Sabtu, 05 Juli 2014

Arit dan Bulan Sabit, Komunisme Para Kyai dan Bangsawan Banten






oleh Miftahul Falah, S. S.

“PKI dapat diterima di Banten karena memiliki spirit perlawanan terhadap kolonialisme, sehingga tidak heran ketika masyarakat Banten kala itu, yang paska keruntuhan Kesultanan Banten tapi masih memiliki semangat membara diam-diam di dalam hati untuk melakukan perlawanan, menerima PKI yang memiliki kesamaan spirit dan perlawanan dengan masyarakat Banten ketika itu”

Faham komunis mulai disebarkan di Indonesia oleh H. J. F. M. Sneevliet, anggota  Sociaal  Democratische  Arbeiderspartij,  pada  masa  sebelum  Perang Dunia  I.  Setibanya  di  Hindia  Belanda,  ia  bekerja  sebagai  staf  redaksi Soerabajasch  Handelsblad.  Pada  tahun  1913,  ia  pindah  ke  Semarang  menjadi Sekretaris  Semarangse  Handelsvereniging.  Setahun  kemudian, tepatnya 9  Mei 1914, bersama-sama dengan  J. A. Brandsteder, H. W. Dekker, dan P. Bergsma, Sneevliet  berhasil  mendirikan  Indische  Sociaal-Democratische  Vereniging (ISDV). Dalam upayanya untuk menyebarluaskan faham sosialis/komunis, ISDV berusaha  untuk  membangun  jaringan  kerja-sama  dengan  organisasi  lain  yang memiliki anggota cukup banyak.

Pada  awalnya,  ISDV  bekerja  sama  dengan  Insulinde  yang  pada  tahun 1917 memiliki anggota sebanyak 6.000 orang. Akan  tetapi, kerja sama  ini hanya bertahan satu tahun,  karena ISDV tidak  berhasil mewujudkan tujuannya. Oleh karena itu, “kerja-sama” pun  dialihkan ke Sarekat Islam (SI). Taktik yang dipergunakan oleh Sneevliet untuk bisa bekerja sama dengan SI adalah  infiltrasi yang dikenal dengan nama “blok dari dalam”. Dalam infiltrasi ini, anggota ISDV dijadikan anggota  SI dan  anggota SI  dijadikan anggota  ISDV.  Taktik  ini  jauh lebih  berhasil dibandingkan kerja-sama dengan Insulinde, terbukti hanya  dalam satu  tahun, Sneevliet berhasil menanamkan pengaruhnya yang kuat di tubuh SI.

Bahkan tokoh muda SI, yakni Alimin dan Darsono menjadi pemimpin ISDV. Pada bulan Mei 1920, ISDV menyelenggarakan kongres yang ke-7 dan salah-satu agendanya adalah  perubahan nama ISDV menjadi Perserikatan Komunis di Hindia.  Perubahan nama ini  dilandasi bahwa dalam rangka mengidentifikasikan diri dengan Komintern, ISDV perlu memiliki identitas dan organisasi yang akan membedakan dengan kelompok sosialis palsu. Pada tanggal 23 Mei 1920, kongres mengesahkan Partai Komunis Hindia sebagai nama baru ISDV.  Semua cabang menyetujui perubahan itu, kecuali cabang Surabaya, Bandung,  dan  Ternate yang menentang perubahan itu. Semaun tampil sebagai ketua, Darsono  sebagai wakil ketua, Bergsma sebagai sekretaris, dan Dekker.

Pada bulan Desember 1920, namanya diubah lagi menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). ISDV  tidak  pernah  membuka cabang di Banten, meskipun dua orang anggota eksekutifnya yakni Hasan Djajdiningrat dan  J. C. Stam  tinggal di sana.  Awal mula kemunculan PKI di Banten, tidak  dapat dilepaskan dari peran yang dimainkan oleh Raden Oesadiningrat,  seorang  karyawan  Stasiun Kereta Api Tanah Abang yang dipecat oleh otoritas kolonial yang kemudian aktif di Sarekat Buruh Kereta Api (VSTP) sebagai  pengurus harian penuh.

Dalam kedudukannya sebagai pengurus VSTP, Oesadiningrat kemudian menggelar rapat akbar sebanyak tiga kali yang dihadiri oleh tokoh PKI terkemuka. Pada bulan Agustus 1924,  ia kembali menggelar rapat akbar di Pandeglang dengan tujuan hendak mendirikan Sarekat Rakyat.

Pertumbuhan PKI di Banten terjadi begitu cepat karena pada tahun 1924 baru ada dua orang anggota PKI yang tinggal di Banten. Dalam jangka waktu dua belas bulan, anggota PKI di Banten berjumlah ribuan orang dan terus bertambah pada tahun 1926. Pertambahan  anggota PKI yang begitu pesat disebabkan sejak tahun 1925,  perantau  dari Banten  semakin  banyak yang kembali ke kampung halamannya dan di antara mereka telah ada yang menjadi anggota PKI. Beberapa perantau ini berkedudukan sebagai  agen propaganda  untuk  mendirikan cabang PKI di Banten. Salah seorang di antara mereka adalah Tubagus Alipan yang diminta  oleh  Darsono untuk mendirikan PKI Cabang  Banten.

Bersama-sama dengan Puradisastra, Tb. Alipan kemudian melakukan upaya untuk mendirikan PKI Cabang Banten. Kedua orang agen propaganda PKI ini kemudian dibantu oleh Achmad Bassaif yang fasih berbahasa Arab. Mereka  bertiga kemudian menjadikan Islam sebagai senjata propagandanya. Dalam propagandanya itu, pengertian komunis ditekankan sebagai usaha menentang Belanda dan dipersamakan dengan perang sabil. Hal  tersebut kemudian dipertegas oleh Alimin dan Musso yang datang ke Pandeglang sekitar tahun 1925. Di hadapan massa, kedua tokoh PKI ini menguraikan secara panjang lebar soal-soal  perjuangan bangsa menghadapi penjajahan Belanda. Dengan demikian, dalam  usahanya  mendapatkan dukungan dari rakyat  Banten, para proganda PKI menghilangkan  pengertian komunisme, tetapi kemudian lebih mengedepankan persamaan perjuangan  antara Islam dan PKI. Oleh karena itu, para ulama Banten tidak menentang kehadiran PKI di Banten, bahkan di antara para ulama itu kemudian ada yang menjadi pengurus PKI Cabang Banten.

Selain mendapat dukungan dari para ulama, para petani di Banten pun mendukung  terhadap gerakan PKI karena tertarik terhadap janji-janji PKI. PKI menjanjikan kepada para petani bahwa partainya akan membebaskan petani dari pajak kepal/perorangan  (hoofdgeld). Pajak inilah yang membuat resah petani sehingga suatu saat akan meledak menjadi sebuah perlawanan jika ada yang mampu menggerakkannya. PKI mampu membaca situasi itu sehingga mendapat dukungan penuh dari para petani Banten.

Awalnya, aktivitas PKI dipusatkan di Kabupaten Serang. Akan  tetapi, sejak bulan Maret  1926, aktivitas mereka dengan cepat menyebar sampai ke wilayah Rangkasbitung,  Kabupaten Lebak. Aktivitas itu kemudian tidak hanyasekedar menggelar rapat politik, tetapi  juga telah bergeser ke arah tindakan kriminal. Oleh karena itu, tidaklah heran kalau situasi pada waktu itu digambarkan penuh dengan kegelisahan. Tidak jarang para anggota PKI ini  melakukan tindakan-tindakan anarkis seperti penganiayaan, pemboikatan, pengrusakkan, dan lain-lain.

Setelah merasa mendapat dukungan dari masyarakat Banten, PKI kemudian mulai  merencanakan pemberontakan. Langkah awal yang diambil adalah mendirikan Dubbel Organisatie (DO), sebuah organisasi rahasia dan ilegal untuk mematangkan semangat  revolusioner masyarakat Banten. Langkah berikutnya adalah melakukan reorganisasi  setelah perginya Puradisastra dan Bassaif ke Batavia. Mereka berdua kemudian menjadi penguhubung PKI Pusat di Batavia dengan PKI Cabang Banten. Pada bulan Mei diselenggarakan rapat yang menghasilkan susunan baru PKI Cabang Banten di bawah  kepemimpinan Ishak dan H. Mohammad Noer. Sementara itu, Hasanudin dan Soleiman  diangkat sebagai pemimpin DO Banten. Adapun K. H. Achmad Chatib ditunjuk sebagai Presiden Agama PKI Seksi Banten.

Setelah rapat itu, semangat revolusioner semakin membara dan PKI Seksi Banten telah  menyatakan kesiapannya untuk melancarkan pemberontakan. Dengan semakin meningkatnya aktivitas PKI Banten, antara bulan Juli – September 1926, Pemerintah Hindia  Belanda melakukan penangkapan dan penahanan terhadap beberapa pemimpin PKI  Banten. Di Rangkasbitung, empat orang tokoh utama PKI,  yakni Tjondroseputro, Atjim,  Salihun, dan Thu Tong Hin ditahan oleh Pemerintah Hindia Belanda pada akhir bulan  September 1926.

Penahanan ini mengakibatkan pimpinan PKI berada di bawah tangan para ulama dan  jawara. Golongan inilah yang kemudian memimpin para petani melancarkan pemberontakan pada  bulan November 1926. Target utama pemberontakan ini adalah kaum priyayi dan dipilih secara selektif. Mereka yang akan dibunuh adalah kaum priyayi bukan asli Banten dan suka melakukan kekerasan kepada rakyat. Selain itu, yang menjadi sasaran  adalah mereka yang telah dianggap mencemari nama baik Banten. Sementara orang Cina  tidak menjadi sasaran  karena ada indikasi keterlibatan secara  tidak langsung dalam pemberontakan tersebut.

Sebagian masyarakat Cina di Labuan dan Menes  telah  menjual  senjata  dan amunisi  kepada kaum pemberontak. Selain itu, ada juga orang Cina yang telah menjadi pemimpin  terkemuka PKI Banten, salah-satunya adalah Tju Tong Hin yang bergabung dengan PKI Rangkasbitung.

Pada tanggal 6 November 1926, pecahlah pemberontakan PKI yang ditandai dengan penyerbuan kota Labuan pada tengah malam oleh ratusan orang bersenjata. Dalam  serangan  itu, Mas Wiriadikoesoema dan keluarganya berhasil ditawan oleh pemberontak. Selain itu, massa pun kemudian menuju ke rumah Mas Mohammad Dahlan, seorang  pegawai yang membocorkan kegiatan PKI kepada pemerintah Hindia Belanda. Dalam serangan  itu, Dahlan mengalami luka yang cukup parah. Pada malam yang sama, di daerah Menes pun terjadi sebuah insiden berdarah yang meminta korban lebih banyak lagi. Target  utama  para pemberontak adalah Wedana R. Partadiningrat, Benyamins (Pengawas Kereta Api), dan polisi. Serangan ke arah rumah wedanan dilakukan sekitar pukul satu malam yang  dilakukan oleh sekitar 400 orang. Dalam serangan  itu,  R. Partadiningrat dan Benyamin, satu-satunya orang Belanda yang tinggal Menes, tewas terbunuh.

Pemerintah Hindia Belanda segera melakukan tindakan terhadap para pemberontak. Pada  tanggal  13 November 1926, Pemerintah Kolonial telah melakukan penangkapan di berbagai tempat di Banten, di antaranya enam kali di Kabupaten Lebak. Sehari kemudian, pemberontakan PKI Banten berhasil dipadamkan oleh pemerintah kolonial dan  sampai bulan Desember 1926, pemerintah kolonial masih melakukan penangkapan kepada para  pelaku pemberontakan. Para pemberontakyang berhasil ditangkap kemudian dibuang ke Boven Digul sebanyak 99 orang, dihukum penjara di wilayah Banten sebanyak orang, dan dihukum mati sebanyak 4 orang. Hampir setiap distrik di Banten masuk dalam daftar para interniran Boven Digul, kecuali Kabupaten Lebak dan Pandeglang Selatan karena penduduknya masih jarang.

Dari Kabupaten Lebak, para pelaku pemberontakan yang dibuang ke Boven Digul adalah
Tju Tong Hin (Promotor PKI dalam masyarakat Cina di Rangkasbitung), Tjodroseputro (Ketua PKI Subseksi Rangkasbitung), Tubagus Mohammad Hasjim alias  Entjim (Komisaris PKI  Subseksi Rangkasbitung), dan Salihun (Agen Propaganda PKI Subseksi Rangkasbitung).

CATATAN:
[1] Poesponegoro dan Notosusanto, 19905: 202.
[2] McVey, 1965: 146-154.
[3] Williams, 2003: 16.
[4] McVey, 1965: 332.
[5] Salim, 1970: 7.
[6] Williams, 2003: 56.
[7] Williams, 2003: 67.
[8] De Banten Bode, 25 September 1926.
[9] Williams, 2003: 109.
[10] Williams, 2003: 93.
[11] Williams, 2003: 116.
[12] Williams, 2003: 156; 158.

DAFTAR PUSTAKA
McVey, Ruth T. The Rise of  Indonesian Communism. Ithaca: Cornell University
Press.
Poesponegoro,  Marwati  Djoened  dan  Nugroho  Notosusanto.  1990.  Sejarah
Nasional Indonesia. Jilid V. Jakarta: Balai Pustaka.
Salim, Makmun.  1970.  Suatu  Tinjauan  Tentang  Peranan  Adjaran  Islam  dalam
Pemberontakan  Nopember  1926  di  Banten.  Makalah  yang
Dipresentasikan  dalam  Seminar  Sedjarah Nasional  II,  26  –  29 Agustus
1970 di Yogyakarta.
William, Michael C. 2003. Arit dan Bulan Sabit; Pemberontakan Komunis 1926
di Banten. Terj. Yogyakarta: Syarikat.
De Banten Bode, 25 September 1926.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar