oleh Miftahul Falah, S. S.
“PKI dapat diterima di Banten karena memiliki spirit perlawanan terhadap kolonialisme, sehingga tidak heran ketika masyarakat Banten kala itu, yang paska keruntuhan Kesultanan Banten tapi masih memiliki semangat membara diam-diam di dalam hati untuk melakukan perlawanan, menerima PKI yang memiliki kesamaan spirit dan perlawanan dengan masyarakat Banten ketika itu”
“PKI dapat diterima di Banten karena memiliki spirit perlawanan terhadap kolonialisme, sehingga tidak heran ketika masyarakat Banten kala itu, yang paska keruntuhan Kesultanan Banten tapi masih memiliki semangat membara diam-diam di dalam hati untuk melakukan perlawanan, menerima PKI yang memiliki kesamaan spirit dan perlawanan dengan masyarakat Banten ketika itu”
Faham komunis mulai
disebarkan di Indonesia oleh H. J. F. M. Sneevliet, anggota Sociaal
Democratische Arbeiderspartij, pada masa sebelum
Perang Dunia I. Setibanya di Hindia
Belanda, ia bekerja sebagai staf redaksi
Soerabajasch Handelsblad. Pada tahun 1913,
ia pindah ke Semarang menjadi Sekretaris Semarangse
Handelsvereniging. Setahun kemudian, tepatnya 9 Mei 1914,
bersama-sama dengan J. A. Brandsteder, H. W. Dekker, dan P. Bergsma,
Sneevliet berhasil mendirikan Indische
Sociaal-Democratische Vereniging (ISDV). Dalam upayanya untuk
menyebarluaskan faham sosialis/komunis, ISDV berusaha untuk
membangun jaringan kerja-sama dengan organisasi
lain yang memiliki anggota cukup banyak.
Pada awalnya, ISDV bekerja sama dengan Insulinde yang pada tahun 1917 memiliki anggota sebanyak 6.000 orang. Akan tetapi, kerja sama ini hanya bertahan satu tahun, karena ISDV tidak berhasil mewujudkan tujuannya. Oleh karena itu, “kerja-sama” pun dialihkan ke Sarekat Islam (SI). Taktik yang dipergunakan oleh Sneevliet untuk bisa bekerja sama dengan SI adalah infiltrasi yang dikenal dengan nama “blok dari dalam”. Dalam infiltrasi ini, anggota ISDV dijadikan anggota SI dan anggota SI dijadikan anggota ISDV. Taktik ini jauh lebih berhasil dibandingkan kerja-sama dengan Insulinde, terbukti hanya dalam satu tahun, Sneevliet berhasil menanamkan pengaruhnya yang kuat di tubuh SI.
Bahkan tokoh muda SI, yakni Alimin dan Darsono menjadi pemimpin ISDV. Pada bulan Mei 1920, ISDV menyelenggarakan kongres yang ke-7 dan salah-satu agendanya adalah perubahan nama ISDV menjadi Perserikatan Komunis di Hindia. Perubahan nama ini dilandasi bahwa dalam rangka mengidentifikasikan diri dengan Komintern, ISDV perlu memiliki identitas dan organisasi yang akan membedakan dengan kelompok sosialis palsu. Pada tanggal 23 Mei 1920, kongres mengesahkan Partai Komunis Hindia sebagai nama baru ISDV. Semua cabang menyetujui perubahan itu, kecuali cabang Surabaya, Bandung, dan Ternate yang menentang perubahan itu. Semaun tampil sebagai ketua, Darsono sebagai wakil ketua, Bergsma sebagai sekretaris, dan Dekker.
Pada awalnya, ISDV bekerja sama dengan Insulinde yang pada tahun 1917 memiliki anggota sebanyak 6.000 orang. Akan tetapi, kerja sama ini hanya bertahan satu tahun, karena ISDV tidak berhasil mewujudkan tujuannya. Oleh karena itu, “kerja-sama” pun dialihkan ke Sarekat Islam (SI). Taktik yang dipergunakan oleh Sneevliet untuk bisa bekerja sama dengan SI adalah infiltrasi yang dikenal dengan nama “blok dari dalam”. Dalam infiltrasi ini, anggota ISDV dijadikan anggota SI dan anggota SI dijadikan anggota ISDV. Taktik ini jauh lebih berhasil dibandingkan kerja-sama dengan Insulinde, terbukti hanya dalam satu tahun, Sneevliet berhasil menanamkan pengaruhnya yang kuat di tubuh SI.
Bahkan tokoh muda SI, yakni Alimin dan Darsono menjadi pemimpin ISDV. Pada bulan Mei 1920, ISDV menyelenggarakan kongres yang ke-7 dan salah-satu agendanya adalah perubahan nama ISDV menjadi Perserikatan Komunis di Hindia. Perubahan nama ini dilandasi bahwa dalam rangka mengidentifikasikan diri dengan Komintern, ISDV perlu memiliki identitas dan organisasi yang akan membedakan dengan kelompok sosialis palsu. Pada tanggal 23 Mei 1920, kongres mengesahkan Partai Komunis Hindia sebagai nama baru ISDV. Semua cabang menyetujui perubahan itu, kecuali cabang Surabaya, Bandung, dan Ternate yang menentang perubahan itu. Semaun tampil sebagai ketua, Darsono sebagai wakil ketua, Bergsma sebagai sekretaris, dan Dekker.
Pada bulan Desember
1920, namanya diubah lagi menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI).
ISDV tidak pernah membuka cabang di Banten, meskipun dua orang
anggota eksekutifnya yakni Hasan Djajdiningrat dan J. C. Stam
tinggal di sana. Awal
mula kemunculan PKI di Banten, tidak
dapat dilepaskan dari peran yang dimainkan oleh
Raden Oesadiningrat, seorang karyawan Stasiun Kereta Api Tanah
Abang yang dipecat oleh otoritas kolonial yang kemudian aktif di Sarekat Buruh
Kereta Api (VSTP) sebagai pengurus harian penuh.
Dalam kedudukannya sebagai pengurus VSTP, Oesadiningrat kemudian menggelar rapat akbar sebanyak tiga kali yang dihadiri oleh tokoh PKI terkemuka. Pada bulan Agustus 1924, ia kembali menggelar rapat akbar di Pandeglang dengan tujuan hendak mendirikan Sarekat Rakyat.
Pertumbuhan PKI di Banten terjadi begitu cepat karena pada tahun 1924 baru ada dua orang anggota PKI yang tinggal di Banten. Dalam jangka waktu dua belas bulan, anggota PKI di Banten berjumlah ribuan orang dan terus bertambah pada tahun 1926. Pertambahan anggota PKI yang begitu pesat disebabkan sejak tahun 1925, perantau dari Banten semakin banyak yang kembali ke kampung halamannya dan di antara mereka telah ada yang menjadi anggota PKI. Beberapa perantau ini berkedudukan sebagai agen propaganda untuk mendirikan cabang PKI di Banten. Salah seorang di antara mereka adalah Tubagus Alipan yang diminta oleh Darsono untuk mendirikan PKI Cabang Banten.
Bersama-sama dengan Puradisastra, Tb. Alipan kemudian melakukan upaya untuk mendirikan PKI Cabang Banten. Kedua orang agen propaganda PKI ini kemudian dibantu oleh Achmad Bassaif yang fasih berbahasa Arab. Mereka bertiga kemudian menjadikan Islam sebagai senjata propagandanya. Dalam propagandanya itu, pengertian komunis ditekankan sebagai usaha menentang Belanda dan dipersamakan dengan perang sabil. Hal tersebut kemudian dipertegas oleh Alimin dan Musso yang datang ke Pandeglang sekitar tahun 1925. Di hadapan massa, kedua tokoh PKI ini menguraikan secara panjang lebar soal-soal perjuangan bangsa menghadapi penjajahan Belanda. Dengan demikian, dalam usahanya mendapatkan dukungan dari rakyat Banten, para proganda PKI menghilangkan pengertian komunisme, tetapi kemudian lebih mengedepankan persamaan perjuangan antara Islam dan PKI. Oleh karena itu, para ulama Banten tidak menentang kehadiran PKI di Banten, bahkan di antara para ulama itu kemudian ada yang menjadi pengurus PKI Cabang Banten.
Selain mendapat dukungan dari para ulama, para petani di Banten pun mendukung terhadap gerakan PKI karena tertarik terhadap janji-janji PKI. PKI menjanjikan kepada para petani bahwa partainya akan membebaskan petani dari pajak kepal/perorangan (hoofdgeld). Pajak inilah yang membuat resah petani sehingga suatu saat akan meledak menjadi sebuah perlawanan jika ada yang mampu menggerakkannya. PKI mampu membaca situasi itu sehingga mendapat dukungan penuh dari para petani Banten.
Awalnya, aktivitas PKI dipusatkan di Kabupaten Serang. Akan tetapi, sejak bulan Maret 1926, aktivitas mereka dengan cepat menyebar sampai ke wilayah Rangkasbitung, Kabupaten Lebak. Aktivitas itu kemudian tidak hanyasekedar menggelar rapat politik, tetapi juga telah bergeser ke arah tindakan kriminal. Oleh karena itu, tidaklah heran kalau situasi pada waktu itu digambarkan penuh dengan kegelisahan. Tidak jarang para anggota PKI ini melakukan tindakan-tindakan anarkis seperti penganiayaan, pemboikatan, pengrusakkan, dan lain-lain.
Setelah merasa mendapat dukungan dari masyarakat Banten, PKI kemudian mulai merencanakan pemberontakan. Langkah awal yang diambil adalah mendirikan Dubbel Organisatie (DO), sebuah organisasi rahasia dan ilegal untuk mematangkan semangat revolusioner masyarakat Banten. Langkah berikutnya adalah melakukan reorganisasi setelah perginya Puradisastra dan Bassaif ke Batavia. Mereka berdua kemudian menjadi penguhubung PKI Pusat di Batavia dengan PKI Cabang Banten. Pada bulan Mei diselenggarakan rapat yang menghasilkan susunan baru PKI Cabang Banten di bawah kepemimpinan Ishak dan H. Mohammad Noer. Sementara itu, Hasanudin dan Soleiman diangkat sebagai pemimpin DO Banten. Adapun K. H. Achmad Chatib ditunjuk sebagai Presiden Agama PKI Seksi Banten.
Setelah rapat itu, semangat revolusioner semakin membara dan PKI Seksi Banten telah menyatakan kesiapannya untuk melancarkan pemberontakan. Dengan semakin meningkatnya aktivitas PKI Banten, antara bulan Juli – September 1926, Pemerintah Hindia Belanda melakukan penangkapan dan penahanan terhadap beberapa pemimpin PKI Banten. Di Rangkasbitung, empat orang tokoh utama PKI, yakni Tjondroseputro, Atjim, Salihun, dan Thu Tong Hin ditahan oleh Pemerintah Hindia Belanda pada akhir bulan September 1926.
Penahanan ini mengakibatkan pimpinan PKI berada di bawah tangan para ulama dan jawara. Golongan inilah yang kemudian memimpin para petani melancarkan pemberontakan pada bulan November 1926. Target utama pemberontakan ini adalah kaum priyayi dan dipilih secara selektif. Mereka yang akan dibunuh adalah kaum priyayi bukan asli Banten dan suka melakukan kekerasan kepada rakyat. Selain itu, yang menjadi sasaran adalah mereka yang telah dianggap mencemari nama baik Banten. Sementara orang Cina tidak menjadi sasaran karena ada indikasi keterlibatan secara tidak langsung dalam pemberontakan tersebut.
Dalam kedudukannya sebagai pengurus VSTP, Oesadiningrat kemudian menggelar rapat akbar sebanyak tiga kali yang dihadiri oleh tokoh PKI terkemuka. Pada bulan Agustus 1924, ia kembali menggelar rapat akbar di Pandeglang dengan tujuan hendak mendirikan Sarekat Rakyat.
Pertumbuhan PKI di Banten terjadi begitu cepat karena pada tahun 1924 baru ada dua orang anggota PKI yang tinggal di Banten. Dalam jangka waktu dua belas bulan, anggota PKI di Banten berjumlah ribuan orang dan terus bertambah pada tahun 1926. Pertambahan anggota PKI yang begitu pesat disebabkan sejak tahun 1925, perantau dari Banten semakin banyak yang kembali ke kampung halamannya dan di antara mereka telah ada yang menjadi anggota PKI. Beberapa perantau ini berkedudukan sebagai agen propaganda untuk mendirikan cabang PKI di Banten. Salah seorang di antara mereka adalah Tubagus Alipan yang diminta oleh Darsono untuk mendirikan PKI Cabang Banten.
Bersama-sama dengan Puradisastra, Tb. Alipan kemudian melakukan upaya untuk mendirikan PKI Cabang Banten. Kedua orang agen propaganda PKI ini kemudian dibantu oleh Achmad Bassaif yang fasih berbahasa Arab. Mereka bertiga kemudian menjadikan Islam sebagai senjata propagandanya. Dalam propagandanya itu, pengertian komunis ditekankan sebagai usaha menentang Belanda dan dipersamakan dengan perang sabil. Hal tersebut kemudian dipertegas oleh Alimin dan Musso yang datang ke Pandeglang sekitar tahun 1925. Di hadapan massa, kedua tokoh PKI ini menguraikan secara panjang lebar soal-soal perjuangan bangsa menghadapi penjajahan Belanda. Dengan demikian, dalam usahanya mendapatkan dukungan dari rakyat Banten, para proganda PKI menghilangkan pengertian komunisme, tetapi kemudian lebih mengedepankan persamaan perjuangan antara Islam dan PKI. Oleh karena itu, para ulama Banten tidak menentang kehadiran PKI di Banten, bahkan di antara para ulama itu kemudian ada yang menjadi pengurus PKI Cabang Banten.
Selain mendapat dukungan dari para ulama, para petani di Banten pun mendukung terhadap gerakan PKI karena tertarik terhadap janji-janji PKI. PKI menjanjikan kepada para petani bahwa partainya akan membebaskan petani dari pajak kepal/perorangan (hoofdgeld). Pajak inilah yang membuat resah petani sehingga suatu saat akan meledak menjadi sebuah perlawanan jika ada yang mampu menggerakkannya. PKI mampu membaca situasi itu sehingga mendapat dukungan penuh dari para petani Banten.
Awalnya, aktivitas PKI dipusatkan di Kabupaten Serang. Akan tetapi, sejak bulan Maret 1926, aktivitas mereka dengan cepat menyebar sampai ke wilayah Rangkasbitung, Kabupaten Lebak. Aktivitas itu kemudian tidak hanyasekedar menggelar rapat politik, tetapi juga telah bergeser ke arah tindakan kriminal. Oleh karena itu, tidaklah heran kalau situasi pada waktu itu digambarkan penuh dengan kegelisahan. Tidak jarang para anggota PKI ini melakukan tindakan-tindakan anarkis seperti penganiayaan, pemboikatan, pengrusakkan, dan lain-lain.
Setelah merasa mendapat dukungan dari masyarakat Banten, PKI kemudian mulai merencanakan pemberontakan. Langkah awal yang diambil adalah mendirikan Dubbel Organisatie (DO), sebuah organisasi rahasia dan ilegal untuk mematangkan semangat revolusioner masyarakat Banten. Langkah berikutnya adalah melakukan reorganisasi setelah perginya Puradisastra dan Bassaif ke Batavia. Mereka berdua kemudian menjadi penguhubung PKI Pusat di Batavia dengan PKI Cabang Banten. Pada bulan Mei diselenggarakan rapat yang menghasilkan susunan baru PKI Cabang Banten di bawah kepemimpinan Ishak dan H. Mohammad Noer. Sementara itu, Hasanudin dan Soleiman diangkat sebagai pemimpin DO Banten. Adapun K. H. Achmad Chatib ditunjuk sebagai Presiden Agama PKI Seksi Banten.
Setelah rapat itu, semangat revolusioner semakin membara dan PKI Seksi Banten telah menyatakan kesiapannya untuk melancarkan pemberontakan. Dengan semakin meningkatnya aktivitas PKI Banten, antara bulan Juli – September 1926, Pemerintah Hindia Belanda melakukan penangkapan dan penahanan terhadap beberapa pemimpin PKI Banten. Di Rangkasbitung, empat orang tokoh utama PKI, yakni Tjondroseputro, Atjim, Salihun, dan Thu Tong Hin ditahan oleh Pemerintah Hindia Belanda pada akhir bulan September 1926.
Penahanan ini mengakibatkan pimpinan PKI berada di bawah tangan para ulama dan jawara. Golongan inilah yang kemudian memimpin para petani melancarkan pemberontakan pada bulan November 1926. Target utama pemberontakan ini adalah kaum priyayi dan dipilih secara selektif. Mereka yang akan dibunuh adalah kaum priyayi bukan asli Banten dan suka melakukan kekerasan kepada rakyat. Selain itu, yang menjadi sasaran adalah mereka yang telah dianggap mencemari nama baik Banten. Sementara orang Cina tidak menjadi sasaran karena ada indikasi keterlibatan secara tidak langsung dalam pemberontakan tersebut.
Sebagian masyarakat Cina di Labuan dan Menes
telah menjual senjata dan amunisi
kepada kaum pemberontak. Selain itu, ada juga
orang Cina yang telah menjadi pemimpin terkemuka PKI Banten, salah-satunya adalah Tju
Tong Hin yang bergabung dengan PKI Rangkasbitung.
Pada tanggal 6 November 1926, pecahlah pemberontakan PKI yang ditandai dengan penyerbuan kota Labuan pada tengah malam oleh ratusan orang bersenjata. Dalam serangan itu, Mas Wiriadikoesoema dan keluarganya berhasil ditawan oleh pemberontak. Selain itu, massa pun kemudian menuju ke rumah Mas Mohammad Dahlan, seorang pegawai yang membocorkan kegiatan PKI kepada pemerintah Hindia Belanda. Dalam serangan itu, Dahlan mengalami luka yang cukup parah. Pada malam yang sama, di daerah Menes pun terjadi sebuah insiden berdarah yang meminta korban lebih banyak lagi. Target utama para pemberontak adalah Wedana R. Partadiningrat, Benyamins (Pengawas Kereta Api), dan polisi. Serangan ke arah rumah wedanan dilakukan sekitar pukul satu malam yang dilakukan oleh sekitar 400 orang. Dalam serangan itu, R. Partadiningrat dan Benyamin, satu-satunya orang Belanda yang tinggal Menes, tewas terbunuh.
Pemerintah Hindia Belanda segera melakukan tindakan terhadap para pemberontak. Pada tanggal 13 November 1926, Pemerintah Kolonial telah melakukan penangkapan di berbagai tempat di Banten, di antaranya enam kali di Kabupaten Lebak. Sehari kemudian, pemberontakan PKI Banten berhasil dipadamkan oleh pemerintah kolonial dan sampai bulan Desember 1926, pemerintah kolonial masih melakukan penangkapan kepada para pelaku pemberontakan. Para pemberontakyang berhasil ditangkap kemudian dibuang ke Boven Digul sebanyak 99 orang, dihukum penjara di wilayah Banten sebanyak orang, dan dihukum mati sebanyak 4 orang. Hampir setiap distrik di Banten masuk dalam daftar para interniran Boven Digul, kecuali Kabupaten Lebak dan Pandeglang Selatan karena penduduknya masih jarang.
Dari Kabupaten Lebak, para pelaku pemberontakan yang dibuang ke Boven Digul adalah
Tju Tong Hin (Promotor PKI dalam masyarakat Cina di Rangkasbitung), Tjodroseputro (Ketua PKI Subseksi Rangkasbitung), Tubagus Mohammad Hasjim alias Entjim (Komisaris PKI Subseksi Rangkasbitung), dan Salihun (Agen Propaganda PKI Subseksi Rangkasbitung).
CATATAN:
[1] Poesponegoro dan Notosusanto, 19905: 202.
[2] McVey, 1965: 146-154.
[3] Williams, 2003: 16.
[4] McVey, 1965: 332.
[5] Salim, 1970: 7.
[6] Williams, 2003: 56.
[7] Williams, 2003: 67.
[8] De Banten Bode, 25 September 1926.
[9] Williams, 2003: 109.
[10] Williams, 2003: 93.
[11] Williams, 2003: 116.
[12] Williams, 2003: 156; 158.
DAFTAR PUSTAKA
McVey, Ruth T. The Rise of Indonesian Communism. Ithaca: Cornell University
Press.
Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto. 1990. Sejarah
Nasional Indonesia. Jilid V. Jakarta: Balai Pustaka.
Salim, Makmun. 1970. Suatu Tinjauan Tentang Peranan Adjaran Islam dalam
Pemberontakan Nopember 1926 di Banten. Makalah yang
Dipresentasikan dalam Seminar Sedjarah Nasional II, 26 – 29 Agustus
1970 di Yogyakarta.
William, Michael C. 2003. Arit dan Bulan Sabit; Pemberontakan Komunis 1926
di Banten. Terj. Yogyakarta: Syarikat.
De Banten Bode, 25 September 1926.
Pada tanggal 6 November 1926, pecahlah pemberontakan PKI yang ditandai dengan penyerbuan kota Labuan pada tengah malam oleh ratusan orang bersenjata. Dalam serangan itu, Mas Wiriadikoesoema dan keluarganya berhasil ditawan oleh pemberontak. Selain itu, massa pun kemudian menuju ke rumah Mas Mohammad Dahlan, seorang pegawai yang membocorkan kegiatan PKI kepada pemerintah Hindia Belanda. Dalam serangan itu, Dahlan mengalami luka yang cukup parah. Pada malam yang sama, di daerah Menes pun terjadi sebuah insiden berdarah yang meminta korban lebih banyak lagi. Target utama para pemberontak adalah Wedana R. Partadiningrat, Benyamins (Pengawas Kereta Api), dan polisi. Serangan ke arah rumah wedanan dilakukan sekitar pukul satu malam yang dilakukan oleh sekitar 400 orang. Dalam serangan itu, R. Partadiningrat dan Benyamin, satu-satunya orang Belanda yang tinggal Menes, tewas terbunuh.
Pemerintah Hindia Belanda segera melakukan tindakan terhadap para pemberontak. Pada tanggal 13 November 1926, Pemerintah Kolonial telah melakukan penangkapan di berbagai tempat di Banten, di antaranya enam kali di Kabupaten Lebak. Sehari kemudian, pemberontakan PKI Banten berhasil dipadamkan oleh pemerintah kolonial dan sampai bulan Desember 1926, pemerintah kolonial masih melakukan penangkapan kepada para pelaku pemberontakan. Para pemberontakyang berhasil ditangkap kemudian dibuang ke Boven Digul sebanyak 99 orang, dihukum penjara di wilayah Banten sebanyak orang, dan dihukum mati sebanyak 4 orang. Hampir setiap distrik di Banten masuk dalam daftar para interniran Boven Digul, kecuali Kabupaten Lebak dan Pandeglang Selatan karena penduduknya masih jarang.
Dari Kabupaten Lebak, para pelaku pemberontakan yang dibuang ke Boven Digul adalah
Tju Tong Hin (Promotor PKI dalam masyarakat Cina di Rangkasbitung), Tjodroseputro (Ketua PKI Subseksi Rangkasbitung), Tubagus Mohammad Hasjim alias Entjim (Komisaris PKI Subseksi Rangkasbitung), dan Salihun (Agen Propaganda PKI Subseksi Rangkasbitung).
CATATAN:
[1] Poesponegoro dan Notosusanto, 19905: 202.
[2] McVey, 1965: 146-154.
[3] Williams, 2003: 16.
[4] McVey, 1965: 332.
[5] Salim, 1970: 7.
[6] Williams, 2003: 56.
[7] Williams, 2003: 67.
[8] De Banten Bode, 25 September 1926.
[9] Williams, 2003: 109.
[10] Williams, 2003: 93.
[11] Williams, 2003: 116.
[12] Williams, 2003: 156; 158.
DAFTAR PUSTAKA
McVey, Ruth T. The Rise of Indonesian Communism. Ithaca: Cornell University
Press.
Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto. 1990. Sejarah
Nasional Indonesia. Jilid V. Jakarta: Balai Pustaka.
Salim, Makmun. 1970. Suatu Tinjauan Tentang Peranan Adjaran Islam dalam
Pemberontakan Nopember 1926 di Banten. Makalah yang
Dipresentasikan dalam Seminar Sedjarah Nasional II, 26 – 29 Agustus
1970 di Yogyakarta.
William, Michael C. 2003. Arit dan Bulan Sabit; Pemberontakan Komunis 1926
di Banten. Terj. Yogyakarta: Syarikat.
De Banten Bode, 25 September 1926.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar