Oleh Saleh Daulay
Suatu waktu, di ruang
kelas Filsafat Ilmu, seorang mahasiswa mengajukan pertanyaan yang selama ini
selalu mengganggu alam pikirannya. Pertanyaan singkat yang diajukan adalah
“apakah ilmu agama Islam dapat disebut sebagai ilmu pengetahuan atau sains”.
Dengan sedikit menonjolkan idealismenya, mahasiswa jurusan Aqidah dan Filsafat
itu menimpali bahwa jawaban terhadap pertanyaan tersebut sangat dibutuhkannya
untuk menentukan apakah ia akan tetap melanjutkan kuliah atau berhenti sampai
di situ dan selanjutnya mencari jurusan lain yang dipandang lebih ilmiah.
Mendengar pertanyaan
yang berbau ancaman itu, sang dosen serta merta menjawab bahwa “ilmu agama
Islam merupakan salah satu bidang ilmu pengetahuan atau sains”. Sebagai
tambahan, sang dosen pun menjelaskan tentang ciri-ciri ilmu pengetahuan yang
juga ditemukan di dalam ilmu agama Islam. Ketika sampai pada penjelasan tentang
universalitas ilmu agama Islam, mahasiswa tadi kembali mengangkat tangan
sembari berkata, “menurut saya ilmu agama Islam tidak bersifat universal.
Kebenaran ilmu agama Islam hanya diakui oleh para pemeluknya dan ditolak secara
tegas oleh para pemeluk agama lain. Artinya, jika ilmu agama Islam disuguhkan
kepada para ilmuwan Barat yang beragama lain, tentu saja mereka tidak menerima
itu sebagai sebuah kebenaran. Bukankah ilmu agama Islam bersumber dari
Al-Qur’an dan Hadits? Dan bukankah kebenaran Al-Qur’an dan Hadits tidak diakui
oleh agama lain? Pada titik ini, saya berpendapat bahwa ilmu agama Islam
bukanlah ilmu pengetahuan atau sains karena dia tersekat di sebuah komunitas
masyarakat yang meyakininya”. Dengan penuh kearifan, sang dosen pun menambahkan
jawabannya dengan kaedah-kaedah epistemologi yang dianggapnya mampu memuaskan
mahasiswa kritis itu.
Terlepas dari
kesalahan kontekstual mahasiswa di atas, pertanyaan tersebut mengantarkan kita
pada suatu kesimpulan bahwa wacana relasi sains dan agama masih aktual untuk
dibicarakan. Fenomena kebangkitan Bucaillisme (Maurice Bucaille) dan Harunisme
(Harun Yahya) di tengah-tengah masyarakat muslim didasari oleh semangat agar
umat Islam tetap mengakui superioritas Al-Qur’an di atas kitab-kitab suci agama
lain[1]. Andaikata
mahasiswa tadi menjadi salah seorang pengikut Bucaillisme atau Harunisme,
pertanyaan semacam itu tidak akan mungkin dilontarkannya.
Mengambil contoh
Bucaillisme dan Harunisme bukan berarti dapat menyelesaikan masalah. Sebab
dalam kacamata filsafat sains, pemikiran kedua tokoh ini masih sarat dengan
problem epistemologis yang sulit diselesaikan. Apalagi bila kita melirik
pendapat sebagian ilmuwan lain yang memposisikan sains dan agama di dalam dua
ranah yang berbeda serta dibatasi oleh dinding pembatas yang cukup kokoh.
Sebagai contoh, simak pandangan Carl Sagan, seorang ilmuwan astronomi modern,
yang menuduh kepercayaan Kristen tentang Tuhan sebagai ancaman terhadap kesempurnaan
metode sains yang berlaku secara universal. Begitu juga halnya Edward O. Wilson
yang menyatakan bahwa agama akan digantikan oleh filsafat materialisme ilmiah.
Sebagai seorang sosiobiolog, Wilson berpandangan bahwa agama juga merupakan
produk evolusi sebagaimana halnya evolusi yang terjadi di dalam makhluk hidup[2].
Untuk konteks
Indonesia, wacana relasi sains dan agama semakin mendapat tempat seiring dengan
perubahan status beberapa IAIN menjadi UIN. Perubahan status ini dengan
sendirinya menjadikan institusi tersebut sebagai wahana untuk mengkaji seluruh
dimensi keilmuwan termasuk ilmu-ilmu eksakta, sosial, dan humaniora.
Persinggungan akademis antara agama dengan sains modern dengan sendirinya tidak
terelakkan. Secara sepintas, UIN potensial untuk menumbuhkan harmonisasi antara
sains dan agama. Namun sebaliknya, bila tidak dibina sejak dini, potensi
tersebut justru dapat membuat jurang antara sains dan agama semakin jauh.
Refleksi Historis
Relasi Sains dan Agama
Sejarah awal
perkembangan pemikiran di dunia Islam menunjukkan bahwa para pemikir muslim
tidak bermasalah dengan persoalan hubungan antara filsafat, sains, dan agama.
Al-Kindi sebagai seorang tokoh filosof klasik, misalnya, telah mengangkat
wacana talfiq (perpaduan) antara filsafat[3] dan agama.
Menurutnya, filsafat adalah pengetahuan yang benar (bahtsu ‘an al-haq).
Al-Qur’an yang juga membawa kebenaran tidak mungkin bertentangan dengan
kebenaran yang dihasilkan oleh filsafat. Dengan demikian, orang yang menolak
filsafat dapat dikatakan sebagai orang kafir karena ia telah jauh dari
kebenaran yang menjadi tujuan asasi agama Islam[4].
Para filosof pasca
Al-Kindi sependapat dengan pandangan Al-Kindi tersebut. Teori emanasi yang
ditawarkan oleh Al-Farabi dan Ibnu Sina merupakan contoh konkrit bagaimana
mereka mencoba menjelaskan secara filosofis proses penciptaan alam semesta
tanpa mengusik kemapanan pandangan teologis yang terdapat dalam ajaran Islam.
Dengan filsafat emanasi, perdebatan tentang penciptaan alam semesta antara
teolog, filosof, dan saintis hampir tidak ditemukan. Dalam konteks ini, analisa
rasional para filosof sejajar dengan keyakinan para teolog yang mengambil wahyu
sebagai sumber kebenaran.
Sejak masa itu,
hubungan harmonis antara filsafat, sains, dan agama di dalam khazanah
intelektual Islam tidak pernah mengalami stagnasi. Hingga akhirnya Al-Ghazali
mengumumkan penolakannya terhadap filsafat dalam karya monumentalnya tahafut
al-falasifah. Disamping deklarasi penolakan terhadap filsafat, Al-Ghazali
juga mengklasifikasikan 20 kerancuan berfikir para filosof. Bahkan tiga di
antaranya dianggap isu penting yang dapat mengakibatkan kekafiran (takfir)
para filosof. Tiga isu yang dimaksud adalah pertama, masalah keabadian
alam; kedua, masalah pengetahuan Tuhan tentang hal-hal yang universal
saja dan bukan yang parsial; dan ketiga, masalah kebangkitan manusia
setelah mati secara jasmani[5]. Sebagai
seorang hujjatul Islam, pengaruh kritik Al-Ghazali tersebut begitu
besar. Apalagi kemudian ia mempublikasikan kitab Ihya ‘Ulumuddin
(menghidupkan ilmu-ilmu agama) sebagai alternatif pengganti bagi ilmu-ilmu
filsafat dan keduniaan. Masyarakat Islam yang mayoritas beraliran teologi
‘Asy’ariyah ramai-ramai mengalihkan perhatiannya kepada ilmu-ilmu agama dan
mengabaikan ilmu-ilmu keduniaan. Sejak itu, merebaklah asketisme dan nuansa
kejuhudan di sebagian besar umat Islam. Akibatnya, perkembangan filsafat dan
sains mengalami stagnasi di dunia Islam. Sejumlah kalangan menuding Al-Ghazali
sebagai orang yang paling bertanggung jawab terhadap mundurnya gairah
intelektual umat Islam.
Meskipun pada masa
berikutnya, Ibnu Rusyd mencoba meluruskan pemikiran Al-Ghazali itu dengan
mempublikasikan kitab Tahafut al-Tahafut, namun pengaruhnya tidak begitu
besar dirasakan di dunia Islam. Bahkan sebaliknya, gelombang Averroism
lebih mendapat tempat di tengah-tengah masyarakat Eropa. Lebih ekstrim lagi,
para pengikut setia Ibnu Rusyd bukan hanya dari kalangan ilmuwan dan filosof,
tetapi banyak juga yang berasal dari kalangan gereja ortodoks. Hal ini
dikarenakan pendapat Ibnu Rusyd yang mengakui dua macam kebenaran yaitu
kebenaran filosofis dan kebenaran teologis[6].
Kasus antagonisme
antara filsafat, sains , dan agama tidak hanya ditemukan di dunia Islam. Kasus
yang lebih serius justru mewarnai sejarah intelektual di dunia Barat.
Sebagaimana diketahui, sejak abad pertengahan posisi gereja cukup mendominasi
seluruh aspek kehidupan. Hal ini diperkuat pula oleh berkembangnya teosentrisme
di dalam khazanah filsafat Barat. Buah hasil dari perkembangan itu adalah
terkekanganya rasionalitas dan terkuburnya intelektualitas. Nicoulas Copernicus
merupakan salah seorang korban kekerasan intelektual yang dimotori oleh
kalangan gereja. Sampai akhir hayatnya, hak-hak intelektual Copernicus untuk
mempublikasikan hasil penelitiannya tidak kesampaian karena tertutupnya pintu
bagi mereka yang berbeda dengan gereja.
Tragedi intelektual
ini semakin buruk terutama setelah gereja mengadili Galileo pada tahun 1633.
Pengadilan tersebut berawal dari keberanian Galileo untuk mendukung teori
Copernicus yang menyatakan bahwa bumi dan planet-planet berputar dalam orbitnya
mengelilingi matahari (heliosentris), dan menolak teori Ptolemeus yang
menyatakan bahwa matahari dan planet-planet berputar mengelilingi bumi (geosentris).
Dengan pendapat itu, berarti Galileo secara tegas menolak otoritas ilmiah
Aristoteles yang mendukung astronomi Ptolemeus yang telah tersebar luas di
Eropa sejak abad ke-12. Di samping itu, Galileo juga menentang otoritas
kitab suci yang meyakini bumi sebagai pusat alam semesta. Dan yang lebih tidak
populer lagi adalah tantangan terbuka Galileo terhadap otoritas gereja[7].
Di abad ke-19,
perseteruan antara sains dan agama belum mereda. Pada tahun 1859 Charles
Darwin, seorang biolog asal Inggris, menerbitkan sebuah buku yang berjudul The
Origin of Natural Selection, or The Preservation of Favoured Race in the
Struggle for Life (Asal-usul Makhluk Melalui Seleksi Alam, atau
Kelestarian Ras unggul dalam Perjuangan Hidup). Penerbitan karya itu tidak
lepas dari dorongan dua orang teman dekatnya yaitu Alfred Russel Wallace[8] dan Thomas
Robert Malthus[9].
Terbitnya buku tersebut dianggap sebagai tonggak berdirinya teori Evolusi dan
secara resmi gelar Bapak teori evolusi diberikan kepada Darwin.
Dalam buku tersebut
Darwin menguraikan gagasannya mengenai evolusi dan seleksi alam. Yang
dimaksud dengan seleksi alam adalah bahwa alam mengadakan seleksi terhadap
individu yang hidup di dalamnya. Hanya individu yang dapat menyesuaikan diri
dengan lingkungannya yang akan hidup terus, sedangkan yang tidak akan musnah.
Dengan teori tersebut dapat disimpulkan bahwa teori evolusi berlaku kepada
seluruh makhluk hidup, bukan hanya kepada manusia saja[10].
Seleksi alam dan
teori evolusi yang dikemukakan pada buku pertama Darwin belum menimbulkan
reaksi keras dari kelompok agamawan. Baru setelah buku kedua yang berjudul The
Descent of Man and Selection to Sex diterbitkan pada tahun 1859 reaksi
keras datang dari kalangan Gereja. Reaksi keras itu muncul setelah pengikut
teori Darwin mengekstrapolasikan pengertian evolusi sedemikian rupa,
seolah-olah manusia berasal dari kera. Secara eksplisit Darwin tidak pernah
menyatakan bahwa manusia berasal dari kera, tetapi pengklasifikasian kera
(primat) ke dalam ordo manusia telah memicu kesimpulan seperti itu. Menurut
Darwin, antara manusia dan primat mempunyai persamaan ciri-ciri, adapun
perkerabatan yang paling dekat dengan manusia adalah simpansi dan gorilla,
perbedaannya hanyalah terletak pada susunan hemoglobinnya[11].
Reaksi keras kelompok
agamawan terhadap teori evolusi tidak dibiarkan begitu saja oleh para pendukung
teori ini. Sejak buku Darwin diterbitkan, muncul berbagai ilmuwan yang
memberikan pembelaan dengan argumentasi yang cukup variatif. Di antara ilmuwan
modern yang mendukung gagasan Darwin adalah Richard Dawkins. Dalam buku The
Blind Watchmaker, ahli Biologi Inggris ini menyatakan bahwa faktor
kebetulan dan seleksi alam sudah cukup memadai untuk menjelaskan semua fenomena
keragaman spesies makhluk hidup, termasuk diri kita sendiri. Mengapa kita harus
menciptakan ide tentang Tuhan jika faktor kebetulan dan seleksi alam itu saja
sudah dapat menerangkan semua kreativitas yang ada dalam kisah kehidupan ini?
Pada titik ini, Darwin terbukti bisa menjadi seorang atheis yang lengkap secara
intelektual[12].
Selain teori evolusi,
masih terdapat sejumlah penemuan ilmiah lainnya yang merangsang pecahnya
hubungan sains dan agama. Di antara penemuan ilmiah yang dapat disebut antara
lain bidang astronomi, implikasi fisika kuantum, dan neurosains. Sementara itu,
rekayasa genetika dan kloning merupakan isu terakhir yang sempat mengusik dan
menyita perhatian kelompok agamawan. Dengan demikian, saat ini relasi sains dan
agama masih meninggalkan sejumlah problem yang perlu diselesaikan.
Sesungguhnya
kesulitan unifikasi antara sains dan agama dalam satu disiplin keilmuan lebih
dikarenakan perbedaan domain kedua bidang tersebut. Dari sudut pandang
ontologis, sains memandang realitas sebagai sesuatu yang bersifat positif,
empiris, rasional dan setia pada kaidah hukum alam. Sementara itu, agama
memandang realitas sebagai sesuatu yang bersifat abstrak, batin, spritual, dan
moral. Problematika yang muncul kemudian adalah bahwa perkembangan sains tidak
selalu memperhatikan aspirasi dan pendapat agama. Sains berjalan dalam relnya
sendiri, demikian juga agama berjalan di rel yang lain.
Sementara dari sudut
pandang epistemologis, konvergensi antara sains dan agama juga mengalami
kendala yang cukup besar. Paradigma sains yang bersifat positivistik, empiris,
dan rasional tentu saja tidak sesuai dengan paradigama agama yang bersifat
spritual, metafisis, dan moral. Meskipun berbeda paradigma, namun sebagian
kalangan ada yang menilai bahwa ajaran agama yang bersumber dari wahyu jauh
lebih tinggi posisinya dibandingkan dengan ilmu pengetahuan yang bersumber dari
akal dan rasio manusia. Asumsi ini kemudian memberikan kekuatan bagi agama
untuk selalu mengontrol pencapaian-pencapain dalam bidang sains dan teknologi.
Penemuan-penemuan sains dan teknologi yang dianggap bertentangan dengan ajaran
agama harus dihentikan agar tidak merusak nilai-nilai kesakralan agama yang
benar secara taken for granted. Pada titik ini, antara sains dan agama
tidak menemukan titik pandang yang sama. Padahal seperti kata Einstein, “science
without religion is lame and religion without science is blind”[13].
Paradigma Baru Relasi
Sains dan Agama
Sebagaimana
dijelaskan di atas, relasi sains dan agama telah menjadi topik yang cukup
hangat di kalangan ilmuwan sejak beberapa abad yang lalu. Pada mulanya, relasi
sains dan agama merupakan pembicaraan yang cukup kontroversial di kalangan elit
intelektual dan agamawan. Akan tetapi, kemajuan sains dan teknologi yang cukup dinamis
mengakibatkan meluasnya wacana ini kepada hampir seluruh umat beragama.
Awalnya, hubungan
antara sains dan agama hanya mengambil dua bentuk yaitu konflik dan integrasi.
Akan tetapi, sejalan dengan perkembangan sains, dan adanya upaya untuk menghindari
konflik, banyak pihak yang telah berusaha mencari model hubungan yang dianggap
paling sesuai. Gerakan membangun hubungan harmonis antara sains dan agama telah
berkembang pesat sejak tahun 1990-an. Beberapa buku penting yang memberikan
gambaran pergulatan para ilmuwan untuk mencari model hubungan agama dan sains
yang ideal ramai di pasaran, seperti Ian G. Barbour, Religion in Age of
Science (1990), Nancy Murphy, Theology in the Age of Scientific
Reasoning (1990), Philip Hafner, The Human Factor (1993), Arthur
Peacocke, Theology for a Scientific Age (1993), Jhon F. Haught, Science
and Religion: From Conflict to Conversation (1995), Willem B. Dress, Religion,
Science, and Naturalism (1996), dan lain-lain. Semangat untuk “mengakurkan”
hubungan antara agama dan sains juga tampak misalnya dengan munculnya jurnal Zygon
yang banyak memuat artikel seputar isu agama dan sains[14].
Dari sekian banyak
tokoh yang mencoba memetakan hubungan sains dan agama, tipologi yang
dikembangkan Ian G. Barbour dan Jhon F. Haught dipandang lebih representatif.
Kedua tokoh ini masing-masing memperkenalkan empat macam tipologi yang dapat
mewakili deskripsi relasi sains dan agama. Empat macam tipologi yang
dikemukakan Barbour adalah konflik, independensi, dialog, dan integrasi.
Sementara tipologi yang diperkenalkan Haught adalah konflik, kontras, kontak,
dan konfirmasi.
Dalam tipologinya,
Ian Barbour menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan relasi konflik adalah
pandangan yang menyatakan bahwa sains dan agama tidak hanya berbeda, tetapi
sepenuhnya bertentangan. Sementara independensi adalah pandangan
alternatif yang menyatakan bahwa sains dan agama adalah dua domain independen
yang dapat hidup bersama sepanjang mempertahankan “jarak aman” satu sama lain.
Menurut pandangan ini, semestinya tidak perlu ada konflik karena sains dan agama
berada di domain yang berbeda. Di samping itu, pernyataan sains dan pernyataan
agama memiliki bahasa yang tidak bisa dipertentangkan karena pernyataan
masing-masing melayani fungsi yang berbeda dalam kehidupan manusia dan berusaha
menjawab persoalan yang berbeda. Sedangkan tipologi dialog adalah
pandangan yang mencoba membandingkan metode kedua bidang ini untuk melihat
kemiripan dan perbedaannya. Dan tipologi integrasi adalah pandangan yang
melihat kemitraan yang lebih sistematis dan ekstensif antara sains dan agama
untuk mencari titik temu di antara keduanya[15].
Pada dasarnya,
tipologi yang dibuat Barbour hampir sama dengan tipologi Haught. Hanya saja,
tipologi keempat Haught (konfirmasi) dimaksudkan bukan sebagai pengukuhan atas
doktrin teologis tertentu, melainkan lebih sebagai upaya mempertahankan secara
ilmiah asumsi-asumsi dan latar belakang yang lahir dari teologi[16].
Sementara bagi Barbour, pengertian semacam ini termasuk ke dalam tipologi
dialog.
Setelah melakukan
pemetaan hubungan sains dan agama, langkah berikutnya adalah menentukan mana di
antara keempat tipologi itu yang dianggap paling baik. Sebagian orang menilai
bahwa integrasi merupakan tipologi yang paling ideal di antara keempat tipologi
tersebut. Padahal, apabila diteliti lebih jauh, usaha untuk mengintegrasikan
antara sains dan agama juga dapat menimbulkan masalah terutama bagi agama.
Sebagai contoh, apabila seorang saintis mencoba mencari justifikasi terhadap
sebuah penemuan sains di dalam teks-teks agama, maka suatu ketika agama bisa
saja ditinggalkan orang. Hal ini disebabkan sifat dan karakteristik sains yang berkembang
sangat dinamis. Penemuan ilmiah hari ini bisa saja diruntuhkan oleh penemuan
ilmiah besok hari. Sementara itu, tidak ada satu jaminan pun yang menyatakan
bahwa penemuan ilmiah besok hari pasti sesuai dengan teks-teks agama
sebagaimana yang dialami oleh penemuan ilmiah yang lalu. Kondisi inilah yang
terjadi pada peristiwa pengadilan Galileo yang telah diceritakan di atas. Dan
bisa jadi, kegagalan proyek Islamisasi ilmu yang digagas oleh sekelompok
sarjana muslim seperti Fazlur Rahman, Ismail Razi al-Faruqi, Naquib Al-Attas,
dan lain-lain juga dikarenakan sulitnya untuk mengintegrasikan antara sains dan
agama. Dengan kata lain, mengintegrasikan sains dan agama sama sulitnya dengan
membiarkan kedua kubu tersebut tetap dalam posisi konflik.
Dalam beberapa
kesempatan, Barbour dan Haught menunjukkan kecenderungan mereka pada model
independen/konfirmasi dan dialog/kontak. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah
apakah kedua model tersebut merupakan semata-mata cara untuk menciptakan
hubungan harmonis antara sains dan agama? Menjawab pertanyaan itu, Haught dalam
salah satu kuliahnya di Yogyakarta beberapa waktu lalu menjelaskan bahwa
keempat tipologi itu masih relevan untuk dijadikan sebagai cara pandang dalam
melihat hubungan sains dan agama. Hanya saja, yang perlu diperkuat adalah basis
argumentasi yang mendukung terhadap salah satu pilihan tipologi. Menurutnya,
bila kita melangkah maju menelusuri argumen-argumen itu, maka fragmen-fragmen
dari masing-masing pendekatan akan bersatu padu menjadi sebuah gambaran yang
lebih penuh dan lebih koheren.
Krisis Spritual Para
Saintis Modern
Salah satu urgensi
membicarakan tipologi hubungan sains dan agama di abad modern ini adalah untuk
memperkecil gerakan ateisme dan krisis spritual di kalangan saintis modern.
Kemajuan sains dan teknologi yang demikian pesat seakan-akan mengantarkan para
saintis pada satu kesimpulan bahwa kehidupan dunia tidak lagi begitu menarik
untuk diperbincangkan. Betapa tidak, hampir seluruh realitas telah dapat
diterangkan secara jelas oleh penemuan-penemuan sains. Terlebih lagi jika dunia
dilihat dengan menggunakan formula matematis gaya Albert Einstein atau Stephen
Hawking, maka bisa jadi yang kita jumpai adalah sebuah dunia yang sudah
selesai. Artinya, manusia telah merasa berhasil menyadap the mind of God,
sehingga Tuhan memang telah tiada. Yang ada hanyalah konstruksi dan persepsi
manusia sebagaimana dinyatakan oleh Nietzsche atau Karl Marx.
Dengan demikian, abad
modern adalah zaman ketika manusia menemukan dirinya sebagai kekuatan yang dapat
menyelesaikan persoalan-persoalan hidup. Manusia dipandang sebagai makhluk yang
hebat, yang independen dari Tuhan dan alam. Manusia modern sengaja melepaskan
diri dari keterikatannya dengan Tuhan (theomosphisme), untuk selanjutnya
membangun tatanan manusia yang semata-mata berpusat pada manusia (antropomorphisme).
Manusia menjadi tuan atas nasibnya sendiri, yang mengakibatkan terputusnya dari
nilai-nilai spiritual. Akibatnya, manusia modern tidak mampu menjawab
persoalan-persoalan kehidupannya sendiri karena kehilangan arah dan tujuan
hidup (miss-oriented)..
Modernisme akhirnya
dirasakan membawa kehampaan dan ketidakbermaknaan hidup. Timbul berbagai kritik
dan usaha pencarian baru. Manusia membutuhkan visi baru yang diharapkan membawa
kesadaran dan pola kehidupan baru. Dalam hal kesadaran manusia, secara praktis,
timbul gejala pencarian makna hidup dan upaya penemuan diri pada
kepercayaan-kepercayaan yang sarat dengan spiritualitas. "Organized
religion" (agama yang terorganisasi) tidak selamanya dapat memenuhi
harapan[17].
Kondisi di atas
mengindikasikan bahwa agama telah kehilangan genggaman pengaruhnya atas dunia.
Apakah yang menyebabkan melemahnya posisi agama terhadap sains? Menjawab
pertanyaan ini, Whitehead memberikan dua alasan. Alasan pertama adalah stagnasi
atau kemandegan yang menimpa kehidupan beragama. Kemandegan ini, misalnya,
terungkap dari sikap konservatisme dan sikap defensif kaum agamawan dalam
menghadapi perubahan-perubahan masyarakat yang diakibatkan oleh perkembangan
sains dan teknologi. Sikap defensif ini dalam pandangan Whitehead telah merusak
citra kewenangan intelektual para pemikir atau tokoh-tokoh agama. Baginya,
agama tidak akan mampu memperoleh kembali daya pengaruhnya atas manusia modern
kalau tidak menghadapi tantangan perubahan zaman sebagaimana terjadi dalam
sains. Kendati kaidah-kaidah agama itu bersifat abadi, ungkapannya dalam
perjalanan sejarah memerlukan perubahan dan penyesuaian. Kemajuan sains dan
teknologi tidak perlu dipandang sebagai ancaman untuk agama; sebaliknya
kemajuan tersebut dapat merangsang beberapa pemikiran kritis yang akan
memperkuat agama[18].
Alasan kedua adalah
ketidaksesuaian antara gambaran tentang Tuhan yang secara tradisional cukup
banyak diberikan oleh agama-agama yang ada dengan gambaran manusia modern.
Tuhan dalam gambaran tradisional adalah bagaikan raja absolut yang selalu harus
ditakuti dan dipatuhi titahnya. Dalam gambaran tersebut, kemahakuasaan Tuhan
terlalu ditekankan. Padahal, dalam gambaran manusia modern, Tuhan lebih dilihat
sebagai kekuasaan yang memberi ruang kebebasan pada manusia untuk memikul
tanggung jawab pribadinya[19].
Menurunnya pengaruh
dan genggaman agama terhadap manusia modern menyebabkan hilangnya visi
keilahian di tengah-tengah mereka. Sesungguhnya apa pun yang diraih manusia
modern tidak lebih dari sekedar pengetahuan yang "terpecah-pecah" (fragmented
knowledge), tidak utuh lagi, dan bukanlah pengetahuan yang akan
mendatangkan kearifan untuk melihat hakikat alam semesta sebagai kesatuan yang
tunggal, cermin keesaan dan kemahakuasaan Tuhan. Orang dapat melihat realitas
lebih utuh manakala ia berada pada titik ketinggian dan titik pusat. Hanya dengan
agamalah, manusia dapat menaiki dan menapaki titik tertinggi dan titik pusat
tersebut. Hal ini dikarenakan agama menawarkan orientasi hidup yang dapat
membebaskan manusia dari derita alienasi. Dengan agama, seseorang akan digiring
menuju eksistensi absolut (Tuhan) dan menepis eksistensi relatif yang selama
ini menjadi tujuan utama para petualang di dunia sains modern.
Menimbang Posisi
Capra
Krisis spritual yang
melanda masyarakat modern tidak muncul begitu saja. Kehadirannya sangat terkait
dengan kemenangan supremasi rasionalisme, empirisme, dan positivisme dari
dogmatisme agama. Kenyataan ini dapat dipahami, karena abad modern dibangun
atas dasar pemisahan antara ilmu pengetahuan dan filsafat dari pengaruh agama
(sekularisme). Perpaduan antara rasionalisme dan empirisme dalam satu paket
epistemologi melahirkan metode ilmiah (scientific method) yang dianggap
mampu menerangkan seluruh gejala alam. Kepercayaan terhadap kemampuan sains itu
telah mendorong munculnya krisis global yang berkepanjangan di dalam sejarah
umat manusia.
Krisis global yang
dihadapi umat manusia di planet ini telah menyentuh hampir seluruh dimensi
kehidupan seperti bidang kesehatan, teknologi, ekonomi, politik, ekologi, dan
hubungan sosial. Krisis juga melanda dimensi-dimensi intelektual, moral dan
spiritual. Dan lebih jauh lagi, krisis-krisis tersebut seakan-akan mengancam
ras manusia yang hidup di atas bumi ini[20].
Ancaman terhadap eksistensi ras manusia seakan mendekati titik kenyataan
terbukti dengan kondisi dunia yang dilanda kehausan akan kekuasaan dan
tingginya tindak kekerasan terhadap sesama manusia. Dalam setiap tahun,
milliaran Dollar telah dihabiskan untuk pengeluaran dana militer. Kondisi ini
tidak hanya dijumpai di negara-negara maju, bahkan negara-negara miskin pun
lebih mementingkan bisnis pembelian senjata dan kapal perang ketimbang
peningkatan kualitas pendidikan dan kesehatan. Akibatnya, hampir 15 juta orang
setiap tahun meninggal dunia karena kelaparan, 500 juta orang kekurangan gizi,
dan 35 persen dari seluruh umat manusia kekurangan air minum bersih[21].
Krisis-krisis global
yang disebutkan di atas dapat dilacak secara langsung pada cara pandang dunia (world
view) manusia modern. Pandangan dunia yang diterapkan selama ini adalah
pandangan dunia mekanistik linier ala Cartesian dan Newtonian. Paradigma
Cartesian-Newtonian ini, di satu sisi berhasil mengembangkan sains dan
teknologi yang membantu kehidupan manusia, namun di sisi lain mereduksi
kompleksitas dan kekayaan kehidupan manusia itu sendiri. Paradigma
Cartesian-Newtonian memperlakukan manusia dan sistem sosial seperti mesin besar
yang diatur menurut hukum-hukum objektif, mekanis, deterministik, linier, dan
materialistik. Cara pandang ini menempatkan materi sebagai dasar dari semua
bentuk eksistensi, dan menganggap alam kosmos sebagai suatu kumpulan
objek-objek yang terpisah yang terkait menjadi sebuah mesin raksasa. Fenomena
yang kompleks selalu dipahami dengan cara mereduksinya menjadi balok-balok
bangunan dasarnya dan dengan mencari mekanisme interaksinya. Cara pandang ini
dikenal dengan reduksionisme yang telah tertanam sedemikian dalam pada
kebudayaan modern. Di antara tokoh-tokoh revolusi ilmiah yang turut membentuk
cara pandang seperti itu adalah Francis Bacon, Copernicus, Galileo,
Descartes, dan Newton[22].
Secara sepintas,
mengaitkan pembicaraan mengenai sains dan agama dengan Fritjof Capra
seakan-akan tidak tepat sasaran. Namun apabila dikaji lebih serius, akan
terungkap betapa pentingnya peranan Capra dalam menggugah kesadaran masyarakat
sains dan agama tentang krisis global yang sedang melanda umat manusia. Di
samping itu, Capra juga memperkenalkan suatu paradigma baru yang dilandasi oleh
nuansa kearifan Timur sebagai tawaran alternatif yang perlu dipertimbangkan
oleh masyarakat modern dalam menyikapi krisis multi dimensional itu. Kearifan
Timur yang ditawarkan oleh Capra tersebut dinilai sarat dengan nuansa
spiritualisme yang selama ini telah tercerabut dari kehidupan para ilmuwan.
Pada titik ini, terdapat relevansi pemikiran Capra dengan wacana relasi sains
dan agama terutama karena adanya keterkaitan otentik antara spiritualisme
dengan ajaran agama-agama.
Posisi penting Capra
dalam dialog antara sains dan mistisisme (yang dalam hal ini tentunya juga
dengan agama) terlihat dari orisinalitas pandangannya dalam memetakan “patologi
kultural” yang sedang dihadapi oleh sains kontemporer. Dalam salah satu
bukunya, The Tao of Physic, Capra mencoba memetakan problematika sains
modern dengan cara menyingkap relasi konsep-konsep dasar fisika modern dengan
tradisi-tradisi serta kearifan Timur. Dalam buku itu, Capra memperlihatkan
bagaimana kedua tradisi fisika abad ke-20 – teori kuantum dan teori relativitas
– yang kedua-duanya memaksa kita untuk memandang dunia seperti dalam cara
pandang penganut Hindu, Budha, dan Taoisme. Dengan kepiawaiannya, Capra
berhasil membawa kita pada suatu pendapat yang sama tentang adanya nuansa
paralel antara fisika modern dengan mistisisme Timur. Menurutnya,
pandangan dunia Timur juga merupakan pandangan dunia fisika modern.
Pandangan-pandangan tersebut mengusung satu gagasan bahwa pemikiran Timur – dan
pemikiran mistik pada umumnya – memberikan sebuah latar belakang filosofis yang
konsisten dan relevan dengan teori-teori sains kontemporer. Dengan demikian,
fisika modern telah melangkah di luar wilayah teknologi, bahwa jalan fisika
atau Tao dapat menjadi sebuah jalan setapak yang memiliki nurani, sebuah
jalan menuju pengetahun spiritual dan penyadaran diri[23].
Menurut Capra,
paralelisme antara sains modern dan mistisisme Timur dapat terjadi karena
perbedaan rasio dan meditasi-mistik hanyalah pada cara kerjanya, bukan pada
relialibitas dan kompleksitasnya. Baik pemikiran rasional maupun meditasi tetap
membutuhkan latihan. Karena itu, menurut Capra, pengalaman mistik tak lebih
unik dibandingkan pengalaman yang dibentuk oleh rasionalitas modern. Capra
menganalogikan pengalaman mistik-intuitif yang bersifat spontan dengan
“keteringatan kita secara spontan akan sesuatu yang selama ini sulit kita
ingat” atau “anekdot yang dikisahkan secara linier dan membuat kita
mengikutinya sembari berpikir, tapi begitu anekdot tersebut selesai dikisahkan,
kita tiba-tiba tertawa”. Tertawa dalam situasi seperti ini merupakan moment
enlightenment[24].
Melalui analogi ini, Capra merasa yakin bahwa pengetahuan rasional bisa
disejajarkan dengan pengetahuan mistik yang bersifat intuitif.
Refleksi terhadap
pengembaraan intelektual Capra, sebagaimana dijelaskan di atas, mengajak kita
untuk bersama-sama mengisi kehampaan spiritual sains modern yang ada saat ini.
Bila sains modern diisi dengan semangat spiritualisme, maka orientasi sains
modern yang selama ini terarah pada sikap materialisme dan hedonisme dapat
dikembalikan pada orientasi luhurnya yaitu membantu manusia untuk menjadi lebih
manusiawi (insan kamil). Dengan kata lain, terjadinya krisis
multidimensional yang membayang-bayangi kita tidak lain hanyalah disebabkan
kegagalan para saintis dalam membangun aksiologi sains yang humanis. Dalam
kaitan ini, hampir seluruh agama menawarkan aspek spiritualisme dalam
ajaran-ajarannya. Dengan demikian, hubungan antara sains dan agama bisa
dilakukan melalui penghayatan terhadap aspek-aspek spiritualitas agama yang
selanjutnya dijadikan sebagai landasan bagi pengembangan sains modern.
Penutup
Mengakhiri tulisan
ini, ada baiknya kita memperhatikan betapa maraknya arus kebangkitan
spiritualisme di dunia Barat. Kebangkitan itu bahkan melebihi kebangkitan
agama-agama. Bercermin pada gejala ini, lalu pertanyaan yang pantas diajukan
kepada mereka adalah mengapa mereka memilih spiritualisme dan bukan salah satu
agama sebagai jalan hidup? Dengan logika paling sederhana, pertanyaan ini bisa
dijawab bahwa ada semacam trauma terhadap fenomena agama di masa lalu, dimana
agama telah mengalami pergeseran makna dan terlembaga sehingga kesakralan agama
mengalami erosi. Bahkan agama telah menjadi titik api bagi terciptanya konflik
dan perpecahan antar seseama akibat adanya klaim kebenaran (truth claim)
antar pemeluknya. Agama tidak lagi memberikan keselamatan dan kasih sayang
melainkan persaingan yang berujung pada kesengsaraan.
Dalam konteks ini,
para tokoh agama diharapkan dapat lebih arif dalam memetakan problem relasi
sains dan agama. Penyalahgunaan kekuasaan agama untuk mengontrol laju
perkembangan sains dan teknologi dapat berdampak buruk. Wajah buram relasi
sains dan agama di abad pertengahan yang lalu masih membayang-bayangi
masyarakat ilmuwan kontemporer saat ini. Penggunaan kuasa kontrol yang terlalu
berlebihan dari pihak agama dapat menyebabkan agama akan ditinggalkan oleh para
penganutnya. Sebaliknya, pengembangan sains dan teknologi yang tidak
menghiraukan ajaran-ajaran agama dapat menimbulkan kehampaan spiritual di
kalangan para ilmuwan.
Catatan:
[1] Maurice Bucaille adalah seorang dokter berkebangsaan
Prancis yang mencoba memahami ayat-ayat Al-Qur’an melalui pendekatan sains
modern. Ia mencoba mencari jawaban terhadap proses penciptaan manusia melalui
pendekatan sintesa antara penjelasan sains dan penafsiran Al-Qur’an. Lebih jauh
baca, Maurice Bucaille, What is the Origin of Man? The Answer of Science and
the Holy Scriptures, (Paris: Seghers, 1984). Langkah Bucaille ini juga
diikuti oleh Harun Yahya. Ia menulis sejumlah buku dan memproduksi film-film
dokumenter yang memaparkan keselarasan antara ayat-ayat Al-Qur’an dengan
penemuan-penemuan sains modern. Di samping itu, Harun Yahya juga menyerang
habis-habisan scientific discovery yang diperkenalkan oleh para saintis
Barat. Lebih jauh mengenai Harun Yahya, lihat situs pribadinya di; http://www.harunyahya.com/.
[2] Pandangan Carl Sagan dan Edward O. Wilson tentang relasi
sains dan agama selengkapnya dapat dilihat dalam, Ian G. Barbour, Juru
Bicara Tuhan Antara Sains dan Agama (Bandung: Mizan, 2002), h. 56-59.
[3] Pada mulanya, filsafat sebagai induk ilmu pengetahuan (mother
of science) tidak dibedakan dengan satu disiplin ilmu tertentu. Filsafat
merupakan payung terhadap seluruh dimensi ilmu pengetahuan yang ada pada masa
itu. Itulah sebabnya dalam sejarah sains di dunia Islam kita menemukan
tokoh-tokoh filosof yang juga sekaligus saintis. Disamping seorang filosof,
Al-Kindi juga merupakan seorang ahli astrologi, kimia, dan optika. Begitu juga
Al-Razi dan Ibnu Sina dikenal sebagai ahli kedokteran, kimia, aritmatika, dan
geometri. Sumbangan para filosof muslim ini dalam membangun sains modern tidak
bisa dipungkiri begitu saja. Mengenai hal ini lihat, Amir Hasan Siddiqi,
Studies in Islamic History, (Islamabad: Dacca University Press, 1960), h. 67-84.
[6] Mahmud Qasim, Falsafah Ibn Rusyd wa Atsaruhu fi
al-Tafkir al-Gharabi (Sudan: Jami’ah Ummi Durman al-Islamiyah, 1967), h.
14-15.
[8] Tokoh ini adalah sahabat pena Darwin yang lama menetap di
Kalimantan. Berdasarkan penyelidikannya di bagian Timur kepulauan Indonesia,
Wallace memiliki kesimpulan yang sama dengan Darwin. Hasil penyelidikannya itu
kemudian dikirim kepada Darwin dalam bentuk essay. Essay itulah kemudian yang
mendorong Darwin untuk menerbitkan buku tersebut sebagai karya monumentalnya.
Lebih lanjut lihat, Jonathan Howard, Darwin Pencetus Teori Evolusi,
(Jakarta: Grafiti, 1994), h. 8-9.
[9] Thomas Robert Malthus adalah seorang sosiolog yang menulis
buku Essay on the Principle of Population (Essai Tentang Asas
Penduduk). Pokok pikiran utama yang terdapat dalam buku itu adalah bahwa
pertumbuhan penduduk meningkat sesuai dengan deret ukur, sementara penyediaan
bahan makanan sesuai dengan deret hitung. Pokok pikiran itu ternyata sejalan
dengan teori evolusi Darwin yang di dalamnya terdapat konsep struggle for
life (perjuangan untuk hidup). Lebih jauh baca, Machnun Husein,
“Mencari Titik Temu Pemikiran Darwin dan Visi Al-Qur`an”, dalam T. Jacob Ms dkk
(ed.), Evolusi Manusia dan Konsepsi Islam, (Bandung : Gema Risalah
Press, 1992), h. 112.
[10] Makhrus Roem, “Pemikiran Modern Teori Evolusi”, dalam T.
Jacob Ms dkk (ed.), Evolusi Manusia dan Konsepsi Islam, h. 106.
[11] Am. Saefuddin dkk (Ed.), Islam untukDisiplin Ilmu
Antropologi (Jakarta: Dirjen Binbaga Islam Depag RI, 2001), h. 4-5.
[12] Jhon F. Haught, Science and Religion: From Conflict to
Conversation (New York: Pulist Press, 1995), h. 49-50.
[14] Moh. Iqbal Ahnaf, “Pergulatan Mencari Model Hubungan Agama
dan Sains: Menimbang Tipologi Ian G. Barbour, Jhon F. Haught, dan Willem B.
Dress”, Dalam Journal Relief Vol 1, No. 1 Edisi Januari 2003,
(Yogyakarta: CRCS Universitas Gadjah Mada), h. 36.
[17] Ali Maksum, Spiritualitas Abad Modern:Reposisi Islam
dalam Kancah Kebangkitan Agama, dalam http://www.geocities.com/HotSprings/6774/j-1.html.
[18] J. Sudarminta, Filsafat Proses: Sebuah Pengantar
Sistematik Filsafat Alfred North Whitehead (Yogyakarta: Kanisius, 1991), h.
85.
[20] Fritjof Capra, The Turning Point: Science, Society, and
The Rising Culture (New York: Bantam Book, 1982), h. 4-5.
[22] Husein Heriyanto, Paradigma Holistik: Dialog Filsafat,
Sains, dan Kehidupan Menurut Shadra dan Whitehead (Jakarta: Teraju, 2003),
h. 2-3.
[23] Eko Wijayanto, “The Tao of Physic”, dalam Eko Wijayanto et.
al., Visi Baru Kehidupan; Kontribusi Fritjof Capra dalam Revolusi
Pengetahuan dan Implikasinya pada Kepemimpinan (Jakarta: PPM, 2002), h.
4-7).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar