Sabtu, 22 Maret 2014

From Business to Government, Antek-antek Rotschild di Indonesia

Oleh Artawijaya (Penulis Buku "Jaringan Zionis Internasional di Nusantara")

Soros memiliki banyak kedekatan dengan tokoh-tokoh yang “menyediakan dirinya kepada penghambaan bagi dunia dan jaringan yang dikendalikan oleh Rotschild melalui ideologi neo-liberalisme” semisal Gita Wirjawan, Goenawan Mohamad, Boediono, dan Sri Mulyani. Para pebisnis Zionis memiliki peran penting dalam upaya memperjuangkan politik Zionis di mana pun mereka berada. Mereka tak sekadar berbisnis, namun juga melakukan lobi-lobi politik untuk memuluskan misi mereka dalam menaklukkan sebuah negara, termasuk di Indonesia.


Karena itu, lobi-lobi pebisnis Zionis di negeri ini patut dicurigai! Siapa tak kenal George Soros? Pebisnis berdarah Yahudi asal Amerika yang memiliki nama asli Gyorgy Shcwartz ini adalah sosok yang disebut-sebut sebagai “biang kerok” krisis finansial yang melanda Asia, termasuk Indonesia pada 1997 silam. Pria kelahiran Budapest, Hongaria, 12 Agustus 1930 ini adalah pebisnis Yahudi yang memiliki reputasi buruk sebagai spekulan di pasar uang internasional. Soros memiliki keyakinan, bahwa pasar adalah wilayah tanpa moral.

Sebagai pebisnis berdarah Yahudi, Soros tentu paham betul soal trilogi; bisnis politik, dan kepentingan Yahudi. Para pebisnis Yahudi yang menjalankan trilogi itu tentu menyadari bahwa lobi bisnis adalah sarana untuk bisa menjalankan lobi politik yang lebih luas ke jantung pemerintahan.Mereka menyebutnya sebagai plan B (business) to G (Government). Karena itu, ia hanya akan melakukan lobi bisnis pada orang yang berada di lingkar elit kekuasaan atau tokoh high level yang memiliki wewenang dalam mengeluarkan kebijakan, khususnya dalam mengeluarkan regulasi bisnis.

Jika pada masa-masa pasca krisis, Soros tak berani menampakkan batang hidungnya di negeri Indonesia, namun berkat lobi-lobi yang dilakukannya Soros kini bisa leluasa melenggang ke Indonesia leewat lembaga Open Society Institute. Tak banyak media yang meliput, kecuali Harian Kompas yang selama ini dikenal sebagai corong kelompok neo-liberal. Sebelumnya, Soros juga dikenal sebagai donatur Tifa Foundation, LSM yang juga bergerak memperjuangkan paham neo-liberal. Kedatangan Soros ke Indonesia nyaris tanpa penolakan, khususnya dari umat Islam.

Melalui ”para kurirnya” di Indonesia, Soros kemudian berusaha melakukan ekspansi bisnis di dunia perbankan dan perkebunan sawit di Nanggroe Aceh Daarussalam. Tak tanggung-tanggung, Soros berusaha menanam investasi pada sektor perbankan devisa melalui Bank Pembangunan Daerah (BPD) Aceh. Rencana Soros sempat menuai pemberitaan tajam di media massa, namun setelah itu hilang begitu saja.

Awal tahun 2010, lobi Soros ke jantung pemerintahan semakin mulus. Di saat masyarakat Indonesia heboh dengan skandal bail out Bank Century yang diduga melibatkan Wakil Presiden Boediono yang saat itu menjabat sebagai Gubernur Bank Indonesia, Soros justru dengan entengnya melenggang ke istana wakil presiden. Selain bertemu Boediono, di istana wapres tersebut Soros juga bertemu dengan pejabat tinggi Indonesia lainnya, seperti Kepala Unit Kerja Presiden Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP3) Kuntoro Mangkusubroto dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Gita Wirjawan.

Pejabat di lingkungan wakil presiden menyebut kedatangan Soros sebagai courtessy call, pertemuan biasa yang tak memiliki agenda khusus. Bahkan, Gita Wirjawan sebagai kepala BKPM menyebut kedatangan Soros sekadar membicarakan perkembangan demokrasi di Indonesia. Sungguh aneh, kalau sekadar membicarakan perkembangan demokrasi, kenapa harus bertemu dengan kepala UKP3 dan BKPM? Kenapa tidak bertemu dengan DPR atau lembaga-lembaga yang lebih terkait dengan upaya mengembangkan demokrasi?

Direktur eksekutif Indonesia Israel Public Affair Comitte (IIPAC) Benjamin Ketang, seperti dikutip Warta Ekonomi, menyebut sowannya Soros ke Boediono bukan pertemuan biasa. Ada agenda besar dan lobi bisnis tingkat tinggi yang dilakukan Soros sebagai pebisnis Yahudi asal Amerika dengan Indonesia yang diwakili oleh Boediono sebagai elit pemerintahan di negeri ini. Strategi B (bussiness) to G (Goverment) yang dilakukan Soros setidaknya melibatkan petinggi di negeri ini.

Kiprah bisnis Soros di Indonesia tercatat di beberapa perusahaan besar di Indonesia, diantaranya; Ricky Putra Grup (bergerak di bidang pakaian), Bank CIC (Bank yang kemudian merger dengan Bank Century), Bhakti Investama (bergerak di bidang media), PT. Global Putra Internasional (bergerak di bidang penerbangan), PT Fatrapolindo Nusa Industri (bergerak di bidang industri plastik kemasan), PT Intan Bumi Inti Perdana (bergerak di bidang pertambangan), dan lain-lain.

Jika Soros telah lebih dulu memainkan pengaruh bisnisnya di Indonesia, maka saat ini pebisnis Zionis lainnya yang berasal dari Dinasti Yahudi Tameng Merah (Rothschild), berusaha menancapkan taring bisnisnya di Indonesia lewat kolaborasi dengan Grup Bakrie. Rothschild adalah dinasti Yahudi yang banyak memainkan peran dalam berbagai kekisruhan politik dan ekonomi di negara-negara Eropa dan Amerika.

Seperti kata ZA Maulani dalam bukunya ”Zionisme Gerakan Menaklukkan Dunia”, untuk memuluskan ekspansi bisnisnya, Dinasti Rothschild tak hanya menampakkan orang-orangnya ke permukaan, tetapi juga menanam para intelijennya yang melakukan operasi rahasia untuk memuluskan hegemoni bisnisnya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar