Preservation of Favoured Race in the Struggle for Life  (Asal-usul Makhluk Melalui Seleksi Alam, atau Kelestarian Ras unggul dalam Perjuangan Hidup). Penerbitan karya itu tidak lepas dari dorongan dua orang teman dekatnya yaitu Alfred Russel Wallace[8] dan Thomas Robert Malthus[9].  Terbitnya buku tersebut dianggap sebagai tonggak berdirinya teori Evolusi dan secara resmi gelar Bapak teori evolusi diberikan kepada Darwin.

Dalam buku tersebut Darwin menguraikan gagasannya mengenai evolusi dan seleksi alam.  Yang dimaksud dengan seleksi alam adalah bahwa alam mengadakan seleksi terhadap individu yang hidup di dalamnya. Hanya individu yang dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya yang akan hidup terus, sedangkan yang tidak akan musnah. Dengan teori tersebut dapat disimpulkan bahwa teori evolusi berlaku kepada seluruh makhluk hidup, bukan hanya kepada manusia saja[10].

Seleksi alam dan teori evolusi yang dikemukakan pada buku pertama Darwin belum menimbulkan reaksi keras dari kelompok agamawan. Baru setelah buku kedua yang berjudul The Descent of Man and Selection to Sex diterbitkan pada tahun 1859 reaksi keras datang dari kalangan Gereja. Reaksi keras itu muncul setelah pengikut teori Darwin mengekstrapolasikan  pengertian evolusi sedemikian rupa, seolah-olah manusia berasal dari kera. Secara eksplisit Darwin tidak pernah menyatakan bahwa manusia berasal dari kera, tetapi pengklasifikasian kera (primat) ke dalam ordo manusia telah memicu kesimpulan seperti itu. Menurut Darwin, antara manusia dan primat mempunyai persamaan ciri-ciri, adapun perkerabatan yang paling dekat dengan manusia adalah simpansi dan gorilla, perbedaannya hanyalah terletak pada susunan hemoglobinnya[11].

Reaksi keras kelompok agamawan terhadap teori evolusi tidak dibiarkan begitu saja oleh para pendukung teori ini. Sejak buku Darwin diterbitkan, muncul berbagai ilmuwan yang memberikan pembelaan dengan argumentasi yang cukup variatif. Di antara ilmuwan modern yang mendukung gagasan Darwin adalah Richard Dawkins. Dalam buku The Blind Watchmaker, ahli Biologi Inggris ini menyatakan bahwa faktor kebetulan dan seleksi alam sudah cukup memadai untuk menjelaskan semua fenomena keragaman spesies makhluk hidup, termasuk diri kita sendiri. Mengapa kita harus menciptakan ide tentang Tuhan jika faktor kebetulan dan seleksi alam itu saja sudah dapat menerangkan semua kreativitas yang ada dalam kisah kehidupan ini? Pada titik ini, Darwin terbukti bisa menjadi seorang atheis yang lengkap secara intelektual[12].
Selain teori evolusi, masih terdapat sejumlah penemuan ilmiah lainnya yang merangsang pecahnya hubungan sains dan agama. Di antara penemuan ilmiah yang dapat disebut antara lain bidang astronomi, implikasi fisika kuantum, dan neurosains. Sementara itu, rekayasa genetika dan kloning merupakan isu terakhir yang sempat mengusik dan menyita perhatian kelompok agamawan. Dengan demikian, saat ini relasi sains dan agama masih meninggalkan sejumlah problem yang perlu diselesaikan.

Sesungguhnya kesulitan unifikasi antara sains dan agama dalam satu disiplin keilmuan lebih dikarenakan perbedaan domain kedua bidang tersebut. Dari sudut pandang ontologis, sains memandang realitas sebagai sesuatu yang bersifat positif, empiris, rasional dan setia pada kaidah hukum alam. Sementara itu, agama memandang realitas sebagai sesuatu yang bersifat abstrak, batin, spritual, dan moral. Problematika yang muncul kemudian adalah bahwa perkembangan sains tidak selalu memperhatikan aspirasi dan pendapat agama. Sains berjalan dalam relnya sendiri, demikian juga agama berjalan di rel yang lain.

Sementara dari sudut pandang epistemologis, konvergensi antara sains dan agama juga mengalami kendala yang cukup besar. Paradigma sains yang bersifat positivistik, empiris, dan rasional tentu saja tidak sesuai dengan paradigama agama yang bersifat spritual, metafisis, dan moral. Meskipun berbeda paradigma, namun sebagian kalangan ada yang menilai bahwa ajaran agama yang bersumber dari wahyu jauh lebih tinggi posisinya dibandingkan dengan ilmu pengetahuan yang bersumber dari akal dan rasio manusia. Asumsi ini kemudian memberikan kekuatan bagi agama untuk selalu mengontrol pencapaian-pencapain dalam bidang sains dan teknologi. Penemuan-penemuan sains dan teknologi yang dianggap bertentangan dengan ajaran agama harus dihentikan agar tidak merusak nilai-nilai kesakralan agama yang benar secara taken for granted. Pada titik ini, antara sains dan agama tidak menemukan titik pandang yang sama. Padahal seperti kata Einstein, “science without religion is lame and religion without science is blind[13].

Paradigma Baru Relasi Sains dan Agama

Sebagaimana dijelaskan di atas, relasi sains dan agama telah menjadi topik yang cukup hangat di kalangan ilmuwan sejak beberapa abad yang lalu. Pada mulanya, relasi sains dan agama merupakan pembicaraan yang cukup kontroversial di kalangan elit intelektual dan agamawan. Akan tetapi, kemajuan sains dan teknologi yang cukup dinamis mengakibatkan meluasnya wacana ini kepada hampir seluruh umat beragama.

Awalnya, hubungan antara sains dan agama hanya mengambil dua bentuk yaitu konflik dan integrasi. Akan tetapi, sejalan dengan perkembangan sains, dan adanya upaya untuk menghindari konflik, banyak pihak yang telah berusaha mencari model hubungan yang dianggap paling sesuai. Gerakan membangun hubungan harmonis antara sains dan agama telah berkembang pesat sejak tahun 1990-an. Beberapa buku penting yang memberikan gambaran pergulatan para ilmuwan untuk mencari model hubungan agama dan sains yang ideal ramai di pasaran, seperti Ian G. Barbour, Religion in Age of Science (1990), Nancy Murphy, Theology in the Age of Scientific Reasoning (1990), Philip Hafner, The Human Factor (1993), Arthur Peacocke, Theology for a Scientific Age (1993), Jhon F. Haught, Science and Religion: From Conflict to Conversation (1995), Willem B. Dress, Religion, Science, and Naturalism (1996), dan lain-lain. Semangat untuk “mengakurkan” hubungan antara agama dan sains juga tampak misalnya dengan munculnya jurnal Zygon yang banyak memuat artikel seputar isu agama dan sains[14].

Dari sekian banyak tokoh yang mencoba memetakan hubungan sains dan agama, tipologi yang dikembangkan Ian G. Barbour dan Jhon F. Haught dipandang lebih representatif. Kedua tokoh ini masing-masing memperkenalkan empat macam tipologi yang dapat mewakili deskripsi relasi sains dan agama. Empat macam tipologi yang dikemukakan Barbour adalah konflik, independensi, dialog, dan integrasi. Sementara tipologi yang diperkenalkan Haught adalah konflik, kontras, kontak, dan konfirmasi.

Dalam tipologinya, Ian Barbour menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan relasi konflik adalah pandangan yang menyatakan bahwa sains dan agama tidak hanya berbeda, tetapi sepenuhnya bertentangan. Sementara independensi adalah pandangan alternatif yang menyatakan bahwa sains dan agama adalah dua domain independen yang dapat hidup bersama sepanjang mempertahankan “jarak aman” satu sama lain. Menurut pandangan ini, semestinya tidak perlu ada konflik karena sains dan agama berada di domain yang berbeda. Di samping itu, pernyataan sains dan pernyataan agama memiliki bahasa yang tidak bisa dipertentangkan karena pernyataan masing-masing melayani fungsi yang berbeda dalam kehidupan manusia dan berusaha menjawab persoalan yang berbeda. Sedangkan tipologi dialog adalah pandangan yang mencoba membandingkan metode kedua bidang ini untuk melihat kemiripan dan perbedaannya. Dan tipologi integrasi adalah pandangan yang melihat kemitraan yang lebih sistematis dan ekstensif antara sains dan agama untuk mencari titik temu di antara keduanya[15].

Pada dasarnya, tipologi yang dibuat Barbour hampir sama dengan tipologi Haught. Hanya saja, tipologi keempat Haught (konfirmasi) dimaksudkan bukan sebagai pengukuhan atas doktrin teologis tertentu, melainkan lebih sebagai upaya mempertahankan secara ilmiah asumsi-asumsi dan latar belakang yang lahir dari teologi[16]. Sementara bagi Barbour, pengertian semacam ini termasuk ke dalam tipologi dialog.

Setelah melakukan pemetaan hubungan sains dan agama, langkah berikutnya adalah menentukan mana di antara keempat tipologi itu yang dianggap paling baik. Sebagian orang menilai bahwa integrasi merupakan tipologi yang paling ideal di antara keempat tipologi tersebut. Padahal, apabila diteliti lebih jauh, usaha untuk mengintegrasikan antara sains dan agama juga dapat menimbulkan masalah terutama bagi agama. Sebagai contoh, apabila seorang saintis mencoba mencari justifikasi terhadap sebuah penemuan sains di dalam teks-teks agama, maka suatu ketika agama bisa saja ditinggalkan orang. Hal ini disebabkan sifat dan karakteristik sains yang berkembang sangat dinamis. Penemuan ilmiah hari ini bisa saja diruntuhkan oleh penemuan ilmiah besok hari. Sementara itu, tidak ada satu jaminan pun yang menyatakan bahwa penemuan ilmiah besok hari pasti sesuai dengan teks-teks agama sebagaimana yang dialami oleh penemuan ilmiah yang lalu. Kondisi inilah yang terjadi pada peristiwa pengadilan Galileo yang telah diceritakan di atas. Dan bisa jadi, kegagalan proyek Islamisasi ilmu yang digagas oleh sekelompok sarjana muslim seperti Fazlur Rahman, Ismail Razi al-Faruqi, Naquib Al-Attas, dan lain-lain juga dikarenakan sulitnya untuk mengintegrasikan antara sains dan agama. Dengan kata lain, mengintegrasikan sains dan agama sama sulitnya dengan membiarkan kedua kubu tersebut tetap dalam posisi konflik.

Dalam beberapa kesempatan, Barbour dan Haught menunjukkan kecenderungan mereka pada model independen/konfirmasi dan dialog/kontak. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah kedua model tersebut merupakan semata-mata cara untuk menciptakan hubungan harmonis antara sains dan agama? Menjawab pertanyaan itu, Haught dalam salah satu kuliahnya di Yogyakarta beberapa waktu lalu menjelaskan bahwa keempat tipologi itu masih relevan untuk dijadikan sebagai cara pandang dalam melihat hubungan sains dan agama. Hanya saja, yang perlu diperkuat adalah basis argumentasi yang mendukung terhadap salah satu pilihan tipologi. Menurutnya, bila kita melangkah maju menelusuri argumen-argumen itu, maka fragmen-fragmen dari masing-masing pendekatan akan bersatu padu menjadi sebuah gambaran yang lebih penuh dan lebih koheren.

Krisis Spritual Para Saintis Modern

Salah satu urgensi membicarakan tipologi hubungan sains dan agama di abad modern ini adalah untuk memperkecil gerakan ateisme dan krisis spritual di kalangan saintis modern. Kemajuan sains dan teknologi yang demikian pesat seakan-akan mengantarkan para saintis pada satu kesimpulan bahwa kehidupan dunia tidak lagi begitu menarik untuk diperbincangkan. Betapa tidak, hampir seluruh realitas telah dapat diterangkan secara jelas oleh penemuan-penemuan sains. Terlebih lagi jika dunia dilihat dengan menggunakan formula matematis gaya Albert Einstein atau Stephen Hawking, maka bisa jadi yang kita jumpai adalah sebuah dunia yang sudah selesai. Artinya, manusia telah merasa berhasil menyadap the mind of God, sehingga Tuhan memang telah tiada. Yang ada hanyalah konstruksi dan persepsi manusia sebagaimana dinyatakan oleh Nietzsche atau Karl Marx.

Dengan demikian, abad modern adalah zaman ketika manusia menemukan dirinya sebagai kekuatan yang dapat menyelesaikan persoalan-persoalan hidup. Manusia dipandang sebagai makhluk yang hebat, yang independen dari Tuhan dan alam. Manusia modern sengaja melepaskan diri dari keterikatannya dengan Tuhan (theomosphisme), untuk selanjutnya membangun tatanan manusia yang semata-mata berpusat pada manusia (antropomorphisme). Manusia menjadi tuan atas nasibnya sendiri, yang mengakibatkan terputusnya dari nilai-nilai spiritual. Akibatnya, manusia modern tidak mampu menjawab persoalan-persoalan kehidupannya sendiri karena kehilangan arah dan tujuan hidup (miss-oriented)..

Modernisme akhirnya dirasakan membawa kehampaan dan ketidakbermaknaan hidup. Timbul berbagai kritik dan usaha pencarian baru. Manusia membutuhkan visi baru yang diharapkan membawa kesadaran dan pola kehidupan baru. Dalam hal kesadaran manusia, secara praktis, timbul gejala pencarian makna hidup dan upaya penemuan diri pada kepercayaan-kepercayaan yang sarat dengan spiritualitas. "Organized religion" (agama yang terorganisasi) tidak selamanya dapat memenuhi harapan[17].

Kondisi di atas mengindikasikan bahwa agama telah kehilangan genggaman pengaruhnya atas dunia. Apakah yang menyebabkan melemahnya posisi agama terhadap sains? Menjawab pertanyaan ini, Whitehead memberikan dua alasan. Alasan pertama adalah stagnasi atau kemandegan yang menimpa kehidupan beragama. Kemandegan ini, misalnya, terungkap dari sikap konservatisme dan sikap defensif kaum agamawan dalam menghadapi perubahan-perubahan masyarakat yang diakibatkan oleh perkembangan sains dan teknologi. Sikap defensif ini dalam pandangan Whitehead telah merusak citra kewenangan intelektual para pemikir atau tokoh-tokoh agama. Baginya, agama tidak akan mampu memperoleh kembali daya pengaruhnya atas manusia modern kalau tidak menghadapi tantangan perubahan zaman sebagaimana terjadi dalam sains. Kendati kaidah-kaidah agama itu bersifat abadi, ungkapannya dalam perjalanan sejarah memerlukan perubahan dan penyesuaian. Kemajuan sains dan teknologi tidak perlu dipandang sebagai ancaman untuk agama; sebaliknya kemajuan tersebut dapat merangsang beberapa pemikiran kritis yang akan memperkuat agama[18].

Alasan kedua adalah ketidaksesuaian antara gambaran tentang Tuhan yang secara tradisional cukup banyak diberikan oleh agama-agama yang ada dengan gambaran manusia modern. Tuhan dalam gambaran tradisional adalah bagaikan raja absolut yang selalu harus ditakuti dan dipatuhi titahnya. Dalam gambaran tersebut, kemahakuasaan Tuhan terlalu ditekankan. Padahal, dalam gambaran manusia modern, Tuhan lebih dilihat sebagai kekuasaan yang memberi ruang kebebasan pada manusia untuk memikul tanggung jawab pribadinya[19].

Menurunnya pengaruh dan genggaman agama terhadap manusia modern menyebabkan hilangnya visi keilahian di tengah-tengah mereka. Sesungguhnya apa pun yang diraih manusia modern tidak lebih dari sekedar pengetahuan yang "terpecah-pecah" (fragmented knowledge), tidak utuh lagi, dan bukanlah pengetahuan yang akan mendatangkan kearifan untuk melihat hakikat alam semesta sebagai kesatuan yang tunggal, cermin keesaan dan kemahakuasaan Tuhan. Orang dapat melihat realitas lebih utuh manakala ia berada pada titik ketinggian dan titik pusat. Hanya dengan agamalah, manusia dapat menaiki dan menapaki titik tertinggi dan titik pusat tersebut. Hal ini dikarenakan agama menawarkan orientasi hidup yang dapat membebaskan manusia dari derita alienasi. Dengan agama, seseorang akan digiring menuju eksistensi absolut (Tuhan) dan menepis eksistensi relatif yang selama ini menjadi tujuan utama para petualang di dunia sains modern.

Menimbang Posisi Capra

Krisis spritual yang melanda masyarakat modern tidak muncul begitu saja. Kehadirannya sangat terkait dengan kemenangan supremasi rasionalisme, empirisme, dan positivisme dari dogmatisme agama. Kenyataan ini dapat dipahami, karena abad modern dibangun atas dasar pemisahan antara ilmu pengetahuan dan filsafat dari pengaruh agama (sekularisme). Perpaduan antara rasionalisme dan empirisme dalam satu paket epistemologi melahirkan metode ilmiah (scientific method) yang dianggap mampu menerangkan seluruh gejala alam. Kepercayaan terhadap kemampuan sains itu telah mendorong munculnya krisis global yang berkepanjangan di dalam sejarah umat manusia.

Krisis global yang dihadapi umat manusia di planet ini telah menyentuh hampir seluruh dimensi kehidupan seperti bidang kesehatan, teknologi, ekonomi, politik, ekologi, dan hubungan sosial. Krisis juga melanda dimensi-dimensi intelektual, moral dan spiritual. Dan lebih jauh lagi, krisis-krisis tersebut seakan-akan mengancam ras manusia yang hidup di atas bumi ini[20]. Ancaman terhadap eksistensi ras manusia seakan mendekati titik kenyataan terbukti dengan kondisi dunia yang dilanda kehausan akan kekuasaan dan tingginya tindak kekerasan terhadap sesama manusia. Dalam setiap tahun, milliaran Dollar telah dihabiskan untuk pengeluaran dana militer. Kondisi ini tidak hanya dijumpai di negara-negara maju, bahkan negara-negara miskin pun lebih mementingkan bisnis pembelian senjata dan kapal perang ketimbang peningkatan kualitas pendidikan dan kesehatan. Akibatnya, hampir 15 juta orang setiap tahun meninggal dunia karena kelaparan, 500 juta orang kekurangan gizi, dan 35 persen dari seluruh umat manusia kekurangan air minum bersih[21].

Krisis-krisis global yang disebutkan di atas dapat dilacak secara langsung pada cara pandang dunia (world view) manusia modern. Pandangan dunia yang diterapkan selama ini adalah pandangan dunia mekanistik linier ala Cartesian dan Newtonian. Paradigma Cartesian-Newtonian ini, di satu sisi berhasil mengembangkan sains dan teknologi yang membantu kehidupan manusia, namun di sisi lain mereduksi kompleksitas dan kekayaan kehidupan manusia itu sendiri. Paradigma Cartesian-Newtonian memperlakukan manusia dan sistem sosial seperti mesin besar yang diatur menurut hukum-hukum objektif, mekanis, deterministik, linier, dan materialistik. Cara pandang ini menempatkan materi sebagai dasar dari semua bentuk eksistensi, dan menganggap alam kosmos sebagai suatu kumpulan objek-objek yang terpisah yang terkait menjadi sebuah mesin raksasa. Fenomena yang kompleks selalu dipahami dengan cara mereduksinya menjadi balok-balok bangunan dasarnya dan dengan mencari mekanisme interaksinya. Cara pandang ini dikenal dengan reduksionisme yang telah tertanam sedemikian dalam pada kebudayaan modern. Di antara tokoh-tokoh revolusi ilmiah yang turut membentuk cara pandang  seperti itu adalah Francis Bacon, Copernicus, Galileo, Descartes, dan Newton[22].

Secara sepintas, mengaitkan pembicaraan mengenai sains dan agama dengan Fritjof Capra seakan-akan tidak tepat sasaran. Namun apabila dikaji lebih serius, akan terungkap betapa pentingnya peranan Capra dalam menggugah kesadaran masyarakat sains dan agama tentang krisis global yang sedang melanda umat manusia. Di samping itu, Capra juga memperkenalkan suatu paradigma baru yang dilandasi oleh nuansa kearifan Timur sebagai tawaran alternatif yang perlu dipertimbangkan oleh masyarakat modern dalam menyikapi krisis multi dimensional itu. Kearifan Timur yang ditawarkan oleh Capra tersebut dinilai sarat dengan nuansa spiritualisme yang selama ini telah tercerabut dari kehidupan para ilmuwan. Pada titik ini, terdapat relevansi pemikiran Capra dengan wacana relasi sains dan agama terutama karena adanya keterkaitan otentik antara spiritualisme dengan ajaran agama-agama.

Posisi penting Capra dalam dialog antara sains dan mistisisme (yang dalam hal ini tentunya juga dengan agama) terlihat dari orisinalitas pandangannya dalam memetakan “patologi kultural” yang sedang dihadapi oleh sains kontemporer. Dalam salah satu bukunya, The Tao of Physic, Capra mencoba memetakan problematika sains modern dengan cara menyingkap relasi konsep-konsep dasar fisika modern dengan tradisi-tradisi serta kearifan Timur. Dalam buku itu, Capra memperlihatkan bagaimana kedua tradisi fisika abad ke-20 – teori kuantum dan teori relativitas – yang kedua-duanya memaksa kita untuk memandang dunia seperti dalam cara pandang penganut Hindu, Budha, dan Taoisme.  Dengan kepiawaiannya, Capra berhasil membawa kita pada suatu pendapat yang sama tentang adanya nuansa paralel antara fisika modern dengan mistisisme Timur.  Menurutnya, pandangan dunia Timur juga merupakan pandangan dunia fisika modern. Pandangan-pandangan tersebut mengusung satu gagasan bahwa pemikiran Timur – dan pemikiran mistik pada umumnya – memberikan sebuah latar belakang filosofis yang konsisten dan relevan dengan teori-teori sains kontemporer. Dengan demikian, fisika modern telah melangkah di luar wilayah teknologi, bahwa jalan fisika atau Tao dapat menjadi sebuah jalan setapak yang memiliki nurani, sebuah jalan menuju pengetahun spiritual dan penyadaran diri[23].

Menurut Capra, paralelisme antara sains modern dan mistisisme Timur dapat terjadi karena perbedaan rasio dan meditasi-mistik hanyalah pada cara kerjanya, bukan pada relialibitas dan kompleksitasnya. Baik pemikiran rasional maupun meditasi tetap membutuhkan latihan. Karena itu, menurut Capra, pengalaman mistik tak lebih unik dibandingkan pengalaman yang dibentuk oleh rasionalitas modern. Capra menganalogikan pengalaman mistik-intuitif yang bersifat spontan dengan “keteringatan kita secara spontan akan sesuatu yang selama ini sulit kita ingat” atau “anekdot yang dikisahkan secara linier dan membuat kita mengikutinya sembari berpikir, tapi begitu anekdot tersebut selesai dikisahkan, kita tiba-tiba tertawa”. Tertawa dalam situasi seperti ini merupakan moment enlightenment[24]. Melalui analogi ini, Capra merasa yakin bahwa pengetahuan rasional bisa disejajarkan dengan pengetahuan mistik yang bersifat intuitif.

Refleksi terhadap pengembaraan intelektual Capra, sebagaimana dijelaskan di atas, mengajak kita untuk bersama-sama mengisi kehampaan spiritual sains modern yang ada saat ini. Bila sains modern diisi dengan semangat spiritualisme, maka orientasi sains modern yang selama ini terarah pada sikap materialisme dan hedonisme dapat dikembalikan pada orientasi luhurnya yaitu membantu manusia untuk menjadi lebih manusiawi (insan kamil). Dengan kata lain, terjadinya krisis multidimensional yang membayang-bayangi kita tidak lain hanyalah disebabkan kegagalan para saintis dalam membangun aksiologi sains yang humanis. Dalam kaitan ini, hampir seluruh agama menawarkan aspek spiritualisme dalam ajaran-ajarannya. Dengan demikian, hubungan antara sains dan agama bisa dilakukan melalui penghayatan terhadap aspek-aspek spiritualitas agama yang selanjutnya dijadikan sebagai landasan bagi pengembangan sains modern.

Penutup

Mengakhiri tulisan ini, ada baiknya kita memperhatikan betapa maraknya arus kebangkitan spiritualisme di dunia Barat. Kebangkitan itu bahkan melebihi kebangkitan agama-agama. Bercermin pada gejala ini, lalu pertanyaan yang pantas diajukan kepada mereka adalah mengapa mereka memilih spiritualisme dan bukan salah satu agama sebagai jalan hidup? Dengan logika paling sederhana, pertanyaan ini bisa dijawab bahwa ada semacam trauma terhadap fenomena agama di masa lalu, dimana agama telah mengalami pergeseran makna dan terlembaga sehingga kesakralan agama mengalami erosi. Bahkan agama telah menjadi titik api bagi terciptanya konflik dan perpecahan antar seseama akibat adanya klaim kebenaran (truth claim) antar pemeluknya. Agama tidak lagi memberikan keselamatan dan kasih sayang melainkan persaingan yang berujung pada kesengsaraan.

Dalam konteks ini, para tokoh agama diharapkan dapat lebih arif dalam memetakan problem relasi sains dan agama. Penyalahgunaan kekuasaan agama untuk mengontrol laju perkembangan sains dan teknologi dapat berdampak buruk. Wajah buram relasi sains dan agama di abad pertengahan yang lalu masih membayang-bayangi masyarakat ilmuwan kontemporer saat ini. Penggunaan kuasa kontrol yang terlalu berlebihan dari pihak agama dapat menyebabkan agama akan ditinggalkan oleh para penganutnya. Sebaliknya, pengembangan sains dan teknologi yang tidak menghiraukan ajaran-ajaran agama dapat menimbulkan kehampaan spiritual di kalangan para ilmuwan.

Catatan:

[1] Maurice Bucaille adalah seorang dokter berkebangsaan Prancis yang mencoba memahami ayat-ayat Al-Qur’an melalui pendekatan sains modern. Ia mencoba mencari jawaban terhadap proses penciptaan manusia melalui pendekatan sintesa antara penjelasan sains dan penafsiran Al-Qur’an. Lebih jauh baca, Maurice Bucaille, What is the Origin of Man? The Answer of Science and the Holy Scriptures, (Paris: Seghers, 1984). Langkah Bucaille ini juga diikuti oleh Harun Yahya. Ia menulis sejumlah buku dan memproduksi film-film dokumenter yang memaparkan keselarasan antara ayat-ayat Al-Qur’an dengan penemuan-penemuan sains modern. Di samping itu, Harun Yahya juga menyerang habis-habisan scientific discovery yang diperkenalkan oleh para saintis Barat. Lebih jauh mengenai Harun Yahya, lihat situs pribadinya di; http://www.harunyahya.com/.
[2] Pandangan Carl Sagan dan Edward O. Wilson tentang relasi sains dan agama selengkapnya dapat dilihat dalam, Ian G. Barbour, Juru Bicara Tuhan Antara Sains dan Agama (Bandung: Mizan, 2002), h. 56-59.
[3] Pada mulanya, filsafat sebagai induk ilmu pengetahuan (mother of science) tidak dibedakan dengan satu disiplin ilmu tertentu. Filsafat merupakan payung terhadap seluruh dimensi ilmu pengetahuan yang ada pada masa itu. Itulah sebabnya dalam sejarah sains di dunia Islam kita menemukan tokoh-tokoh filosof yang juga sekaligus saintis. Disamping seorang filosof, Al-Kindi juga merupakan seorang ahli astrologi, kimia, dan optika. Begitu juga Al-Razi dan Ibnu Sina dikenal sebagai ahli kedokteran, kimia, aritmatika, dan geometri. Sumbangan para filosof muslim ini dalam membangun sains modern tidak bisa dipungkiri begitu saja. Mengenai hal ini lihat, Amir Hasan Siddiqi, Studies in Islamic History, (Islamabad: Dacca University Press, 1960), h. 67-84.
[4] Muhammad Abu Ridah (Ed.), Rasail al-Kindi al-Falsafiyyah (Kairo: Dar al-Fikr, 1960), h. 103.
[5] Madjid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam:Sebuah Peta Kronologis (Bandung: Mizan, 2002), h. 81.
[6] Mahmud Qasim, Falsafah Ibn Rusyd wa Atsaruhu fi al-Tafkir al-Gharabi (Sudan: Jami’ah Ummi Durman al-Islamiyah, 1967), h. 14-15.
[7] Ian G. Barbour, Op.Cit., h. 47.
[8] Tokoh ini adalah sahabat pena Darwin yang lama menetap di Kalimantan. Berdasarkan penyelidikannya di bagian Timur kepulauan Indonesia, Wallace memiliki kesimpulan yang sama dengan Darwin. Hasil penyelidikannya itu kemudian dikirim kepada Darwin dalam bentuk essay. Essay itulah kemudian yang mendorong Darwin untuk menerbitkan buku tersebut sebagai karya monumentalnya. Lebih lanjut lihat, Jonathan Howard, Darwin Pencetus Teori Evolusi, (Jakarta: Grafiti, 1994), h. 8-9.
[9] Thomas Robert Malthus adalah seorang sosiolog yang menulis buku Essay on the Principle of Population (Essai Tentang Asas Penduduk).  Pokok pikiran utama yang terdapat dalam buku itu adalah bahwa pertumbuhan penduduk meningkat sesuai dengan deret ukur, sementara penyediaan bahan makanan sesuai dengan deret hitung. Pokok pikiran itu ternyata sejalan dengan teori evolusi Darwin yang di dalamnya terdapat konsep struggle for life (perjuangan untuk hidup). Lebih jauh baca,  Machnun Husein, “Mencari Titik Temu Pemikiran Darwin dan Visi Al-Qur`an”, dalam T. Jacob Ms dkk (ed.), Evolusi Manusia dan Konsepsi Islam,  (Bandung : Gema Risalah Press, 1992), h. 112.
[10] Makhrus Roem, “Pemikiran Modern Teori Evolusi”, dalam T. Jacob Ms dkk (ed.), Evolusi Manusia dan Konsepsi Islam,  h. 106.
[11] Am. Saefuddin dkk (Ed.), Islam untukDisiplin Ilmu Antropologi (Jakarta: Dirjen Binbaga Islam Depag RI, 2001), h. 4-5.
[12] Jhon F. Haught, Science and Religion: From Conflict to Conversation (New York: Pulist Press, 1995), h. 49-50.
[13] Ibid. h. 30.
[14] Moh. Iqbal Ahnaf, “Pergulatan Mencari Model Hubungan Agama dan Sains: Menimbang Tipologi Ian G. Barbour, Jhon F. Haught, dan Willem B. Dress”, Dalam Journal Relief Vol 1, No. 1 Edisi Januari 2003, (Yogyakarta: CRCS Universitas Gadjah Mada), h. 36.
[15] Ian G. Barbour, Op.Cit., h. 40-42.
[16] Selengkapnya mengenai tipologi Haught dapat dilihat dalam, Jhon F. Haught, Op.Cit., h. 9-26.
[17] Ali Maksum, Spiritualitas Abad Modern:Reposisi Islam dalam Kancah Kebangkitan Agama, dalam http://www.geocities.com/HotSprings/6774/j-1.html.
[18] J. Sudarminta, Filsafat Proses: Sebuah Pengantar Sistematik Filsafat Alfred North Whitehead (Yogyakarta: Kanisius, 1991), h. 85.
[19] Ibid., h. 87.
[20] Fritjof Capra, The Turning Point: Science, Society, and The Rising Culture (New York: Bantam Book, 1982), h. 4-5.
[21] Ibid., h. 8-10.
[22] Husein Heriyanto, Paradigma Holistik: Dialog Filsafat, Sains, dan Kehidupan Menurut Shadra dan Whitehead (Jakarta: Teraju, 2003), h. 2-3.
[23] Eko Wijayanto, “The Tao of Physic”, dalam Eko Wijayanto et. al., Visi Baru Kehidupan; Kontribusi Fritjof Capra dalam Revolusi Pengetahuan dan Implikasinya pada Kepemimpinan (Jakarta: PPM, 2002), h. 4-7).
[24] Fritjof Capra, Op.Cit., h. 45-47.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar