Oleh
Dr. Hasballah M Saad*
ADAKAH
pemeluk Syiah di Aceh? Ini perlu dipertanyakan ketika banyak sekali simbol
symbol “syiah” ditemukan, dan sangat menonjol di kehidupan sehari hari
masyarakat Aceh..
Sejarah
mula kedatangan Islam ke Aceh, pemimpinnya dikenal bernama Shir, seperti Shir
Poli, Shir Nuwi, Shir Duli. Dalam hikayat hikayat Aceh lama, kata gelar Shir
sering pula disebut Syahir. Misal, Shir Nuwi dibaca Syahir Nuwi, Shir Poli
dibaca Syahir Poli dst. Kata Syahir ini lebih kurang setara dengan kata Ampon
Tuwanku dalam tradisi melayu di Malaysia.
Asal
kata shir, datangnya dari keluarga bangsawan di kawasan Persia, dan sekitanya.
Maka putri Raja Persia yang setelah negerinya ditaklukkan Umar Ibnul-Khatab,
ditawan dan dibawa ke Madinah, mulanya bernama Shir Banu. Setelah dibebaskan
oleh Ali bin Abi Thaleb, Shir Banu menikah dengan putra Ali bernama Husen.
Sementara dua saudara Shir Banu lainnya menjadi menantu Abubakar dan menantu
Umar Ibnul Khattab. Belakangan nama menantu Ali itu berubah menjadi Syahira
Banu, dan dalam lafal di Hikayat Hasan Husen, nama itu dipanggil Syari Banon,
yang menjadi isteri Sayyidina Husen bin Ali. Husen syahid dibunuh Yazid bin
Muawiyah di Karbala pada 10 Muharam. Shir Banu atau Syari Banon menjanda sambil
membesarkan anaknya Ali Zainal Abidin, yang sering dipanggil Imam as-Sajad,
karena selalu suka bersujud (shalat).
Dalam
hikayat Hasan Husen, nama Syari Banon disebut berulang ulang karena beliau ini
mendampingi suami dengan sangat setianya, hingga ke kemah terakhir di Karbala,
mengantar Husen menuju kesyahidan. Banon bersama putra kesayangannya Ali Zainal
Abidin yang masih sangat belia, menyaksikan sendiri tragedy yang jadi sejarah
hitam umat Islam, karena darah titisan Rasul saw tumpah di bumi Kufah oleh tangan
orang yang mengatasnamakan dirinya khalifah kaum muslimin. Peristiwa Karbala
ini, di Aceh diperingati dengan khanduri A‘syura secara turun temurun.
Adakalanya diiringi dengan membaca hikayat Hasan Husen, dan para wanita Aceh
mempersiapkan penganan sebagai khanduri keu pangulee. Acapkali pula, para
pendengar hikayat ini mencucurkan airmata tatkala ceritera sampai kepada
pembantaian anak cucu Rasulullah saw itu.
Rafli,
penyanyi Aceh kontemporer mendendangkan peristiwa itu dengan lirik:
//”Lheuh
syahid Hasan ji prang lom Husen/ Ji neuk poh bandum cuco Sayyidina/ Dum na
pasukan bandum di yue tron/ Lengkap ban ban dum alat senjata”// ( Dah syahid
Hasan, Husen pun digempur/ Nak dihabisi cucu Sayyidina (Rasulullah)/ Seluruh
pasukan disuruh turun/ Lengkap semua dengan senjata.)
Semangat
mencintai ahlul bait, keluarga Rasulullah saw itu muncul pula di Aceh dalam
bentuk tari tarian. Di antaranya yang terkenal adalah Saman Aceh. Ragam gerak,
lirik lagu dan ratoh dipenuhi symbol symbol Karbala . “Tumbok Tumbok Droe”(memukul
mukul dada sendiri) dilakukan oleh para pemain Saman Aceh (juga dalam seudati)
sebagai symbol penyesalan Karbala . Seluruh gerak tari Saman itu diilhami oleh
kepedihan, penyesalan, dan ratap tangis atas syahidnya Sayyidina Husen, yang
terperangkap oleh tipu daya penduduk Kufah yang mendukung Yazid bin Muawiyah.
Di
Iran, dan beberapa kawasan sekitar benua Persia itu, amat lazim dijumpai
perempuan dan laki laki memukul mukul dada hingga ada yang berdarah untuk
mengenang peristiwa Karbala di hari Asyura, setiap tahunnya. Dalam naskah
hikayat Muhammad Nafiah, yang mengisahkan peran adik laki laki Hasen bin Ali
dari lain ibu, yasng menuntut bela atas syahidnya Husen di Karbala, jelas
sekali dilukiskan bagaimana pengikut Yazid “dikafirkan” oleh sang penulis hikayat
itu. Tatkala Muhammad Nafiah ingin mengeksekusi mati seorang lagi perempuan
hamil yang masih hidup, sementara yang lain sudah dibunuh semua, maka turunlah
suara dari manyang (langit)
//”Sep
ka wahe Muhammad Nafiah, bek le tapoh kaphe ulu/ Bah tinggai keu bijeh, agar
uroe dudoe mangat na asoe neuraka”// ( “Cukup sudah wahai Muhammad Nafiah,
jangan lagi dibunuh kafir hamil itu/ agar dia beranak pinak lagi untuk isi
nereka kelak”)
Karensa
Muhammad Nafiah ingin mengabaikan perintah penghentian pembantaian itu, maka
tiba tiba dia dan kudanya diperangkap oleh kekuatan sghaib. Lalu terkurunglah
dia bersama kudanya dalam sebuahgua batu. //Muhammad Nafiah lam guha bate/
Sinan meu teuentee dua ngen guda// (Muhammad Nafiah dalam gua batu/ Terkurung
disitu bersama kudanya).
Dalam
bagian lain, dikisahkan bahwa pada suatu hari, ketika Muhammad Nafiah masih
kecil, Ali bin Abi Thaleb membawa pulang ke Madinah anak laki lakinya itu dan
duduk duduk bercengkerama bersama Rasul dan dua kakaknya lain ibu, Hasan dan
Husen. Rasulullah saw mendudukkan Hasan dan Husen di pangkuan sebelah kiri,
sementaara Muhammad Nafiah duduk di atas paha kanan Rasulullah. Tatkala
Fatimah, ibunnya Hasan dan Husen melintas, dia bermasam muka karena melihat
justru putra Ali yang bukan berasal dari rahim Fatimah mendapat tempat di
sebelah kanan Rasulullah, sementara putra putranya, Hasan dan Husen duduk di
paha kiri Rasul.
Rasul
memandang wajah masam Fatimah az-Zahra, putri kesayangannya itu. Lalu Rasul
memanggil Fatimah, dan bersabda:
“Wahai
anakku, janganlah bermasam muka. Yang ini, sambil menunjuk Hasan dan Husen,
akan menemui ajal kelak ketika kita sudah tiada, karena dibunuh orang. Yang
inilah, sambil menunjuk Muhammad Nafiah, yang akan menuntut bela atas kematian
kedua mereka ini, maksudnya Hasan dan Husen. Jibrail telah menyampaikann hal
itu kepeda ku wahai Fatimah”
Mendengar
ucapan Rasul waktu itu, barulah wajah Fatimah kembali berseri seperti
sediakala. Ada pesan Jibrail kepada Rasulullah atas peristiwa yang bakal
terjadi atas anak cucunya setelah Rasul dan Fatimah tiada kelak. Begitu
mulianya kedudukan Muhammad Nafiah, putra Ali dari isteri lain, (mungkin hasil
perkawinan mut‘ah dalam peperangan yang lama).
Hikayat
itu telah menjadi bacaan sehari hari kaum muslimin di Aceh. Dalam benak orang
Aceh, kafir perempuan yang hamil tua itu, meskipun dia adalah pemeluk agama
Islam, namun dipandang sebagai kafir karena dia pengikut Yazid bin Muawiyah.
Dam inilah cikal bakal kafir sekarang ini yang akan menjadi pengisi neraka
kelak. Wallahu ’aklamu bis-shawab!
Jika
dibandingkan dengan ceritera tentang kehebatan Amerika dalam film-film perang
mereka dengan Vietnam umpamanya, muncul kesan publik bahwa Amerik-lah yang
paling jagoan, meskipun semua orang tahu pada akhirnya dia harus angkat kaki
dari negara bekas jajahan Perancis itu, meskipun orang Vietnam melawan dengan
bambu runcing. Tak ada catatan sejarah yang akurat tentang Muhammad Nafiah yang
menghabiskan seluruh pasukan Yazid di Kufah, namun hikayat itu justru
mengisahkan yang tinggal hanya seorang “kaphe ulu” (maaf: hamil) yang anak
turunannya menjadi cikal bakal penghuni neraka kelak.
Saya
bisa memahami bagaimana kepedihan kaum muslimin katika Husen syahid, dan
perasaan itu dihibur dengan pembelaan yang gemilang oleh cerita kemenangan
Muhammad Nafiah bin Sayyidina Ali, setelah Husen dan pengikutnya syahid di
Karbala. Ini juga menjadi bukti terhadap apa yang diriwayatkan, tentanag
ceritera Fatimah bermasam muka, karena Hasan Husen diletakkah di atas paha kiri
Rasulullah, ketika mereka masih kecil dulu dan Muhammad Nafiah justru dipaha
kanan Rasul.
Dalam
tradisi Aceh, hikayat berbentuk hiburan yang selalu mengandung pesan, nasihat,
sumber pengetahuan, sejarah serta agama. Hikayat Hasan Husen, Nubuwat Nabi,
Fatimah Wafat, Muhammad Nafiah dll. merupakann bacaan rakyat yang utama
disamping hikayat hikayat lain seperti Putroe Gumbak Meuh, Peurakoison, Nun
Farisi, Indra Budiman, Indra Bangsawan, Baya Siribee, dll. Kala itu memang
belum ada novel Lasjkar Pelangi, atau Sang Pemimpi, atau Ayat Ayat Cinta dsb. Sinetron
pun belum dikenal oleh masyarakat Aceh lama. Maka ceritera dalam hikayat lah
yang menjadi referensi perilaku, sumber nasehat, dan pengetahunan sejarah bagi
masyarakat luas.
Di
kawasan pantai barat Aceh, termasuk utamanya Aceh Selatan, berkembang kesenian
tradisional “Pho” Tari pho dimainkan oleh sejumlah anak anak gadis remaja,
dengan mendendangkan syair penuh nuansa sendu, seumpama orang meratapi
kematian. Dalam format khusus, gadis remaja menyusun format berkeliling
melingkar, dan meratapi sesuatu, bagaikan meratapi kematian. Ingatlah bagaimana
masyarakat Aceh memperingati “Asyura” dengan nyanyian dan hikayat Hasan Husen,
semua dilantunkan dalam irama pilu penuh duka lara.
Di
komunitas lain di Pidie, agak menarik disimak rentetan nama nama anggota keluarga
Sayed (Habib). Sebut saja berawal dari Nama Sayed Idris alias Teungku Syik di
Keude, memiliki tiga anak laki laki dan dua anak perempuan. Yang laki laki
bernama Sayed Hasyem, Sayed Husen, Sayed Abidin (Zainal Abidin), Sementara anak
perempuannya bernama Cutwan Dhien dan Cutwan Samalanga (nama aslinya tidak lagi
dikelnal lagi) Sayed Husen berputrakan Sayed Abubakar, Sayed Puteh, dan Sayed
Bunthok, sementara yang perempuan bernama Cutwan Syarifah, Cutwan Manyak dan
Cutwan Fatimah.
Sayed
Zainal Abidin mempunyai seorang putri tunggal bernama Ummi Kalsum (Cutwan
Kasum) Dari perkawinannya dengan saudara sepupu, Sayed Abubakar, Cutwan Kasum
memiliki saeorang putri tunggal diberi nama Cutwan Fatimah, yang menikah dengan
Sayed Ali bin Sayed Abdullah Bambi. Sayed Abdullah Bambi menikah dengan Cutwan
Khadijah binti Habib Husen Az-Zahir. Sementara kakak Cutwan Khadijah bernama
Habib Hasan dan Habib Ahmad Sabil. Khadijah sendiri berputrakan selain Sayed
Ali adalah Sayed Muihammad, dan Aja Rohani.
Sementara
Habib Hasyem alias Habib Peureumbeue, mempunyai beberapa orang putra, antara
lain Sayed Ahmad (Pak Mukim) Sayed Abdullah, dan yang perempuan bernama Cutwan
Khadijah pula. Cutwan Khadijah menikah dengan Habib Ahmad Mon Keulayu, dan
berputrakan antara lain Sayed Hasan, Sayed Husen, Sayed Aabdurrahman, Sayed
Alwi, Sayed Ali dan Sayed Jamaluddin. Simaklah putaran nama nama itu, semuanya
berkisar sekitar nama keluarga Rasulullah, mulai dari Hasyem, Abdullah,
Khadijah, Ahmad (Muhammad) Ali, Fatimah, Hasan, Husen, Umi Kalsum, Zainal
Abidin, Abubakar, dst. Sementara masyarakat umum yang bukan keturunan Sayed,
selalu memberikan nama anak anak mereka dengan nama nama Abbas, Hamzah, Aminah,
Thaleb, Zainab, Rukaiyah, disamping nama nama seperti yang saya sebutkan itu.
Apakah
fenomena ini dapat dijadikan indikasi bahwa para pemilik nama nama itu
merupakah pengikut Syiah Aceh? Apakah nama nama demikian karena menasabkan diri
pada keturunan Rasulullah? Atau telah terjadi pertalian dua kepentingan, petama
menasabkan diri pada darah nabi, dan kedua melestarikan nama nama yang dikenal
sebagai nama ahlul bait yang utama? Tentu hal ini memerlukan penelitian lebih
lanjut.
Simak
pula, kisah yang selalu dilantunkan pada bulan Muharram (bulan dimana syahidnya
Sayyidina Husen di Karbala):
//”Bak
siploh uroe buleueun Muharram/ Kesudahan Husen Jamaloe (Jamalul/ Peu na mudah
ta khanduri / Po Tallah bri pahla dudoe”// ( “Sepuluh hari bulan Muharram/
Kesudahan Husen Jamalul/ Jika ada kemudahan agar ber khanduri/ Allah memberi
pahla nantinya”)
Bagaimanan
jika disimak praktek ritual ibadah wajib seperti shalat lima waktu, puasa,
zakat dan haji? Orang Aceh semuanya mengikuti praktek ibadah kaum Sunny,
sebagaimana lazimnya kaum muslimin ditempat tempat lain di Indonesia. Namun
bacaan shalawat kepada Nabi dan keluarganya, selalu diucapkan dengan
menambahkan kata Sayyidina di depan nama Muhammad, dan Ibrahim. “Allahumma
shalli ala Sayyidina Muhammad, wa ’ala ali Sayyidina Muhammad, kama shallaita
ala Sayyidina Ibrahim, wa ala ali Sayyina Ibrahim, dst” Hal ini amat ditentang
oleh pengikut Wahabi yang sangat anti terhadap praktek ibadah seperti memuja
nama Rasul itu dengan meletakkan nama Sayyidina di depan nama nama mereka.
Saya
hampir sampai pada kesimpulan bahwa orang Aceh itu pencinta ahlul bait yang
sangat setia, kalaupun mereka tidak pernah mengaku sebagai pengukut syi‘ah.
Bukankah pada masa tertentu dalam sejarah Islam, kaum syi‘ah meperkenalkan
istilah taqiyah (bersembunyi) dan dari itu lahirlah ungkapan, bahwa orang yang
mengaku dirinya syi‘ah bukanlah syi‘ah lagi”
Simaklah
sebuah ceritera lucu tapi mengharukan, yang berlaku dalam satu keluarga miskin
dan buta huruf di sebuah desa di Aceh pada tahun 1950-an. Tersebutlah nama Waki
Saad Gapui, yang menikah dengan prempuan desa buta huruf, Maimunah namanya.
Mereka berputra kan beberapa orang dan semua laki laki. Saad adalah penggemar
hikayat Hasan Husen, seperti juga penduduk kampung lainnya. Maka dalam hikayat
itu dikisahkan begini:
“Hasan
dan Husen cuco di Nabi/ Aneuek tuan Siti Fatimah Dora/ Tuan teu Husen Syahid
dalam Prang / Tuan teu Hasan syahid ji tuba/ Syahid di Husen ka keunong beusoe/
Di Hasan sidroe keunong bencana (racun)/ Tuan teu Husen syahid dalam Prang/
Tuan teu Hasan di rumoh tangga”//
Terkesima
dengan kegungan nama yang disebut dalam bait hikayat itu, Saad sepakat
memberikan nama nama anaknya seperti nama nama cucunda Nabi. Yang tertua diberi
nama Hasan (Keuchik Hasan) yang kedua diberi nama Dan (Apa Dan) dan yang ketiga
diberi nama Husen (meninggal waktu kecil). Maka kalau dibaca dalam satu nafas
menjadi Hasan Dan Husen dilanjutkan dengan Cuco di Nabi. Padahal kata sambung
dan itu bukan nama orang. Saad tidak peduli, dan nama anak keduanya tetap saja
DAN, meskipun ketika dewasa nama itu menjadi Mad Dan, karena kesulitan menulis
nama dalam KTP. Lalu adik adiknya diberi nama Sulaiman (nama Nabi), Ibrahim
(nama Nabi), Zainal Abidin (nama putra Husen) dan Abdul Hamid. Apa yang terjadi
dalam kehidupan kejiwaan Saad?Meskipun buta huruf dan petani biasa, Saad merasa
sangat dekat dengan kehidupan Rasulullah, sehingga kumandang nama ahlul bait
selalu terdengar dalam keluarga mereka. Saya merasa yakin, seandainya Saad
memiliki anak perempuan, pasti akan diberi nama Khadijah, Fatimah atau Aminah!
Pertanyaannya
kini adalah, apalah, sekali lagi, hal ini dapat dijadikan indikator bahwa orang
Aceh baik keturunan Sayyed, atau orang biasa dapat disebut pengukut Syi‘ah?
Atau dengan sebutan lain, apakah mereka ini bisa dipanggil dengan sebutan
Syi‘ah Aceh? Saya sendiri cenderung berfikir demikian. Namun agar praduga ini
cukup memiliki hujjah yang kuat, perlu dilakukan penelitian yang lebih dalam
tentang fenomena yang saya uraikan dalam tulisan ini. Ini perlu dilakukan untuk
memastikan bahwa Islam yang mula mula masuk ke Aceh justru berasal dari para
ahlul bait yang hijrah karena tekanan politik dinasti Ummayah (turunan Muawiyah
bin Abu Sofyan) terhadap keturunan Sayyidina Ali yang belakangan dikenal dengan
kaum Alawiyin, pengikut Ali yang sepupu dan menantu Rasulullah.
Ingatlah
pula bahwa pada saat haji wadak, Rasul pernah berkata di hadapan jama‘ah yang
bergerak kembali ke Madinah setelah selesai berhaji. Rasul sawa sambil
mengangkat tangan Ali, Rasul bersabda, “Wahai saudaraku kaum muslimin, aku
dengan dia (sambil menunjuk Ali) bagaikan Musa dengan Harun, jika sesudah ku
masih ada nabi, maka dialah orangnya. Namun karena tak ada nabi sesudahku, maka
dialah penerusku. Kau saksikankah ucapanku ini wahai sekalian manusia?” kata
Rasul dibukit Ghadir Khum itu. Maka dari turunan Sayyidina Ali itulah, kaum
Alawiyin membangsakan diri. Wallahu a‘lamu bis-shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar