Pagi
itu, matahari memancarkan benang-benang cahaya keemasan di atas Baitul Haram,
menyapa ramah pelatarannya yang suci. Di Baitullah, sekelompok sisa-sisa
shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tokoh-tokoh
tabi’in tengah mengharumkan suasana dengan lantunan tahlil dan takbir,
menyejukkan sudut-sudutnya dengan doa-doa yang shalih. Mereka
membentuk halaqah-halaqah, berkelompok-kelompok di sekeliling Ka’bah agung yang
tegak berdiri di tengah Baitul Haram dengan kemegahan dan keagungannya. Mereka
memanjakan pandangan matanya dengan keindahannya yang menakjubkan dan berbagi
cerita di antara mereka, tanpa senda gurau yang mengandung dosa.
Di
dekat rukun Yamani, duduklah empat remaja yang tampan rupawan, berasal dari
keluarga yang mulia. Seakan-akan mereka adalah bagian dari perhiasan masjid,
bersih pakaiannya dan menyatu hatinya. Keempat remaja itu adalah Abdullah bin
Zubair dan saudaranya yang bernama Mush’ab bin Zubair, saudaranya lagi
bernama Urwah bin Zubair dan
satu lagi Abdul Malik bin Marwan. Pembicaraan mereka semakin serius. Kemudian
seorang di antara mereka mengusulkan agar masing-masing mengemukakan cita-cita
yang didambakannya. Maka khayalan mereka melambung tinggi ke alam luas dan
cita-cita mereka berputar mengitari taman hasrat mereka yang subur.
Mulailah
Abdullah bin Zubair angkat bicara: “Cita-citaku
adalah menguasai seluruh Hijaz dan menjadi khalifahnya.” Saudaranya, Mus’ab
menyusulnya: “Keinginanku adalah dapat
menguasai dua wilayah Irak dan tak ada yang merongrong kekuasaanku.” Giliran
Abdul Malik bin Marwan berkata, “Bila
kalian berdua sudah merasa cukup dengan itu, maka aku tidak akan puas sebelum
bisa menguasai seluruh dunia dan menjadi khalifah setelah Mu’awiyah bin Abi
Sufyan.” Sementara itu Urwah diam seribu bahasa, tak berkata sepatah pun.
Semua mendekati dan bertanya, “Bagaimana
denganmu, apa cita-citamu kelak wahai Urwah?” Beliau berkata, “Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberkahi
semua cita-cita dari urusan dunia kalian, aku ingin menjadi alim [orang berilmu
yang mau beramal], sehingga orang-orang akan belajar dan mengambil ilmu tentang
kitab Rabb-nya, sunah Nabi-Nya dan hukum-hukum agamanya dariku, lalu aku
berhasil di akhirat dan memasuki surga dengan ridha Allah Subhanahu wa Ta’ala.”
Hari-hari
berganti serasa cepat. Kini Abdullah bin Zubair dibai’at menjadi khalifah
menggantikan Yazid bin Mu’awiyah yang telah meninggal. Dia menjadi hakim atas
Hijaz, Mesir, Yaman, Khurasan, dan Irak yang pada akhirnya terbunuh di Ka’bah,
tak jauh dari tempatnya mengungkapkan cita-cita dahulu. Sedangkan Mus’ab bin
Zubair telah menguasai Irak sepeninggal saudaranya Abdullah dan akhirnya juga
terbunuh ketika mempertahankan wilayah kekuasaannya. Adapun Abdul Malik bin
Marwan, kini menjadi khalifah setelah terbunuhnya Abdullah bin Zubair dan
saudaranya Mus’ab, setelah keduanya gugur di tangan pasukannya. Akhirnya, dia
berhasil menjadi raja dunia terbesar pada masanya.
Bagaimana
halnya dengan Urwah bin Zubair? Mari kita ikuti kisahnya dari
awal? Beliau lahir satu tahun sebelum berakhirnya masa khilafah Umar Bin
Khattab. Dalam sebuah rumah yang paling mulia di kalangan kaum muslimin dan
paling luhur martabatnya. Adapun ayahnya bernama Zubair bin
Awwam, “al-Hawari” (pembela) Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam dan orang pertama yang menghunus pedangnya dalam Islam serta
termasuk salah satu di antara sepuluh orang yang dijamin masuk surga. Sedangkan
ibunya bernama Asma binti Abu Bakar Ibn Quhafah yang dijuluki dzatun nithaqain
[pemilik dua ikat pinggang]. Kakek beliau dari jalur ibu adalah Abu Bakar,
khalifah pertama yang menemani Rasulullah di sebuah goa. Sedangkan nenek dari
jalur ayahnya adalah Shafiyah binti Abdul Muthalib yang juga bibi Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. Bibinya adalah Aisyah binti Abu Bakar, bahkan dengan
tangan Urwah bin Zubair sendirilah yang turun ke liang lahat untuk meletakkan
jenazah ummul Mukminin.
Maka
siapa lagi kiranya yang lebih unggul nasabnya dari beliau? Adakah kemuliaan di
atasnya selain kemuliaan iman dan kewibawaan Islam? Demi merealisasikan
cita-cita yang didambakan dan harapan kepada Allah yang diutarakan di sisi
Ka’bah yang agung tersebut, beliau amat gigih dalam usahanya mencari ilmu. Maka
beliau mendatangi dan menimbanya dari sisa-sisa para shahabat Rasulullah yang
masih hidup. Beliau mendatangi rumah demi rumah mereka, shalat di belakang
mereka, menghadiri majelis-majelis mereka. Beliau meriyawatkan hadis dari Ali
bin Abi Thalib Karramallahu Wajhah yang adalah washi-nya Rasulullah,
Abdurrahman bin Auf, Zaid bin Tsabit, Abu Ayyub al-Anshari, Usamah bin Zaid,
Sa’id bin Zaid, Abu Hurairah, Abdullah bin Abbas, Nu’man bin Basyir dan banyak
pula mengambil dari bibinya, Aisyah. Pada gilirannya nanti, beliau berhasil
menjadi satu di antara fuqaha sab’ah (tujuh ahli fikih)
Madinah yang menjadi sandaran kaum muslimin dalam urusan agama.
Para
pemimpin yang shalih banyak meminta pertimbangan kepada beliau baik tentang
urusan ibadah maupun negara karena kelebihan yang Allah berikan kepada beliau.
Sebagai contohnya adalah Umar bin Abdul Aziz. Ketika beliau diangkat sebagai
gubernur di Madinah pada masa al-Walid bin Abdul Malik, orang-orang pun
berdatangan untuk memberikan ucapan selamat kepada beliau.
Usai
shalat zuhur, Umar bin Abdul Aziz memanggil sepuluh fuqaha Madinah yang
dipimpin oleh Urwah bin Zubair. Ketika sepuluh ulama tersebut telah berada di
sisinya, maka beliau melapangkan majlis bagi mereka serta memuliakannya.
Setelah bertahmid kepada yang berhak dipuji beliau berkata, “Saya mengundang Anda semua untuk suatu amal
yang banyak pahalanya, yang mana saya mengharapkan Anda semua agar sudi
membantu dalam kebenaran, saya tidak ingin memutuskan suatu masalah kecuali
setelah mendengarkan pendapat Anda semua atau seorang yang hadir di antara kalian.
Bila kalian melihat seseorang mengganggu orang lain atau pejabat yang melakukan
kezhaliman, maka saya mohon dengan tulus agar Anda sudi melaporkannya kepada
saya.” Kemudian Urwah mendoakan baginya keberuntungan dan memohon kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala, senantiasa bersanding dengan Kitabullah
dan tekun membacanya. Beliau mengkhatamkan seperempat al Quran setiap siang
dengan membuka mushhaf, lalu shalat malam membaca ayat-ayat al Quran dengan
hafalan. Tak pernah beliau meninggalkan hal itu sejak menginjak remaja hingga
wafatnya melainkan sekali saja. Yakni ketika peristiwa mengharukan yang
sebentar lagi akan kita baca.
Dengan
menunaikan shalat, Urwah memperolah ketenangan jiwa, kesejukan pandangan dan
surga di dunia. Beliau tunaikan sebagus mungkin, beliau tekuni rukun-rukunnya
secara sempurna dan beliau panjangkan shalatnya sedapat mungkin. Telah
diriwayatkan bahwa beliau pernah melihat seseorang menunaikan shalat secepat
kilat. Setelah selesai, dipanggilnya orang tersebut dan ditanya, “Wahai anak saudaraku, apakah engkau tidak
memerlukan apa-apa dari Rabb-mu Yang Maha Suci? Demi Allah, aku memohon kepada
Rabb-ku segala sesuatu sampai dalam urusan garam.”
Urwah
bin Zubair radhiyallahu ‘anhu adalah seorang yang ringan
tangan, longgar dan dermawan. Di antara bukti kedermawanannya itu adalah
manakala beliau memiliki sebidang kebun yang luas di Madinah dengan air
sumurnya yang tawar, pepohonan yang rindang serta buahnya yang lebat. Beliau
pasang pagar yang mengelilinginya untuk menjaga kerusakannya dari
binatang-binatang dan anak-anak yang usil. Hingga tatkala buah telah masak dan
membangkitkan selera bagi yang memandangnya, dibukalah beberapa pintu sebagai
jalan masuk bagi siapapun yang menghendakinya. Begitulah, orang-orang keluar
masuk kebun Urwah sambil merasakan lezatnya buah-buahan yang masak
sepuas-puasnya dan membawa sesuai dengan keinginannya. Setiap memasuki kebun,
beliau mengulang-ulang firman Allah:
وَلَوْلَا إِذْ دَخَلْتَ جَنَّتَكَ قُلْتَ
مَا شَاء اللَّهُ لَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ
“Dan
mengapa kamu tidak mengatakan waktu kamu memasuki kebunmu “Maasyaa Allah, laa
quwwata illaa billah (sungguh atas kehendak Allah semua ini terwujud, tiada
kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah).” (QS. Al-Kahfi: 39)
Suatu
masa di zaman khalifah al-Walid bin Abdul Malik, Allah berkehendak menguji
Urwah dengan suatu cobaan yang tak seorang pun mampu bertahan dan tegar selain
orang yang hatinya subur dengan keimanan dan penuh dengan keyakinan. Tatkala khalifah
mengundang Urwah untuk berziarah ke Damaskus. Beliau mengabulkan undangan
tersebut dan mengajak putra sulungnya. Khalifah menyambutnya dengan gembira,
memperlakukannya dengan penuh hormat dan melayaninya dengan ramah. Kemudian
datanglah ketetapan dan kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala, laksana
angin kencang yang tak dikehendaki penumpang perahu. Putra Urwah masuk ke
kandang kuda untuk melihat kuda-kuda piaraan pilihan. Tiba-tiba saja seekor
kuda menyepaknya dengan keras hingga menyebabkan kematiannya.
Belum
lagi tangan seorang ayah ini bersih dari tanah penguburan putranya, salah satu
telapak kakinya terluka. Betisnya tiba-tiba membengkak, penyakit semakin
menjalar dengan cepatnya. Kemudian
bergegaslah khalifah mendatangkan para tabib dari seluruh negeri untuk
mengobati tamunya dan memerintahkan mereka untuk mengobati Urwah dengan cara
apapun. Namun para tabib itu sepakat untuk mengamputasi kaki Urwah sampai betis
sebelum penyakit menjalar ke seluruh tubuh yang dapat merenggut nyawanya.
Jalan
itu harus ditempuh. Tatkala ahli bedah telah datang dengan membawa pisau untuk
menyayat daging dan gergaji untuk memotong tulangnya, tabib berkata kepada
Urwah: “Sebaiknya kami memberikan minuman
yang memabukkan agar Anda tidak merasakan sakitnya diamputasi.” Akan tetapi
Urwah menolak, “Tidak perlu, aku tidak akan menggunakan yang haram demi
mendapat afiat (kesehatan)”. Tabib berkata, “Kalau begitu kami akan membius Anda!” Beliau menjawab, “Aku tidak
mau diambil sebagian dari tubuhku tanpa kurasakan sakitnya agar tidak hilang
pahalanya di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.”
Ketika
operasi hendak dimulai, beberapa orang mendekati Urwah, lalu beliau bertanya,
“Apa yang hendak mereka lakukan?” Lalu dijawab, “Mereka akan memegangi Anda,
sebab bisa jadi Anda nanti merasa kesakitan lalu menggerakkan kaki dan itu bisa
membahayakan Anda.” Beliau berkata, “Cegahlah mereka, aku tidak membutuhkannya.
Akan kubekali diriku dengan dzikir dan tasbih.” Mulailah tabib menyayat
dagingnya dengan pisau dan tatkala mencapai tulang, diambillah gergaji untuk
memotongnya. Sementara itu Urwah tak henti-hentinya mengucapkan, “Laa ilaaha
Illallah Allahu Akbar,” sang tabib terus melakukan tugasnya dan Urwah juga
terus bertakbir hingga selesai proses amputasi itu.
Setelah
itu dituangkanlah minyak yang telah dipanaskan mendidih dan dioleskan di betis
Urwah bin Zubair untuk menghentikan perdarahan dan menutup lukanya. Urwah pingsan
untuk beberapa lama dan terhenti membaca ayat-ayat al Quran di hari itu. Inilah
satu-satunya hari di mana beliau tidak bisa melakukan kebiasaan yang beliau
jaga semenjak remajanya. Ketika Urwah tersadar dari pingsannya, beliau meminta
potongan kakinya. Dibolak-baliknya sambil berkata, “Dia (Allah) yang membimbing
aku untuk membawamu di tengah malam ke masjid, Maha Mengetahui bahwa aku tak
pernah menggunakannya untuk hal-hal yang haram.” Kemudian dibacanya syair Ma’an
bin Aus:
Tak pernah
kuingin tanganku menyentuh yang meragukan
Tidak juga
kakiku membawaku kepada kejahatan
Telinga dan
pandangan mataku pun demikian
Tidak pula menuntun ke arahnya pandangan dan pikiran
Aku tahu,
tiadalah aku ditimpa musibah dalam kehidupan
Melainkan telah
menimpa orang lain sebelumku.
Kejadian
tersebut membuat al-Walid bin Abdul Malik sangat terharu. Urwah telah kehilangan
putranya, lalu sebelah kakinya. Maka dia berusaha menghibur dan menyabarkan
hati tamunya atas musibah yang menimpanya tersebut. Bersamaan dengan itu, di
rumah khalifah datang satu rombongan Bani Abbas yang salah seorang di antaranya
buta matanya. Kemudian al-Walid menanyakan sebab musabab kebutaannya. Dia menjawab,
“Wahai khalifah, dulu tidak ada seorang pun di kalangan Bani Abbas yang lebih
kaya dalam harta dan anak dibanding saya. Saya tinggal bersama keluarga di
suatu lembah di tengah kaum saya. Mendadak muncullah air bah yang langsung
menelan habis seluruh harta dan keluarga saya. Yang tersisa bagi saya hanyalah
seekor onta yang lari dari saya. Maka saya taruh bayi yang saya bawa di atas
tanah lalu saya kejar onta tadi. Belum seberapa juh, saya mendengar jerit
tangis bayi itu. Saya menoleh dan ternyata kepalanya telah berada di mulut
serigala, dia telah memangsanya. Saya kembali, tapi tak bisa berbuat apa-apa
lagi karena bayi itu sudah habis dilalapnya. Lalu serigala tersebut lari dengan
kencangnya. Akhirnya saya kembali mengejar onta liar tadi sampai dapat. Tapi
begitu saya mendakat dia menyepak dengan keras hingga hancur wajah saya dan
buta kedua mata saya. Demikianlah, saya dapati diri saya kehilangan semua harta
dan keluarga dalam sehari semalam saja dan hidup tanpa memiliki penglihatan.
Kemudian
al-Walid berkata kepada pengawalnya, “Ajaklah orang ini menemui tamu kita
Urwah, lalu mintalah agar dia mengisahkan nasibnya agar beliau tahu bahwa
ternyata masih ada orang yang ditimpa musibah lebih berat darinya.” Tatkala
beliau diantarkan pulang ke Madinah dan menjumpai keluarganya, Urwah berkata
sebelum ditanya, “Janganlah kalian risaukan apa yang kalian lihat. Allah Subhanahu
wa Ta’ala telah memberiku empat orang anak dan Dia berkehendak mengambil
satu. Maka masih tersisa tiga. Puji syukur bagi-Nya. Aku dikaruniai empat
kekuatan lalu hanya diambil satu, maka masih tersisa tiga. Puji syukur
bagi-Nya. Dia mengambil sedikit dariku dan masih banyak yang ditinggalkan-Nya
untukku. Bila Dia menguji sekali, kesehatan yang Dia karuniakan masih lebih
banyak dan lebih darinya.”
Demi
melihat kedatangan dan keadaan gurunya, maka penduduk Madinah segera datang
berbondong-bondong ke rumahnya untuk menghibur. Yang paling baik di antara
ungkapan teman-teman Urwah adalah dari Ibrahim bin Muhammad bin Thalhah:
“Bergembiralah wahai Abu Abdillah, sebagian dari tubuhmu dan putramu telah
mendahuluimu ke surga. Insya Allah yang lain akan segera menyusul kemudian. Karena
rahmat-Nya, Allah Subhanahu wa Ta’ala meninggalkan engkau
untuk kami, sebab kami ini fakir dan memerlukan ilmu fiqih dan pengetahuanmu.
Semoga Allah memberikan manfaat bagimu dan juga kami. Allah Subhanahu
wa Ta’ala adalah wali bagi pahala untukmu dan Dia pula yang menjadim
kebagusan hisab untukmu.”
Urwah
bin Zubair menjadi menara hidayah bagi kaum muslimin. Menjadi penunjuk jalan
kemenangan dan menjadi da’i selama hidupnya. Perhatian beliau yang paling besar
adalah mendidik anak-anaknya secara khusus dan generasi Islam secara umum.
Beliau tidak suka menyia-nyiakan waktu dan kesempatan untuk memberikan petunjuk
dan selalu mencurahkan nasihat demi kebaikan mereka. Tak bosan-bosannya beliau
memberikan motivasi kepada para putranya untuk bersungguh-sungguh dalam
menuntut ilmu. Beliau berakata, “Wahai putra-putriku, tuntutlah ilmu dan
curahkan seluruh tenagamu untuknya. Karena, kalaupun hari ini kalian menjadi
kaum yang kerdil, kelak dengan ilmu tersebut Allah menjadikan kalian sebagai
pembesar kaum.” Lalu beliau melanjutkan: “Sungguh menyedihkan, adakah
di dunia ini yang lebih buruk daripada seorang tua yang bodoh?”
Beliau
anjurkan pula kepada mereka untuk memperbanyak sedekah, sedangkan sedekah
adalah hadiah yang ditujukan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Beliau
berkata, “Wahai anak-anakku, janganlah kalian menghadiahkan kepada Allah Subhanahu
wa Ta’ala dengan apa yang kalian merasa malu menghadiahkannya kepada
para pemimpin kalian, sebab Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha
Mulia, Maha Pemurah dan lebih berhak didahulukan dan diutamakan.”
Beliau
senantiasa mengajak orang-orang untuk memandang suatu masalah dari sisi
hakikatnya. Beliau berkata, “Wahai putra-putriku, jika engkau melihat kebaikan
pada seseorang maka akuilah itu baik, walaupun dalam pandangan banyak orang dia
adalah orang jahat. Sebab setiap perbuatan baik itu pastilah ada kelanjutannya.
Dan jika melihat pada seseorang perbuatan jahat, maka hati-hatilah dalam
bersikap walaupun dalam pandangan orang-orang dia adalah orang yang baik. Sebab
setiap perbuatan ada kesinambungannya. Jadi camkanlah, kebaikan akan melahirkan
kebaikan setelahnya dan kejahatan menyebabkan timbulnya kejahatan berikutnya.”
Beliau
juga mewasiatkan agar berlemah lembut, bertutur kata yang baik dan berwajah
ramah. Beliau berkata, “Wahai putra-putriku, tertulis di dalam hikmah,
“Jadikanlah tutur katamu indah dan wajahmu penuh senyum, sebab hal itu lebih
disukai orang daripada suatu pemberian.” Jika
beliau melihat seseorang condong pada kemewahan dan mengutamakan kenikmatan,
diingatkannya betapa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu
membiasakan diri untuk hidup sederhana.
Sebagai
contoh adalah kisah yang diceritakan oleh Muhammad bin al-Munkadir, “Aku
bertemu dengan Urwah bin Zubair. Dia menggandeng tanganku sambil berkata,
“Wahai Abu Abdillah.” Aku jawab, “Labbaik.” Urwah berkata, “Aku pernah
menjumpai ibuku Aisyah, lalu beliau berkata, ‘Wahai anakku, demi Allah, ada
kalanya selama 40 hari tak ada api menyala di rumah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam untuk lampu ataupun memasak.” Maka aku bertanya,
“Bagaimana Anda berdua hidup pada waktu itu?” Beliau menjawab, “Dengan korma
dan air.” Urwah
hidup hingga usia 71 tahun. Hidupnya penuh dengan kebajikan, kebaktian, dan
diliputi ketaqwaan. Ketika dirasa ajalnya sudah dekat dan dia dalam keadaan
berpuasa, keluarganya mendesak agar beliau mau makan, tetapi beliau menolak
keras karena ingin berbuka di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan
minuman dari telaga al-Kautsar yang dituangkan dalam gelas-gelas perak oleh
para bidadari cantik di surga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar