Radar Banten, 11 Agustus 2014
“Dalam
suratnya kepada Malik Ashtar itu, Ali bin Abi Thalib Karramallahu Wajhah
berpesan, Jangan kaujadikan dirimu laksana binatang buas lalu menjadikan
mereka sebagai mangsamu. Mereka itu sesungguhnya hanya satu diantara dua:
saudaramu dalam Agama atau makhluk Tuhan seperti dirimu sendiri”.
Suatu
hari, sebagaimana Abdul Warits meriwayatkannya dari Abu Amru bin al-Ala’ dari
ayahnya, ia berkata, “Ali Bin Abi Thalib Karramallahu Wajhah berkata dalam
khutbahnya, ‘Wahai sekalian manusia, demi Allah yang tiada Tuhan yang berhak disembah
selain Dia. Aku tidaklah mengambil harta kalian sedikit maupun banyak kecuali
ini.’ Kemudian beliau mengeluarkan botol kecil berisi parfum dari saku bajunya
lalu beliau berkata, ‘Ad Dihqaan menghadiahkan ini untukku.’ Dan diriwayatkan
dari Abdullah bin Zurair al Ghafiqi, ia berkata, “Kami datang menemui Ali pada
hari ‘Iedul Adha. Lalu beliau menghidangkan khazirah (daging yang diiris
kecil-kecil) kepada kami. Kami berkata, ‘Semoga Allah memperbaiki keadaanmu,
alangkah baik bila engkau hidangkan kepada kami bebek dan angsa ini. Karena
Allah telah menurunkan kebaikan yang sangat banyak.’ Ali berkata, ‘Wahai Ibnu
Zurair, sesungguhnya aku mendengar Rasulullah Saw bersabda, “Tidak halal bagi
khalifah mengambil bagian dari harta Allah (maksudnya harta baitul mal) kecuali
dua piring saja. Satu piring untuk ia makan bersama keluarganya dan satu piring
lagi untuk ia berikan kepada orang lain.” (Ibnu Asaakir dalam Tarikh Dimasyq
12/373-374 dan Imam Ahmad dalam al Musnad, 1/78).
Memang,
sebagaimana Rasulullah, Ali Bin Abi Thalib Karramallahu Wajhah dikenal sebagai
pemimpin yang zuhud dan bersahaja. Ad Dajili (1379:135), contohnya, sebagaimana
dikutip Afifah Ahmad dalam tulisannya yang berjudul Konsep Ekonomi Nahjul
Balaghah, meriwayatkan bahwa “Suatu hari di masa kepemimpinan Imam Ali as,
saudaranya yang bernama Aqil datang mengunjunginya. Saat itu udara begitu
panas, keduanya berbincang di teras rumah, menghadap ke arah keramaian pasar.
Tibalah saat makan malam, hanya ada roti kering dan garam. Jauh dari dugaan
Aqil yang mengira akan makan besar dijamu oleh khalifah muslim negeri itu. Tibalah saat Aqil harus mengutarakan maksud
kedatangannya, ia berharap saudaranya dapat melunasi hutangnya yang cukup besar
melalui kas negara. Imam Ali as sangat ingin membantunya, “Tapi tidak dengan
uang kas negara” katanya tegas. Andai saja aku memiliki simpanan cukup,
tentulah semuanya akan kuberikan. Aqil kecewa dan terus mendesak.
Setelah
dialog panjang, akhirnya Imam Ali Bin Abi Thalib Karramallahu Wajhah berkata
padanya: “Karena Engkau terus mendesak dan tidak mau mendengarkan pendapatku.
Aku menyarankan sesuatu yang dapat melunasi hutangmu. Lihatlah kotak uang di
pasar itu, saat pasar sepi, ambilah!” Mendengar itu Aqil pun sangat terkejut,
lalu ia balik bertanya “Mengapa Engkau menyarankan kepadaku untuk mencuri uang
pedagang yang seharian bekerja keras?” Imam Ali Karramallahu Wajhah pun
menjawab: “Lalu, bagaimana bisa Engkau mendesakku untuk mencuri uang seluruh
rakyat negeri ini?” Apa yang dinarasikan dan diriwayatkan oleh Ad Dajili
tersebut tak ragu lagi telah menyuguhkan kepada kita teladan agung di mana
akhlaq dan politik merupakan satu kesatuan yang integral. Islam sendiri memang
tidak pernah mengajarkan pemisahan antara akhlaq dan politik, sebagaimana
kesalehan pribadi seorang muslim juga mesti termanifestasikan dalam kesalehan
sosial atau seimbangnya antara yang mahdhah dan yang ghayru mahdhah.
Pesan
Ali Bin Abi Thalib lainnya yang tak kalah berharganya adalah saran dan
nasehatnya kepada Malik al Asytar, yang ketika itu menjabat sebagai Gubernur
Mesir di bawah kekhalifahan Ali Bin Abi Thalib Karramallahu Wajhah sendiri: “Sesungguhnya
keadaan orang-orang baik dapat diketahui dari penilaian yang diucapkan oleh kebanyakan
rakyat awam. Maka hendaknya kaujadikan amal-amal saleh sebagai perbendaharaanmu
yang paling kausukai. Untuk itu, kuasailah hawa nafsumu dan pertahankanlah
dirimu dari segala yang tidak dihalalkan bagimu. Sikap seperti itu adalah yang
paling adil bagi dirimu, baik dalam hal yang disukai ataupun yang tidak
disukai. Insafkanlah hatimu agar selalu memperlakukan semua rakyatmu dengan
kasih sayang, cinta dan kelembutan hati. Jangan kaujadikan dirimu laksana
binatang buas lalu menjadikan mereka sebagai mangsamu. Mereka itu sesungguhnya
hanya satu diantara dua: saudaramu dalam Agama atau makhluk Tuhan seperti
dirimu sendiri”.
Islam Agama
Integral
Islam
tidak mengenal pemisahan antara yang sakral dan yang profan, antara akhlaq dan
politik, sebab kesemuanya bersifat integral sebagaimana spirit dan ajaran
monotheisme Islam itu sendiri. Saya kira, meski bertaut waktu yang jauh dengan
Rasulullah dan Imam Ali Karramallahu Wajhah seperti yang telah dicontohkan,
Imam Khomeini juga menegaskan pentingnya integrasi antara politik dan akhlaq
ini. Dengan meminjam langsung bahasa Ahmad Fadhil dalam tulisannya berjudul
Imam Khomeini, dari Revolusi Hingga Nuklir, Ayatullah Khomeini memandang bahwa
dalam Islam, politik tidak sekadar mengatur dan memerintah negara dan masyarakat
serta memberikan servis dan fasilitas bagi mereka, melainkan juga melatih dan
mengembangkan kemampuan jiwa dan sumber daya manusia atau warga negara. Dalam
pengertian ini, sebagaimana dinyatakan oleh Imam Ali Karramallahu Wajhah,
“Politik adalah pekerjaan yang paling mulia.” Kemuliaan politik ini tak lain
bersumber dari subjek utama politik itu sendiri yang menurut spirit dan doktrin
Islam adalah mendidik jiwa masyarakat untuk menjalankan ajaran-ajaran kebaikan.
Di sini, hak pemerintahan sesungguhnya adalah milik Allah. Namun, untuk
mengatur manusia, maka diperlukan manusia juga. Singkatnya, jantung politik
adalah melatih jiwa manusia.
Refleksi Kita
Bersama
Berdasarkan
spirit, nilai-nilai, dan doktrin Islam seperti yang telah diilustrasikan itu,
agaknya barangkali kita perlu menengok kehidupan politik kita dan bagaimana
kita memandang politik itu sendiri, yang belakangan telah sama-sama kita tahu
dan kita rasakan: memprihatinkan. Di mana kita juga sama-sama merasa prihatin
ketika politik yang hanya dipahami dan dimaknakan hanya sekedar hiruk-pikuk
memperebutkan kekuasaan, namun setelahnya acapkali gagal menggunakan kekuasaan
itu sendiri untuk menciptakan kemajuan dan kebaikan bersama. Selama ini kita
memahami dan mempraktekkan politik hanya sebagai arena transaksional dan
modus-modus manipulasi, seperti politik uang, demi meraih suara terbanyak,
tanpa dibarengi oleh keinginan yang baik dan tulus untuk menciptakan progress
setelah kekuasaan diraih.
Dalam
hal ini, sebagaimana dikeluhkan Ignas Kleden dalam tulisannya yang berjudul
Indonesia Setelah Reformasi, ternyata politik Indonesia sebelum dan sesudah
reformasi tidak mengalami perubahan apa pun. Bersamaan dengan itu, lanjut Ignas
Kleden, orientasi utama dalam realpolitik Indonesia melulu yang terpusat dan
senantiasa disibukkan pada usaha memperebutkan kekuasaan atau power building
dan bukannya pada efektivitas penggunaan kekuasaan atau the use of power itu
sendiri. Sementara itu di sisi lain, demikian Ignas Kleden melanjutkan, dalam
analogi dengan perkembangan ekonomi, maka politik Indonesia sebagian besarnya
lebih sering berkutat pada politik mikro dan mengabaikan pergeseran-pergeseran
dan hubungan-hubungan dalam politik makro. Singkatnya, real-politik Indonesia
senantiasa disibukkan pada hiruk-pikuk politik yang tidak produktif, lebih
banyak menghamburkan uang demi perebutan kekuasaan, sembari tidak memiliki visi
yang jelas untuk menjelmakan dirinya sebagai bangsa yang memiliki paradigma
ekonomi dan politik ke masa depan.
Tepat
dalam hal itulah, sangat relevan sekali apa yang pernah dikatakan Bung Karno: “Barang siapa punya imajinasi terhadap masa
depan, maka dialah yang akan dimenangkan oleh sejarah”. (Sulaiman Djaya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar